Part 24 - Let's talk about you
I have to agree with you, kalau cara mereka berinteraksi adalah dengan bertengkar/adu argumen. Dan begitulah mereka. Enjoy!
***
Hari berikutnya mereka sudah tidak bisa menghindari jadwal yang padat dan bertumpuk. Ya, resiko menjadi seorang professional adalah tugas dan pekerjaan tidak akan menghilang jika tidak dikerjakan. Hal itu akan menumpuk dan menunggu untuk diselesaikan. Ditambah lagi mereka berdua adalah pimpinan tertinggi. Jadi seluruh tim menunggu keputusan mereka hingga roda perusahaan masing-masing bisa berjalan.
"Pagi!" sapa Daya setelah selesai yoga pagi dan bersiap-siap berangkat ke kantor.
"Kamu bangun jam berapa?" tanya Maja heran.
"Jam setengah lima."
Mereka sudah duduk di meja makan siap untuk sarapan. Maja mengenakan kemeja abu-abu terang tanpa dasi. Jas Maja sampirkan di sofa ruang tengah, juga dasi yang belum terpasang. Daya sendiri mengenakan setelan kerja seperti biasa.
"Kamu masih belum boleh kerja, Daya," Maja menghirup kopinya.
"Saya nggak bisa libur terus, Maja."
"Saya telpon mama biar mama yang ngomong sama kamu."
Pikirannya berputar cepat. "Saya kerja sampai jam dua siang, terus pulang. Tapi kamu jangan telpon mama," satu porsi kecil salad dia mulai makan. "Gimana?"
"Enggak, kamu di rumah."
"Kemana semangat kompromi kamu?" protesnya.
Nafas Maja hirup dalam dan laki-laki itu menyelesaikan makannya. "Saya akan datang sendiri ke kantor kamu kalau jam dua kamu belum selesai. Deal?"
"Deal," dia tersenyum lebar dan Maja memperhatikannya.
Sudah pukul tujuh tiga puluh jadi mereka harus segera berangkat. Dia berdiri membereskan piring sementara Maja mulai mengenakan dasi di ruang tengah. Tas dia ambil di dalam kamar kemudian dia menatap Maja yang belum selesai dengan dasinya. Sudah jelas Maja membutuhkan bantuan. Mereka sudah berdiri berhadapan dengan dia yang memakaikan dasi Maja. Dia melakukan itu natural saja, tidak ada maksud apapun. Sedangkan Maja malahan terus menatapnya dalam. Dasi sudah terpasang kemudian dia membantu Maja mengenakan jasnya. Kewajiban mereka adalah saling membantu kan? Ini wajar sekalipun reaksi Maja tidak wajar. Laki-laki itu tidak melepaskan pandangan padanya, hingga membuat dia salah tingkah sendiri.
"Done, you're ready to go, Your Majesty," ledeknya.
"Thank you," Maja mencium puncak kepalanya tiba-tiba dan itu membuatnya terpana.
Jadi ketika tangan Maja menggenggam tangannya sendiri dia diam saja. Mereka berjalan ke arah teras depan dengan Basri yang sudah menunggu.
***
Maja selalu hafal dengan jadwal-jadwalnya tetapi tidak terlalu mendetail. Semua itu dia kategorikan menjadi tiga. Meeting online atau off-line, monitoring and decision making dan yang terakhir adalah reporting. Hari ini porsi kategori pertama tinggi sekali. Matanya memeriksa tablet yang dia genggam saat mereka sudah duduk di mobil. Hari ini jadwalnya lumayan padat setelah kemarin satu hari cuti dengan Daya. Cuti. Senyumnya mengembang kecil mengingat apa yang mereka lakukan kemarin. Dia melirik Daya yang sudah sama sibuk seperti dirinya. Mengetik cepat sesuatu di dalam ponsel seperti penting sekali.
Aura Daya ketika seperti ini akan sangat berbeda. Daya terlihat benar-benar percaya diri, cekatan dengan mata yang selalu menatap tajam. Padahal Daya bisa bersikap konyol, meledek, tertawa, serba salah dengan wajah merah, dan juga menangis. Yang terakhir bukan favoritnya. Kenyataan bahwa hanya dia yang tahu bagaimana Daya di rumah membuat dia diam-diam gembira, membuat dia merasa seolah-olah hanya dia laki-laki yang mengenal Daya.
"Tablet kamu nggak bisa gerak sendiri kalau kamu ngeliatin saya begitu," ujar Daya masih sambil memeriksa ponsel dan tidak balas menatapnya.
Dia berdehem untuk kembali fokus pada pekerjaannya. "Kita ada meeting jam satu?" tanyanya.
"Ya, Dion dan Melly harus kasih laporan bulanan dan iklan kemarin sudah sembilan puluh persen siap. Jadi sudah bisa dilihat dan kalau ada perubahan terakhir masih bisa dilakukan. Sebelum launch," jawab Daya.
"Saya mau kamu yang datang, bukan mereka."
"Karena jadwal saya kamu potong, jadi saya harus meeting dengan klien minuman kesehatan."
"Hah, Rendy yang akan jadi bintang iklannya? Yang itu bukan?" dia ingat apa kata Tari kemarin itu.
"Ya."
Tubuhnya sudah sedikit berputar miring. "Jadi Rendy datang hari ini?"
"Ya."
"I don't like that," protesnya.
"Saya dan Rendy professional, Maja," Daya menoleh padanya.
"Profesional itu kamu, bukan dia. Dia jelas-jelas bilang perasaannya apa ke kamu setelah kita menikah," dia berusaha mengendalikan emosi yang mulai naik.
Daya diam sejenak sambil menatapnya. "Maja, saya nggak bisa kontrol perasaan orang untuk saya. Misal, 'kamu nggak boleh benci sama saya', atau 'jangan jatuh cinta ya'. Pikiran manusia itu kompleks, manusia lain nggak ada yang bisa atur."
"Tapi kamu bisa menghindar."
"Menurut kamu saya ngapain dari kemarin? Ada banyak miscall dari Rendy yang nggak saya angkat. Pesan-pesan dia juga saya balas sopan. Tidak berlebihan. Rendy memang selalu perhatian karena dia teman saya sejak saya belum kenal kamu."
Tangannya membuka ke atas meminta bukti. Daya memberikan tatapan tidak percaya tapi tetap memberikan ponselnya. Dia membuka ponsel Daya dan benar saja, ada puluhan miscall Rendy. Ketika tangannya ingin membuka pesan pada ponsel Daya, wanita itu sudah mengambil lagi ponselnya. Hhhhh...laki-laki brengsek.
"Kamu suka sama dia?" pertanyaan itu meluncur begitu saja.
Dahi Daya mengernyit. "Oh, well. Akhirnya kamu angkat senjata," tangan Daya bersedekap mulai menunjukkan gestur marah.
"Daya, maksud saya nggak begitu. Saya hanya mau tahu."
"Saya heran, apa yang ada dalam pikiran kamu waktu bertanya soal itu? Saya nggak balas telponnya, pesan Rendy saya jawab sopan, dan berhari-hari kemarin saya bareng kamu. Kamu nggak pikir pertanyaan kamu itu menyinggung perasaan saya? Kamu itu kenapa sih sama Rendy, Maja?"
"Saya nggak suka sama dia dan dengan kenyataan kamu dekat sama dia sebelum kenal saya. Seperti kamu yang nggak suka saya pernah sama Angie." Detik terakhir dia bicara wajah Daya sudah merah sempurna. Oh, no. Maja bodoooh, kenapa ngomongin Angie, rutuknya dalam hati.
Pembatas ke depan Daya turunkan. "Basri, saya turun di sini. Ada meeting lain dan beda arah," Daya sudah membereskan barang-barangnya bersiap turun.
Mata Basri menatapnya dari spion tengah dan dia menggeleng perlahan. Pembatas mobil dia naikkan lagi. Nafas dia hirup dalam. Tidak sengaja dia menembakkan peluru pertama. "Daya dengerin saya dulu," satu tangannya sudah menyentuh perlahan bahu Daya yang langsung Daya tampik kasar. Wajah Daya sudah menoleh ke samping tidak mau menatapnya.
"Turunin saya di sini," desis Daya.
"Daya, lihat saya dulu. Saya minta maaf," dia menggeser tubuhnya mendekati Daya.
"Kamu itu bodoh atau apa sih?" sembur Daya.
"Daya, jaga bahasamu sekalipun marah."
"Saya? Jaga bahasa saya? Kamu gimana? Pertama, kamu nuduh saya tidur sama pacar-pacar saya yang lama? Nggak semua orang kalau pacaran kayak kamu, Maja. Sekarang, Rendy?" mata Daya bersinar terang. Energi Daya sudah kembali.
"Saya nggak bermaksud..." kalimatnya terpotong.
Mobil berhenti karena sudah tiba di lobby kantor. Daya menggunakan kesempatan itu untuk cepat-cepat turun. Nafas dia hirup dalam lagi kemudian dia turun dari mobil.
"Saran saya, biarkan Nyonya tenang lebih dulu. Anda bisa minta maaf setelah itu, Tuan," Basri sudah berdiri di dekatnya.
"Terimakasih, Basri. Daya akan pulang jam dua siang ini. Selamat pagi."
Lobby kantor pagi ini mulai ramai dengan pekerja yang baru saja tiba. Daya sudah menghilang dibalik lift. Dia bersalah karena kelepasan bicara, jadi dia akan mencari cara untuk minta maaf nanti setelah dia selesai kerja. Namun entah kenapa tangannya sudah memijit lantai tempat kantor Daya berada. Basri bilang dia harus lebih sabar untuk menunggu emosi Daya mereda. Tapi dia ingin melihat Daya lagi sebelum bekerja sekalipun tahu bahwa Daya pasti masih marah padanya.
Dia melangkah melewati lobby Digicom. Resepsionis di sana berdiri dan memberi salam sementara dia melarang sang resepsionis untuk menghubungi Daya. Tubuhnya berdiri di ujung lorong dekat dengan meja resepsionis, menatap Daya yang sedang melakukan briefing pagi di tengah area dengan timnya. Mata mereka bertatapan sesaat dan Daya masih memberikan tatapan marah yang sama, tapi terus menjalankan briefing. Kemudian dia melangkah pergi sambil tersenyum kecil, untuk tahu mereka akan bertemu lagi di rumah nanti.
***
Pekerjaan Maja selesaikan cepat-cepat karena ingin segera pulang ke rumah. Tidak ada Daya pada meeting siang tadi dengan Digicom dan perasaannya mulai gelisah lagi karena tahu Daya meeting dengan Rendy hari ini. Bicara apa mereka berdua? Apa Rendy sungguh-sungguh mencintai Daya? Bagaimana perasaan Daya sendiri? Wanita biasanya suka sekali dikejar dan dipuja-puja. Mungkin kemarin Daya tidak suka Rendy, tapi perasaan Daya bisa berubah kan?
Satu-satunya hal yang membuat dia tidak bisa pergi ke lantai bawah adalah karena jadwalnya sama-sama gila. Ada banyak laporan yang harus dia periksa dan porsi meeting hari ini adalah tujuh puluh persen dari waktunya. Jam di dinding ruang meeting dia lirik, sudah pukul empat tiga puluh sore. Biasanya dia tidak gelisah begini. Agam yang mengetahui hal itu dengan cepat berkata bahwa meeting harus selesai lebih awal padanya untuk jadwal yang lain. Seolah memberi tahu pada semua peserta meeting dalam ruangan.
Sepuluh menit kemudian meeting selesai dan dia menghubungi Basri. "Apa Daya sudah di rumah, Basri?"
"Baru saja tiba, Tuan."
"Apa Daya masih terlihat marah?"
"Yang itu anda harus periksa sendiri, Tuan. Tapi saya yakin dengan cara yang benar Nyonya akan selalu memaafkan Tuan."
"Terimakasih, Basri."
Sambungan dia sudahi kemudian dia memanggil Agam untuk memundurkan jadwal setelah jam lima sore karena dia ingin pulang.
"Satu lagi, Agam," ujarnya sebelum Agam keluar ruangan.
"Ya, Pak?"
"Apa kamu sudah siap?" Agam tahu apa yang dia maksud.
"Saya ingin Bapak yang menilai, bukan penilaian subjektif saya."
"Saya bertanya karena saya melihat kamu berkembang. Jika tidak saya tidak akan bertanya," dia sudah berdiri mengetukkan jari pada meja untuk berpikir. "Saya akan berikan satu proyek. Jika kamu bisa selesaikan dalam waktu dua bulan, kamu tidak perlu menjawab saya, buktikan saja. Bagaimana?"
Agam tersenyum lebar. "Setuju."
"Okey, saya akan bicara pada Yusri dan berikan kamu wewenang penuh untuk memimpin sendiri. Good luck."
"Terimakasih, Pak."
Setelah agam keluar ruangan, dia membereskan barang-barangnya untuk pulang.
***
Sudah pukul tujuh malam dan Daya belum turun dari lantai atas. Sudah jelas Daya masih marah padanya karena Daya kembali menempati area pribadinya sendiri. Pintu dia ketuk perlahan. "Daya, makan malam."
Tidak ada sahutan.
"Daya, saya boleh masuk?" dia mengetuk lagi dan masih sama. Tidak ada sahutan. Tepat saat tangannya ingin menyentuh handle pintu, benda itu terbuka.
Wanita itu keluar dengan wajah datar dan tidak menatapnya kembali. Sebelum pintu tertutup dia mengintip ke dalam dan melihat laptop Daya masih menyala. Sepertinya Daya sedang bekerja tadi. Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk di ruang makan. Daya masih diam saja dan makan dengan tenang. Dia sendiri tidak memiliki kemampuan yang sama seperti Daya, dia sudah bilang kan? Kalau dia bisa gila jika mereka kembali bertengkar seperti sebelumnya.
Hanya ada suara denting menemani. Otaknya masih berputar mencari cara untuk memperbaiki situasi ini. "Saya sudah minta maaf tadi pagi, apa kamu sudah maafin saya?"
Makan Daya sudahi kemudian wanita itu pergi ke kitchen sink untuk meletakkan piring kosong. Minum dia tandaskan agar bisa bicara pada Daya. Tangan Daya dia tangkap dan genggam erat lalu dia membawa Daya masuk ke dalam kamar untuk bicara. Daya sudah bertolak pinggang menatapnya.
"Kemampuan saya nol. Saya kalah kalau diminta diam-diaman begini dan saya nggak mau balik seperti kemarin dulu. Kita bertengkar, diam, berjarak, saya nggak mau lagi," mulainya.
"Kamu yang mulai, Maja. Nuduh saya yang enggak-enggak sama Rendy, padahal kamu yang tidur dan sekamar sama Angie," nada Daya tinggi.
Tanpa dia duga Daya meraih bantal di sofa dan melempar ke arahnya. Dia diam saja, lebih baik begini daripada Daya tidak bicara. Daya berjalan mondar-mandir gelisah, berusaha menahan emosi yang sepertinya bangkit lagi. Energi Daya bisa dia rasakan dari tempatnya berdiri. Nafas dia hirup dalam dan mulai berjalan mendekati Daya.
"Jangan dekat-dekat," satu jari Daya menunjuknya.
"Saya nggak suka diperintah, sama persis seperti kamu."
"Berhenti di situ, Maja."
"Saya minta maaf. Saya kelepasan tadi pagi karena saya jujur," ujarnya masih terus melangkah mendekati Daya.
"Itu nuduh bukan jujur!" maki Daya sambil menjauh darinya. "Jangan dekat-dekat. Saya benar-benar pingin....hrrghhh."
Bantal di sofa dia raih dan sodorkan pada Daya. "Ini, lempar lagi," matanya menatap ke sekeliling ruangan. "Masih ada tujuh lainnya di ruangan ini. Lakukan apa saja, asal jangan diam."
Tiba-tiba Daya berjalan mendekatinya kemudian mencubit lengannya keras. "Aku keseeeeeeel seharian."
"Aduduuuh...sakit beneran serius. Daya, lepasin. Saya bilang pake bantal," dia berusaha melepaskan tangan Daya dari lengannya.
Setelah berhasil lepas, tubuh Daya dia tahan dekat dengannya. "Sakit beneran. Kalau besok biru, kamu tanggung jawab," ujarnya. Mareka berdiri dekat sekali.
"Itu nggak sebanding sama tuduhan-tuduhan kamu ke saya."
"Setuju, dan nggak sebanding juga sama rasa kesal saya karena kamu nggak datang di meeting siang ini dan lebih pilih meeting sama Rendy," dia menatap Daya tegas agar wanita ini tahu bahwa butuh usaha yang keras untuk tidak berlari ke lantai bawah tempat Daya sedang meeting dengan si brengsek itu.
"Saya kerja sama Rendy."
"Kamu juga kerja sama saya. Saya klien besar kamu. Kenapa jadi lebih mentingin Rendy?"
Mata Daya putar kesal dan entah kenapa itu malah membuatnya tertawa.
"Malah ketawa lagi," Daya mencubitnya lagi.
"Sakit beneran, serius Daya," dia menangkap tangan Daya untuk dia genggam. "Waktu kamu untuk marah sama saya sudah habis," dia menarik lengan Daya agar duduk di sofa. "Ada film bagus nih, tadi saya nanya sama Agam soal film action yang keren di Netflix." Pembicaraan dia alihkan.
"Ada laporan yang saya harus cek, Maja," keluh Daya.
Matanya langsung melotot menatap Daya, memberi tanda bahwa dia tidak mau Daya bekerja lagi. Daya malah berdiri dan menatapnya marah.
"Kamu melotot sekali lagi, saya akan..."
Karena benar-benar kesal dia menarik tubuh Daya dan mengunci pinggangnya dengan satu tangan. Daya duduk di sebelahnya tidak bisa kemana-mana. Satu tangan lain menyalakan TV dan memutar film cepat. Lampu kamar dia redupkan juga. "Saya setuju sama kamu. Film action lebih cocok buat kita berdua. Liat tiap hari berantem begini kan."
Film mulai berputar. Satu tangannya masih melingkar di pinggang Daya. Selama beberapa saat mereka diam. Alur cerita berusaha dia nikmati sekalipun dia lebih menikmati keberadaan Daya di sebelahnya daripada film di depannya.
"Kamu bisa lepasin saya nggak?" pinta Daya.
Tangannya pergi dari pinggang Daya tapi beralih ke bahu Daya yang dia tarik perlahan hingga Daya bersandar padanya. "Film action itu berisik ya," gugup mulai datang. "...kayak kamu berisiknya."
"Berisik tapi masih ditonton juga. Sama kayak kamu yang ngotot ngikutin saya kemana-mana," balas Daya.
Kaki Daya naik ke atas sofa dan entah kenapa Daya benar-benar bersandar pada dadanya. Jika sebelumnya hanya gugup, saat ini dia mulai merasa perutnya diaduk-aduk. Kalimat Basri terngiang lagi, Nyonya pasti akan selalu memaafkan Tuan. Dia tersenyum sambil menoleh sedikit hingga bertemu dengan puncak kepala Daya. Tangannya sudah kembali melingkar di pinggang Daya yang ramping.
"Filmnya baru mulai, Maja. Belum klimaksnya, kenapa dada kamu deg-degan banget?" kekeh Daya.
"Saya nggak biasa nonton action, jadi begini akibatnya," dia berdalih.
Tiba-tiba Daya duduk tegak melepaskan diri, kemudian bersandar miring di dekatnya. "Kamu tahu lebih banyak tentang saya, daripada saya tahu tentang kamu. Jadi sekarang saya mau nanya soal kamu. Daripada kamu jantungan abis selesai nonton action. Gimana?"
Dia tersenyum kecil. Ini yang dia tunggu, sesi bicara dengan Daya yang biasanya akan menjadi perbincangan menarik. "Boleh. Mau tahu soal apa?" volume TV dia kecilkan.
Daya diam sesaat, menatapnya dalam, benar-benar memperhatikan. "Dulu, udahan sama Denta karena apa?"
Rasa terkejut dia tidak bisa tutupi. "Kamu tahu namanya?"
"Dari Adeline. Dia khawatir banget sama kamu dan merasa bersalah."
"Jadi kamu sudah tahu alasannya kan?"
"Adeline hanya bilang namanya dan kalian sudah putus. Nggak cerita detail. Apa saya boleh tahu?"
Saliva dia loloskan. Sudah siapkah dia membuka diri? Atau terluka lagi karena terpaksa mengingat itu semua? Tapi dia tidak mau kehilangan seluruh moment bersama wanita ini. Atau ekspresi jujur Daya yang menggantikan emosi Daya tadi.
"Nggak usah dijawab. Saya paham ada hal-hal yang sulit untuk diceritakan," Daya menyentuh hidungnya dengan satu jari. Wanita itu tersenyum. "Saya tanya yang lain aja."
"Saya jatuh cinta pertama kali dengan Denta waktu masih kuliah di Inggris. Kita pacaran lama," dia diam sejenak, merasakan hatinya. Saliva dia loloskan sebelum melanjutkan lagi. "Saya selesai kuliah duluan dan balik ke Indo duluan. Semua masih normal, saya pikir begitu. Saya mulai bekerja dan tunggu dia selesai study, begitu selesai saya melamar dia. Seperti hal normal yang lain," kenangan itu mulai datang. Bagaimana Denta tersenyum saat bilang iya, juga bagaimana dia merasa sangat bahagia.
Daya diam mendengarkan dengan seksama. "Apa Denta bilang iya?" tanya Daya hati-hati.
"Ya, dia bilang mau menikahi saya. Si manusia paling kaku dan taat aturan." Nafas dia hirup lagi, perlahan untuk mengusir remuk pada hati yang masih dia bisa rasakan.
"...untungnya tampan," sambung Daya sambil tersenyum. Mungkin untuk mengalihkan dirinya sendiri yang mulai membeku. "Kuliah double degree pasti susah. Kamu lulus tahun berapa?" Daya mengalihkan pembicaraan perlahan.
Untuk pertama kali keinginan untuk melarikan diri dari kenangan pahit itu pergi. Dia tidak ingin berhenti untuk bercerita pada wanita ini. Padahal Daya sudah menyediakan pintu agar dia bisa berlari lagi. Tapi kali ini dia akan hadapi ketakutannya sendiri. Karena Daya juga sudah melakukan hal yang sama saat memutuskan untuk terbang dengannya.
"Adeline yang kenalin laki-laki itu ke Denta. Tapi sesungguhnya bukan salah Adeline, karena ternyata waktu saya kembali lebih dulu ke Indo, Denta sudah tidur dengan sahabat saya yang lain di sana," lanjutnya. "Semua itu saya tahu saat Denta tidak muncul, meninggalkan saya ketika pesta pertunangan berlangsung." Nyeri di hati berdenyut perlahan, bayangan tentang tatapan-tatapan mata dari para tamu undangan datang lagi. Kepalanya menggeleng untuk mengusir itu semua.
Sudah ada dua tangan Daya menangkup pada satu tangannya yang dingin. Kemudian dia melanjutkan. "Itu semua kegagalan saya. Bukan sesuatu yang bisa dibanggakan."
"Salah. Itu semua hal-hal yang bisa buat kamu lebih kuat lagi."
"Kamu sendiri nggak pernah patah hati?" tanyanya sambil balas menggenggam tangan Daya.
Dahi Daya mengernyit dalam. "Mungkin saya nggak jatuh cinta sedalam itu sampai harus patah hati parah. Karena saya tergila-gila dengan Digicom. Saya seperti membangun sesuatu satu demi satu dan saya sangat menikmati prosesnya."
"Punya pacar berapa dulu?"
"Dua. Mereka nggak tahan sama jadwal saya. Jadi yang satu selingkuh, dan yang satu lagi hilang begitu aja," jawab Daya ringan.
"Kamu nggak nangis waktu mereka pergi?"
"Sedih, tapi sampai nangis banget ya enggak juga. Karena saya nggak pernah membiarkan diri saya menangis lama-lama, dari kecil sudah dibiasakan begitu."
"Tapi cengeng kalau di atas pesawat," ledeknya.
"Saya nangis kalau ingat keluarga saya aja, Maja. Saya kangen sama mereka."
Mereka diam sejenak, kemudian dia memutuskan untuk bertanya hal yang dia batal tanyakan kemarin di kedai soto. "Apa benar waktu remaja kamu pindah-pindah panti asuhan?"
Daya tidak langsung menjawab, seperti terkejut dengan pertanyaannya. "Iya."
"Kamu nggak nyaman ya kalau saya tanya soal itu?" dia melihat gesture tubuh Daya yang berubah.
"Karena masa-masa itu adalah masa-masa yang saya ingin lupakan. Jadi kalau saya jawab, pasti saya akan ingat dan rasanya nggak enak." Daya menghirup nafas dalam. "Tiba-tiba nggak punya orangtua, sementara sebelumnya kamu punya dan hidup bahagia, itu susah. Karena kamu sudah penah memiliki, jadi ketika apa yang kamu miliki itu hilang mendadak...rasanya...kamu mau ikut menghilang juga."
"Kenapa di panti? Kamu punya keluarga kan di luar kota?" tanyanya hati-hati.
Mata Daya menatapnya dalam, menunjukkan luka yang paling dalam. "Karena saya terus menjerit setiap malam, karena tiga kali sehari saya diberi obat penenang, karena saya selalu menyerang siapapun yang mau mendekati saya dan meminta saya untuk melupakan itu semua, karena saya membenci dunia dan seluruh isinya. Saya masih terlalu belia, jadi satu-satunya cara untuk bertahan yang saya tahu adalah dengan marah."
Saliva dia loloskan, terkejut tentang kenyataan bahwa apa yang dia saksikan selama ini belum seberapa. Bahwa mungkin luka hatinya dulu bukan apa-apa dibandingkan apa yang Daya alami.
"Cara itu berhasil, karena mereka pergi meninggalkan saya sendiri. Tidak ada yang mengganggu saya lagi," lanjut Daya.
Jadi karena itu sikap Daya seperti ini. Hanya cara itu yang Daya tahu hingga Daya mahir sekali. Mata Daya mengerjap dua kali, seperti mengusir bayangan lama. Refleksnya adalah menarik Daya dalam pelukan. Tubuh Daya menegang sejenak, kemudian Daya menyurukkan kepala pada dadanya. Mereka adalah orang-orang yang pernah terluka dalam. Hingga seluruh remuk redam perasaan mereka kubur jauh di dasar. Luka-luka itu meninggalkan bekas, jejak yang saat ini mulai mengering. Entah kapan, mungkin saja, luka itu akan sembuh nanti.
"I got your back now," bisiknya pada Daya.
Daya tersenyum kecil. Bantal besar dia ambil dari tempat tidur. Dia merebahkan tubuhnya miring dan memeluk Daya dari belakang. Layar kaca bergerak-gerak terus memutar film yang mereka suka. Film itu tidak benar-benar mereka nikmati. Karena sesungguhnya, mereka sedang saling merasakan keberadaan satu sama lainnya.
***
Di dalam kamar pribadi Daya pada lantai atas rumah mereka, ponsel Daya menyala tanda panggilan masuk. Cahaya yang tidak ada membuat benda itu bersinar menampakkan siapa yang menghubungi Daya. Setelah berdering berkali-kali, ponsel itu diam. Lalu tidak berapa lama, denting tanda pesan berkedip.
M: Call me when you're not busy.
***
Naaah...kaaan, kaaan. Pada senapsaran kaaan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro