Part 3 - The First Plan
Kafein adalah sesuatu yang harus Admaja hirup pagi-pagi. Apalagi setelah meeting hingga larut semalam. Jadi setelah melakukan rutinitas pagi dan bersiap untuk berangkat kerja, dia terkejut mendapati Agam sudah berdiri di ruang makan. Apartemennya memang dua lantai, kamarnya ada di lantai atas dengan tangga setengah melingkar ke bawah langsung ke area dapur besar dan meja makan. Okey, Agam selalu siap di lobby apartemen, dan beberapa kali dia minta naik ke atas. Tapi tidak pernah atas inisiatif Agam sendiri.
"Pagi, tumben kamu ke atas," sapanya.
"Iya, Pak. Mau info kalau ibu Fe minta ditemani sarapan pagi ini," ujar Agam.
"Saya nggak bisa. Kamu tahu jadwal saya padat kan hari ini?" Maja berjalan ke arah mesin kopi.
"Baik nanti saya sampaikan. Terus Mba Adeline..."
"Adel kenapa?" langkah Maja langsung berhenti, hatinya diliputi rasa cemas. Adeline adalah adik perempuan satu-satunya yang sangat dia sayang dan saat ini sedang dalam masa pemulihan setelah bangun dari koma panjang.
"Nggak kenapa-kenapa, hanya ingin mengingatkan kalau malam ini Bapak ada jadwal makan malam dengan Mba Adel dan Ibu Fe. Saya mau tanya bunga apa yang Bapak ingin pesan."
"Tulip ungu, sepuluh tangkai," Maja mulai memijit mesin kopi.
"Tapi bunga itu tidak ada di..."
Mata Maja menatap Agam tajam lalu Agam berhenti bicara. Sekretarisnya ini harus lebih kreatif lagi untuk menemukan solusi. Dan dia sudah minta bunga itu disiapkan sejak seminggu lalu. Apa Agam lupa? Hrrghhh.
"Baik, saya carikan," ujar Agam.
Dahi Maja mengernyit mengetahui mesin kopinya tidak berfungsi. Ah siaal. "Ini mesin kopi kenapa? Kok nggak bisa?"
"Saya nggak paham soal mesin kopi, Pak. Tapi kita bisa beli kopi di jalan. Saya tahu ada kedai kopi yang enak. Bapak pasti suka," usul Agam.
Maja mendengkus kesal. "Oke." Kemudian berlalu menuju lobby bawah dengan Agam mengikuti dari belakang.
***
Di kedai kopi.
Mata Daya terus menatap ponsel memeriksa seluruh email. Dia dan Tari sedang mampir sejenak ke salah satu kedai kopi pagi itu.
"Kita drive thru aja. Biar cepat," perintah Daya.
"Drive thru-nya antri, Mba," kata Pak Sakih.
Daya hanya melirik sekilas ke Tari yang sibuk menelpon. Ingin meminta sekretarisnya itu turun dan membelikan kopi untuknya. Tapi Tari masih terus bicara entah dengan siapa.
"Ck...hrrghhh." Akhirnya Daya yang tidak sabar turun sendiri setelah meminta Pak Sakih parkir.
Di dalam kedai ada dua orang sedang mengantri. Daya segera berbaris di belakang orang terakhir lalu kembali fokus pada ponselnya. Setelah beberapa menit tiba giliran Daya.
"Saya ingin yang ringan, masih pagi." Mata Daya menatap waiter itu sekilas. "Hot Cappuccino with oat milk. Butter croissant-nya satu, dan satu hot chocolate."
"Atas nama?"
"Daya. Cepetan ya Mba."
Daya berbalik dan hampir menabrak laki-laki yang antri di belakangnya.
"Maaf," laki-laki itu mengangguk sedikit.
Perhatian Daya teralih pada pintu kedai yang terbuka, Tari yang masuk ke dalam kedai lalu dia membiarkan Tari untuk mengambil pesanannya.
"Saya pesenin kamu hot chocolate, dan saya tunggu di mobil," ujar Daya pada Tari kemudian berlalu.
Tubuh Daya sudah masuk ke dalam mobil saat tidak sengaja menoleh dan melihat ke dalam sedan mewah yang parkir di sebelahnya. Ada seorang laki-laki di kursi belakang dengan wajah setengah menunduk. Bersih dan tampan jika dilihat dari samping begini. Entah kenapa dia merasa wajah laki-laki itu familiar. Ponsel Daya berbunyi hingga pikirannya teralihkan.
Sementara di kedai kopi, Tari mencubit tangan Agam kesal. "Kenapa jadi lo yang turun sih?"
"Aduh, sakit tahu. Bos gue mana pernah turun di tempat begini," ujar Agam.
"Ya bikin alasan dong. Gimana sih? Lo udah rusakin mesin kopinya dan berhasil ajak dia ke sini. Terus buat apa kalau mereka nggak ketemu. Hrrghhh...Agaaam," desis Tari kesal.
"Sumpah gue deg-degan sama rencana lo ini, Tar. Lo nelpon gue malem-malem dan mulai nyerocos nggak karuan. Lo enggak deg-degan apa?"
Mereka berdua sudah berdiri memegang pesanan masing-masing.
"Sherly masih balas pesan lo?" delik Tari.
Agam langsung diam. Karena Sherly mengamuk dan memutuskannya semalam.
"Lo diputusin kan." Alis Tari naik satu sambil menatap Agam penuh arti. "Don't be a coward. Kita bukan buat rencana pembunuhan, tapi perjodohan. Ini hal yang baik. Dapet pahala malahan kalau berhasil."
"Tapi gimana kalau ketahuan?"
"Kalau lo terus begini, siap-siap say bye to Sherly and her sexy body. Bye, Agam," Tari melenggang pergi.
"Oke, oke. Jadi, habis ini apa?" Agam mengekor Tari.
"You wait and see." Tari menatap Agam galak. "Kalau lo gagalin lagi rencana berikutnya," tangan Tari membuat gerakan seolah mengiris lehernya sendiri. Kemudian dengan sengaja Tari menumpahkan sebagian hot chocolate pada blouse biru terangnya.
"Lo mau ngapain? Sakit jiwa dasar," kepala Agam menggeleng sambil berjalan menyusul Tari.
"You'll thank me later," tubuh Tari sudah ke luar dari kedai.
Dengan percaya diri Tari mengetuk kaca jendela mobil Admaja. Paham benar Daya akan melihat ini semua. Kalau tadi Maja dan Daya gagal bertemu di dalam kedai, Tari akan memastikan mereka bertemu di luar kedai. Darimana asal keberaniannya ini? Dari seluruh jam kerja yang padat dan gila. Salahkan Daya.
Kaca jendela terbuka. "Ya, kamu siapa?" dahi Admaja mengernyit.
"Apa cowok itu anak buah, Bapak?" satu jari Tari yang tidak memegang kantung berisi kopi sudah menunjuk sosok Agam yang baru saja keluar kedai.
Mata Maja menatap Agam. "Ya, dia sekretaris saya."
"Tolong bilang sama sekretaris Bapak, harusnya dia mengantri setelah saya. Bukan berusaha nyelak nggak pakai aturan. Jangan mentang-mentang saya perempuan terus dia bisa seenaknya," protes Tari sambil menatap galak pada Agam dan Maja bergantian. Suara sengaja Tari tinggikan agar Daya juga mendengar keributan ini. "Terus lihat ini? Dengan ceroboh dia nyenggol saya dan bikin pakaian saya kotor." Satu jari Tari tunjuk ke blouse birunya yang tampak menyedihkan.
Wajah Agam pucat melihat tingkah laku Tari. Cewek gilaaaaa.
"Agam, apa benar kamu nggak mengantri dan menumpahkan minuman ke perempuan ini?" Maja menatap Agam tajam.
"Keluar dulu dari mobil, Pak. Ini harus diselesaikan secara adat. Saya nggak terima," dengkus Tari.
Maja menghirup nafas panjang lalu keluar dari mobil berdiri di antara Tari dan Agam.
"Tari, ada apa sih? Kok ribut-ribut?" Daya juga ikutan keluar dari mobil karena memang letak mobil mereka bersebelahan.
Good, senyum Tari dalam hati. "Ini, Mba. Cowok ini nggak mau antri dan dengan sengaja bilang kalau urusan bosnya lebih penting daripada urusan saya. Jadi kopi dia dan bosnya harus lebih dulu jadi. Terus dia ceroboh dan numpahin coklat panas ke blouse saya," Tari mengarang cerita.
Kalau ada hal-hal yang paling dibenci Daya, salah satunya adalah sikap superioritas laki-laki dan diskriminasi terhadap perempuan. Jadi mata Daya sudah menatap dua laki-laki di hadapannya, menunggu penjelasan atau bukan hanya Tari, Daya juga akan mulai memaki.
"Agam?" nada suara Maja tegas sekali.
Agam membasahi bibir berkali-kali tidak mengira semua jadi begini. Sambil menyumpah serapah dalam hati pada Tari si cewek gila. Oh, dia akan membalas Tari nanti. Semua mata memandangnya.
"Maaf, saya nggak bermaksud begitu," kepala Agam sedikit menunduk.
Nafas Maja hembuskan. "Saya juga minta maaf. Saya yakin Agam tidak bermaksud jahat."
"Diskriminasi terhadap wanita adalah kesalahan besar." Daya menatap laki-laki itu geram kemudian beralih pada Agam. "Apalagi tidak mengantri? Kamu kuliah dimana ngantri aja nggak bisa?"
"Saya benar-benar nggak sengaja, Mba. Saya minta maaf," ulang Agam.
Nafas Daya hirup panjang dua kali kemudian dia berujar. "Kalian beruntung saya sedang terburu-buru pagi ini."
"Setuju, mari kita sudahi," timpal Maja.
"Baju saya gimana?" Tari tidak akan menyerah begitu saja sampai Daya dan Admaja berkenalan.
Admaja menatap Agam galak. "Saya yakin Agam akan tanggung jawab dan mengganti semua kerugian. Bukan begitu, Agam?"
"Iya, Pak," sahut Agam serba salah.
"Nama saya Tari, ini bos saya Mba Dayana. Saya minta nomor telpon kamu kalau perlu alamat kantor untuk memastikan kamu nggak kabur," sambar Tari menatap Agam galak.
Agam berdehem sejenak lalu memperkenalkan diri juga. "Saya Agam, ini bos..."
"Saya Admaja, Maja," laki-laki itu menatap Tari dan Daya bergantian. "Dan saya benar-benar terburu-buru." Maja menoleh pada Agam. "Berikan nomor ponselmu cepat." Pandangan Maja kembali menatap Daya. "Selamat pagi," lalu Admaja masuk Kembali ke dalam sedan mewahnya.
Daya hanya diam sambil mengernyitkan dahi. Seperti berusaha mengingat sesuatu. Sementara Tari dan Agam berpura-pura bertukar nomor ponsel. Setelah selesai, Daya dan Tari juga masuk ke dalam mobil mereka. Mobil mereka melaju.
"Admaja..." dahi Daya mengernyit lagi. Pandangan Daya tidak lepas dari sedan hitam mewah yang berada di depan mereka dan menuju ke arah yang sama.
"Admaja Hadijaya, pemilik dari Graha Hadijaya dan pimpinan utama Digjaya Corp," Tari pura-pura terkejut sambil menunjukkan layar ponsel hasil pencariannya di google kepada Daya.
Alis Daya naik satu. "Wow, pagi yang menarik. Pantesan saya kayak pernah lihat," tangan Daya sudah sibuk menggeser layar tablet untuk mencari tahu tentang Admaja.
"Ganteng ya, Mba," senyum Tari memancing bosnya.
"Saya butuh koneksi dan proyek. Bukan tampang, Tari," pikiran Daya berputar keras.
Proyek tender re-branding kapal pesiar milik Digjaya Corp sebentar lagi akan dimulai. Apa ini salah satu kesempatan? Tapi bagaimana caranya agar dia bisa mendapatkan informasi penting itu? Dia tidak mau terlihat murahan, dia mau Digjaya yang menginginkan Digicom, bukan sebaliknya.
"Apa kita punya klien yang bergerak di bidang transportasi?"
"Trans Indo yang mau mulai menggunakan e-car untuk travel businessnya dan minta kita tangani advertising nya."
Kepala Daya mengangguk perlahan, tanda dia sedang berpikir. "Trans Indo itu nomor dua, Tari. Digjaya Corp tiga kali lebih besar dari Trans Indo. Pasti ada investor yang mendukung Trans Indo soal e-car itu. Karena penggunaan e-car belum umum, infrastruktur belum sempurna. Apa tandanya?"
"Biaya operasional akan lebih mahal, juga investasi tinggi. Perusahaan sekelas Trans Indo harus didukung oleh investor kuat untuk melakukan perubahan itu," lanjut Tari.
Daya tersenyum lebar. "Excellent. Kamu bisa menganalisa dengan baik."
"Tapi kenapa Digjaya belum menggunakan e-car? Mereka malah sibuk dengan bisnis kapal pesiar mereka."
"Pariwisata mulai bangkit dari tidur panjang. Pandemi mereda, dan orang-orang haus untuk pergi keluar setelah bertahun-tahun di rumah aja. Jadi saya nggak menyalahkan Admaja kalau dia jadi agresif soal bisnis pesiar mereka. Dengan re-branding yang tepat, mungkin lini bisnis pesiar Digjaya bisa mengalahkan lini bisnis pesawat mereka."
"Sementara Trans Indo sibuk dengan e-car mereka? Kayaknya ada yang aneh, Mba."
"Nggak terlalu aneh karena Trans Indo nggak punya bisnis pesiar. Mau bersaing gimana sama Digjaya. Jadi mereka fokus menarik investor dan memperkuat lini bisnis yang mereka punya," Daya memberi jeda. "Tapi entah kenapa saya yakin Maja sudah menyiapkan sesuatu yang berkaitan dengan e-car. Laki-laki itu bukan tipe orang yang mau kalah dengan pesaingnya. Kompetitif."
"Laki-laki yang kompetitif itu selalu menarik kan, Mba? Nggak bosenin," sambar Tari melempar umpan.
Senyum kecil Daya terkembang. "Kompetisi yang menarik hati saya, bukan lawan jenis. Saya tidak punya waktu untuk itu, Tari."
"Tapi kalau..."
"Tari, fokus pada mencari tahu apa yang saya tidak tahu. Misal, kapan tender re-branding Digjaya dimulai? Apa konsep yang mereka mau? Strategi terbaru Digjaya? Apapun yang bisa membuat kita memenangkan tender itu, Tari." Daya diam sejenak. Kemudian matanya tiba-tiba berbinar terang. "Dekati sekretaris Maja yang bikin masalah tadi. Ulur waktu dengan cara kamu selalu tidak puas dengan solusi damai dari dia. Satu yang maha penting, cari informasi. Tell me something that I don't know, Tari. I want to win their tender."
Nafas Tari hela perlahan. Mulai berpikir julukan Dayana si tangan besi cocok sekali. Malah saat ini dia berpikir bukan hanya tangan Daya yang terbuat dari besi, hatinya juga.
***
Sepanjang hari ketika bekerja seluruh antusiasme, kecintaan dan pengabdian untuk perusahaannya membuat Daya tidak merasa lelah. Dia bekerja pada bidang yang dia gemari, dia menjadi ahli di bidang ini, dan yang terbaik adalah untuk tahu bahwa kecintaannya pada Digicom membuat perusahaannya melaju pesat lalu mengungguli banyak perusahaan advertising lain di negerinya.
Digicom bukan hanya memproduksi iklan, tapi juga merencanakan promosi dari A sampai Z dalam masa kontrak tertentu. Ketika tender sudah dimenangkan, awalnya Digicom hanya akan menangani promosi persis seperti permintaan klien mereka. Tapi di sepanjang proses, Digicom akan mulai mengambil hati klien dengan cara memastikan permintaan pertama mereka berjalan sempurna, lalu terus memproduksi ide-ide cemerlang untuk menangani promosi secara berkala pada lini bisnis atau produk klien yang lain. Proposal-proposal ide yang menarik Daya akan presentasikan dengan sempurna. Tim riset akan memberi tahu Daya tentang segala perkembangan berita di luar sana. Kemudian Daya akan meramu segalanya menjadi Grand Master Plan. Cara ini 99% berhasil menarik hati klien dan akhirnya klien bersedia menandatangani masa kontrak yang lebih lama.
Daya tergila-gila dengan informasi, terutama yang terkait pada bidang yang dia geluti. Seluruh seminar dan pelatihan baik dari dalam dan luar negeri sudah pernah dia jalani. Untuk Daya ilmu terus berkembang, jadi dia memastikan untuk selalu tahu segala hal. Bukan hanya urusan pekerjaan, tapi juga informasi pribadi tentang klien-kliennya. Kenapa? Karena dengan begitu Daya bisa mendekati mereka menggunakan cara yang lebih personal tapi masih pada batasan tertentu. Jadi pertemuannya hari ini dengan Admaja Hadijaya menggelitik rasa penasarannya.
Setibanya di kantor pagi tadi dia langsung menemui tim riset untuk mencari tahu segalanya tentang Admaja. Dia belum sempat membaca file yang Tari sudah berikan padanya sore tadi. Jadi setelah tiba di apartemen pukul 10 malam, menyiapkan air hangat dalam bathtub, Daya sudah merendam tubuhnya masuk ke dalam air hangat dengan wangi aroma therapy sambil menghubungi Tari.
"Tari..."
"Iya, Mba. Ada apa?"
"Bacakan file tentang Admaja, saya ingin tahu."
"Tim riset belum selesai, Mba. Informasi ini baru awal saja."
"It's okey. Bacakan aja."
Tari berdehem sejenak. "Admaja Laksmana Hadijaya. Anak pertama dari Janadi Hadijaya dan Ferina. Adiknya bernama Adeline Hadijaya yang baru sadar dari koma dua tahun lamanya. Perusahaan utama adalah Digjaya Trans Corporation, tapi Janadi Hadijaya juga memilik beberapa perusahaan ekspor import. Memiliki Gedung Graha Hadijaya yang lima lantainya adalah kantor pusat Digjaya Trans. Masih single dan..."
"Adik perempuannya koma?" tanya Daya penasaran.
"Iya, Mba. Tim riset cari pemberitaannya dan hanya ada satu berita yang menyatakan bahwa Adeline Hadijaya menderita suatu penyakit langka. Entah benar atau enggak."
"Hmmm..." menarik.
"Admaja single dan available, hobinya adalah...."
"Kamu sudah bisa dekati sekretarisnya yang si cowok kopi itu?" potong Daya.
"Baru tadi pagi saya bertemu dengan dia, jadi saya memang belum coba..."
"Hhhh...ayolah Tari. Si cowok kopi itu lumayan kok tampangnya."
"Namanya Agam Prasetyoaji. Bekerja sebagai sekretaris pribadi Admaja empat tahun lamanya. Lulus dari..."
"Dekati dia, Tari. Cari informasi soal tender itu."
"Agam sudah bertunangan, Mba. Jadi..."
"Tari, maksud saya dekati itu bukan ngajak pacaran. Teman kerja, kolega, sahabat, teman minum kopi, atau apalah. Buat Agam nyaman jadi kamu bisa dapat informasi. Bertukar informasi tidak pernah salah."
Hening sejenak di sana. Lalu Tari berujar. "Mba, Admaja Hadijaya itu single dan available. Maksud saya..."
"Kamu mau dekati Admaja? Itu lebih bagus malah."
"Admaja nggak akan ngelirik saya, Mba. Saya kan cuma sekretaris Mba."
"Hey, kamu tidak pernah jadi cuma. Kamu adalah sekretaris Dayana dari Digicom, tiga tahun. Kamu tahu kamu pecahkan rekor jadi sekretaris saya paling lama. Semua orang antri tapi mental mereka culun. Kamu bertahan Tari. Jadi jangan sepelekan dirimu sendiri."
Daya bisa mendengar Tari menghela nafas. "Iya, Mba. Terimakasih. Tapi maksud saya, Digjaya sedang giat memperbesar usaha mereka. Keluarga Hadijaya menduduki peringkat nomor enam terkaya di negeri ini. Hubungan dekat mereka dengan pemerintahan dan keluarga konglomerat lainnya juga sangat baik. Ini mungkin berarti klien baru, kesempatan, koneksi yang bisa kita lobby."
Kepala Daya miring sedikit pertanda dia mendengarkan dengan serius. Apa yang Tari ucapkan benar-benar tepat pada sasaran. Jika ada yang membuat dia sangat tertarik adalah memperbesar usahanya. Dia memang tidak diberikan keberuntungan untuk lahir di keluarga kaya. Tapi dia membuat dirinya sendiri kaya, dengan usahanya sendiri, dari nol. Jadi apapun yang bisa membuat Digicom lebih maju, lebih besar, itu benar-benar menarik minatnya.
"Mba, maaf kalau saya salah bicara," nada Tari ditekan.
Daya tertawa kecil. "Kamu benar-benar tahu siapa saya. Kalau begitu, kita harus memenangkan tender Digjaya Corp, Tari. Dan kita akan habis-habisan." Nafas Daya hela sambil tersenyum lebar. Ketika ide-ide datang, perpaduan adrenalin dan endorphin mulai menyusup perlahan. "Meeting besar besok pagi, Tari. Selamat malam."
Sambungan disudahi oleh Daya
***
Tari menatap ponselnya lalu menggeram gemas. Di satu sisi dia sudah berhasil untuk membuat Daya bertemu dengan Admaja. Tapi yang ada di kepala bos berhati besi-nya itu hanya pekerjaan saja. Padahal tadi dia sudah berkali-kali memberi tahu bahwa Admaja single dan available. Daya malahan mengira dia yang akan mendekati Admaja. Gila kan?
Pikir lagi, Tari. Pikir. Dia harus bisa membuat Daya tertarik secara emosional pada Admaja. Bukan hanya pada perusahaannya.
***
Fighting Tariii!!! Hahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro