Part 27 - Will you stay?
Nggak tega biarin kalian penasaran. Yak, apakah benar tebakan kalian di IG? We'll see. Enjoy, Genks!
***
Selama ini, dia tidak memiliki banyak teman. Karena seluruh hidupnya yang sudah dijadwal dan direncanakan. Dia tidak pernah mengeluh, malahan sudah sangat terbiasa dengan hal itu. Hanya Adeline yang selalu menjadi oase di tengah hidupnya yang sepi. Tapi kemudian wanita ini muncul tiba-tiba. Menariknya ke dalam pusaran dunia yang berbeda. Jadwalnya berantakan, perasaannya jungkir balik tidak menentu. Bahkan perjanjian yang sudah dia buat dan pikirkan matang-matang tidak bisa mencegah dirinya untuk tenggelam ke dalam pusaran itu. Herannya lagi, dia tidak berusaha untuk melepaskan diri. Dia terus mendekati pusat bahaya, dia terus berada di sekeliling Dayana. Tidak bisa pergi. Oh bukan, tidak mau pergi. Wanita itu seolah matahari. Sekalipun cahayanya menyilaukan, tapi tidak bisa berhenti dia tatap.
Pembicaraannya dengan Rendy membuat dia berpikir tentang banyak hal. Pertanyaan Rendy padanya tentang apa bentuk perasaannya pada Daya. Apa benar dia mencintai Daya? Bukan hanya rasa empati yang tinggi saja disusul dengan rasa nyaman karena tinggal bersama? Bisakah dia kehilangan Daya, seperti Rendy bisa melepaskan Daya asal wanita itu bahagia? Pertanyaan itu terus berputar tanpa jawaban. Seiring kakinya yang menginjak pedal gas dalam-dalam. Sudah terlalu lama dia tidak berkendara sendiri. Jadi kali ini deruman mesin bisa sedikit menenangkan hati. Dia tidak mengerti kemana harus bercerita. Adeline tidak boleh tahu soal ini. Jadi setelah berputar-putar kota, dia tiba di satu-satunya tempat yang dia tahu dan pernah kunjungi dulu.
Belum terlalu ramai saat dia tiba. Jadi dengan mudah dia mendapatkan meja. Dia harus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berulang di kepala. Atau dia sendiri tidak bisa maju, tidak bisa menemui Daya. Atau mungkin dia terpaksa membiarkan Daya pergi agar wanita itu bahagia. Daripada bersama dia yang hanya bisa menawarkan sementara. Tapi apa dia masih ingin 'sementara' itu berlaku? Apa yang dia mau sesungguhnya? Sebesar apa perasaannya untuk Daya?
Gelas-gelas minuman datang dan yang dia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk mengusir Denta pergi dari pikirannya dulu. Kemudian Felicia datang. Ya, ini tempat langganan Felicia. Salah satu wanita kaya lain yang manja, dan hidupnya benar-benar bermasalah. Dia membiarkan Feli duduk di mejanya karena mereka sama-sama kesepian.
"Nggak nyangka ketemu lo di sini," kekeh Feli sambil menyalakan rokoknya.
Tangannya terulur meminta rokok itu. Dia ingin berbuat sesuka hati malam ini. Asap dia hisap dalam dan hirupan pertama dia terbatuk-batuk. Itu membuat Feli tertawa.
"Anak baik-baik. Ada apa? Hidup lo udah sama ancurnya kayak gue?"
"Saya ijinkan kamu duduk di sini, bukan karena saya mau kamu bicara," hisapan ketiga dan selanjutnya dia mulai terbiasa. Minuman dia teguk lagi.
"Urusan sama Benny udah selesai?" tanya Feli.
"Kamu tahu?" dahinya mengernyit heran.
"Hey, hey, bukan papa lo aja yang punya masalah. Heru Tanudibya biangnya masalah," Feli menyebutkan nama ayah Feli sendiri yang memang punya banyak isu. Mata Felicia meliriknya. "Istri lo mana? Ha, lo lagi berantem ya?"
Rokok terus dia hirup dan minuman dalam botol dia tuang lagi. Tubuh dia senderkan tidak peduli pada Feli dan tatapan usil wanita ini.
"Mau gue panggil Angie ke sini?" kekeh Felicia. "Siapa tahu bisa hot kayak dulu lagi kan."
Mata dia pejamkan. Felicia akan diam jika dia terus abaikan. Kemudian pertanyaan-pertanyaan itu berputar lagi. Jadi bagaimana ini, Maja? Apa yang kamu mau? Apa yang kamu rasakan dengan Daya?
***
Basri datang pukul dua pagi karena akhirnya dia mengaktifkan ponsel. Kepalanya berat sekali dan dia tahu dia tidak bisa berkendara. Felicia sudah tidak sadar dan tergolek di sofa dekatnya. Dia menatap Felicia. Hidup wanita ini sepi, jadi Feli terus berlari dari satu laki-laki ke laki-laki lain. Karena rasa simpati dia menggendong tubuh Felicia bersama Basri. Menaikkannya ke dalam mobil dan mengantar wanita itu pulang.
"Nyonya benar-benar khawatir pada anda, Tuan," ujar Basri dari kursi depan saat mereka sudah selesai mengantarkan Felicia.
Kepala yang penat dia senderkan ke belakang.
"Berkali-kali Nyonya menghubungi saya. Nona Tari dan Agam juga dia minta untuk mencari Tuan."
Matanya menatap ke luar jendela. Dayana, saya harus bagaimana? Apa kamu bahagia saat bersama saya? Apa yang kamu rasa untuk saya?
Mereka tiba pada pukul empat pagi. Pintu rumah dia buka. Ibu Sarni sudah berdiri di dekat meja makan dan memberikannya segelas air hangat.
"Nyonya sedih sekali dan terus menunggu Tuan hingga saya harus memaksanya untuk masuk ke kamar."
"Terimakasih, Bu," kepala dia pijit perlahan. Kemudian dia berdiri dan melangkah perlahan untuk masuk ke dalam kamar mereka.
Daya tidur miring di sofa, menunggunya. Apa benar begitu? Basri dan Ibu Sarni tidak pernah berbohong sepanjang yang dia tahu. Tubuhnya sudah duduk di lantai menghadap pada wajah Daya. Semua kenangan mereka berputar ulang. Bagaimana mereka bertemu, bagaimana mereka berbulan madu yang isinya hanya bertengkar saja, lalu bagaimana mereka mulai dekat dan terbiasa. Kemudian mereka bicara dengan cara mereka sendiri. Bertengkar, tapi selalu bisa berkompromi. Atau mengobrol berjam-jam, tanpa menghiraukan waktu.
Jarinya menyisir rambut Daya satu-satu. Kemudian menyentuh pipi Daya lembut. Daya menangis karena traumanya, lalu tertawa, lalu meledeknya, lalu terluka karena kenyataan hubungan dia dan Angie dulu. Daya cemburu, seperti dia yang menggila ketika mendengar Rendy bersama Daya. Dahi dia letakkan di kepala Daya yang miring menghadapnya. Dia jatuh cinta pada wanita ini. Itu sudah jelas, pasti. Dia terlambat menyadari tapi akhirnya bisa menyimpulkan sendiri. Selama ini dia hanya berusaha untuk berlari dan bersembunyi dibalik kontrak yang dia selalu sesali.
Tapi bagaimana dengan Daya? Apa Daya merasakan hal yang sama? Atau Rendy sudah berhasil membujuk Daya untuk pergi meninggalkannya? Kenapa Daya bercerita tentang kontrak mereka pada Rendy? Apa karena Daya tidak bahagia bersamanya? Apa?
Pelipis Daya dia cium perlahan. Kenapa rasanya sesak begini? Bukan hanya Rendy, dia juga ingin Daya bahagia. Tubuhnya sudah berdiri dan mengambil posisi tidur di belakang Daya. Selalu begitu semenjak kecelakaan di atas kapal itu. Dia tidak ingin jauh dari Daya lagi.
"Maja?" tubuh bergerak di pelukannya.
"Hmm. Saya marah sama kamu, Daya," bisiknya. Marah karena segala yang dia rasa dan tidak bisa dia ucapkan begitu saja. Marah karena dia membiarkan Rendy berada di tengah-tengah mereka. Dia marah pada dirinya sendiri yang bodoh begini.
"Kamu minum?" mata Daya masih terpejam.
"Kenapa...kamu cerita pada laki-laki brengsek itu? Kamu...mau...ninggalin saya?" tanyanya sambil mencium puncak kepala Daya. Jika dia bisa, dia ingin mengikat Daya agar wanita ini tidak kemana-mana.
"Hmm? Maksudnya?" kesadaran Daya belum kembali. "Besok ya. Yang penting kamu pulang...kamu di sini."
Kalimat terakhir Daya membuat dadanya menghangat. Daya benar-benar menunggunya. Tanpa dia duga Daya membalik tubuh dan menenggelamkan kepala Daya pada dadanya. Dua tangannya sudah merengkuh Daya erat, lalu dia berbisik. "Jangan kemana-mana. Jangan tinggalin saya...Dayana."
***
Keesokan pagi, mereka bangun dan bertengkar. Ya, mereka berdua sangat ahli perihal itu. Daya mengamuk dan menuduh dia tidur dengan wanita lain. Wanita yang mana? Terkadang Daya bisa bodoh sekali dan itu membuat dia marah juga. Tuduhan Daya sungguh membuatnya emosi. Daya menangis dan terlihat sangat sakit hati. Saat itu dia mulai bertanya-tanya lagi. Apa Daya bahagia dengannya? Dia selalu membuat Daya sakit hati kan?
Pertengkaraan kali ini membuat dia sadar sendiri. Bahwa dia harus tahu, apa yang sesungguhnya Daya rasakan untuk dirinya. Sekalipun dia mengerti, bahwa besar kemungkinan Daya pergi meninggalkannya.
"Saya ingin memberikan kamu pilihan, Daya. Kamu bisa pergi sekarang, meninggalkan saya. Kontrak saya batalkan, tidak ada," Dia membasahi bibirnya. Jantungnya berdetak lambat sekali. "Atau kamu bisa tinggal, di sini, bersama saya. Tapi ketika kamu memutuskan untuk tinggal, kamu tidak bisa kemana-mana lagi. Saya tidak akan melepaskanmu lagi...selama-lamanya."
Sudah, sudah dia katakan semua yang ingin dia katakan sejak semalam. Tentang apa yang dia rasa untuk Daya, tentang apa yang sesungguhnya dia inginkan. Daya berdiri dengan mata basah dan ekspresi yang tidak terbaca, menatapnya setelah menatap pintu kamar mereka yang sudah dia buka lebar di belakangnya. Dia bukan laki-laki egois dan tukang paksa. Sekalipun yang dia inginkan adalah membujuk Daya agar wanita ini tinggal. Tidak pergi, tidak jauh darinya. Tapi mulutnya bungkam. Pilihan dia buka lebar. Dia benci ditinggalkan, tapi dia malah memberi pilihan pada wanita yang dia cinta untuk pergi. Aneh bukan?
Daya terlihat sedih sekali, karena air mata Daya terus meluncur di pipi. Jadi dia sudah mengerti saat Daya berjalan ke arah pintu melewati tubuhnya yang masih tegak berdiri. Ya, mungkin dia memang harus selalu sendiri, agar tidak sakit hati lagi begini. Nafas dia hirup dalam saat menatap Daya yang sudah berdiri di dekat pintu. Tangannya mulai bergetar karena sesak di dada. Kamu laki-laki, Maja. Nantinya kamu akan bisa berdiri lagi.
"Will you stay?" bisiknya, mengakui ketidak berdayaan-nya sendiri di hadapan wanita ini.
"Pintu ini, yang jadi masalahmu kan?" Dua tangan Daya menggenggam handle pintu di belakang tubuhnya, kemudian tubuh Daya melangkah mundur ke belakang. Bunyi klik sudah terdengar, saat pintu itu tertutup lagi.
Selama beberapa saat dia menatap Daya tidak mengerti, berusaha mencerna. Kemudian jentikan kesadaran membuat otaknya bekerja lagi. Refleks kakinya melangkah lebar dan dia merengkuh pinggang Daya cepat. Lalu buncahan rasa membuat tubuhnya seperti bergerak sendiri. Dia mencium Daya dalam-dalam. Membiarkan Daya tahu besar perasaannya untuk Daya. Wanita itu membalas dengan sama hangat. Ya, Daya memilih untuk tinggal, bersamanya. Daya merasakan apa yang dia rasa. Perasaan bahagia membuat dia tidak mau berhenti. Jadi dia bisa terus merasakan wanita ini.
"Ini noda apa, Maja?" tangan Daya berada di bagian atas kemejanya.
"Setelah ini kamu bisa telpon, Basri. Kamu lebih percaya dia kan?" leher Daya dia cium lagi.
Tubuh Daya tiba-tiba kaku. Daya menatapnya mencari jawaban.
Dia berhenti sejenak. "Saya nggak tidur sama siapapun, Daya. Saya sudah punya istri yang keras kepala sekali di rumah. Sumpah. Setelah ini saya telpon Basri untuk jelaskan padamu."
"Setelah apa?" nafas Daya hirup dalam. Kemudian mata Daya berubah jenaka.
Pertanyaan Daya dia jawab dengan geraman saja, kemudian dia kembali bergerilya. Kancing piyama satin Daya sudah dia buka.
"Maja, saya punya banyak meeting..." Daya mulai terkekeh geli karena ulahnya.
Bibir Daya dia bungkam dengan ciuman dalam. "Berisik." Kemejanya dia tanggalkan. Daya harusnya tahu apa yang dia inginkan sekarang.
"Maja, saya serius," piyama Daya juga sudah tanggal dan Daya sedang berusaha melepaskan diri darinya sambil tertawa kecil. "Paling enggak saya telpon Tari dulu."
"Nanti aja," tubuh Daya dia dorong perlahan ke arah tempat tidur sambil terus dia rasakan.
"Majaaa..." Daya berusaha menjauhkan tangannya karena terus bergerilya.
"Bisa diem dulu nggak?"
"Maja, pelan-pelan."
Daya tertawa geli lagi dan itu membuat dia berhenti sejenak. Ya, sedari tadi dia hanya melihat air mata Daya saja. Sekarang dia ingin menikmati senyum Daya untuknya. Bahu Daya sudah terbuka lebar menyisakan pakaian dalamnya, mata Daya mengerjap perlahan, lengkap dengan sisa senyum setelah tertawa geli tadi. Senyumnya sendiri otomatis ikut terkembang.
"Kamu bau rokok dan alkohol. I hate those two," ujar Daya.
Jari-jemari Daya menyentuh wajahnya perlahan. Menyusuri dahi, lalu rahang wajahnya, kemudian pergi ke hidung lalu turun ke lehernya. Mereka masih berdiri dengan dia yang memeluk tubuh Daya.
"Apa kamu yakin dengan keputusanmu?" tanyanya. "Remote pintu sudah saya sembunyikan. Jadi pertanyaan tadi hanya retoris saja, tidak lagi jadi pilihan."
Daya terkekeh lagi. "Kalau begitu, jangan buat saya menyesal."
Dia diam, menikmati kedekatan mereka. "Jadi bukan Rendy? Ini kesempatan terakhir."
"Tidak pernah Rendy, dasar bodoh," jawab Daya sambil menatapnya dalam.
Jika sejak semalam dadanya terasa sesak dan sakit, saat ini dia tidak bisa menahan seluruh perasaan bahagia yang bercampur dengan keinginan untuk memiliki Daya. Hanya untuknya saja.
"Kamu tahu pintu itu baru akan terbuka paling cepat besok pagi kan?" wajah dia dekatkan.
Daya mengangguk perlahan. "Maja..."
"Hmm?" dia berhenti sejenak.
Bibir Daya gigit ragu-ragu. "Untuk saya...kamu yang pertama."
Kejutan yang lain, tapi dia hanya mengangguk perlahan. Padahal dalam hatinya sudah bersorak gembira.
"Saya boleh tetap telpon Tari nggak? Ada banyak meeting yang saya harus jadwal ulang...hari ini" wajah Daya bersemu merah. Serba salah.
Itu membuat dia tambah gemas. Dia mendekatkan wajahnya lagi pada Daya, lalu mencium bibir Daya lembut. "Boleh, setelah ini."
Dia bergerak perlahan, hati-hati. Karena dia tidak ingin menyakiti Daya. Jari-jarinya menelusur lembut, membuka satu demi satu. Lalu menjatuhkan pakaian mereka ke lantai. Tangan Daya berpegangan padanya, dia suka. Hah, dia tergila-gila dengan seluruh reaksi tubuh wanita ini. Mata Daya sesekali terpejam, lalu nafas Daya yang tertahan, juga ekspresi jujur dari wajah Daya yang baru pertama kali dia lihat begini. Ini indah, ini sempurna, ini adalah bahagia sesungguhnya.
***
Mereka berbaring berhadapan dengan satu selimut menutupi tubuh mereka. Hari sudah siang, namun baik dia dan Maja enggan beranjak kemana-mana. Dia menatap Maja sambil tersenyum kecil. Entah kenapa dulu dia tidak merasa begini bahagia. Dadanya hangat, juga perutnya yang terus geli mengingat apa yang Maja lakukan padanya tadi.
"Jangan senyum-senyum begitu. Serius. Saya pingin lagi," Maja mengecup pipinya cepat lalu mendekatkan tubuh mereka di balik selimut.
"Aku mau kamu yang cerita. Kemana semalam?" ujarnya mengalihkan perhatian Maja.
"Kamu sudah tebak tadi."
"Jadi kamu tidur..."
"Saya ke bar, Daya. Itu benar. Bukan bagian tidur sama perempuan."
"Aku bisa bedakan warna noda pakaian, Maja."
"Saya ketemu Felicia di sana."
"Jadi sekarang Felicia, bukan Angelina? Wow kemajuan."
Tanpa dia duga Maja mencium lehernya kecil-kecil dan itu membuatnya tertawa geli. "Maja, aku serius pingin ngomong." Tangannya berusaha menjauhkan tubuh Maja yang sudah menempel erat padanya.
"Kamu yang minta aku cerita dan kamu sendiri yang nggak percaya," Maja menatapnya.
Senyumnya mengembang lebar. "Tadi bilang apa?"
Dahi Maja mengernyit tidak mengerti. Tapi kemudian Maja tahu apa yang dia maksud. Kemudian Maja tertawa kesal. "Itu refleks."
"Refleks yang bagus. Coba bilang lagi," godanya usil. "A-ku. A-ku."
Kepala Maja sudah masuk ke dalam selimut untuk mengganggunya. Dia tertawa sambil berusaha menjauhkan Maja. "Setop, aku geli. Majaa...ahahaha."
"Kamu ngeledek lagi, saya beneran marah," akhirnya Maja berhenti.
"Aaah, penonton kecewa. A-ku-nya mana?" kekehnya lagi.
Maja mencium pipinya agar dia berhenti meledek. Lalu pergi ke pundak dan berakhir di lengannya.
"Aku harus telpon Tari. Boleh ya?"
Tangan Maja terulur mengambil ponsel milik Maja sendiri yang tadi jatuh ke lantai bersama pakaian mereka. Kemudian Maja memberikan benda itu padanya. Tangan Maja sudah menopang kepala sambil berbaring miring, menunggu dia selesai menelpon.
"Siang, Pak." Tari mengangkat di dering pertama. "Apa Bapak sudah hubungi Mba Daya?"
"Ini saya, Tari," dia berdehem sejenak sementara Maja tersenyum kecil mendengar kalimat Tari.
"Ya ampun, saya cemas. Pak Maja nggak apa-apa kan, Mba?"
"Saya baik-baik, Tari. Terimakasih," ujar Maja tiba-tiba
"Tari, saya baru bisa bekerja besok. Jadi..."
"Minggu depan, Tari. Daya akan masuk minggu depan," potong Maja dan langsung dia pukul dadanya.
"Iya nggak apa-apa kok, Mba. Semua baik-baik aja. Mba dan Bapak istirahat aja dulu," ujar Tari.
Tubuhnya ingin duduk namun tangan Maja menariknya lagi. "Kalau ada yang penting jangan ragu telpon saya, Tari."
"Iya, Mba. Tenang aja."
Sambungan dia sudahi lalu dia mencubit pinggang Maja kesal. "Lain kali nggak boleh main potong begitu. Gimanapun aku itu..."
Mulutnya sudah dibungkam Maja lagi. Dia ingin protes, atau marah. Tapi mana bisa. Maja sudah membawa pikirannya pergi.
***
Telpon dari bosnya sudah Tari tutup. Senyumnya mengembang lebar. Karena entah kenapa dia yakin Daya dan Maja sedang berbahagia. Mungkin akhirnya mereka menyadari perasaannya dan jatuh cinta.
"Mba Tari, jadi Pak Maja nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Fina si sekretaris Maja yang baru. Tadi Fina panik sekali dan menghampirinya karena ponsel Maja masih tidak bisa dihubungi.
"Enggak, udah santai aja," mata Tari menatap Fina dari atas sampai bawah. Karena baru sadar ada beberapa karyawan laki-laki yang memperhatikan sekretaris Maja itu. "Fin, sini duduk. Gue kasih tahu."
"Iya, Mba?"
"Jangan salah paham kalau gue bilang begini. Tapi, pakaian lo berlebihan, Fin. Maksudnya, rok lo terlalu pendek, dan perfume lo kebanyakan. Gue paham lo cantik, tapi saran gue lebih baik nggak berlebihan begini."
"Pak Maja kemarin juga bilang begitu, Mba. Tapi baju-baju saya emang begini. Saya harus gimana dong, Mba?" ujar Fina bingung.
"Ya benerin penampilan lah," Tari melirik jam di tangan. Dia masih punya satu setengah jam hingga meeting selanjutnya. "Duduk sini," dengan sigap dia mengeluarkan tas make up. Fina sudah duduk di hadapannya lalu dia mulai menghapus make up yang berlebihan dari wajah manis Fina.
"Muka kamu tuh nggak bermasalah, udah putih dan mulus. Jadi nggak perlu pakai eye shadow yang mentereng warnanya," dia terus memberikan masukan sambil bekerja.
Fina mendengarkan dengan seksama. Bertanya padanya tentang warna apa yang cocok untuknya, juga tips-tip berpakaian agar bisa berpenampilan lebih baik. "Mba, kemarin Pak Agam telpon saya."
Sejenak tangannya berhenti bergerak. "Oh, apa kabarnya dia?"
"Lagi sibuk sama proyeknya. Kayaknya sampe kurang tidur segala. Tapi Pak Agam nanyain Mba ke saya."
"Hmm..." dia tidak mau mendengar ini. Tangannya terus bergerak pada wajah Fina.
"Dia tanya bagaimana kabar Mba. Juga apa Mba masih suka makan di kantin, terus Mba pulang jam berapa sekarang ini. Masih pulang malem nggak. Ya, saya jawab apa yang bisa saya jawab aja," Fina diam lagi. "Mba masih marah sama Pak Agam ya?"
"Enggak. Gue biasa aja kok."
"Tapi Pak Agam bilang kalau Mba belum angkat telponnya lagi, dan nggak bales pesannya."
"Hmm..." lipstick Fina sudah dia ganti dengan warna yang lebih nude. "Selesai deh," tangannya mengambil kaca di meja kerja lalu menunjukkannya pada Fina.
"Aaaah, bagussss. Kok bisa gini sih?" Fina menatap wajah wanita itu sendiri di kaca dengan tatapan tidak percaya. "Makasih banyak ya, Mba. Sebentar aku inget-inget dulu tadi Mba pakai-in aku apa. Boleh aku foto ya."
Tari mengangguk saja. Kalimat Fina tadi sudah menempel di kepala. Ya, dia memang tidak mengangkat telpon Agam atau membalas pesan laki-laki itu jika bukan soal pekerjaan. Sejak sambungan ponsel di malam itu dia terus menghindar dari Agam. Lebih baik begini.
"Tari, jadi makan malam kan nanti?" kepala Dion sudah menyembul di kubikal nya.
"Mau makan dimana?"
Fina memperhatikan mereka.
"Ada tempat bagus. Gue udah booking. Abis meeting terakhir kita jalan ya?"
"Tapi nggak bisa malem-malem, ya. Besok kita ada jadwal pagi dan Mba Daya nggak bisa ikut," ujarnya. Akhirnya dia mengiyakan ajakan lama Dion untuk makan malam. Karena Dion selalu bertanya.
"Iya," mata Dion menatap Fina. "Eh, ada tamu. Fin, kalau pake rok jangan kependekan. Nggak enak diliatnya."
"Iya nih, Pak. Lagi belajar sama Mba Tari biar bisa lebih baik," senyum Fina mengembang menatap Dion.
Dion pamit sopan kemudian berlalu. Fina menggeser duduknya mendekat. "Mba, Pak Dion udah punya pacar yah?"
"Belum. Kenapa?"
Fina tersenyum lebar. "Enggak. Nggak kenapa-kenapa."
Tari terkekeh geli melihat ekspresi Fina. "Kamu suka ya?"
"Yah abis. Pak Agam udah kepincut Mba Tari, aku cari yang lain aja laah."
"Eh, eh. Agam udah tunangan."
Dahi Fina mengernyit. "Mba salah nih. Pak Agam udah lama putus sama pacarnya yang cantik itu."
Gantian dia yang terheran-heran. "Kamu yang salah. Agam cinta mati sama Sherly, Fin."
"Mba yang salah. Aku itu satu kampus sama Pak Agam. Waktu ada acara reuni beberapa bulan lalu, Pak Agam datang sendirian dan bilang ke temen-temennya, kalau dia udah nggak tunangan."
"Nggak mungkin dong..."
Ponsel Fina berbunyi. "Mba, aku balik ke atas ya. Pak Yusri nyariin. Makasih banyak ya, Mba. I love you, Mba Tari."
"Fin, roknya turunin dulu," ujarnya saat Fina berlari pergi.
"Udah mentok, Mba. Besok aja aku ganti," Fina sudah menghilang di balik koridor.
Dia duduk terhenyak berusaha mengingat-ingat. Agam tidak bilang sama sekali tentang status terbarunya dengan Sherly. Ya memang semakin ke sini Agam makin jarang bercerita tentang Sherly. Hanya bergurau saja soal wanita itu. Tapi tidak benar-benar berkeluh kesah tentang hubungannya. Padahal dulu, setiap hari ada-ada saja cerita Agam perihal Sherly. Lalu, kejadian terakhir saat dia membatalkan makan siang mereka, Agam juga tidak membantah. Kenapa jadi aneh begini sih?
***
Sejak kemarin dia berada di Jakarta. Tapi besok sudah harus kembali ke Surabaya. Jadi ini rasanya memimpin proyek sendiri dengan team-nya sendiri. Waktunya yang dulu selalu mengikuti Admaja – bosnya. Sekarang seolah berlari namun dalam genggamannya. Dia mencintai perkerjaan ini dan sungguh sudah merasa nyaman setelah bekerja bertahun-tahun di Digjaya. Bagaimanapun suram waktu kerjanya dulu, dia tetap bersyukur karena dengan begitu dia bisa belajar langsung dari Admaja. Ya, bosnya itu luar biasa pintar dan benar-benar memiliki etos kerja yang baik.
Karena seluruh jadwal yang menyita, dia baru selesai pukul tujuh tiga puluh. Padahal sedari tadi dia ingin sekali pergi ke bawah ke kantor Tari. Meja Fina dia dekati.
"Fin, coba cek ke Pak Maja. Siapa tahu beliau besok butuh apa-apa. Jadi kamu bisa siapkan malam ini."
Ekspresi Fina berubah putus asa. "Pak Maja cancel semua meeting dua hari ke depan dan minta saya pindahin ke minggu depan," layar komputer sudah Fina putar agar dia bisa melihat. "Tapi Pak Agam liat sendiri nih. Jadwal Pak Maja padat banget minggu depan. Aduuuh...ini gimana ya, Pak?"
Dia mencermati jadwal-jadwal Maja dan memberi tahu pada Fina mana meeting yang sangat penting dan melibatkan VIP, dan mana yang Maja tidak perlu datang. Fina mengangguk-angguk mendengarkan.
"Ah, jadi tiga meeting aja yang saya jadwalin pindah ke minggu depan. Haaahhh....legaa. Saya pikir semuanya. Makasih ya, Pak," ujar Fina. "Bapak udah ketemu Mba Tari hari ini? Mumpung masih di sini."
"Ini mau ke bawah."
"Oh, Mba Tari mah malam ini ada dinner sama Mas Dion. Tadi janjian depan aku."
Dion, salah satu direktur Digicom. "Mereka pacaran?" nadanya sedikit aneh. Karena dadanya terasa ngilu.
"Mmm, nggak sih harusnya. Karena tadi aku nanya sama Mba Tari apa Mas Dion udah punya pacar. Mba Tari bilang belum. Berarti enggak kan?" jawab Fina polos.
Kepalanya mengangguk perlahan. "Kamu tahu mereka makan dimana?"
"Yah, nggak tahu. Tapi setahu aku Mba Tari nggak bisa lama-lama malam ini. Besok pagi meeting soalnya. Jadi saran aku, Pak Agam tunggu Mba Tari pulang aja di apartemennya."
"Oke, makasih, Fin. Kamu juga pulang. Jangan kemaleman," dia pamit sopan.
"Pak Agam..."
Tubuhnya berbalik lagi.
"Semangat! Jodoh itu dikejar, Pak. Jangan dicuekin. Nanti disamber Mas Dion loh," senyum Fina jenaka.
Dia hanya mengangguk kecil kemudian berlalu dari sana.
Cepat-cepat dia melangkah ke basement bawah. Mobil dia lajukan ke arah apartemen Tari. Setelah sebelumnya dia membeli makanan cepat saji dua porsi. Ini dibeliin dua ya, Nyonya. Jangan marah-marah lagi. Lah, kan Tari abis dinner, Agaam. Akhirnya dia memesan es krim dan apple pie untuk Tari. Jadwal Tari juga sedang sama sibuknya seperti dia. Karena Mba Daya juga memberikan proyek Digjaya pada Tari dan Dion. Biasanya wanita gila kerja seperti Dayana itu akan terus online hingga pukul satu malam. Jadi siapa tahu Tari kelaparan nanti.
Selama satu jam dia menunggu di dalam mobil sambil makan makanannya sendiri. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh saat dia memutuskan untuk naik ke lobby dan menunggu Tari di sana. Lima belas menit waktu berlalu dan sedan perak Dion masuk ke teras lobby. Dia menatap mobil itu dari jauh, dan pemandangan yang dia tidak duga terpampang di sana. Mereka berpamitan, lalu berciuman.
Tubuhnya berdiri terpaku menatap itu semua. Kantung makanan dalam genggamannya dia remas tanpa sadar. Dadanya terasa benar-benar sakit. Ini bukan cemas, bukan marah, bukan khawatir. Ini cemburu. Padahal dulu dia selalu berpikir bahwa praduga bosnya atas Rendy sedikit berlebihan. Sekarang dia mengerti, bahwa cemburu bisa benar-benar menyesakkan begini.
Pergi dari situ, Agam.
Kantung makanan dia berikan pada salah satu security di sana. Kemudian dia melangkah cepat turun ke lobby. Berusaha mengabaikan apa yang dia lihat dan rasa malam ini.
***
Ditutup dengan Tari-Agam yang lagi drama sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro