Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 28 - The Secret Lunch

Sudah tiga hari Agam berhenti menghubunginya dan dia tidak mengerti kenapa. Biasanya teman anehnya itu akan selalu mengirim pesan, minimal tiga kali sehari. Entah untuk bertanya apakah dia masih marah pada Agam, atau memeriksa kondisinya, atau sekadar mengingatkannya makan. Akhir hari Agam juga akan menghubungi yang terkadang dia angkat malas-malasan, atau dia tidak angkat sekalian. Dalam hatinya dia suka Agam membutuhkannya seperti ini, bukan Sherly.

Setelah mendapatkan informasi tentang hubungan Agam dan Sherly yang sudah berakhir dari Fina, dia banyak berpikir. Sebenarnya apa yang mengganggu dan membuatnya marah lalu menjauhi Agam. Apa benar karena ego-nya terusik tentang gossip bahwa dia perebut tunangan orang? Atau ada alasan lain? Misal, sesungguhnya yang dia mau Agam tidak terus-terusan bersama wanita yang tidak pernah menghargai Agam seperti si Sherly itu. Lagian, apa sih bagusnya cewek manja yang kerjaannya lirik sana-sini dan hanya bisa minta dilayani seperti ratu. Hih, memangnya cewek itu siapa? Agam bisa mencari wanita lain yang lebih menghargai Agam, dan yang mau berada di sisi laki-laki konyol itu, seperti...dia? Hah, otaknya sudah gila.

Kenapa juga Agam tidak memberitahunya bahwa Agam sudah putus? Apa karena Agam masih berusaha kembali pada Sherly? Sherly lagi? Kenapa Agam bodoh banget sih? Apapun itu, dia tidak tahu apa berita itu benar? Jika benar, kenapa Agam tidak memberi tahunya? Mereka teman kan?

"Tari, saya minta semua laporan progress Digjaya di meja sekarang ya. Saya mau periksa semua," Dayana sudah tiba dan langsung menghampiri mejanya karena sedari pagi dia melamun saja.

"Oh iya, Mba," cepat-cepat dia menyingkirkan ponsel. Dia menatap Daya dan langsung menyadari ada yang berbeda dari bosnya itu.

"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Daya padanya.

"Enggak apa-apa, Mba. Tapi Mba keliatan glowing sih. Abis liburan seru sama Pak Maja ya?" ledeknya menatap wajah Daya yang pagi ini terlihat segar dan pancaran mata Daya yang bahagia.

Daya tersenyum kecil. "Work, work, work, Tari. Time's up. Saya nggak mau ada yang salah di peluncuran pesiar Digjaya."

"Baik, Mba. Siaaap. Aku panggil Dion dulu ya."

Sepuluh menit kemudian, dia dan Dion sudah mempresentasikan perkembangan proyek yang mereka pegang di ruangan Daya. Kemudian diiringi dengan runtutan jadwal kerja yang menyesakkan dada. Hari mereka akan mulai panjang.

***

Tari: Sibuk ya hari ini?

Pesan dari Tari datang di akhir hari. Agam masih berkutat dengan laporan mingguan atas proyeknya yang ditunggu oleh Admaja besok. Sejak Tari menjauhinya, ini pesan pertama dari wanita itu. Biasanya dia yang selalu menghubungi lebih dulu, dengan pesan, dengan sambungan telpon yang jarang sekali Tari jawab. Tapi hari ini, entah kenapa Tari menghubunginya.

Dugaan yang paling mungkin adalah Tari ingin bercerita tentang betapa hebatnya Dion. Ya, laki-laki itu memiliki karir yang lebih dulu maju daripada dia sendiri. Single, wajah Dion juga lumayan tampan menurut Fina, khas cowok metropolitan yang umumnya wanita suka. Pertanyaannya, jika dulu Tari dengan sabar mendengarkan segala keluh kesahnya tentang Sherly, kenapa sekarang dia benar-benar tidak mau mendengar Tari bercerita tentang Dion? Jawaban atas pertanyaan itu juga yang membuat dia tambah emosi. Sudah jelas Tari tidak memiliki perasaan apapun padanya, jadi Tari biasa saja saat mendengar cerita Sherly. Tapi dia? Dia tidak mau dengar tentang Dion. Kenapa? Bukankah sudah jelas, setelah seluruh kebersamaan gila mereka, dia jatuh cinta pada temannya sendiri.

Ya, ya, sayangnya dia menyadari hal itu terlambat. Saat dia sudah harus berjauhan dari Tari, dan saat Tari sudah memiliki orang lain. Kalau dipikir-pikir, dia sama bodohnya seperti Admaja jika urusan cinta. Ah, kenapa jadi begini sih?

Tari: Ya udah kalau masih sibuk. Jaga kesehatan ya. Jangan lupa makan.

Pesan Tari datang lagi. Hhhh, bagaimana ini? Akhirnya Tari membalas pesannya, tapi di saat dia sudah terlanjur tidak bisa mendekat. Buat apa juga membalas pesan Tari jika pada akhirnya hanya akan berujung pada sakit hati.

"Gam, gue udah kirim data terakhir ya. Buat slide lo," ujar salah satu rekan timnya.

"Thanks. Nanti gue masukin di presentasi buat si bos besok."

"Balik dulu, Gam."

Temannya itu pamit menyisakan dia yang tinggal sendiri di kantor cabang Surabaya. Ponsel dia tatap lagi. Rasa rindunya berbenturan dengan cemburu. Matanya kembali menatap laptop dan berusaha fokus untuk menyelesaikan presentasi yang harus dia kirim malam ini. Sayangnya itu tidak membantu sama sekali. Setengah pikirannya berada di Jakarta. Ponsel dia ambil dan nomor Tari dia pandangi.

Telpon, jangan, telpon, jangan, telpon, jangan. Hatinya ragu-ragu sekali. Tidak pernah seragu-ragu ini. Karena takut mendengar kenyataan yang dia sudah tahu. Nafas dia hembus perlahan kemudian tangannya memijit nomor Tari sambil berdiri karena mulai gelisah.

"Halo?" suara Tari di sana sudah dengan sukses membuat dadanya berantakan. Bodoh sekali.

Dia berdehem sebelum melanjutkan. "Apa kabar?"

"Baik. Lo masih di kantor?"

"Iya, besok presentasi sama si Bos."

"Ah, Mba Daya minta gue presentasi juga tadi pagi bareng Dion."

"Oh," jantungnya mulai berdenyut nyeri. Dugaannya, kedekatan Dion dan Tari berawal dari proyek Digjaya yang dilimpahkan pada mereka. "Sherly kirim salam." Entah kenapa mulutnya bilang begini. Seperti refleks karena ego-nya sendiri.

"Oh, okey."

Ada jeda panjang di antara mereka. Seperti sibuk menahan rasa dan kata yang sudah berada di ujung mulut mereka.

"Gam..." jeda panjang tadi Tari isi.

"Ya?"

"Gue udah nggak marah sama lo..." dehem Tari sebelum melanjutkan. "...lancar-lancar presentasinya, dan...salam buat Sherly juga."

Harusnya dia sadar, ada jeda dan ragu di tiap kalimat Tari tadi. Harusnya dia sadar bahwa nada Tari tekan sedemikian rupa dan Tari tidak seceria biasanya. Harusnya dia sadar. Ya, hanya harusnya. Karena kenyataannya, dia sibuk dengan praduga dan asumsi atas Dion dan Tari. Sepanjang mereka berteman, kali ini tembok pembatas mulai berdiri tinggi.

"Doa yang sama buat lo. Malam, Tari." Sambungan disudahi.

***

Fina, si sekretaris baru pengganti Agam juga mengurus jadwal suaminya, Janadi. Biasanya Agam yang memberikan padanya rutin dan dia akan memeriksa cermat. Kemarin malam jadwal itu tiba dari Fina dan dia menemukan kejanggalan. Terdapat dua jadwal makan siang yang tidak ada sebelumnya. Janadi Hadijaya jarang sekali makan siang, apalagi makan siang di luar sendiri. Karena tidak tertulis dengan siapa Janadi makan di jadwal kali ini.

"Fina?" dia menghubungi Fina melalui ponsel untuk menuntaskan rasa penasarannya. Salah satu jadwal akan jatuh di hari ini.

"Ya, Bu?"

"Bapak hari ini ada jadwal makan siang di luar?"

"Sebentar, Bu. Saya periksa dulu." Ada jeda di seberang sana sebelum Fina menjawab lagi. "Iya, Bu. Benar."

"Dengan siapa?"

"Maaf, Bu. Di sini memang nggak ada keterangannya. Tapi nanti saya bisa tanyakan."

"Jangan..." otaknya berpikir cepat. "Boleh kamu periksa apakah ini jadwal rutin? Periksa juga jadwal makan siang besok. Dua jadwal itu."

"Baik, Bu. Sebentar." Suara ketikan pada keyboard terdengar di sana. "Dua-duanya jadwal rutin Bu. Yang hari ini setiap dua bulan sekali. Tapi yang besok ada setiap bulan."

Cemas mulai merayap naik. "Tempatnya sama?"

"Beda, Bu dan sepertinya Bapak makan sendiri kok, Bu."

"Kirimkan saya dimana tempatnya."

"Baik, Bu."

"Satu lagi, Fina. Jangan bilang apapun pada Bapak saya bertanya soal ini. Okey?"

"Ya, Bu."

Setelah sambungan berakhir, Ferina duduk sejenak berpikir. Dua jadwal itu tidak ada sebelumnya, dia yakin benar karena dia memeriksa setiap bulannya. Apa yang Janadi tutupi dari dirinya? Apakah kebiasaan buruk itu muncul lagi? Setelah sekian lama dan dulu pernah merenggut Adeline dari mereka? Sudah berapa lama makan siang rahasia ini berlangsung tanpa dia tahu? Ponsel berdenting tanda pesan dari Fina masuk. Alamat dua restoran yang berbeda. Salah satunya dia sangat familiar dengan tempat itu. Tempat yang merusak suaminya dulu. Lalu, bagaimana dengan restoran lain yang dia baru tahu.

Bibir dia gigit karena mulai bergetar gelisah. Semua pertanyaan tadi sudah berputar di kepala. Tubuhnya berdiri untuk segera bersiap-siap. Dia menghubungi Basri untuk mengantarkannya siang ini. Sepahit apapun kenyataan itu nanti, dia harus hadapi.

***

Daya sedang berada di ruangannya sore itu ketika email yang jumlahnya ratusan baru selesai dia baca. Ada satu email dari salah satu perusahaan ternama di Amerika yang akan membuka cabang di Indonesia. Pada email itu dia diminta untuk datang ke sana dan mempresentasikan perusahaannya. Nafas dia tahan dalam-dalam. Anthony Miller adalah CEO dari perusahaan itu yang dikenalkan Maja padanya saat mereka berbulan madu di kapal pesiar. Tawaran ini bukan hanya akan memberinya kesempatan kerja sama, tapi jika dia cerdik, ini adalah pintu untuk go international.

Email itu sudah tiba sejak tiga hari lalu dan sedang dia baca dan cermati. Kursi dia putar agar dia bisa menghadap ke arah jendela dengan pemandangan ibukota. Dunia ini luas sekali, untuk hanya terkungkung di negara ini saja. Tapi, bagaimana dengan penerusnya di sini saat dia untuk sementara harus bolak-balik pergi ke sana? Deretan nama-nama muncul cepat. Kursi dia putar kembali kemudian dia membalas email itu sopan untuk meminta rincian informasi tender dan juga jadwal.

Pintunya di ketuk dua kali lalu mama Ferisa masuk. "Selamat sore, Sayang. Mama harap mama tidak mengganggu."

"Mama, ada apa?" dia langsung berdiri untuk memberi salam hangat pada mama mertuanya itu. Wajah mama terlihat lebih pucat. "Duduk dulu, Ma. Aku buatkan kopi ya? Atau teh?"

Tubuh Ferina sudah dia rangkul dan dudukkan di sofa dalam ruangan. Dengan cepat dia meminta Tari untuk membuatkan minuman hangat lalu kembali duduk di sebelah Ferina. Tangan mama yang dingin dia genggam lembut.

"Mama sakit? Mau Daya antar ke dokter?" tanyanya cemas namun berhasil menahan nada agar tetap tenang.

Ferina hanya menggelengkan kepala namun tetap diam saja. Bantal sofa dia letakkan di punggung Ferina agar lebih nyaman. Entah bagaimana dia mengerti, terkadang orang-orang yang sedang kalut dan bingung, hanya ingin ditemani tanpa harus ditanya-tanya. Jadi mulut dia bungkam, minuman hangat sudah disajikan lalu dia meminta Tari menyesuaikan sisa jadwalnya di hari ini. Ekspresi Ferina masih datar dengan sorot mata yang terlihat sedih sekali. Dia duduk di sebelah Ferina, bersandar pada sofa dan menatap ke langit luar. Mungkin Ferina Hadijaya hanya ingin ditemani. Mereka berada di posisi itu hingga sepuluh menit ke depan. Tangan Ferina menyentuhnya perlahan kemudian dia menoleh.

"Maaf Mama mengganggu waktumu," ujar Ferina.

"Mama tidak pernah menggangguku. Jangan sungkan. Sekalipun, mungkin Daya nggak bisa bantu apa-apa. Hanya bisa temani Mama saja," tangan Ferina masih dingin di dalam genggamannya.

Kemudian Ferina tersenyum kecil. "Kamu wanita yang baik hati, Daya. Saya mencintai kamu seperti saya mencintai kedua anak saya," Ferina memberi jeda. Ada banyak kalimat yang tertahan di ujung bibirnya.

Tatapan mama Fe membuatnya tertegun. Setelah itu mama Fe memeluknya erat. Pelukan kali ini bukan untuk menenangkan dirinya. Tapi pelukan ini seolah berkata, Ferina Hadijaya sedang putus asa, sedang berduka, sedang ingin bersandar sejenak atas sesuatu yang mama Fe sembunyikan darinya. Jadi dia membalas pelukan itu, membagi semua energinya sendiri untuk seseorang yang dengan tulus menyayanginya.

"Apapun itu, semua akan baik-baik saja, Ma," bisiknya.

"Mama sangat berharap begitu, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Hanya itu harapan Mama."

Titik air mata Ferina hapus setelah melepaskan pelukan mereka. Kemudian Ferina berdiri dan pamit pergi. Meminta dia untuk tidak memberi tahu Admaja perihal kedatangannya kali ini. Dia hanya mengangguk lalu mengantar Ferina hingga lift kantor. Setelah Ferina menghilang dari pandangan, dia menghembuskan nafas perlahan untuk menghilangkan sesak di dada tadi. Tapi sesak itu tidak menghilang. Diam di sana hingga akhir hari. Berubah menjadi firasat atas sesuatu yang buruk dan akan terjadi.

***

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Maja saat mereka makan malam di rumah setelah hari yang panjang.

Menyembunyikan sesuatu itu sulit sekali karena yang sesungguhnya ingin dia lakukan adalah bertanya pada Maja apa yang sedang terjadi pada mama. Mungkin Maja tahu sesuatu. Tapi dia sudah terlanjur berjanji untuk diam saja.

"It's okey. Cuma lagi banyak aja," dia meneguk air dalam gelas dan menyudahi makannya. "Mungkin aku akan bepergian dalam beberapa minggu ke depan," pikiran dia alihkan.

"Bepergian? Kemana?"

"Urusan pekerjaan. Belum pasti, tapi bisa jadi."

"Proyek baru?" Maja juga sudah menyelesaikan makannya.

Nafas dia hirup dalam. "Ya. Terimakasih, karena aku dikenalkan pada banyak kolega keluargamu dulu. Di kapal pesiar saat kita bulan madu."

"Apa nama perusahaannya?"

"Maaf, aku belum bisa bilang. Karena masih terlalu dini," mereka masih duduk berhadapan di meja makan.

"Okey," Maja mengangguk. "Sebenarnya nggak okey karena saya kesal kalau kamu mulai berahasia dari saya. Dan bisa nggak kita nggak ngomong kerjaan di rumah?"

"Aku kan mau pre-alert biar nggak di-complain nanti. Anyway, aku udah bilang jadi kita bisa ngomongin yang lain," dia berdiri untuk membereskan piringnya.

"Berapa lama perginya?" piring Maja bawa juga ke kitchen sink.

"Katanya nggak mau ngomongin kerjaan?" tubuhnya sudah dipeluk oleh Maja dari belakang.

"Jangan lama-lama perginya," kepala Maja surukkan di lehernya.

Dia selalu suka saat Maja sedang manja begini. "Diusahakan."

"Besok ada jadwal dengan dokter Andreas dan kali ini kamu nggak bisa skip lagi, Ya," Maja membalik tubuhnya hingga mereka berdiri berhadapan. "Aku temenin, okey?"

"Aku sehat, Maja. Jadwal kita sama-sama penuh sampai launching nanti kan," keluhnya. "Sesi begitu akan lama dan menghabiskan waktu. Aku juga nggak ngerasa butuh sesi itu."

"Periksa awal aja, Ya. Kalau semua baik, ya sudah. Nggak perlu ke sana lagi."

"Mereka akan tetap bilang aku butuh perawatan ini-itu. Mereka dokter, Maja."

"Aku nggak paham kenapa kamu takut banget ke sana sih, Ya?"

"Aku? Takut?" Cemas itu datang lagi. Dia melangkah ke arah kamar mandi di dalam kamar mereka.

"Yaya...ayolah. Kamu butuh ini jadi ketika kamu bepergian trauma kamu nggak kambuh lagi nanti. Mungkin saya nggak bisa nemenin kamu. Sekalipun saya mau," Maja terus membujuknya.

"I hate this topic. Kamu tahu trauma aku datang hanya jika terpicu. Beberapa minggu ini aku merasa baik-baik aja," sikat gigi dia ambil dengan gesture kesal.

"Iya, benar. Tapi kamu mau bepergian, Ya. Paling enggak, diperiksa dulu jadi kalau kamu butuh sesuatu bisa ditangani sejak awal."

Pikiran buruknya mulai datang. Asumsi tidak berdasar karena dia tidak suka dipaksa. Sikat gigi dia letakkan lagi. "Kamu masalah kalau aku sakit jiwa?"

"What?" Maja bertolak pinggang. "Siapa yang bilang kamu sakit jiwa?"

"Kamu. Karena kamu terus paksa aku untuk psikiater. Aku nggak gila, Maja."

"Setuju, memang enggak. Kamu wanita paling logis dan waras yang pernah aku kenal. Sekalipun ajaib banget karena suka nuduh yang enggak-enggak," wajah Maja mulai merah. "FYI, aku pergi ke psikiater waktu Denta ninggalin aku. Jadi aku sama 'gila'nya kayak kamu.

"And is it work for you? Really? Karena kalau itu berhasil kamu nggak perlu tidur sama Angie kan?"

"HHrrghhh..." geraman Maja menggema di ruangan. Jika tadi Maja hanya marah dan kesal, kali ini Maja murka. "Wow, sepertinya kamu didesain khusus untuk test kesabaran saya, Dayana."

"Kamu maksa aku duluan, Maja. Dan aku mulai berpikir kalau kamu nggak bisa terima aku yang 'begini'. Cewek gila yang punya trauma yang belum selesai..."

"Karena kamu nggak mau selesaikan, Daya!" hardik Maja.

"Bukan karena aku nggak mau, Maja. Semua dokter yang tangani aku, mereka minta aku untuk melupakan kejadian itu. Aku nggak mau melupakan orangtuaku. Mereka orangtuaku, Maja!" nadanya sama tinggi.

Nafasnya sudah tersengal karena semua kenangan saat dia remaja dulu datang. Bagaimana sesi-sesi terapi yang panjang itu bisa membangkitkan bayangan tentang kecelakaan orangtuanya dan membuat seluruh waktu tidurnya tergerus sempurna. Bagaimana dia ketakutan bahkan hanya mendengar suara mesin mobil saja. Atau bagaimana dokter-dokter itu selalu bilang bahwa dia harus meninggalkan kenangan itu. Sementara hanya kenangan bersama ayah dan mama yang dia punya. Orangtuanya sudah tidak ada dan dia benar-benar takut jika dia mulai melupakan pada akhirnya dia tidak punya siapa-siapa lagi. Sungguh-sungguh sendiri.

"You don't understand. I don't expect you to understand. Memiliki sesuatu yang sangat indah, kemudian itu semua hilang...itu semua membuat aku tidak utuh lagi, Maja."

Maja menatapnya dalam. "Aku kehilangan Denta, Ya. Jangan lupa. Aku sama nggak utuhnya kayak kamu, Ya. Dan nggak ada yang salah dengan itu. Kita nggak bisa mengubah apapun kan?"

Titik-titik air matanya mulai jatuh. "Apa kamu lihat Denta mati di hadapanmu, Maja? Tubuh mama condong ke belakang dan dadanya tertusuk besi dari depan karena mau melindungi aku," suhu tubuhnya anjlok karena bayangan itu bisa jelas sekali dia ingat. "Atau ayah yang melindungi kepala mama tapi kepala ayah sendiri terpuntir ke belakang. Mereka semua menatap aku, Maja. Kosong, mati di hadapanku Maja. Kamu tahu butuh berapa lama aku bisa mengatasi itu semua?" Maja mulai mendekatinya. Dia berjalan mundur ke belakang menghindari Maja. "Kamu nggak tahu rasanya, Maja! Aku nggak berharap kamu tahu, tapi aku berharap kamu mengerti dengan tidak memaksaku begini!!" jeritnya kemudian dia berlari menuju lantai atas.

"Daya...berhenti dulu," langkah kaki Maja terdengar di belakangnya.

Suara-suara itu muncul di kepala. Kakinya terus berlari hingga dia berada di tempat yang aman. Ruangannya sendiri. Pintu dia tutup dan kunci lalu dia kembali duduk di lantai sambil memeluk diri sendiri. Siapa yang mau kamu bodohi, Daya. Mereka semua tidak mengerti. Bahkan Maja setelah kamu membuka diri pada laki-laki itu. Maja tidak mengerti betapa hebat lukanya dulu. Betapa dia berusaha lupa namun sulit sekali. Ketika sedikit demi sedikit kenangan buruk itu pudar, Maja memintanya untuk mengulang lagi.

"Ya, buka dulu pintunya," pintu Maja ketuk. "Please..."

"You don't understand me. Just go! Please."

"Aku mau bantu, Ya. Bukan mau sakitin kamu begini," pintu diketuk lagi. "Daya, please...let me in."

Seluruh kenangan itu merayap dalam pikirannya. Menggerogoti rasa nyaman dan aman yang selama ini sudah melingkupi, melunturkan kebahagiaan yang dia miliki. Dia mulai bergumam lirih. Persuasi diri adalah cara yang dia tahu. Terus mengulang kalimat bahwa dia baik-baik saja. Padahal dia tahu itu palsu. Dia tidak baik-baik saja. Masa lalunya kacau, menyedihkan, tragedi suram yang berusaha dia kubur dalam. Ketukan pintu Maja tidak berhenti, bujukan Maja untuk membuka pintu terus di sana. Sekalipun suara Maja hanya sayup saja. Pikirannya sedang sibuk bergelut dengan luka, dirinya sedang mencoba mencegah rasa sesak yang mulai naik di dada.

Lalu bunyi ketukan pada pintu mereda. Mungkin Maja kesal, atau menyerah, atau sadar bahwa Maja bisa mendapatkan wanita sehat lainnya yang tidak punya trauma. Pada akhirnya dia selalu ditinggalkan, siapa juga yang bisa tahan dengan wanita keras kepala yang memiliki emosi tidak stabil begini. Air matanya jatuh satu-satu karena ketika bayangan masa lalu itu mulai memudar, kenyataan tentang betapa dia tidak pantas untuk Maja datang.

Kepala dia telungkupkan di antara dua tangan. Posisinya masih bergelung duduk di sudut ruangan sambil memeluk tubuhnya yang dingin sendiri. Dayana yang kuat, pintar dan mandiri sesungguhnya tidak ada. Hanya ada wanita yang penuh luka dan trauma. Ya, sesungguhnya itulah dia. Tidak berdaya.

Sentuhan tangan Maja mengejutkannya. Dia mendongak dan melihat pintu kamar masih tertutup rapat. Lalu menatap pintu balkon kamar yang terbuka.

"Aku di sini, Ya," Maja duduk di lantai dan merengkuh tubuhnya perlahan. "Please just don't shut me down."

Maja meraih kepalanya hingga dia bisa meluapkan segala rasa. Kedua tangan Maja yang mengusap punggungnya lembut terasa hangat. Maja mencium puncak kepalanya dan melingkupi dirinya dengan seluruh harum yang dia suka. Tangisnya sendiri belum berhenti sekalipun berangsur mereda.

"Aku nggak akan maksa kamu pergi. Everything is okey, you are okey, you are enough for me, Ya."

Kali ini tangisnya pecah lagi. Dia mencengkram kaus Maja kuat sambil terus menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Maja. Dia ingin sempurna untuk laki-laki yang dia cinta, tapi dia tidak bisa, tidak sanggup untuk mengulangi terapi-terapi itu. Kemudian Maja berusaha mengerti dan dia bisa merasakan seluruh tulus perasaan Maja untuknya. Tapi justru hal itu yang membuat dia tambah terluka. Maja makin mendekatkan tubuh mereka sambil membisikkan kata-kata yang dia suka. Bukan tentang cinta, tapi tentang janji Maja untuk selalu berada disisinya. Juga tentang dirinya yang tidak sempurna, tapi Maja tetap akan selalu memilihnya. Lagi dan lagi.

***

Benny menatap bawahannya yang sedang melapor. Pendapatan terbesarnya bersumber dari perjudian online dan perjudian kelas besar. Kekayaannya melimpah ruah hingga dia bisa berlindung dari hukum dan membeli beberapa pejabat tinggi hingga usahanya ini tidak tersentuh.

"Dia makin lihai dan bermain aman," ujar anak buahnya.

"Karena saya belum turun tangan," senyumnya licik. "Perusahaannya sudah berdiri tegak lagi. Anak laki-lakinya pintar sekali. Kita harus mengurasnya seperti dulu. Hmmm..."

"Hati-hati, hubungan Hadijaya dan Daud membaik. Anak-anak mereka bersahabat. Salah-salah Bapak Besar bisa turun tangan dan bubarkan kita."

Dia tertawa. "Itu dulu, bodoh. Sekarang kita punya Hartono di belakang kita. Lagian si bocah ingusan pengganti Bapak Besar sedang sibuk dengan Gumelar. Jadi kita bisa bermain-main sebentar dengan Hadijaya," kursi besar dia putar. "Carikan saya jadwal kegiatan putrinya yang manis. Mungkin dia mau bertaruh lebih besar demi putrinya, biar sedikit seru."

Anak buahnya mengangguk lalu keluar ruangan.

***

Satu demi satu masalah ke luar dari persembunyiannya. Stay tune yah. Mood menulis belum lancar banget nih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance