Part 23 - On leave
Nggak sempet ngedit. Harap maklum kalau ada salah-salah. Anyway, hope you still enjoy!
***
"Kamu nggak kerja?" tanya Daya ketika mereka sedang sarapan pagi bersama.
Kepala Maja menggeleng. "Enggak. Saya ambil cuti."
Dahi Daya mengernyit heran. "Cuti? Serius? Adeline kenapa emangnya? Dia baik-baik kan?"
"Kamu nggak tahu saya cuti buat siapa?"
"Adeline kan? Atau mama lagi, jangan-jangan? Aku telpon mama dulu deh," Daya sudah ingin berdiri benar-benar tidak mengerti dan itu membuatnya kesal sekali.
Daya sudah menghubungi mama dan dia membiarkannya. Ekspresi Daya berubah heran saat kembali duduk. "Adeline ke kampus, baik-baik aja. Mama lagi ke luar kota sama papa, juga baik-baik aja. Kamu sick leave? Kemarin kamu nggak demam kan?"
Sarapan dia lanjutkan sambil diam saja. Tambah kesal karena sikap Daya.
"Maja, saya serius nanya. Kamu sakit apa?"
"Sakit hati," jawabnya sambil mendorong piring sarapan yang sudah kosong.
Ekspresi Daya berpikir lagi. Wanita ini lambat sekali. Memangnya ada berapa orang penting dalam hidupnya sih? Masa Daya nggak sadar. Bahkan setelah kedekatan mereka sejak insiden itu. Tangan dia sedekapkan sambil menatap Daya.
"Maja..." ekspresi Daya berubah terkejut, makin menyebalkan.
"Apa?"
"Kamu...nggak cuti buat saya kan?" tanya Daya perlahan.
Dia mendengkus sebelum berujar. "Ya enggak lah."
Nafas Daya hembus lega.
"Kenapa ekspresi kamu lega begitu?" dia tambah kesal.
"Karena saya banyak meeting hari ini."
"Kamu belum boleh kerja, Daya," protesnya.
"Dari rumah, online."
"Tetep nggak boleh," dia bersikukuh.
"Tapi kan, saya nggak minta ijin kamu."
"Temenin saya."
"Mau kemana?"
"Makan siang."
"Saya kerja dari rumah kok. See you at lunch." Wanita itu sudah berdiri untuk membereskan piringnya.
"Temenin saya makan sushi di Jepang," dia juga berdiri menghalangi tubuh Daya.
"Saya nggak suka sushi, kan udah saya bilang, Dan di Jepang? Kamu bercanda ya?" Daya menghindar. "Lagian saya harus kerja, Maja. Saya ketinggalan banyak."
"Pasta kalau gitu," dia bersikukuh.
"Nanti saya pesenin pakai gojek," tubuh Daya bergeser lagi untuk menghindarinya.
"Di Italia." Daya tambah tertawa dan lagi-lagi dia kesal sekali. "Kamu pikir saya bercanda?"
Satu tangan Daya bahkan menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu. Dia menepis tangan Daya lalu beranjak untuk mengambil ponsel di dalam kamar. Daya mengikutinya karena memang Daya bekerja di kamar mereka.
Ponsel dia angkat di depan Daya. "Pagi, Basri. Saya mau minta tolong."
"Ya, Tuan?"
"Siapkan pesawat, saya mau ajak istri saya ke..." ponselnya direbut oleh Daya yang langsung meralat permintaannya sambil melotot ke arahnya.
"Kamu ngajak yang aneh-aneh lagi saya keluar dari kamar ini," ancam Daya galak.
Tiba-tiba satu pikiran jahil terjentik. "Aneh-aneh, gimana maksudnya?" tubuhnya melangkah maju. "Kayak semalam?" alis dia naikkan satu.
"Maja, apaan sih. Kamu salah makan atau gimana?" tubuh Daya sudah mundur dan menghindar darinya. "Maajaaa!" geram Daya serba salah dan itu membuatnya makin semangat menggoda. "Saya ada meeting sepuluh menit lagi," ujar Daya panik.
"Satu meeting setelah itu temani saya," tubuh Daya sudah terpojok di dinding.
"Kamu emang nggak ada agenda? Terus cuti buat apa?" dahi Daya mengernyit kemudian Daya terkekeh seperti sadar akan sesuatu. "Kamu cuti buat nemenin saya ya? Tebakan saya tadi bener dong."
"Enggak...." elaknya.
Daya malah tambah tertawa melihat wajahnya. Karena kesal dia mendengkus kemudian membalik tubuh untuk keluar ruangan.
"Maja, jangan marah. Tadi kan saya udah tanya dan kata kamu, kamu cuti bukan untuk saya."
Pintu dia buka untuk keluar ruangan namun langkahnya berhenti tanpa dia mau saat Daya memanggilnya lagi.
"Admaja, dengerin dulu."
Entah kenapa dia suka mendengar namanya disebut begitu. Dia membalik tubuh lalu menatap Daya.
"Saya selesaikan satu meeting. Habis itu meeting yang lain, dan yang lain, dan yang lain," ledek Daya yang sudah tertawa kecil.
Dia diam saja, tidak tersenyum sama sekali.
"Iya, iya. Saya siap-siap habis itu. Tapi saya nggak mau ke Italia. Emangnya nggak pake visa apa? Ngaco kamu."
Tangannya bersedekap sambil masih diam.
"Kamu serius mau ngajakin saya ke luar negeri?"
Lagi-lagi dia tidak menjawab, hanya menatap Daya kesal saja. Ponsel Daya berbunyi, mungkin panggilan untuk bekerja. Kali ini dia mengubah posisi tangannya menjadi bertolak pinggang, menikmati ekspresi serba salah Daya.
"Tari, saya nggak bisa ikutan meeting. Minta Reza buat pimpin. Mundurin semua jadwal hari ini." Daya diam sejenak mendengar ucapan Tari di seberang sana. "Nanti saya hubungi dia, tapi bilang padanya saya baik-baik saja dan sedang istirahat. Thank you, Tari."
Senyum kemenangan dia tahan. Daya lebih memilih untuk bersamanya daripada bekerja atau Rendy. Ya, selama ini musuhnya ada dua. Rendy dan Digicom. Matanya masih terus mengawasi Daya yang menyudahi sambungan telpon sambil melangkah ke sofa dalam kamar yang belum dibereskan. Masih ada selimut yang dia gunakan untuk tidur semalam. Ketika sudah selesai, tubuh Daya dia tarik tidak sabar untuk duduk di sebelahnya.
"Jadi, mau kemana?" Daya berdiri lagi dan menarik tangannya untuk berdiri juga. Daya membuka pintu kamar lebar yang mengarah ke taman bagian belakang rumah dan area kolam renang. "Masih pagi, mataharinya masih bagus. Area perumahan ini rindang. Tanahnya luas-luas, dan udaranya masih enak banget karena di pinggiran kota. Cuma satu yang nggak aku suka. Temboknya tinggi-tinggi. Jadi kasih kesan berjarak. Sekalipun aku maklum karena yang tinggal di sini orang penting semua."
Mereka berjalan tanpa alas kaki di taman belakang perlahan. Daya hari ini mengenakan celana pendek katun berwarna putih dan kemeja oversize berwarna lavender dengan lengan di gulung setengahnya. Juga lengkap dengan cepol rambut berantakan tapi seksi khas Daya.
"Katanya ada keluarga Ibrahim Daud tinggal di sini ya?" tanya Daya.
"Ya. Tante Trisa dan Om Ibrahim tinggal di sini. Anak-anaknya tinggal terpisah," jawabnya sambil mendongak menatap langit. "Hari ini langit bersih. Kalau nggak mau saya ajak ke luar negeri, apa kamu mau nemenin saya terbang?"
Langkah Daya berhenti sejenak, kepala wanita itu menggeleng. Dia menatap Daya kemudian teringat pada informasi dari Niko. Ayah Daya memiliki lisensi terbang dan rutin mengajak Daya terbang dengan pesawat kecil ketika berlibur. Dua tangannya meraih tangan Daya yang kemudian seperti tersadar dari lamunannya. Dia ingin membantu Daya untuk sembuh dari trauma tapi dia juga tidak mau memaksa.
"Saya nggak akan maksa kalau kamu nggak mau. Tapi hari ini saya cuti buat kamu, Daya," tangan Daya mulai dingin digenggamannya. Mereka berdiri berhadapan.
Mata Daya menatapnya dalam sambil tersenyum kecil. "Dulu, ayah suka ajak saya naik pesawat. Dia yang terbangkan." Ada banyak rindu di kedalaman mata Daya. "Kamu harus bersyukur punya keluarga yang masih lengkap, Maja. Mereka sayang banget sama kamu."
"Kayaknya mereka lebih sayang sama kamu sekarang. Saya diomelin terus." Dia melihat Daya tersenyum kecil lagi. "Kalau kamu masih nggak nyaman terbang, it's okey. Kita lakukan hal lain."
"Saya nggak mau ngerepotin kamu dengan trauma saya."
"Saya mau kamu sembuh dari trauma. Karena takut itu nggak cocok buat kamu. Ditambah lagi kamu jelek kalau nangis, lebih cocok galak dan marah-marah," senyumnya terkembang melihat Daya tertawa. "Jadi, mau coba terbang sama saya?"
"Kalau saya nangis dan minta turun gimana?"
"Ya saya turunin pesawatnya, terus saya ajak nonton film Mickey lagi. Mau?"
Daya terkekeh, wanita ini banyak tertawa dan dia suka.
"Okey, saya mau coba."
Senyumnya mengembang lebar. Genggaman tangannya pada Daya dia lepaskan perlahan. "Saya hubungi Basri untuk siapkan semua. Kamu siap-siap ya," tubuhnya berbalik untuk melangkah cepat kembali ke dalam kamar. Terlalu gembira karena ntuk pertama kalinya Daya benar-benar menuruti apa yang dia mau.
***
Sikap Maja benar-benar kekanakan hari ini. Lihat saja, Maja sudah berlari meninggalkannya sambil tersenyum lebar untuk menghubungi Basri. Tadi juga begitu. Wajah cemberut Maja dan pelototan matanya membuat dia ingin tertawa geli namun menahan diri. Tidak mau Maja tambah ngambek lagi. Kalimat dan kosa kata baik mereka juga bertambah, dan waktu gencatan senjata berbanding terbalik dengan waktu bertengkar mereka.
Ditambah lagi Maja meluangkan waktu untuknya. Maksudnya, jadwal Maja luar biasa padat. Semua meeting online dan offline bertumpuk hari ini. Dia tahu karena semalam dia memeriksa jadwal Maja pada Tari. Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga untuk laki-laki ini dan Maja berikan padanya. Jadi dia tidak sampai hati menolak ketulusan itu. Saat di rumah sakit dia berpikir Maja akan menjauh lagi, mengeluarkan seluruh kalimat yang bisa membakar emosi. Tapi kenyataannya sikap Maja jauh dari itu. Maja yang sangat perhatian, baik dan kikuk sudah kembali. Sekalipun tetap masih marah-marah dan protes ini-itu terkadang. Ya, itu gen bawaan, jadi susah sepertinya.
"Daya, kita berangkat tiga puluh menit lagi," ujar Maja dari dalam kamar.
"Iya," dia melangkah kembali ke kamar.
Setelah bersiap-siap dengan cepat, mereka berangkat diantar Basri. Mereka sudah berada di dalam mobil ketika dia ingin mengambil headsetnya. Tangan Maja menghentikannya.
"Saya siapkan ini..." Maja memberikan kotak kecil berisi wireless earphone berwarna putih ke dalam genggaman tangannya. "Tari dan agam akan bawa satu-satu. Saya akan selalu bawa satu. Benda ini akan ada di semua tempat yang kamu sering datangi. Jadi nggak perlu ketinggalan lagi dan nggak habiskan banyak tempat. Semua juga sudah tersambung otomatis ke iphone dan ipod kamu."
Maja menatap matanya ketika menjelaskan itu semua. Ada rasa hangat menjalar di dada. Bukan karena genggaman tangan Maja, tapi karena bentuk perhatian nyata dan tulus dari laki-laki paling membingungkan ini. Seumur hidupnya dia sendiri dan menutup diri. Tapi laki-laki ini bersikukuh mengetuk masuk, bahkan terkadang mendobrak pintu hatinya dengan sikap ikut campurnya ini.
"Saya tahu kamu suka hitam, tapi benda kecil ini susah dicari saat kamu butuh kalau warnanya ge..."
"Saya nggak masalah sama warnanya. Terimakasih, Maja."
Earphone Maja keluarkan dan pakaian di telinganya karena dia masih terkejut dan hanya bisa menatap Maja heran.
"Saya kesal kalau kamu liat saya dengan ekspresi itu. Kayak saya nggak pernah baik dan tiba-tiba baik aja," ujar Maja sudah kembali pada posisi duduknya.
Dia terkekeh geli. "Kamu mulai bisa baca pikiran saya," headset sudah tersambung dan musik terdengar di telinga. Volume dia kecilkan karena entah kenapa dia tidak terlalu butuh musik kali ini untuk mengalihkan pikirannya. Karena dia mulai merasa aman berada di dekat Maja. Ya, herannya begitu.
Wajah dia palingkan ke jendela sambil masih tersenyum kecil. Kemudian dia bisa merasakan Maja menggenggam satu tangannya yang berada di samping. Dia menoleh menatap Maja lagi.
"Biar kamu ingat, saya ada di sini. Bukan cuma musik itu aja," ujar Maja kemudian menoleh ke arah jendela berlawanan dengannya.
Kepalanya menunduk menatap genggaman tangan mereka. Sebelumnya dia tidak ingin membalas, membiarkan Maja yang menggenggamnya saja, bukan dia. Agar dia ingat bahwa semua ini hanya sementara. Tapi setelah segalanya saat ini, kali ini, jari-jari dia gerakkan untuk membalas genggaman tangan Maja. Laki-laki ini bereaksi karena Maja juga menatap hal yang sama dengan wajah heran, kemudian berpindah menatap wajahnya.
"Saya kesal kalau kamu liat saya dengan ekspresi itu," dia mengembalikan kalimat Maja. "Kayak saya nggak pernah balas apa yang kamu kasih ke saya aja."
Maja terkekeh. "Yes, kamu benar. You kiss me back."
Wajahnya memerah saat Maja bilang begitu. Karena malu, dia menarik tangannya dari genggaman tangan Maja lalu bersedekap sambil menolehkan wajah.
"Siniin tangannya," Maja berusaha meraih tangannya kembali.
"Nggak mau. Sana jangan deket-deket, dasar nyebelin."
"Muka kamu merah tuh. Siniin tangannya nggak?" ledek Maja.
"Maja, duduk yang benar nggak?"
Mereka sibuk berdebat konyol sepanjang jalan. Tanpa mereka tahu, Basri menatap mereka dari spion tengah mobil sambil tersenyum.
***
Setelah tiba di landasan, Maja sendiri yang memeriksa segalanya ulang. Laki-laki itu menjelaskan bahwa pesawat yang mereka pakai adalah jenis pesawat kecil – Cessna 172 skyhawk buatan Amerika. Pesawat yang ayah Daya gunakan dulu lebih kecil dari ini dan lebih tua. Juga pesawat itu pesawat sewaan. Kali ini Maja yang memiliki seluruh fasilitas yang ada di hanggar pesawat ini.
Diam-diam dia menganggumi segala yang Maja sedang lakukan. Maja terlihat lebih hidup, bersemangat, mungkin seperti dirinya sendiri ketika sedang bekerja. Beberapa kru di sana Maja ajak bicara dengan bahasa teknis yang dia tidak pahami. Tapi kelihatan sekali bahwa Maja benar-benar menguasai segala hal tentang penerbangan. Belum lagi penampilan Maja yang on fleek, segar, rapih dengan polo shirt putih dan celana jins biru gelap. Maja terlihat berkali lipat lebih menarik dan tampan. Apaan sih, Daya. Maja berlari kecil ke arahnya yang memang sedari tadi berdiri di pinggir untuk menonton saja.
Pesawat sudah disiapkan, tangan Maja menggandengnya dan mereka berjalan bersama keluar dari hanggar.
"Kamu beneran bisa kan?" tanyanya. Dia naik ke atas pesawat dibantu oleh Maja.
Maja tersenyum lebar. "Saya bisa terbang sejak lulus SMA."
"Kamu beneran bisa operasikan semua alat transportasi?"
"Tank yang belum bisa. Nanti saya belajar kalau udah perlu," jawab Maja enteng sambil memastikan dia duduk dengan nyaman dan benar.
"Sombong, dasar," kekehnya kesal.
"Itu fakta, bukan sombong, Kamu udah nyaman?" tanya Maja.
Kepalanya mengangguk lalu Maja bersiap duduk di sebelahnya. Mereka akan terbang berdua saja dan dia duduk di depan bersama Maja. Menatap ke sekeliling area dengan seluruh panel dan tombol yang ada di sana. Ingatannya mulai datang. Dulu dia akan duduk di belakang sibuk melihat-lihat, bukan di depan begini. Dadanya mulai bergemuruh. Pelan-pelan perasaan yang mengendap bertahun-tahun lamanya seperti mulai merayap naik. Maja sudah duduk di sebelahnya dan sedang memasang sabuk ketika sadar bahwa tubuhnya kaku.
"Daya, kamu nggak apa-apa?" dua tangan Maja menyentuh pipinya lembut. "Kita bisa berhenti kalau kamu nggak mau."
Nafas dia hirup perlahan, satu-satu. Hangat pada dua tangan Maja yang ada di bingkai wajahnya membuat dia merasa lebih baik. "Aku nggak boleh minum obat ya?"
Sabuk Maja lepas lagi, kemudian tubuh Maja sedikit miring agar bisa benar-benar menatapnya. "Kamu mau turun aja? Saya bisa batalin semua dan saya nggak masalah," tangan Maja berpindah untuk menggenggam tangannya lagi. "Apa yang kamu rasa sekarang?"
Bibir dia basahi. "Nggak separah waktu itu, tapi saya deg-degan dan mulai gelisah."
"Deg-degan nya karena saya kali?" ledek Maja ingin mencairkan suasana.
Dia terkekeh kecil. "Nyebelin, dasar. Sejak kapan kamu narsis?"
"Pura-pura narsis, biar kamu ketawa."
Mereka diam lagi, gelisah mulai sedikit demi sedikit menghilang. Maja seperti memutuskan sesuatu karena ingin melepaskan seat belt yang dia kenakan. "Kok dilepas?"
"Besok-besok aja terbangnya. Saya nggak mau buat kamu gelisah."
"Jangan..." tangan Maja dia tahan. "Saya mau coba. Tapi kamu harus sabar sama saya."
"Saya pikir kamu ngerasa nggak enak sama saya kalau ini batal. Bukan karena saya nggak mau sabar."
"Saya mau terbang sama kamu, Maja. Saya mau coba. Apa boleh?"
Maja menelisik matanya. Kemudian laki-laki memasang kembali seat belt mereka. "Bilang aja kalau kamu mulai gelisah ya. Jangan diam aja."
"Oke, kapten."
Maja menepuk kepalanya sambil terkekeh kecil. Kacamata hitam bergaya pilot Maja sudah kenakan, headset juga terpasang. Dia berusaha menenangkan irama jantungnya yang mulai berulah lagi.
"Kamu dengar saya jelas?" suara Maja muncul pada headset di kepalanya.
Dia mengangguk dua kali. Maja tersenyum menatapnya kemudian beralih ke depan lagi.
"Jangan kebanyakan liat saya, nanti kepikiran nggak bisa tidur lagi," Maja mulai menjalankan pesawat itu.
"Maja, jangan ngomong mulu. Nanti kenapa-kenapa lagi," ujarnya.
"Saya malah maunya sambil megang tangan kamu. Tapi saya butuh dua tangan saya buat take-off sekarang," kekeh Maja.
"Jangan bercanda dibilangin," sikap Maja yang sangat santai membuat dia sedikit panik.
"Tapi kamu makin cantik kalau panik begini," laju pesawat makin cepat dan sudah siap lepas landas.
"Hrrghhh, Admajaaa..." dia memejamkan mata saat pesawat benar-benar meluncur ke atas. Perutnya seperti geli dan dadanya berdentum keras sekali.
Beberapa saat kemudian pesawat sudah stabil mengudara. Suara-suara Maja pada kru di bawah juga sudah mereda. Maja memintanya untuk membuka mata perlahan.
"Hello co-pilot, we are on the sky already," ujar Maja. "Buka mata, Daya. Langit sedang indah sekali."
Mata dia buka perlahan. Maja benar, mereka sudah berada di atas, terbang menyusuri langit biru dan hamparan pemandangan di bawah. Tanpa sadar dia tersenyum lebar. Sibuk menatap ke luar. Satu demi satu ingatan datang lagi. Tentang bagaimana dulu ayahnya tersenyum dari depan dan meminta dia untuk melihat keluar. Dia akan tertawa geli dan terus bicara untuk bertanya banyak hal. Ayah akan tersenyum sambil menjawab satu demi satu pertanyaannya. Pemandangan di jendela dia tatap antusias, persis seperti dulu.
Tanpa sadar air matanya jatuh satu-satu. Dia benci menangis tapi tidak kuasa menahan laju air matanya sendiri. Waktu rasanya dia ingin ulang lagi. Dia merindukan laki-laki pertama yang dia cinta, ayahnya.
"Daya, are you okey?" tanya Maja dari headset mereka.
"Yes, I am, I am," dia tidak ragu ketika menjawab itu. Ya, dia baik-baik saja. Hanya dipenuhi dengan memori lama. Bayangan kecelakaan itu tidak datang, entah kenapa. Diganti dengan seluruh kenangan bahagia tentang ayah dan waktu mereka dulu ketika terbang bersama.
Satu tangan Maja terulur untuk menggenggam tangannya. "Saya di sini, Daya. Saya di sini."
Dia menoleh sejenak sambil tersenyum dan menghapus air mata. Menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya ini. Laki-laki keras kepala yang tidak mau pergi. Tangan Maja sudah kembali pada kemudi.
"Kamu mau kita kemana?" tanya Maja. Sikap Maja benar-benar relaks seperti mengendarai mobil saja.
"Kita cuma muter-muter aja kan?"
"Kamu mau ke Bandung yang lebih dekat? Kita makan siang di sana. Atau tempat lain?"
"Aku belum nyaman terlalu lama di atas pesawat begini, nanti mataku bengkak karena nangis."
Maja tertawa. "Ya, ya. Kamu jelek kalau nangis."
"Kayak kamu cakep aja," balasnya sambil tersenyum.
"Okey, kita balik lagi ke tempat yang sama."
Setelah beberapa saat Maja mengarahkan pesawat pada landasan lagi, sambil bersiap untuk mendarat. Lagi-lagi dia menutup matanya erat saat roda pesawat menginjak landasan. Dia harus mengakui Maja adalah pilot yang handal karena proses pendaratan berlangsung benar-benar lancar tanpa guncangan. Laju pesawat semakin melambat dan akhirnya berhenti.
Pipinya masih basah karena seluruh rasa takut berpadu dengan semua kenangan indah berputar tadi. Maja sudah melepas seat belt kursi kemudian memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan. Matanya mengerjap bingung saat Maja memeluknya hangat.
"Great job, Daya. You've done a great job," bisik Maja.
Matanya terpejam lagi. Dia membalas pelukan hangat laki-laki ini. Bibirnya tersenyum karena mengerti apa maksud Maja. Ya, sedikit demi sedikit dia bisa mengatasi traumanya. Bukan berlari dan menghindar saja. "Terimakasih, Maja."
***
Keinginannya untuk membuat Daya selalu tersenyum dan tertawa benar-benar sedang tinggi hingga terasa seperti adiksi. Entah kenapa rasa empatinya membuncah. Karena saat Daya tersenyum, dia merasa benar-benar bahagia. Ketika Daya tertawa, dia juga ikut tertawa. Hatinya benar-benar gembira karena dia merasa Daya mulai membutuhkannya. Daya membuka diri, jujur berbicara, dan mau berkompromi. Bukan hanya bilang 'tidak' atau 'tidak mau' atau 'tidak bisa'. Daya bahkan mau mencoba terbang, hal yang Daya takutkan sebelumnya. Ya, semua hal hari ini membuat dia bahagia karena Daya bahagia.
Setelah terbang mereka makan siang di tempat yang Daya pilih. Dia menurut saja saat Daya menunjuk warung soto mie Bogor langganannya.
"Tadi kan kita udah berwisata ala old money family, sekarang makan pakai selera rakyat jelata ya," ledek Daya ketika mereka sudah duduk di kedai soto itu.
"Rakyat jelata darimana? Tahu nggak apartemen kamu sama mahalnya kayak apartemen saya?" cibirnya. "Kamu pemilik Digicom. Saya hanya mengelola. Pemilik asli Digjaya adalah ayah saya."
"Hey, hey. Kamu itu silver spoon family yang cuci piring aja nggak bisa," kekeh Daya.
"Saya nggak mau, bukan nggak bisa. Nanti Bu Sarni sedih kalau saya ambil kerjaannya," matanya memandang ke sekeliling. "Ini tempat nggak ada AC-nya?"
"Nggak ada, Tuan Raja. Kamu gerah ya? Mau saya kipasin?"
Kepalanya menggeleng sambil tertawa kesal melihat Daya yang seperti puas meledeknya. Makanan datang dan dia menatap heran. Okey, soto ayam dia pernah makan, tapi soto jenis ini belum pernah. "Kenapa ada risoles di dalamnya?"
"Kamu belum pernah makan soto mie Bogor?"
"Soto ayam atau soto Jakarta pernah."
"Soto Jakarta?" Daya sudah mulai makan.
"Yang ada santannya dan irisan daging."
Daya terkekeh geli. "Itu soto Betawi, Your Majesty."
"Kamu ngeledek lagi saya tinggal nih," dia mulai mengicipi. Rasanya segar karena irisan tomat, dan ternyata risoles goreng itu berisi bihun. Ada campuran rasa gurih yang pas. Makanan ini baik-baik saja, sekalipun tidak istimewa.
Senyum Daya tambah lebar sambil menambahkan sambal dan kecap ke dalam mangkuk Daya sendiri. "Enak nggak?"
"Lumayan. Kalau saya sakit perut besok kamu yang tanggung jawab," jawabnya sambil menyantap makanan itu.
"Yes, Your Majesty. Saya akan panggil dokter kerajaan ke rumah."
Dia terkekeh sebal namun terus melanjutkan makan. "Kamu nggak gerah apa?"
Dengan sigap Daya mencepol rambut panjangnya tinggi. Seuntai rambut Daya yang tidak rata panjangnya jatuh ke arah mangkuk saat Daya menyuap makanan. Refleks tangannya adalah menahan rambut itu lalu menyelipkannya di telinga Daya. Selama beberapa saat sikap mereka berubah canggung lagi. Ah, ini aneh sekali. Dia diam sejenak untuk berpikir pertanyaan apa yang baik untuk mengalihkan suasana.
"Saya mau tanya boleh?" makan dia selesaikan kemudian mangkuk dia geser. Daya sendiri masih menikmati sisa soto mie-nya.
"Boleh."
Pertanyaannya sedikit sensitif, dia melihat ke sekitar tempat mereka berada sekarang dan menyimpulkan bahwa tempat ini bukan tempat yang tepat. "Nanti aja di rumah. Enak banget ya?" kekehnya melihat Daya yang serius makan.
"Udah lama saya nggak makan di sini," Daya menyelesaikan makanannya. "Pertanyaan kamu berat ya? Kok nggak jadi ditanya?"
"Ini bukan tempat yang nyaman untuk ngobrol, sekalipun makanannya lumayan." Dia diam sejenak.
"Setuju, Your Majesty," ledek Daya lagi.
"Saya senang karena kita mulai terbiasa berkompromi tapi sebal karena kamu ngeledek terus," dia mendengkus namun tersenyum juga.
"Itu namanya faktor resiko yang tidak bisa dihindari. Lagian kita kalau ngobrol suka lama. Jadi ya memang kalau bisa nggak di sini."
Mau tidak mau dia setuju dengan apa yang Daya ucapkan. Mereka memang sering lupa waktu jika mulai bicara tentang sesuatu. Entah pekerjaan, atau tentang mereka sendiri. Dia tidak pernah bosan karena Daya selalu memberi jawaban yang dia tidak duga dan pembicaraan mereka akan berubah menjadi perdebatan seru.
"Kita pulang?" tanya Daya.
Senyumnya mengembang lagi.
"Kenapa senyum begitu?" tanya Daya heran sambil berdiri.
"Nggak tahu. Saya senang saat kamu bilang 'pulang'. Karena itu berarti rumah saya juga rumah kamu," dia mendengar Daya terkekeh kecil saat dia berlalu untuk membayar makanan ke kasir.
Dahinya mengernyit dalam saat dia masuk ke dalam mobil bersama Daya.
"Kamu kenapa lagi?"
Dia memberikan bon makan tadi pada Daya. "Ini nggak salah hitung kan?"
Lalu Daya tertawa lebar. "Enggak, emang harganya segini. Kalau lebih mahal dari ini saya yang protes. Kamu aja yang nggak pernah makan murah begini."
"Kamu ngeledek lagi?"
Daya masih tertawa menatapnya.
"I'll stop talking," dia pura-pura kesal sambil bersedekap dan memalingkan wajah, untuk menyembunyikan senyumnya.
"You're a bad liar, Maja," bisik Daya di dekat telinganya. "Kamu seneng kan saya ledekin? Kalau mau senyum, senyum aja."
Dia menoleh lalu memencet hidung Daya hingga wajah wanita ini menjauh darinya. "Dasar usil."
"Maja, sakit hidung saya," protes Daya.
"Siapa suruh usil," dia terkekeh melihat wajah kesal Daya.
***
Uhuk-uhuk masih akur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro