Part 26 - Do you?
Tanggal untuk peluncuran proyek Digjaya makin dekat, hingga kesibukan Digicom berkali lipat lebih tinggi. Tim Daya bagi dua, Dion dan Tari yang akan menangani Digjaya langsung. Reza dan Melly yang menangani klien yang lain. Sementara dia sendiri memonitor segalanya dan membantu jika kesulitan terjadi.
Pembicaraannya beberapa hari yang lalu dengan Maja perihal apa yang Maja rencanakan untuk Agam menarik minatnya. Ya, Maja sudah menyiapkan career path yang jelas untuk Agam. Itu sedikit mengejutkannya, karena dia pikir Maja yang sulit sekali percaya dengan orang tidak memiliki rencana itu untuk Agam. Maja bahkan sudah merencanakan untuk melepaskan Agam. Bukan karena Agam tidak bagus, tapi justru sebaliknya. Maja bisa melihat potensi pada diri Agam setelah bertahun-tahun Maja didik sendiri.
Pengganti Agam si anak intern itu pun sudah datang dan mulai melakukan proses transisi bersama Agam. Dalam beberapa bulan ke depan Agam akan memegang proyek e-transport milik Digjaya. Proyek penting yang jika berhasil, maka bisa menaikkan profitabilitas perusahaan untuk lini bisnis lain yang sebelumnya Digjaya punya. Jika tugas itu berhasil Agam jalankan, maka Agam dengan resmi akan menjadi salah satu direktur di Digjaya, memimpin divisinya sendiri.
Semua hal itu membuat dia berpikir juga. Bagaimana dengan Tari? Kemampuan Tari bahkan lebih baik dari Agam, dia sangat yakin perihal itu. Akhirnya dia memutuskan ini sudah saatnya juga dia keluar dari zona nyamannya bersama Tari. Ya, dia sudah menunjuk Tari untuk memimpin proyek bersama dengan Dion. Agar Tari memiliki kesempatan yang sama seperti Direkturnya yang lain.
"Mba, apa saya boleh minta sesuatu?" tanya Tari saat mereka selesai meeting di dalam ruangannya.
"Ya?"
"Saya mau handle proyek bareng Reza aja, tukeran sama Melly."
Dahi Daya mengernyit. "Kenapa?"
"Saya...nggak terlalu nyaman kerja bareng Dion," bisik Tari serba salah. Seperti paham benar bahwa alasan itu adalah alasan yang pasti dia langsung akan tolak. Tapi ekspresi Tari jujur.
"Apa Dion melecehkan kamu?" dia mencoba mencari tahu.
Kepala Tari menggeleng.
"Dion mendekati kamu di luar kantor?"
Tari mengangguk perlahan, ragu-ragu.
"Apa perilaku Dion di luar kantor ke luar batas?"
"Enggak, Mba. Dion nggak begitu, dia baik kok sama saya. Saya cuma...nggak nyaman."
Nafas dia hirup dalam. "Kamu tahu kenapa saya pilih kamu dan Dion untuk tangani Digjaya."
"Agar kami belajar. Saya paham, Mba."
"Bukan hanya itu saja. Reza dan Melly sudah banyak pengalaman tangani klien besar. Kamu dan Dion berbakat. Digjaya adalah klien penting dan strategi mereka adalah strategi pemasaran yang benar-benar unik. Beberapa ide bahkan datang dari kalian berdua. Saya mau kalian mewujudkan ide-ide kalian sendiri di lapangan. Apa yang lebih baik dari itu?" Daya diam sejenak. "Saya nggak mau kamu stuck jadi sekretaris saya, Tari. Kamu terlalu pintar. Bukan karena saya nggak sayang sama kamu. Tapi justru karena saya peduli. Saya mau kamu jauh lebih maju dari saya. Mungkin buka kantor marketing untuk bersaing dengan saya nanti."
Ekspresi Tari makin serba salah. Dia memberi Tari waktu untuk bicara karena melihat perubahan ekspresi Tari yang tidak biasa. Tiba-tiba mata Tari berkaca-kaca sambil menatapnya.
"Jadi Mba sayang sama saya?" bisik Tari.
"Saya peduli sama kamu, Tari," dia menutupi perhatiannya pada Tari. Tidak mau anak buahnya ini jadi besar kepala karena itu.
Lalu hal lain yang tidak terduga terjadi. Tari menubruk dan memeluk tubuhnya. "Makasih ya, Mba. Okey, saya nggak akan ngeluh lagi dan pisahkan antara hal personal dan professional. I will work very hard until you say you are proud of me."
Senyumnya terkembang karena hangat pada dada tiba-tiba menjalar. "Proof it to me, Tari." Punggung Tari dia tepuk dua kali lalu pelukan dia lepaskan. "Satu lagi, tolong cari pengganti kamu untuk berjaga-jaga. Karena membiasakan diri dengan saya itu nggak mudah."
Tari mengangguk semangat. "Okey, Mba."
Daya mengangguk saat Rendy mengetuk pintu ruangannya. "Selamat siang menjelang sore." Rendy tersenyum sambil membawa secangkir kopi. "Aku nggak ganggu kan? Tari, saya beliin kopi kesukaan kamu di meja."
"Makasih, Mas," Tari tersenyum serba salah menatapnya karena mungkin Tari sama terkejutnya seperti dia dengan kedatangan Rendy yang tiba-tiba. "Saya pamit keluar dulu, Mba."
Kepalanya mengangguk kecil pada Tari. "Saya punya jadwal sama kamu?" tanyanya heran. Mereka sudah berdua saja di ruangan.
"Enggak. Aku mampir karena sesi dengan dokter Andreas kamu lewatkan minggu lalu dan kamu harus ikut minggu ini," Rendy meletakkan kopi di meja kerja lalu duduk menatap Daya tenang. "Masih ada waktu satu jam dan perjalanan ke MG butuh sekitar empat puluh menit. Silahkan bereskan barang-barang kamu dan atur dengan Tari. You know what to do. Aku tunggu di sini."
"Ren..."
"Ya..."
"Aku nggak sakit, Ren. Aku baik-baik aja."
"That's exactly what most of the patient will say," sahut Rendy sabar. "Pergi ke psikiater tidak membuat kamu gila, Daya. Yes, you are crazy in the most professional way, tapi bukan 'gila' yang itu. Intinya, kamu harus sembuhkan trauma kamu, Daya."
"What makes you think you have the right to tell me what to do, Ren? Maaf kalau aku kasar, tapi aku nggak suka dipaksa," dengkusnya kesal. Dia mulai gusar karena dia sudah berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya sendiri.
"Aku peduli dengan kamu dan kesehatan lahir batin kamu. Kita teman dekat sekalipun aku benci itu. Satu lagi, aku paham kamu sudah menikah dan sayangnya aku bukan suami kamu. Tapi sudah berbulan-bulan sejak trauma kamu datang dan kamu nggak jalan-jalan ke dokter. Aku nggak bisa diam aja, Daya."
"Tapi kamu juga nggak bisa paksa-paksa begini dong, Ren."
"Okey, okey. Jadi maunya gimana? Aku harus gimana biar kamu ke dokter?" Rendy menatapnya yang masih gusar. "Daya, duduk dulu. Kalau kamu nggak nyaman datang ke sesi hari ini, aku akan jadwalkan lagi lain hari tapi masih minggu ini."
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka lagi. Ada Maja di sana yang berdiri menatap mereka.
"Lain hari, Ren," ujarnya cepat tidak mau keributan yang sama terulang lagi.
"Oke, aku cek sama Tari jadwal kamu," Rendy sudah berdiri.
Rendy berpamitan sopan padanya kemudian ingin beranjak pergi saat Maja menghentikannya.
"Saya ingin bicara dengan Rendy. Berdua saja, sekarang," Maja menatap Rendy datar, kemudian menatapnya. "Saya pinjam ruangan kamu," Maja sudah masuk.
Ini hal yang tidak Daya duga. Jadi jantungnya sudah berdebar cepat karena tidak siap.
"Saya nggak masalah. Ayo bicara," Rendy balas menatap Maja.
Kedua laki-laki itu saat ini menatapnya dan menunggu dia keluar dari ruangan. Nafas dia hirup dalam. "Kalian boleh bicara. Tapi, ini kantor saya. Jadi tidak boleh ada keributan lagi, sama sekali. Termasuk makian dan nada suara yang tinggi. Saya tidak akan mentoleransi hal itu. Do we have a deal, gentlemen?"
"Yes," jawab Rendy.
Maja menganggukan kepala. "Kamu siap-siap. Kita ke MG setelah ini."
"Kita bicara nanti," ujar Daya kemudian keluar ruangan dengan hati was-was.
***
Bolak-balik Maja melirik jam di tangan. Entah kenapa tiba-tiba dia gusar sekali setelah makan siang. Jadwalnya lebih sibuk daripada sebelumnya, pun juga Daya. Intensitas mereka untuk memiliki waktu berdua saja tiba-tiba berkurang setelah malam dimana Daya memasak untuknya. Jarang sekali mereka pulang bersama karena jadwal yang tidak cocok dan dia yang selalu pulang malam. Ketika sudah tiba di rumah Daya sudah tidur atau dia sendiri yang kelelahan. Kemudian pagi hari Daya akan berangkat lebih dulu dan meninggalkannya untuk sarapan sendirian. Ketika dia ingin protes, dia tidak tega karena memang jadwal Daya padat dan bertumpuk luar biasa. Seperti miliknya.
Sebelumnya hal ini biasa, dia malah menikmati hari-hari dimana dia sibuk sekali. Karena dengan begitu waktu berlalu cepat. Tapi kali ini dia tidak suka dengan kesibukannya sendiri. Dia merindukan Daya. Dia ingin duduk menonton TV bersama, atau sekadar sarapan pagi lalu dipakaikan dasi, atau bertengkar tentang hal bodoh dan berujung dia yang mencari alasan untuk memeluk Daya. Ponsel yang berbunyi dengan cepat dia angkat.
"Ya, Basri?"
"Tuan, saya hanya mengingatkan perihal jadwal terapi Nyonya dengan dokter Andreas hari ini."
"Bukannya besok?" tanyanya sambil memeriksa kembali jadwal di layar laptop.
"Hari ini pukul empat sore, Tuan."
Nafas dia hirup dalam. Agam mulai sibuk dengan proyek yang dia berikan. Sehingga Fina – si calon sekretaris baru belum terbiasa untuk mengingatkan dia.
"Terimakasih, Basri. Saya akan jemput Daya dan antar ke MG," sambungan dia sudahi ketika Fina masuk ke ruangan.
"Pak, maaf. Saya lupa untuk atur ulang meeting jam empat sore nanti," wanita ini menatapnya cemas.
Hrrghhhh. "Dua kali, Fina. Sudah dua kali. Atur ulang semua dari jam tiga tiga puluh..."
"Meeting jam tujuh bagaimana, Pak?"
"Jangan potong saya," nafas dia hirup dalam. "Tolong kosongkan jadwal saya dari jam 3.30 sampai akhir hari. Pindahkan semua ke sisa minggu ini. Jelas?"
"Iya, Pak."
"Fina..." dia memanggil sekretarisnya lagi. "Tidak perlu berdandan berlebihan."
Kepala wanita itu mengangguk lalu keluar ruangan. Jam di tangan dia lirik lagi. Masih pukul tiga, tapi dia makin gusar entah kenapa. Akhirnya dia menyerah lalu mengangkat ponsel dan menutup laptopnya. Dua sambungan tidak Daya angkat. Karena penasaran dia menghubungi Tari.
"Tari, Daya masih meeting?"
"Baru selesai, Pak. Tapi lagi ada tamu."
Dia sudah berjalan ke arah lift sambil menenteng tas kerja. "Siapa?"
"Itu, Pak..." ada jeda di sana. "Mas Rendy."
"Daya ada janji dengan Rendy?" pintu lift terbuka. Sudah terjawab kenapa dia gusar sekali.
"Nggak ada, Pak. Tapi Mas Rendy-nya datang untuk periksa."
"Oke, saya ke sana."
Nafas dia atur-atur satu-satu. Emosi dia redam agar dia tidak melakukan sesuatu yang bisa mempermalukan dirinya sendiri. Sekalipun yang ingin dia lakukan adalah melempar Rendyla ke luar jendela kantor Daya nanti. Easy, Maja. Pikir bagaimana cara menjauhkan Rendy. Dia terus berjalan masuk ke kantor Digicom dan menuju ruangan Daya. Tangan dia remas sendiri untuk menahan emosi. Laki-laki ini benar-benar benalu yang terus ada di antara dia dan Daya.
"Pak, saya harus jelasin dulu biar Bapak nggak marah sama Mba Daya," Tari menahannya di luar ruangan. "Ini Mba Daya juga nggak tahu kalau Mas Rendy akan datang. Jadwal Mba Daya parah banget dan Mba Daya juga mulai kecapekan. Jadi tolong, Pak. Jangan bertengkar dengan Mba Daya. Kasihan dia."
"Daya istri saya, Tari. Saya lebih tahu dia daripada kamu," pintu dia buka dan di sanalah mereka.
Rendy duduk tenang, dugaannya sedang membujuk Daya untuk pergi ke MG. Sementara Daya berdiri gelisah sekali. Wajah Daya sedikit pucat. Apa Daya lupa makan? Dia sudah berpesan pada Tari untuk menjaga Daya. Kemudian dia menatap laki-laki di hadapannya ini. Mendekati Daya dengan alasan pertemanan dan perhatian? Hah, basi. Salah Rendy sendiri yang sudah membuang-buang waktu. Membiarkan Daya sendiri hingga dia menarik Daya lebih dulu.
Daya menjawab sesuatu yang dugaannya adalah penolakan Daya untuk pergi ke MG. Kemudian ketika laki-laki ini ingin pergi, dia menahan Rendy untuk bicara empat mata. Ya, ini harus diperjelas. Sebelum dia benar-benar menyewa tim ADS untuk menjauhkan Rendy dari Daya.
Pintu ruangan Daya sudah tertutup dan blind fold sudah dia turunkan. Mereka berdiri dengan jarak dan saling menatap.
"Silahkan bicara," ujar Rendy.
"Saya tidak suka berkali-kali memaparkan fakta yang sudah kamu tahu soal status Daya. Tapi sepertinya saya harus selalu mengingatkan bahwa Daya adalah istri saya. Keberadaan kamu benar-benar menganggu terutama untuk saya," dia memberi jeda. "Alasannya adalah kamu dengan terang-terangan bilang bahwa kamu jatuh cinta dengan istri saya."
"Do you?" potong Rendy cepat.
"Do I, what?"
"Love her?" tanya Rendy tepat pada sasaran. "Sungguh-sungguh cinta Daya," nada Rendy tekan.
Ya, dia sudah tahu yang dia mau. Tapi apa dia sungguh jatuh cinta? Atau ini semua rasa pensaran dan empati yang besar saja? Ya Tuhan, kenapa pikirannya jadi kacau begini.
"Saya tidak perlu membuktikan apapun padamu," sahutnya.
"Saya mencintai Daya, hingga saya bisa melepaskan Daya untukmu. Jika..." Rendy mempertegas kalimatnya. "...hanya jika Daya bahagia denganmu dan Daya mencintaimu."
"Kami sudah menikah."
Rendy diam sejenak, rahang laki-laki itu mengeras. "Saya tidak mau bilang sejauh ini, tapi setiap kali saya melihat kalian dan apa yang kalian lakukan pada pernikahan kalian, itu membuat saya geram."
Dadanya mulai berdentum tidak nyaman. Jadi Rendy tahu tentang kontrak itu? "Apa maksudmu?"
"Lihat, bahkan ekspresimu bilang bahwa apa yang saya dengar benar," Rendy mendengkus marah. "Karena itu semuanya cepat dan aneh sekali."
"Saya masih tidak mengerti," nadanya mulai tinggi.
Rendy menatapnya emosi. "Saya tidak tahu bagaimana kamu memaksa Daya untuk menikahimu, Admaja."
"Jangan sembarangan bicara!" mereka sudah berdiri berhadapan dekat sekali.
"Saya juga tidak mau bicara begini, tapi kamu keterlaluan. Mempermainkan pernikahan dan membuat Daya seperti ini adalah dua hal yang tidak bisa saya biarkan!"
Emosinya sudah naik hingga kepala hingga leher pakaian Rendy dia tarik mendekat. "Apapun dugaanmu, Daya tetap istri saya. Daya mencintai saya dan bahagia bersama saya," desisnya. "Stay away from her."
"Buktikan. Karena saya bisa menunggu Daya bertahun-tahun lagi sampai dia lepas darimu. Tapi jika kamu bisa buktikan, saya akan pergi."
Leher Rendy dia lepas, tubuh mereka menjauh. Tangan yang bergetar dia kepal kuat. Emosi dia berusaha kendalikan sekalipun sulit sekali. Pikirannya benar-benar kalut. "Pergi."
"Ingat syaratnya, Maja. Selamat sore," Rendy sudah berlalu keluar dari ruangan.
Daya masuk dan mendekatinya perlahan. "Kamu nggak apa-apa?"
Dia menatap Daya. Wanita yang sudah memporakporandakan segala yang dia tahu. Dadanya masih berantakan, emosi juga masih meraja. Segala pikiran buruk sudah menguasai kepala. Apa Daya yang bicara pada Rendy? Darimana Rendy bisa tahu? Kenapa? Dalam perjanjian jelas-jelas mereka tidak boleh bicara pada siapapun. Apa ini salah satu siasat Daya juga? Jadi Daya ingin mempermainkan dia?
"Maja, duduk dulu ya."
Sentuhan tangan Daya membuat dia terkejut dan refleksnya adalah melangkah menjauh. "Jangan tunggu saya malam ini."
"Kamu mau kemana?"
Pergi dari sana, Maja. Kamu bisa meledak. Suara Daya terasa jauh. Seperti kenyataan hubungan mereka yang hanya di atas kontrak saja. Karena itu Daya bicara pada Rendy, karena Daya sudah siap untuk pergi darinya dan lari bersama laki-laki itu. Seperti Denta dulu. Kakinya sudah melangkah menjauh. Berusaha menepis pikiran-pikirannya sendiri. Bayangan masa lalu datang lagi. Menguasai akal pikiran hingga segala kenangan Daya seperti buram, pergi. Ketika kesadarannya kembali dia sudah berada di dalam kendaraan, melaju cepat, sendiri.
***
"Basri..." detik pertama Maja hilang dari lift, dia menghubungi Basri.
"Ya, Nyonya."
"Tolong ikuti Maja. Kemana Maja biasa pergi?" dadanya berdentum cemas.
"Ada apa, Nyonya?"
"Maja bertemu Rendy di kantor saya dan mereka bicara. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, Basri. Kemudian Maja terlihat sangat emosi tapi diam saja. Saya khawatir," bibir dia gigit sambil berjalan mondar-mandir di ruangan.
"Baik. Saya akan lacak dimana Tuan berada."
"Tolong kabari saya."
Sambungan disudahi dan ponsel Daya pijit lagi. Tari mengetuk pintu melaporkan bahwa ponsel Maja masih mati. Dia meminta Tari untuk menghubungi Agam.
"Yes?" suara Rendy di sana.
"Apa yang kamu bicarakan dengan Maja, Ren?"
Rendy diam sejenak. "Segala hal yang akan buat kamu tidak nyaman."
"Saya harus tahu, Ren. Maja pergi begitu saja. Ada apa?"
"Maaf, Daya. Kali ini saya dan Maja akan simpan sendiri. Saya sedang di jalan. Nanti saya hubungi lagi."
"Jangan..." kepalanya menggeleng kuat.
"Maksudnya?"
"Jangan pernah hubungi saya lagi. Maaf jika saya harus memutuskan ini," kalimat itu meluncur begitu saja. Kesadaran bahwa dia bisa kehilangan Maja jika terus berdekatan dengan Rendy membuat dia gila.
"Daya..."
Matanya terpejam sejenak saat air matanya jatuh satu. Dia akan melepaskan salah satu teman dekat yang berarti untuknya. Tapi ini semua harus diperjelas, atau Rendy akan terus berharap dan menunggu sementara dia tidak memiliki perasaan apapun. Nafas dia hirup dalam sebelum melanjutkan.
"Saya tidak pernah punya perasaan apapun untuk kamu kecuali perhatian sebagai teman, Rendy. Maaf, jika saya tidak pernah tegas karena saya sesungguhnya tetap ingin berteman denganmu selama ini. Tapi ternyata itu semua membuat kamu terus berharap."
Ada jeda sebelum Rendy berkata. "Jadi, apa benar ini pilihan kamu?"
"Ya. Ini pilihan saya. Terimakasih untuk segalanya, Rendy. Kamu teman terbaik yang pernah saya punya. Sungguh saya berharap kita bisa berteman seperti biasa, bahkan setelah ini. Tapi saya ingin mempertegas segalanya demi kebaikanmu juga. Jadi jangan hubungi saya lagi, jika itu akan membuatmu berharap dan menunggu saya,"
Hanya ada diam di seberang sana.
"I'm sorry, Ren. You will always be my friend," sambungan dia sudahi.
Titik air mata dia hapus cepat kemudian dia membereskan barang-barangnya. Dia ingin pulang dan menunggu Maja sambil membenahi perasaannya.
***
Saat Daya tiba dan melangkah masuk ke dalam rumah mereka, dia berdiri sejenak. Menatap seluruh ruangan dengan seksama. Maja belum tiba, dan kemungkinan tidak pulang. Dia masih menunggu kabar dari Basri dan Tari. Jika dulu dia akan baik-baik saja jika mereka berjauhan begini, saat ini semua terasa berantakan. Kesibukan mereka membuat waktu untuk bersama sedikit sekali. Tapi sesungguhnya dia selalu menunggu Maja pulang, sesungguhnya matanya sulit terpejam jika Maja belum tiba, atau bagaimana dia terbangun ketika malam hanya untuk memeriksa keberadaan Maja. Kehadiran laki-laki ini secara perlahan berubah dari kebiasaan menjadi suatu kebutuhan untuknya. Ya, dia butuh Maja.
Nafas dia hirup dalam saat dia berjalan perlahan ke kamar mereka. Pakaian dia ganti dan dia melangkah ke taman belakang. Kakinya yang telanjang bisa merasakan rumput empuk dan lembut yang dia injak perlahan. Apa yang Rendy dan Maja bicarakan? Kenapa Maja terlihat marah sekali? Biasanya Maja yang akan selalu bicara, tidak diam saja begini. Sekalipun mereka akan selalu bertengkar, namun pada akhirnya mereka bisa berkompromi. Selalu begitu. Hhhh, dia merindukan Maja.
"Nyonya, apa anda baik-baik saja?" sudah ada Ibu Sarni berdiri di teras belakang.
"Maja bilang dia tidak pulang. Apa Ibu tahu biasanya Maja kemana?"
Ibu Sarni diam sejenak, seperti mencerna. "Dugaan saya Tuan tidak pergi dinas."
Kepalanya mengangguk. "Maja seperti marah atas sesuatu yang saya tidak tahu, Bu."
Bu Sarni juga mengangguk mengerti. "Saya mengasuh Tuan sejak masih bayi. Tuan Maja ketika kecil banyak bicara dan bertanya. Kemudian seiring banyaknya tanggung jawab yang Tuan Besar berikan, Tuan Maja berubah menjadi lebih pendiam. Setelah Tuan dewasa, hanya ada dua orang yang saya tahu bisa membuat Tuan bicara seperti dulu. Anda dan Nona Adeline." Bu Sarni memberi jeda. "Jangan terlalu khawatir. Tuan adalah laki-laki baik-baik dan mungkin saat ini ingin meredakan emosinya saja, sebelum bicara lagi dengan anda. Soal kemana Tuan Maja, biasanya Basri yang lebih tahu."
Nafas dia hela perlahan. "Terimakasih, Bu."
"Makan malam di jam seperti biasa dan saya yakin Tuan Maja tidak ingin anda menunggu dengan perut kosong. Saya permisi, Nyonya," Ibu Sarni kembali masuk ke dalam rumah.
Ponsel yang sedari tadi masih dia genggam dia angkat lagi untuk menghubungi Basri. "Apa sudah ada kabar, Basri?"
"Serahkan itu pada saya," Basri diam sejenak. "Anda melewatkan jadwal anda lagi dengan dokter Andreas, Nyonya. Itu tidak baik untuk anda."
"Basri, bagaimana saya bisa berkonsentrasi kalau saya tidak tahu dimana Maja."
"Tuan sangat mampu menjaga diri."
"Apa begitu? Saya tidak mau dia terjebak ke dalam sesuatu yang akan menyulitkan dia lagi nanti," ingatannya terbang pada kasus Angie dulu. Maja memiliki kecenderungan untuk gegabah ketika sedang emosi.
"Saya mengerti, Nyonya. Percayakan pada saya. Tapi anda tetap harus mulai pergi ke dokter Andreas."
"Iya, Basri. Iya. Temukan Maja dulu. Antarkan dia pulang. Saya benar-benar khawatir."
"Baik, Nyonya. Saya kabari lagi nanti."
Sambungan disudahi dengan hatinya yang makin gusar. Dia mencoba menghubungi ponsel Maja yang masih mati. Kemudian dia menghubungi Tari lagi dan jawaban Tari masih sama, belum ada kabar. Kepalanya menenggadah ke atas langit sambil mulai bergumam dalam hati.
Kamu kenapa, Maja? Kenapa diam aja dan pergi? Kenapa nggak ngomong sesuatu? Dasar tukang marah-marah yang merepotkan. Nafas dia hirup satu-satu berusaha meredam cemas yang tidak mau pergi. Kemudian dia melangkah ke dalam.
***
Tidak ada makanan yang bisa Daya nikmati. Jadi dia hanya menelan dua suapan, lalu menggeser piringnya sambil terus menatap jam di dinding. Dia tidak pernah suka menunggu. Apalagi menunggu kabar berita dengan perasaan cemas begini. Seluruh teori relativitas tentang waktu terasa menyiksa. Entah berapa lama kepalanya menelungkup di meja makan ketika sentuhan Bu Sarni pada bahunya dia bisa rasakan.
"Nyonya, istirahatlah di kamar," ujar Bu Sarni.
Dia hanya mengangguk kecil lalu berdiri. Jarum jam dia tatap lagi. Sudah pukul sebelas malam. Masih belum ada kabar berita baik dari Tari atau Basri. Bukannya menuju kamar, dia malah sudah berdiri di jendela depan rumah. Menatap halaman depan dan berharap tiba-tiba saja mobil Maja masuk ke dalam. Selama beberapa saat dia bersikukuh berdiri di sana. Sampai lagi-lagi Bu Sarni mengingatkannya untuk menunggu di kamar saja.
Dengan enggan dia berjalan ke kamar. Duduk di sofa sambil mengangkat ponsel lagi. Basri dia hubungi dan tidak menjawab. Kemudian ponsel Maja masih mati. Lalu dia mulai menulis pesan. Ya, ya. Pesan. Kenapa tadi dia tidak kepikiran?
Daya: Pulang, Maja. Saya tunggu kamu di rumah. Kita bisa bicara baik-baik kan?
Daya: Rendy datang tanpa aku minta. Dan kamu yang minta bicara dengannya kan? Aku nggak paham kalian bicara apa. Tapi kamu nggak bisa tiba-tiba menghilang begini.
Daya: Dasar menyebalkan. Cepetan pulang!
Pesan hanya berstatus centang satu. Ya, ponsel Maja masih mati. Karena lelah menunggu dia akhirnya merebahkan tubuh di sofa, dengan satu bantal yang ternyata menyisakan wangi Maja. Seluruh campuran rasa kesal, sedih, dan cemas membuat air matanya jatuh lagi. Kenapa dia cengeng begini jika soal Maja sih? Hrrgrhhhh. Obat penenang dia ambil dari dalam tas dan dia minum cepat. Lalu dia kembali rebah di sofa. Lelah karena menunggu, bercampur cemas yang tidak kunjung reda, membuat matanya perlahan mulai terpejam.
Entah berapa lama Daya tertidur namun dia yakin hari belum pagi saat dia merasakan nafas berbau asap rokok dan minuman keras berhembus di tengkuknya. Rasa kantuk membuat dia sulit membuka mata. Kesadarannya datang dan pergi. "Maja?" bisiknya.
"Hmm. Saya marah sama kamu, Daya," Maja berbisik dekat telinga, sambil memeluknya erat dari belakang. Dagu Maja yang sedikit kasar bisa dia rasakan di tengkuknya.
"Kamu minum?" matanya masih bersikukuh tidak mau membuka. Dia berusaha tapi sia-sia.
"Kenapa...kamu cerita pada laki-laki brengsek itu?" suara Maja serak dan dalam. "Kamu...mau...ninggalin saya?"
"Hmm?" kantuknya tidak mau pergi. "Maksudnya?" kesadarannya belum kembali karena obat yang dia minum tadi. "Besok ya. Yang penting kamu pulang...kamu di sini."
Refleks dia membalik tubuh hingga benar-benar berada di pelukan Maja. Merasakan hangat tubuh laki-lakinya. Dia terlalu mengantuk, benar-benar mengantuk. Tapi Maja sudah pulang, sudah kembali. Itu satu-satunya hal yang penting, bukan yang lain.
***
Hari sudah pagi dan mata Daya membelalak melihat posisi tidur mereka. Biasanya Maja akan memeluknya dari belakang, selalu begitu. Kali ini mereka berpelukan dari depan dengan kancing kemeja Maja yang terbuka tiga, dan bajunya yang tersingkap ke atas. Otomatis dia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Maja bicara pada Rendy, kemudian marah entah kenapa lalu pergi. Bau minuman keras dan rokok bisa dia cium dari nafas Maja. "Maja. Bangun..."
Mata Maja masih terpejam. Dia mengguncang bahu Maja perlahan. "Maja, bangun." Semalam mereka hanya tidur dengan posisi yang salah dan tidak biasa. Selebihnya tidak ada yang terjadi. Hffh. Nafas dia hirup lega. Tebakannya Maja pergi ke bar semalam lalu minum-minum. Dasar manusia aneh menyebalkan. Kenapa pakai mabuk segala?
Dia ingin berdiri menjauh saat satu tangan Maja menggapainya dan menariknya mendekat lagi. Karena terkejut, tubuhnya menubruk Maja. Itu membuat posisinya berada di atas tubuh Maja. Mata laki-laki itu terbuka karena sama terkejutnya. Tapi dua tangan Maja malah menahannya di sana.
"Maja, lepasin nggak?"
"Kamu yang nindihin saya."
"Kamu yang narik saya. Kamu bau rokok, nyebelin!" dia berusaha melepaskan diri. Dadanya sudah berdentum tidak karuan karena rambut Maja yang berantakan terlihat...Dayaaaa, stop it!
Akhirnya dia berhasil berdiri dan merapihkan pakaiannya. Maja sendiri sudah duduk sambil memijit kepala dan menatapnya.
"Kamu mabuk semalam?" tanyanya.
Maja berdiri terhuyung untuk mengambil minum di meja nakas. Kemudian duduk lagi menenggak air putih banyak-banyak.
"Kamu pergi ke bar karena marah sama saya dengan alasan yang saya sendiri nggak tahu, Maja. Terus pake mabuk. Belum lagi kamu sudah bikin saya menunggu cemas, dan bolak-balik telpon Basri karena ponsel kamu mati. Are you for real?" dia bertolak pinggang kesal.
"Nggak usah ngurusin saya," jawab Maja datar saja.
"Telat ngomong begitu. Harusnya dari kemarin-kemarin," nadanya mulai tinggi.
Maja berdiri di hadapannya dan sudah sadar setelah menghabiskan setengah jar air. Ada wangi yang berbeda menguar dari kemeja Maja. Bukan rokok, juga bukan perfume milik Maja yang dia sudah hafal harumnya. Refleks dia berjalan mendekati Maja dan melihat bekas merah di kerah kemeja Maja. Otaknya langsung mengkorelasikan itu semua dengan satu hal, wanita. Foto-foto dari Angie dulu kembali terlintas di kepala. Bagaimana Maja dan Angie tidur bersama. Bekas merah itu bekas lipstik wanita. Rahangnya mengatup perlahan. Rasa nyeri yang dia kenal sudah merayap perlahan.
Maja tidur lagi dengan seseorang. Mabuk, kancing kemeja yang terbuka, noda di bajunya, kurang jelas apa lagi, Daya? Bisikan di kepala menghantam hatinya telak. Membuat kerja jantung lebih lambat dan terasa sakit sekali. Semudah itu? Sungguh? Saliva dia loloskan. Ya, dia tidak pernah menjadi seseorang yang berarti untuk Maja. Bodohnya dia.
"Kamu benar, saya yang salah. Seharusnya saya nggak ikut campur urusan kamu," tubuhnya berjalan mundur ke arah pintu. Kepalanya menggeleng keras berusaha menepis bayangan Maja dan Angie dulu, "...dan seharusnya, kamu nggak pulang, Maja. Lain kali, jangan sungkan," dia berbalik untuk melangkah pergi saat bunyi klik di pintu terdengar.
Pintu kamar itu terkunci. Dia melangkah melewati Maja yang menggenggam remote untuk keluar dari pintu kedua. Sialnya Maja sudah mengunci semua. Laki-laki itu duduk sambil mengusap wajahnya perlahan dan menghirup nafas dalam.
"Duduk dulu, Daya. Kita bicara."
"Bicara ya? Seperti kemarin kamu cuekin saya?" ujarnya dingin. Dua tangannya sudah bersedekap agar tidak mulai menghantam sesuatu. "Kemudian pergi untuk tidur dengan entah siapa?"
"Saya nggak tidur dengan siapapun."
"Kamu pikir saya anak kecil yang percaya dengan kebohonganmu begitu saja?" saliva dia loloskan. "Tapi siapa yang salah di sini? Di dalam kontrak kamu bisa tidur dengan siapa..."
"Saya tidak tidur dengan wanita lain!! Saya tidak mau lagi," teriak Maja yang juga sudah berdiri. "Kenapa kamu bicara dengan Rendy tentang kontrak sialan itu?"
"Saya-tidak-bicara-dengan siapapun, Maja!" tegasnya sambil menatap mata Maja. "Apa Rendy bilang dia tahu dari saya?"
Maja diam saja.
"Apa kamu bertanya padanya?" teriaknya. "Lalu kamu menyimpulkan sendiri kemudian pergi, mabuk, dan kembali dengan seluruh penampilan seolah kamu sudah tidur dengan siapapun di luar sana?" Air matanya sudah jatuh satu-satu. "Saya ingin percaya kamu tidak tidur dengan wanita lain, saya ingin. Tapi sulit sekali. Pikiran saya selalu kembali pada kamu dan Angie," satu tangannya menghapus air mata yang jatuh.
"Tapi lagi-lagi, tidak ada yang salah di sini," dia berusaha keras menahan laju air mata yang terus meluncur satu-satu. "Kontrak masih berlaku dan kamu boleh melakukan apa saja di luar..."
Tubuh Maja berjalan cepat menuju meja kerja. Laki-laki itu mengambil kontrak mereka lalu Maja kembali berhadapan dengannya dan merobek-robek kontrak itu. "Ini kan yang selalu jadi masalah untukmu? Saya sudah tidak menganggap kontrak itu ada sejak berbulan-bulan lalu."
Sobekan kertas sudah jatuh ke lantai. Dia menatap Maja tidak mengerti. Apa yang Maja lakukan? Jadi apa mau laki-laki ini? Untuk bersamanya? Sungguh-sungguh bersamanya? Tapi kenapa Maja tidak bicara.
"Kenapa?"
"Wow, itu pertanyaan kamu? Kenapa. Kamu selalu jadi yang paling pintar kan? Silahkan kamu cari alasannya sendiri," timpal Maja dengan raut wajah marah.
"Jadi apa mau kamu?" bisiknya serak.
Kali ini tubuh Maja mundur ke belakang, untuk membuka pintu. "Saya ingin memberikan kamu pilihan, Daya. Kamu bisa pergi sekarang, meninggalkan saya. Kontrak saya batalkan, tidak ada," Maja membasahi bibirnya. "Atau kamu bisa tinggal, di sini, bersama saya. Tapi ketika kamu memutuskan untuk tinggal, kamu tidak bisa kemana-mana lagi. Saya tidak akan melepaskanmu lagi...selama-lamanya."
Air matanya jatuh lagi karena dia mengerti apa yang Maja berusaha sampaikan. Pintu yang terbuka di belakang Maja dia tatap, kemudian beralih pada laki-laki di hadapannya ini. Laki-laki bodoh yang keras kepala, yang selalu memaksanya bicara dan terus berada di sisinya. Tukang marah dan atur-atur nomor satu, yang selalu membuatnya emosi. Mereka sudah bertemu, dan berjalan bersama tanpa disengaja. Awal yang berat, juga akhir yang sudah ditentukan membuat mereka selalu berada di antara. Kali ini Maja ingin mengakhiri keragu-raguan yang selalu berada di benak mereka. Maja menawarkan awal yang baru dan akhir yang akan mereka tulis sendiri nanti.
Jangan ditanya apa dia yakin akan keputusannya, sungguh dia tidak tahu. Hidup selalu memberikannya kejutan persis seperti saat ini. Kakinya melangkah melewati Maja, menuju ke arah pintu. Maja sendiri berbalik namun tetap berdiri di tempatnya. Setelah sampai di pintu kamar mereka, dia membalik tubuh menatap Maja. Ekspresi Maja sedih sekali, siap mengucapkan selamat tinggal.
"Will you stay?" bisik Maja sambil menatapnya.
Nafas dia hela, air matanya belum pergi. Terus jatuh, lagi dan lagi.
***
Ini namanya RCTI - Ramai Cerita Tiba-tiba Ilang.
Sabar menunggu part berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro