Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 29 - The Brown Envelope

Sorry belum sempat di edit. Info kalau ada typo yah. Enjoy!!

***

Acara amal yang diadakan keluarga Daud berlangsung lancar. Seluruh keluarga berkumpul dan para tamu undangan yang sudah diseleksi ketat hadir satu demi satu. Audra Daud menatap bosan ke sekeliling ruangan. Mungkin sebosan Mahendra yang berdiri di sebelahnya pada salah satu sudut ruangan.

"Niko sibuk?" tanya Mahendra.

Matanya berputar kesal. "Niko dan sepupuku tersayang adalah manusia-manusia gila kerja. Bahkan lebih gila dari kita berdua, Hen."

"Hey, ini acara penting. Semua keluarga kumpul, jadi Abang harus pastikan sendiri segalanya dan yang digeret adalah sahabat satu-satunya di dunia. Resiko."

"Emang Alexa nggak ngambek kalau kamu kerja terus? Kalian LDR-an lagi?" minuman dalam gelas kristal dia sesap perlahan.

"Alexa nggak akan bertahan lama ngambeknya. Disenangkan sedikit, udah langsung nangis dan nempel lagi. Besok pagi Alexa sampai, sementara akan di Jakarta dulu." Mahendra tersenyum lebar seperti orang kasmaran.

"Hah, dasar lovebird," matanya tertumbuk pada keluarga Hadijaya yang baru saya tiba. Janadi, Ferina, Daya dan Admaja. Mahendra juga menatap ke arah yang sama. "Apa kamu bantu periksa soal Hadijaya?"

Mahendra menghirup nafas dalam kemudian mengangguk. Dia menelisik arti ekspresi Mahendra. "You don't like what you've got?"

"I hate it."

"Ada apa, Hen?" dia mulai cemas. Bagaimanapun Admaja adalah salah satu kawan dekatnya.

"Ayolah, Sis. Nggak malam ini. Kamu merusak mood."

"Hen, Maja itu temanku," bisiknya sedikit memaksa.

"Hey, Bung Nik tahu segalanya."

"Niko sudah bilang semua ke Maja?"

Kepala Mahendra menggeleng. "Hhhh, ini sedikit sulit, Sis. Saya sangat sarankan kita tidak ikut campur sejauh itu."

"But he's my friend dan dia bantu kita dulu, Hen. Ingat Bu Sarni?" dia terus berusaha membujuk Mahendra untuk bicara karena rasa penasarannya.

Satu tangan Niko menyentuh pinggangnya perlahan. "Selamat malam," Niko sudah berdiri di sebelahnya dengan setelan tuxedo. "Serius amat? Ngomongin gue, Hen?"

Wajah bersih Niko dan harum segarnya membuat dia mencium pipi Niko sesaat, yang disambut dengan ekspresi kesal Mahendra.

"Jangan pamer depan gue. Lexa baru sampe besok nih," dengkus Mahendra.

"Kan masih ada Lexy, Hen," canda Niko.

"Lexy udah nggak cukup sekarang, Nik. Karena Lexy cuma bisa diajak main catur online, nggak bisa diajak main perang-perangan di atas kasur. Ya, Hen?" Mareno Daud sudah berdiri di sebelah mereka.

"Lo ngapain dateng sih? Emang diundang?" balas Mahendra kesal.

"Hey, gue bintang tamunya. Acara ini nggak akan dimulai kalau gue nggak ada," Mareno mulai lagi.

Jika para sepupunya sudah berkumpul begini, Audra tidak akan bisa memulai pembicaraan serius lagi. Niko, Mahendra dan Mareno sudah mulai saling berbisik serta meledek seru. Sementara matanya menatap Maja dan Daya dari kejauhan. Dayana mengenakan kebaya modern dengan rok satin motif batik yang terlihat elegan dan cantik sekali. Sementara tangan Maja terus menggandeng istrinya sambil sesekali berbisik di telinga Daya yang kemudian tersenyum geli. Mereka terlihat sangat bahagia. Apapun itu, dia harap semua akan baik-baik saja.

***

Bosnya–Dayana– sedang sangat cemas perihal peluncuran pesiar Hadijaya. Jadi semua hal dicek berulang-ulang. Bagaimanapun juga tekanan pada Daya meningkat dua kali lipat. Bagaimana tidak, selain sebagai pemilik Digicom yang bertanggung jawab menangani proyek Digjaya, Daya juga adalah istri dari Admaja Hadijaya. Sedikitnya Tari mengerti bawah kali ini Daya mempertaruhkan segalanya. Jadi dia tidak membantah ketika Daya memintanya mengantar dokumen ke Emperor Hotel, tempat dimana acara amal megah yang diselenggarakan keluarga Daud berlangsung.

Matanya mencermati lagi isi dokumen penting itu kemudian memasukkannya rapih ke dalam map coklat besar yang polos kemudian dia menyadari bahwa map ini tidak memiliki symbol Digicom. Hhhh, Mba Daya terkenal perfeksionis. Amplop polos begini bisa di complain.

Ponsel dia angkat untuk menghubungi Dion. "Yon, kok map yang lo pake buat laporan bukan map kantor?"

"Tari, ini hari Sabtu malam dan kita semua nggak di kantor. Jadi gue print langsung dan kirim ke elo pake map biasa. Gue nggak punya map kantor di apartemen gue," jawab Dion. "Mba Daya nggak akan sadar juga Tari."

Nafas dia hirup dalam. Ajaran perfeksionis Daya sudah mandarah daging untuknya. Jam di tangan dia lirik. Apa dia masih sempat pergi ke kantor dan menukar map? Karena jika Daya sadar pasti hal kecil ini akan Daya permasalahkan. "Gue ke kantor dulu kali ya, atau gue kasih langsung ke rumahnya aja? Biar nggak ketukar."

"Seberapa banyak orang yang mengirim map isi kerjaan di acara gala dinner kayak begitu? Dan Mba Daya butuh itu amplop buat ketemu sama salah satu vendor kita yang ada di acara itu, Tari. Nggak mungkin lo antar ke rumahnya, terlambat."

"Gue khawatir ketuker, Yon."

"Lo over thinking, Tari. Jalanan Sabtu begini macet, belum lagi lo harus lewatin penjagaan ADS sebelum masuk ke gedung. Yang ada itu acara keburu selesai dan Mba Daya belum sempat baca laporannya dan nego sama vendor di sana."

Entah kenapa masih ada yang mengganjal. Tapi pilihannya sedikit dan itu bukan kembali ke kantor untuk menukar amplop. Jadi dia mengiyakan saran Dion sambil terus melaju ke tempat acara.

***

Daya menatap ke sekeliling area ballroom megah di dalam hotel terbaik di kotanya. Perhelatan satu tahunan yang diadakan oleh keluarga Daud sungguh meriah. Fokusnya adalah menatap salah satu pemilik vendor yang membantu Digicom menangani proyek Digjaya. Vendor ini vendor besar yang pasti diundang ke acara ini dan duduk di meja yang tidak jauh darinya. Dia ingin mendiskusikan hal penting untuk acara peluncuran kapal pesiar Digjaya yang hanya tinggal satu minggu lagi.

"Jangan liatin cowok lain sampai begitu. Saya bisa cemburu," bisik Maja yang duduk di sebelahnya. Ya, mereka sudah berada di meja-meja makan bundar yang sudah di atur sedemikian rupa. Dengan beberapa tamu lain di meja yang sama dan dia tidak kenal.

"Saya udah masukin manjat balkon ke salah satu kriteria laki-laki idaman saya. Saya yakin cowok itu nggak bisa atau nggak seahli kamu. Jadi selamat, kamu selalu akan jadi satu-satunya," kekehnya mengingat tindakan nekat Admaja memanjat pohon dan masuk dari balkon kamarnya beberapa hari lalu saat traumanya sedang kambuh.

Admaja tertawa kecil lalu kembali memperhatikan jalannya acara.

"Alexandra Walton nggak datang? Aku lihat Mahendra Daud tadi."

"Penasaran atau karena kamu mau ajak kerja sama di proyek kamu?" tanya Admaja.

"You know me so well."

"Of course, I'm your husband. Do you need me to remind you?" bisik Maja dekat sekali, menggodanya.

Dia terkekeh kemudian balas berbisik. "Kita dilihatin Ayah di meja seberang."

Ponsel Maja berdenting kemudian Maja tersenyum dan mengangguk ke arah ayah dan mama yang duduk semeja dengan Trisa dan Ibrahim Daud. Maja sudah kembali duduk tenang lagi. Jam di tangan dia cermati, seharusnya Tari sudah ada di depan gedung untuk mengantar dokumen yang dia dan vendor itu akan tanda tangani. Revisi kerja sama mereka dengan klausul yang lebih adil untuk kedua belah pihak. Karena sebelumnya dia dan tim tidak sempat memeriksa, hingga banyak sekali klausul yang memberatkan Digicom. Mereka sudah setuju untuk revisi, jadi proses tanda tangan akan dilakukan malam ini.

Rangkaian acara terus berlangsung dengan lancar. Sepanjang itu Daya melirik ponsel yang sudah berdenting sejak tadi, dia memang menunggu pesan dari Tari. Namun Maja seperti mengerti gelagatnya hingga satu tangannya Maja genggam dan letakkan dipangkuan Maja. Ketika sudah begitu, dia tahu bahwa Maja tidak mau dia bekerja malam ini. Setelah semua pidato singkat di atas panggung, juga pengumuman jumlah dana yang terkumpul dan laporan penyaluran dana selesai berlangsung, makanan mulai terhidang di meja.

"Aku mau ke toilet dulu."

"Aku temani," Maja sudah siap berdiri.

"Nggak perlu, aku bisa sendiri. Terimakasih," bisiknya.

"Aku tetap temani."

Mereka pamit sopan sejenak pada tamu lain di meja, kemudian berdiri. Maja sepertinya sudah mengerti siasatnya karena Maja terus mengikuti dia.

"Maja..." mereka sudah berada di luar ballroom area menuju toilet. Dia menghentikan langkahnya untuk mengaku saja pada Maja.

"Nope," kepala Maja langsung menggeleng sudah tahu apa yang akan dia katakan. "Tidak malam ini, Ya. Okey?"

"Tapi ini untuk acara kamu," mereka berdiri berhadapan.

"Selesaikan di hari Senin pagi."

"Tapi orangnya ada di sini dan ini cuma sebentar aja. Tinggal tanda tangan aja. Dia pun sudah tahu."

"Tetap tidak, Yaya." Ekspresi wajah Maja tidak tergoyahkan.

"Serius nggak boleh?"

Maja maju satu langkah kemudian mencium tangannya lembut. "Masih ada waktu dan itu hari Senin."

Sejenak dia diam sambil menatap Maja berharap Maja mengerti.

"Tadinya saya cemburu dengan laki-laki itu. Tapi ternyata saya lebih cemburu lagi dengan Digicom, atau Digjaya sekarang. Karena kamu lebih mementingkan mereka daripada perasaan saya."

Nafas dia hirup dalam. "Iya, ya udah batal. Tapi aku mau ke toilet beneran dan bilang Tari untuk cancel aja."

Mereka mulai berjalan beriringan ke arah toilet. "Terimakasih, Yaya," ujar Maja sambil terus melangkah di sisinya dan menggenggam tangannya.

Di dalam toilet, ponsel dia buka dan benar saja, pesan Tari sudah ada di sana.

Tari: Dokumen ditahan oleh penjaga di depan, Mba. Akan diberikan ke Mba saat Mba keluar. Peraturannya begitu. Jadi saya juga nggak bisa masuk. Tadi nama penjaganya, Martin.

Daya: Iya nggak apa-apa, Tari. Nanti saya ambil. Thanks ya.

***

Pelukan Trisa terasa hangat. Sungguh sedari tadi yang ingin Ferina lakukan adalah menangis. Trisa jeli sekali karena saat seluruh rangkaian acara resmi selesai, temannya ini menarik dia menuju salah satu ruangan.

"Apapun itu, Fe. Bicarakan baik-baik. Jan mencintaimu," ujar Trisa padanya.

"Tidak cukup banyak untuk berhenti, Tris. Dia lebih mencintai hobinya itu, sekalipun dia tahu itu bisa menghancurkan segalanya."

Pelukan Trisa longgarkan. "Hey, Ferina yang aku kenal bukan seseorang yang mudah menyerah begitu saja. Bahkan ketika segala masalah kalian dulu, kalian bisa bertahan. Itu semua karena ketegaranmu, Fe. Lihat aku yang hampir kehilangan anakku kemarin, aku seperti gila. Tapi kamu berdiri tegak pada tahun-tahun panjang ketika Adeline koma. Kamu luar biasa, Fe."

Tisu yang Trisa sodorkan padanya dia terima. "Aku sudah memberikannya kesempatan dulu, Tris. Jadi aku tidak bisa lagi kali ini."

"Berikan lagi padanya kesempatan itu. Lakukan ini untuk keluargamu, bukan untuk dirimu sendiri, bukan untuk Janadi, tapi untuk anak-anakmu. Lihat Maja dan Daya, mereka benar-benar bahagia. Mungkin sebentar lagi kamu punya cucu, Fe. Juga Adeline yang sudah kembali beraktifitas lagi. Janadi akan hancur ketika kamu memutuskan untuk meninggalkannya. Anak-anakmu akan berduka. Pikirkan baik-baik, Fe."

"Entah, Tris. Aku tidak bisa berfikir. Aku bahkan sudah tidak bisa tidur sekamar lagi. Aku tidak percaya padanya," dia menerima sodoran minuman hangat dari Trisa.

"Tenangkan dirimu dulu, setelah itu bicara. Lalu ambil waktu sejenak. Jangan terburu-buru untuk memutuskan berpisah, Fe."

Nafas dia hirup dalam-dalam setelah menyesap teh hangat. "Aku tetap membutuhkan dokumen itu, Tris. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Ya, ya. Aku setuju. Kita memang harus mengetahui segalanya agar bisa menyusun rencana," ponsel Trisa angkat kemudian Trisa bicara pada salah satu anaknya. "Sayang, apa dokumen untuk Ferina sudah siap?"

Trisa diam mendengarkan. Suara Mahendra bisa dia dengar sayup-sayup.

"Minta Niko untuk memberikan dokumen itu setelah acara selesai," pinta Trisa. "Terimakasih, Sayang. Ya, kamu boleh pulang hanya karena besok istrimu datang, Hen. Ajak Alexa ke rumah. Mama rindu dengan si manja itu," Trisa tersenyum kecil kemudian menyudahi sambungan telpon. "Dokumen akan diberikan padamu malam ini saat semua acara selesai."

"Kamu tidak membacanya?" tanyanya pada Trisa.

Trisa tersenyum. "Aku sangat menghargai rahasia msing-masing keluarga, Fe. Semua yang aku tahu, adalah yang kamu ceritakan padaku. Jadi aku di sini siap mendengarkan dan membantu jika kamu sudah membaca segalanya. Pekerjaan Niko dan Mahendra tidak bercela. Mereka cermat sekali dan akan memeriksa berkali-kali. Tapi seburuk apapun itu, aku yakin Jan mencintaimu."

"Terimakasih, Tris."

"Oh, jangan sungkan, Fe."

Dia memeluk Trisa hangat. Sedikitnya merasa lega untuk tahu dia punya teman yang tulus seperti Trisa Daud.

***

"Mau kemana?" Audra bertanya pada Niko yang berpamitan sejenak padanya.

"Ada pekerjaan, sebentar saja."

"Aku ikut," dia sudah berdiri dan berpamitan sopan pada tamu lain di meja mereka.

"Tunggu di sini sebentar, Sayang," mata Niko memperingatkannya.

"Aku tidak mau, Sayang," balasnya sambil melangkah ke arah pintu.

"Aud, ayolah," bisik Niko. "Aku hanya akan mengantar dokumen ke Martin."

"Dokumen apa?" entah kenapa intuisinya bilang bahwa ini ada kaitannya dengan penyelidikan Niko tentang keluarga Hadijaya. Kecurigaan itu timbul karena sedari tadi dia memperhatikan ekspresi Ferina Hadijaya yang terlalu datar. Ditambah dengan menghilangnya tante Trisa dan Ferina ketika makanan penutup disajikan.

"Kamu tahu aku tidak bisa bicara perihal itu kan?" langkah Niko sejajar dengannya.

"Kalau gitu aku yang tebak. Apa ini ada kaitannya dengan keluarga Admaja?" mereka sudah berada di luar area ballroom.

"Audra..." tubuhnya ditahan oleh Niko. "Tunggu di dalam, Sayang. Please."

"Apa seburuk itu, Nik? Admaja temanku, Nik."

"Apapun itu mereka harus hadapi pada akhirnya, Aud. Bukan hak kita untuk ikut campur."

"Jika kamu bisa memilih, apa kamu tetap pilih untuk menyerahkan informasi yang bisa menghancurkan kebahagiaan mereka? Apa itu adil, Nik?"

"Yang saya tahu apa yang akan saya berikan adalah fakta, Aud. Bukan rekayasa karena saya sudah memeriksa berpuluh kali. Bukan saya yang menyodorkan informasi itu. Salah satu keluarganya meminta pada kami," Niko mengubah intonasi dan bahasanya. Itu pertanda Niko sedang serius sekali. "Mereka sendiri yang harus memutuskan apakah dengan fakta yang mereka tahu, mereka bisa bertahan dan hadapi semua. Atau mereka akan berlari pergi. Saya tidak punya kuasa untuk itu."

Dia diam sejenak, mencerna. Apa yang Niko katakan ada benarnya. "Tapi aku khawatir, Nik."

"Semua yang terjadi, akan terjadi juga sebagaimanapun kita menghindari, Aud. Semua sudah ada ketentuannya," ujar Niko.

"Pasti kata-katanya Arsyad. Iya kan?"

Nafas Niko hirup tanda kesabaran suaminya ini mulai habis. "Aku tetap harus menyampaikan apa yang mereka minta, Aud. Maaf. Sekarang masuk ke dalam, Sayang."

Bibir dia gigit masih dengan ekspresi cemas.

"Audra Anayla Daud, tolong masuk ke dalam sekarang. Saya tidak akan minta baik-baik lagi setelah ini. Kamu mengganggu perwira tinggi ADS melaksanakan tugas," ujar Niko tegas.

"Haaa, begitu jadinya? Berani-beraninya kamu bilang begitu. Kamu akan rasakan akibatnya nanti di rumah, Niko Pratama," balasnya sambil bertolak pinggang dan memasang ekspresi galak.

Dengan cepat Niko mencium puncak kepalanya kemudian berlalu dari sana. Dasar menyebalkan. Tapi seksi. Hrrgrhhh, Ooood. Ada apa dengan otakmu?

***

Mereka sudah berada di dalam mobil untuk pulang selesai dari acara. Entah kenapa Daya merasa tidak enak badan tiba-tiba.

"Tangan kamu dingin, Ya. Kamu nggak apa-apa?" Maja menatapnya dalam sambil menangkupkan dua tangan Maja pada satu tangannya.

"Nggak apa-apa," punggung dia sandarkan ke jok mobil agar lebih rileks.

Maja menggeser duduk hingga bahu mereka menempel. "Kamu kecapekan, Ya."

"Aku nggak apa-apa, Maja."

"Sepertinya aku harus membatalkan kontrak kerja sama kita setelah peluncuran Digjaya selesai. Jadi kamu bisa istirahat barang sebentar."

"Bisa nggak kita nggak berantem dulu malam ini? Energiku hampir habis," mata dia pejamkan karena dia mulai merasa pusing.

Satu tangan Maja sudah merengkuhnya mendekat dan meraih kepalanya agar bersandar di dada Maja. "You're my wife, not my working partner. Yang bikin kamu sakit adalah proyek perusahaanku sendiri, dan itu semua ada dalam kendali aku. Jadi setelah peluncuran Digjaya, kamu istirahat."

"Jangan kamu pikir Digjaya bisa lolos mudah dari tanganku," kekehnya lirih. Merasakan kecupan ringan Maja pada puncak kepalanya. "Aku tidak akan biarkan itu terjadi."

"Mudah, aku sewa pengacara handal dan memberikan kompensasi tiga kali lipat sebagai perjanjian damai."

"Cuma tiga kali? Kalau menurut laporan P&L Digjaya bulan lalu, kamu bisa membayar lebih dari itu," heels dia lepas dan kepala dia makin surukkan pada dada Maja.

"Aku profesional dan tiga kali sudah lebih dari cukup. P&L yang sehat harus dipertahankan dengan cara tidak membuang-buang uang."

Dia terkekeh. "Sekali-kali kamu harus beramal."

"Hey, aku penyumbang nomor dua terbesar di acara tadi," Maja makin memeluknya erat. Seperti ingin menghangatkan tubuhnya yang dingin. Mereka diam sesaat dengan dia yang menikmati hangat pelukan Maja. "Kamu cantik sekali malam ini."

"Kamu lagi nawar biar nggak tiga kali ganti rugi?" candanya. Kepala dia dongakkan untuk menatap Maja yang sedang menunduk dan memandangnya.

"Ya, biar cost saving. Kan lumayan," balas Maja sambil tersenyum.

"Aku minta lima kali kalau begitu."

"Okey, asal kamu nggak kerja sampai hari Senin."

"Batal kalau gitu."

"Aku serius, Ya. Istirahat dulu. Amplop coklat itu aku tahan dan akan aku berikan di Senin pagi."

"Majaaa, aku nggak punya energi buat berantem," dia mencoba menjauhkan diri dari Maja.

Laki-lakinya itu menarik tubuhnya mendekat lagi. "Mau kemana? Jangan jauh-jauh."

"Amplopnya mana? Kasih aku dulu."

"Ada di tempat yang aman," Maja sudah kembali merangkulnya sambil meletakkan dagu di puncak kepalanya. "Temenin aku, Ya," ujar Maja tiba-tiba.

Kalimat Maja dia coba cerna. "Aku kan nggak kemana-mana."

Ekspresi Maja berubah seperti sedih. Dia melepaskan diri perlahan kemudian meraih bingkai wajah Maja agar bisa dia tatap. "Ada apa? Apa ini soal sikap mama yang aneh tadi?" tanyanya perlahan. Tidak mau membuat Maja tersinggung.

Nafas Maja hirup dalam. "Mama belum bilang apa-apa, tapi aku kenal jenis cemas mama yang ini. Minggu depan aku akan coba bicara sama mama."

Jadi mama Fe belum bercerita pada Maja tentang kunjungan aneh ke kantornya dulu. "Terus kenapa kamu bilang aku nggak boleh kemana-mana?"

"Karena kalau apa yang aku duga benar, kali ini mungkin mama tidak bisa memaafkan papa."

"Ayah kamu bikin salah apa?"

Mata Maja menerawang lagi. Ada sedih yang ditahan, juga luka lama yang berusaha Maja tutupi. "Semua keluarga punya rahasia, Ya. Tidak semua rahasia itu baik."

Kalimat Maja berusaha dia cerna. Ekspresi Maja berubah kosong. Seperti dibayangi atas sesuatu yang buruk dan pernah terjadi dulu. Dia mengerti, bahwa tidak semua hal bisa dengan mudah diceritakan. Ada hal-hal yang terlalu sakit untuk diingat, atau bahkan bisa memicu trauma dalam. Jadi dua tangannya sudah menangkup lembut wajah Maja.

"Hey, everything will be okey. Aku di sini apapun yang terjadi dengan orangtua kamu nanti," ujarnya sambil menatap Maja dalam.

"Mama dan papa bisa bercerai, Ya. Dan jika itu terjadi, Adeline bisa drop lagi."

"Saat ini, itu masih jadi asumsi. Lagian aku percaya, bahwa selalu akan ada titik negosiasi, kompromi. Kamu bisa jadi jembatannya, biar asumsi tadi tidak jadi kenyataan."

Senyum kecil Maja terkembang. "Andai semua hal semudah menjalankan bisnis dan tidak pakai hati."

"Suami saya adalah Admaja Hadijaya. Businessman hebat yang jago banget negosiasi, punya passion yang tinggi dan positive thinking. Bukan yang pesimis begini. Kamu, suami saya bukan?" dia meniru kalimat Maja dulu.

Kali ini Maja terkekeh kemudian mengecup bibirnya dua kali. "Bukan, bukan salah lagi."

***

Amplop coklat itu tergeletak di meja. Mereka sudah tiba sejak tiga puluh menit lalu dan dia langsung berjalan menuju kamar terpisah kemudian mengunci pintu. Janadi memanggilnya untuk bicara tapi dia tidak ingin. Belum siap menghadapi kebohongan suaminya sendiri. Jadi dia diam saja kemudian menghindar dengan alasan kurang enak badan.

Kalimat Trisa Daud berulang di kepala. Tentang betapa Janadi mencintainya. Apa benar begitu? Jika benar, kenapa Jan melakukan apa yang dia benci dulu? Mungkin Jan lebih mencintai hobi sialannya itu, dan berpikir bahwa Jan bisa membodohinya lagi sekarang. Lalu, bagaimana dengan amplop ini? Siapkah dia dengan fakta? Siapkah dia untuk melihat apa yang dia benci? Bagaimana dengan anak-anaknya nanti? Admaja pasti sudah mencium gelagatnya yang aneh di pesta tadi.

Pintu yang diketuk membuyarkan lamunannya.

"Fe, apa bisa kita bicara?" suara Janadi di sana. "Ini sudah seminggu kita pisah kamar."

Air matanya jatuh satu-satu. Suara dalam itu yang selalu dia rindu, juga yang menyakiti dia seperti saat ini. Nafas dia hirup dalam untuk menenangkan diri. "Aku lelah sekali, Jan. Besok saja."

"Aku sudah siapkan teh hangat kesukaanmu, Sayang. Keluar dulu sebentar. Aku ingin bicara."

"Tolong jangan ganggu aku dulu. Aku benar-benar ingin sendiri."

Diam sejenak di sana. Kemudian Jan berujar lagi, "Ada apa, Fe? Beritahu aku, tolong. Jangan diam begini."

Isak tangis dia tahan lagi. Lampu kamar dia matikan kemudian dia berbaring miring memeluk dirinya sendiri. Suara Jan di luar dia abaikan. Sementara matanya terus menatap amplop yang masih tertutup dan tergeletak di meja, menunggu dibuka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance