Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 21 - Harusnya kamu...

Suara-suara seperti jauh di telinga. Seluruh bayangan tentang bagaimana Daya memegangi tubuh anak kecil laki-laki itu berputar di kepala. Juga bagaimana tubuh Daya sendiri tenggelam saat sang anak kecil berhasil dinaikkan. Daya hilang kesadaran dan tertarik air yang bergelombang karena hujan. Dia terjun ke laut bersama petugas untuk mencari Daya. Entah berapa lama mereka di sana. Dia kehilangan satuan waktu karena dicengkram rasa takut yang hebat.

"Maja!" tangan mama menghentak tubuhnya hingga kesadarannya kembali. "Minum dulu, Sayang. Minum dulu," teh hangat dalam cup sudah ditangkupkan pada kedua tangannya.

Selimut sudah disampirkan di tubuhnya. Baju belum dia ganti dan dia tidak peduli. Daya berada di dalam ruang periksa rumah sakit MG belum sadarkan diri. Sementara mama sudah ada di sebelahnya.

"Adeline sedang ke sini," suara mama bergetar karena tangis yang ditahan. "Ayah sedang bicara dengan dokter Reyn."

Teh dalam cup dia tatap. Pikirannya lagi-lagi kembali pada saat melihat tangan Daya sedikit demi sedkit tenggelam dan dia terlambat menarik tangan itu. Sibuk membantu petugas mengangkat anak kecil yang Daya selamatkan. Saat itu pikirannya buntu, tanpa pikir panjang dia terjun ke laut dengan dua petugas. Mereka beruntung karena salah satu petugas berhasil menarik tubuh Daya ke atas.

"Selamat malam, Maja." Dokter Antania Tielman berdiri di hadapannya bersama Mareno suaminya.

"Saya turut prihatin, semoga istrimu nggak apa-apa," Mareno menjabat tangannya erat. Dia hanya bisa mengangguk dan berterimakasih.

"Beiby, aku tunggu di bawah," bisik Mareno pada Tania yang mengangguk. Mareno berlalu setelah berpamitan sopan pada mama.

"Saya harus memeriksamu. Tolong ikut saya sebentar."

Dia melepaskan selimut pada bahu dan meletakkannya di kursi. Mama tetap di sana menunggu kabar dari dokter yang memeriksa Daya di dalam. Sementara dia mengikuti Tania berjalan ke arah salah satu ruangan di ujung koridor. Tubuhnya duduk pada di pinggir tempat tidur. Tania dengan cekatan memeriksanya sambil bertanya secara detail apa yang sedang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan Tania dia jawab singkat. Pikirannya masih timbul tenggelam dengan apa yang terjadi tadi.

"Kondisimu baik, tapi kamu shock berat dan saya nggak heran," ujar Tania sambil menatapnya.

"Anak yang Daya selamatkan? Apa dia baik-baik saja?"

Tania mengangguk. "Orangtua dan keluarga sudah ada di sini. Anak itu kondisinya stabil dan sudah sadar. Pihak keluarga ingin bertemu dengan Daya tapi kami masih melarang."

Dia mengangguk lega. "Lalu bagaimana Daya? Apa dia baik-baik saja?"

"Saya sudah baca catatan medis Daya. Fisik Daya sehat dan Daya mahir berenang. Umumnya kami akan memeriksa saluran pernafasan, kondisi paru-paru, saturasi oksigen dan gejala hipotermia. Tapi karena Daya jatuh dari ketinggian kami juga akan memeriksa apakah ada benturan. Dokter Aryan dan Dokter Pram yang menangani Daya. Saya belum dapat kabar dari mereka tapi seharusnya semua akan baik-baik saja. Daya tidak lama tenggelam dan petugas medis melakukan penanganan pertama yang tepat."

Kepalanya mengangguk perlahan.

"Saya lebih khawatir dengan trauma Daya, Maja. Rendy bicara pada saya beberapa hari lalu karena tiba-tiba dia mendaftarkan Daya pada salah satu psikiater yang menangani sahabat saya."

"Daya diserang trauma sebelum terjun ke laut," bisiknya sambil menarik nafas dalam. Satu tangan dia usap perlahan ke wajahnya.

"Bujuk Daya untuk pergi ke psikiater segera setelah ini. Untuk mencari tahu sumber trauma jadi bisa diobati. Jangan diabaikan. Sekali trauma terpicu akan terus kambuh jika tidak ditangani dengan cepat."

"Apa trauma akut bisa disembuhkan?"

"Harusnya bisa dengan cara yang tepat. Karena sahabat saya Danika perlahan sembuh, juga karena kasus Arsyad dan Sabiya. Mereka berdua saling menyembuhkan. Sabiya sudah bisa tersenyum lebar dan tertawa lepas sekarang. Kualitas tidur Arsyad juga benar-benar membaik karena sebelumnya dia diserang cemas berlebihan, PTSD. Jadi Daya juga bisa membaik." Tania memberi jeda kemudian berujar lagi. "Kamu harus mengganti bajumu, minum hangat dan makan sedikit jika masih tidak nafsu. Kembalikan energimu jadi ketika Daya sadar, kamu tidak kelelahan."

"Terimakasih, dok."

Tania tersenyum dan mengangguk. "Saya yakin kamu akan menjaga istrimu dengan baik. Tapi jangan lupa untuk menjaga dirimu juga."

Mereka keluar dari ruangan lalu Tania berpamitan. Dia kembali menghampiri mama dan sudah ada Adeline juga Basri di sana. Adiknya itu berdiri lalu memeluknya erat sambil menangis. "Kenapa jadi gini sih, Kak? Kak Daya gimana?"

"Del, jangan tanya yang aneh-aneh. Kakakmu masih shock," mama mengelus punggung Adeline.

Pelukan dia lepas perlahan. Satu tas berukuran sedang Basri berikan padanya. "Tolong periksa kondisi Agam dan Tari, Basri," pintanya.

"Sudah, Tuan. Mereka sedang beristirahat di ruang rawat lantai bawah. Nona Tari shock sekali. Tapi selebihnya baik-baik saja. Pemberitaan juga sedang diurus. Saya menghubungi Tuan Niko Pratama untuk meminta bantuan perihal ini."

Dia mengangguk setuju.

"Sebaiknya anda berganti pakaian dan beristirahat sejenak, Tuan. Saya sudah siapkan kamar di sini."

"Antar yang lain pulang, Basri. Ini sudah malam," ujarnya.

"Aku mau di sini, nggak mau pulang," ujar Adeline.

"Aku mau kamu pulang, Del. Please. Besok kamu ke sini lagi, okey."

Mama memperingati Adeline hingga adiknya itu setuju. Tidak lama setelah itu dokter Pram keluar dari ruangan. Refleks mereka menghampiri dokter paruh baya itu.

"Bagaimana, dok?"

"Kondisi Daya stabil. Istrimu tangguh sekali. Malam ini bisa dipindah ke ruang rawat. Tapi belum bisa pulang karena hasil test butuh waktu," ujar dokter Pram sambil tersenyum menenangkan. "Orangtua Daya belum datang?" tanya dokter Pram karena tidak tahu.

Mama menjawab pertanyaan itu karena dia tertegun sendiri. Ya, Daya tidak memiliki siapapun. Lihat, bahkan pada saat seperti ini tidak ada yang datang. Hanya dia dan keluarganya saja.

"Maja, ganti pakaianmu dulu. Sebentar lagi Daya dipindahkan," sambung dokter Pram kemudian pamit sopan. Lalu dokter itu menghilang di ujung koridor.

***

Ingatannya muncul-hilang saat satu sekoci dan beberapa petugas berhasil menarik anak laki-laki yang terpeleset dari dek dan jatuh meluncur ke laut. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Saat ini dia bangun dan menemukan dirinya berada di kamar rumah sakit dari bau-bauan yang khas juga tangannya yang berbalut selang infus. Tubuh rasanya seperti habis dipukuli, pegal linu. Tenggorokannya kering sekali, mungkin karena air laut yang tidak sengaja tertelan. Dia menoleh ke samping untuk mencari botol air minum kemudian melihat Maja tidur di kursi sebelahnya.

Bertengkar, hanya cara itu yang mereka tahu. Maja selalu ingin ikut campur urusannya padahal Maja sendiri yang bilang bahwa ini bisnis saja. Bahkan setelah dia berulang kali menegaskan bahwa mereka harus berjauhan, Maja tetap saja mengikutinya. Dia gagal paham, tidak mengerti apa yang ada di dalam kepala laki-laki menyebalkan ini. Maja ingin bersamanya? Atau tidak? Ingin menyakiti hatinya? Atau ingin menemani? Jadi ingin apa? Sikap Maja terus berubah-ubah.

Kemudian foto-foto Maja dengan Angie. Rasanya dia ingin berteriak memaki Maja. Dia pikir Maja tidak sungguh terpedaya dengan wanita itu. Foto itu foto lama, tapi tetap saja. Mereka pernah tidur bersama entah berapa kali. Dia benar-benar benci dengan kenyataan itu. Karena tadinya dia percaya bahwa Maja laki-laki baik yang perhatian, dibalik semua sikap dingin Maja. Kelakuan Maja dengan Angie seolah berkata bahwa Maja adalah laki-laki brengsek seperti pada umumnya. Dasar bodoh, brengsek, menyebalkan. Predikat burukmu bertambah terus, jelek!

Tapi diantara dirinya yang sadar dan tidak sadar kemarin, dia bisa merasakan hangat genggaman tangan Maja. Laki-laki itu terus berada di dekatnya. Mencium tangannya berkali-kali dan menggosokkannya agar lebih hangat. Maja bahkan memangku dan memeluk tubuhnya sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Sambil terus berbisik memanggil namanya. Maja ketakutan, benar-benar ketakutan. Karena dia bisa merasakan bibir Maja yang bergetar di telinganya, mungkin Maja menangis.

Entah kenapa emosinya sendiri mereda karena mungkin dia sudah lelah dengan semua permainan mereka. Naik turun hubungannya dengan Maja menguras seluruh tenaga. Setiap akhir hari dia selalu merasa kelelahan karena emosi yang dia tahan. Jadi apa yang sebaiknya dia lakukan pada laki-laki ini? Dia hanya tidak mau diganggu hingga masa kontrak mereka habis. Apa susahnya Maja melakukan itu?

Wajah Maja dia tatap kemudian sadar bahwa wajah itu merah. Nafas Maja juga lebih berat dari biasanya. Satu tangannya terulur untuk menyentuh lengan Maja. Panas. Maja demam. Dia berusaha memiringkan tubuh untuk meraih tombol suster saat Maja terbangun. Laki-laki itu berdehem sambil mengusap mata.

"Kamu sudah bangun," suara Maja serak. "Cari apa?"

"Tombol suster," jawabnya sambil masih mencari.

"Oh, itu di sini," Maja menunjuk pada tombol merah di rail tempat tidur pasien.

Dia menekan tombol dua kali sekaligus mengubah posisi tidurnya menjadi setengah duduk. "Apa boleh tolong ambilin saya minum?"

Maja menuangkan air putih dalam botol kaca ke gelas di meja nakas, kemudian memberikan padanya.

"Itu buat kamu, bukan buat saya," ujarnya.

"Kamu yang sakit," gelas Maja sodorkan lagi.

"Tolong tuang satu lagi kalau begitu. Kamu juga harus minum," pintanya. Gelas dari Maja dia ambil, kemudian Maja menuangkan air minum untuk Maja sendiri. Mereka meneguk air dengan canggung.

Suster sudah masuk dan memeriksanya. Suhu, tekanan darah, juga aliran infus. Sebelum suster ingin keluar untuk menghubungi dokter jaga, dia meminta suster itu untuk membawakannya paracetamol dan meminjam alat ukur suhu tubuh.

"Obat-obatan akan masuk dari selang infus, Bu. Jadi saya tidak bisa berikan," jelas suster sambil menyerahkan alat ukur suhu padanya. "Saya akan hubungi dokter Aryan agar beliau ke sini."

Dia hanya mengangguk kemudian suster itu keluar ruangan.

"Tolong ambilkan tas saya di sana. Kondisi Tari gimana?" tanyanya pada Maja. Mereka sudah ditinggal berdua lagi.

"Tari baik. Tapi benar-benar khawatir. Semalam saya minta Tari pulang dan membawakan kamu pakaian untuk hari ini," tas yang Maja sudah ambil disodorkan padanya.

Tangannya meraih ke bagian dalam untuk mencari paracetamol miliknya. Ya, aspirin dan paracetamol adalah obat wajib yang selalu dia bawa selain obat anti depresannya.

"Duduk sini," dia menggeser tubuhnya sedikit agar ada tempat untuk Maja duduk di pinggir tempat tidur.

Ekspresi Maja bingung tapi tetap menurutinya. Setelah duduk dia meminta Maja menunduk sedikit agar dia bisa menembakkan alat pengukur suhu ke dahi Maja. Angka di sana menunjukkan 38.7 derajat. Alat itu dia perlihatkan ke Maja. Laki-laki itu masih bingung bahkan saat dia memberikan paracetamol di tangan Maja dan segelas air minum.

"Kamu demam, Maja. Kamu nggak sadar?"

Tangan Maja menyentuh dahinya sendiri.

"Kalau begitu caranya kamu nggak akan tahu kalau kamu demam. Pakai ini aja," termometer tadi dia berikan ke Maja. Alih-alih menerima alat itu, tangan Maja malah terulur menyentuh lehernya. Dia berjengit kaget karena suhu tubuh Maja yang tinggi.

"Sorry, saya hanya mau pastikan," ujar Maja sambil berdehem. "Iya, saya demam." Maja minum obat yang dia sodorkan.

"Kamu nggak pusing? Atau nggak enak badan mungkin?" dia menatap Maja yang sedang meletakkan gelas di meja nakas. Laki-laki itu kembali duduk di dekatnya.

"Tenaga saya habis kayaknya. Sebenarnya saya pingin banget marahin kamu, karena kamu sudah berbuat bodoh seperti kemarin."

Dia diam sejenak lalu menarik nafas. "Tenaga saya juga habis buat ngeladenin manusia tukang ikut campur kayak kamu. Saya udah berapa kali bilang kalau saya bisa jaga diri say..."

"Daya, saya beneran nggak punya energi buat berantem sama kamu sekarang. Bisa diam dulu nggak?"

Mata Maja terlihat sayu, seluruh tanda kelelahan ada di sana. Tiba-tiba dia merasa iba. "Kamu udah makan belum?"

"Nggak pingin," Maja menggeser tubuhnya kemudian tanpa aba-aba laki-laki itu berbaring miring di sebelahnya.

"Maja, apa-apaan sih. Itu ada tempat tidur gede," dadanya mulai berantakan karena tubuh mereka berdekatan. Dagu Maja bahkan menopang di pundaknya.

"Kamu harus tanggung jawab. Saya semalaman nggak tidur nungguin kamu bangun," nafas Maja yang panas karena demam bisa dia rasakan di bahunya.

Tidak cukup sampai di sana, tangan Maja melilit ke lengannya yang bebas infus, menggenggam tangannya.

"Maja, di sini sempit. Kamu tidur di sana aja," bisiknya sambil berusaha menjauhkan tubuh Maja perlahan. Kamar ini kamar VIP yang ukurannya luas, dan ada satu tempat tidur lagi di sebelah tempat tidur pasien.

"Kita gencatan senjata lagi bisa nggak? Saya beneran pusing."

"Nggak bisa, Maja."

Maja tidak peduli karena tangan Maja malah melintang melingkari perutnya, memeluknya dari samping dengan pipi Maja yang berada di pundaknya. Nafas panas Maja berhembus teratur. Saliva dia loloskan karena merasakan perut yang bergolak tiba-tiba. Ingatan apa yang terjadi setelah mereka tidur di sofa terulang lagi. Saat ini Maja sedang tidak sadar, jadi sikapnya begini. Ketika sadar Maja akan bilang bahwa ini hanya bisnis, tidak pakai hati. Jika tadi perutnya yang bergolak, kali ini dadanya berdenyut sakit sekali tapi juga tidak kuasa untuk melarikan diri.

"Saya nggak bisa..." suara Maja putus-putus. Mata Maja hampir tertutup.

"Nggak bisa apa?" kepalanya sedikit menunduk.

"...kehilangan kamu."

Sakit yang berderit di hati tadi mulai berganti dengan detakan lambat yang terasa asing.

"Jangan lakukan hal bodoh lagi," lanjut Maja sambil memeluk tambah erat.

Dia sendiri hanya diam terpaku. Akal sehatnya sudah hilang jauh. Lagi-lagi kali ini hatinya yang bekerja. Berdetak perlahan dalam hangat pelukan Maja. Dagu dia topangkan pada puncak kepala laki-laki paling aneh di seluruh dunia ini. Merasakan kedekatan mereka yang hanya akan jadi sementara. Saat Maja bangun dia akan terluka. Mereka akan saling menyakiti dan menjauh, sibuk dengan ego masing-masing. Dia tahu, dia tahu. Tapi masih diam saja.

***

Di luar ruang rawat Tari melihat apa yang sedang terjadi. Maja dan Daya tidur bersisian. Mungkin apa yang Agam bilang benar, kamu tidak akan benar-benar tahu apa yang kamu punya saat hal itu hilang. Semalam, mereka melihat jelas bagaimana Maja ketakutan atas kondisi Daya. Dia bahkan sempat melihat Maja menyembunyikan air mata. Setelah trauma Daya, setelah apapun pertengkaran mereka. Pasangan aneh ini layak mendapatkan waktu untuk berdua saja. Jadi dia meminta suster untuk tidak membiarkan siapapun masuk. Biarkan mereka di sana, selama yang mereka mau, dan mungkin saja...selamanya.

"Pagi," sapa Agam dari belakang tubuhnya.

"Ya, ampun ngagetin. Lagi ada adegan drama korea yang romantis di dalam. Jadi lo nggak boleh masuk," ujar Tari cepat.

Agam menengok ke dalam sesaat kemudian tersenyum kecil mengerti. "Okey, saya siap jadi satpam jagain fatwa damai dari kedua belah negara yang sebentar lagi ditanda-tangani," balas Agam dengan nada tegas seperti tentara.

Tari tertawa kecil. Tapi kemudian terkejut karena satu tangan Agam sudah memegang dahinya.

"Lo udah nggak apa-apa?"

"Kalau ngeliat mereka damai begini gue sakit juga langsung sehat lagi. Lo udah selesai pemeriksaannya? Lo semalam juga terjun ke air. Dasar gila. Lo nggak boleh mati duluan. Lo belum married, nggak inget apa?" Tari sudah duduk di salah satu kursi tidak jauh dari ruang rawat Daya.

"Inget lah. Lagian gue juga nggak pingin lo sedih nanti kalau gue kenapa-kenapa, kayak semalem," ledek Agam sambil menaikan alisnya.

"Yee, siapa yang sedih gara-gara lo? Gue takut Mba Daya kenapa-kenapa tahu."

"Tapi meluk gue kenceng banget. Lupa?"

"Fitnah sembarangan gue tempeleng nih," bisik Tari tegas.

"Gue nggak fitnah. Coba lo tanya suster lantai bawah."

"Hati-hati bicaranya, anak muda..." wajahnya memerah. "Itu apaan?" dia menunjuk pada kantung yang Agam bawa untuk mengalihkan pembicaraan.

"Baju buat bos gue yang di dalam tas ini. Kantung yang ini, isinya sarapan bubur ayam."

"Kok gue nggak dibeliin?" protesnya.

"Dibilangin lagi ngirit biar cepet married. Mau beli cincin kawin mahal nih. Ini aja satu bungkus berdua."

"Dasar nyebelin. Sherly is number one pokoknya ya. Makan nggak makan asal skincare sama berlian kebeli bodo amat lah."

"Jangan bawel. Makan dimana enaknya?"

Mereka mencari tempat makan di lantai bawah lalu mulai makan sebungkus bubur ayam berdua sambil mendiskusikan apa rencana mereka berikutnya.

***

Hari sudah sore saat Maja bangun dan benar-benar sadar. Ya, sejak kemarin ingatannya seperti timbul tenggelam. Saat membuka mata hal pertama yang dia cari adalah Daya. Tapi kemudian terkejut sendiri karena wanita itu tidak ada di tempat tidur pasien. Malah dia yang berbaring di sana dengan baju setengah basah dan tangan yang sudah diinfus.

"Daya?"

Ada suara dari dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Adeline ada di sana.

"Daya mana?"

"Uh, mesranya yang dari tadi tidur gelendotan sama istri," Adeline tersenyum meledeknya.

"Gelendotan apaan? Daya mana, Del?" kepala yang pusing dia abaikan kemudian dia duduk di pinggir tempat tidur.

"Daya lagi sama mama ke dokter untuk periksa lanjutan," adiknya itu duduk di sofa. "Kamu nggak sadar tadi orang-orang lalu lalang sementara kamu nggak mau lepasin Kak Daya sama sekali? Mau diinfus mata merem, tapi tangan megangin Kak Daya terus. Kak Daya minta kamu pindah tapi kamu tarik lagi. Kita yang liat berasa kayak nyamuk lho. Dokter Aryan sampai ketawa lihat kelakuan kamu. Papa aja sampai geleng-geleng kepala."

"Ngomong apaan sih?" dahinya mengernyit. Kenapa kepalanya masih pusing sekali. Tombol suster dia pijit. Dia ingin ganti pakaian namun infus ini merepotkan.

Adeline hanya diam sambil memperhatikannya. Suster masuk lalu tersenyum kecil melihatnya. Senyum penuh arti yang menyebalkan. Dia meminta agar infusnya dilepas sementara, hingga dia bisa berganti pakaian lalu menyusul Daya ke bawah. Suster itu langsung melaksanakan apa yang dia minta. Saluran infus masih terpasang, namun sudah tidak terhubung dengan selang. Saat ingin berdiri tubuhnya limbung. Jadi dia berpegangan lagi ke pinggir tempat tidur. Suster tadi menawarkan bantuan namun dia tolak sopan. Dia tidak nyaman disentuh sembarangan. Sementara Adeline terus menatapnya sambil tersenyum geli.

"Nggak usah senyum-senyum begitu, jelek!" dengkusnya kesal saat suster sudah keluar.

"Kamu tahu nggak kenapa suster tadi senyum-senyum sama kamu. Karena kami semua abis dapet tontonan gratis drama korea seharian," tawa Adeline pecah.

Dia masih bersungut kesal lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Kata dokter Aryan kamu belum boleh mandi, Kak. Demam kamu masih naik turun."

"Nggak peduli."

Setelah mandi air hangat dia merasa sedikit segar. Wajah dia tatap di cermin dalam kamar mandi. Apa benar dia bersikap konyol seharian ini? Terakhir ingatannya jelas saat Daya bangun dan memberikannya obat penurun panas. Dia juga masih sadar saat dia berbaring di sebelah Daya. Setelah itu ingatannya timbul tenggelam. Tapi dia bisa merasakan keberadaan Daya di dekatnya. Nafas dia hembus perlahan. Apapun itu, yang saat ini dia tahu dia ingin terus berada di dekat Daya, tidak ingin melihat Daya terluka seperti semalam. Ya, semalam jiwanya seperti pergi melihat kondisi Daya.

Saat keluar dari kamar mandi Daya baru saja masuk dengan kursi roda bersama mama dan satu suster. Mama berterimakasih pada suster yang segera pergi.

"Anak Mama sudah bangun?" senyum mama lebar sekali sambil memeriksa suhu tubuhnya. Dia tidak suka jika mama mulai berlebihan begini.

Daya berdiri dari kursi roda untuk kembali ke tempat tidur yang sudah diganti spreinya. Mungkin tadi Adeline yang meminta saat dia mandi. Cepat-cepat dia menggenggam lengan Daya untuk membantu wanita itu naik ke atas tempat tidur.

"Kata dokter apa? Maaf tadi saya ketiduran." tanyanya.

"Daya baik-baik saja. Tapi kadar obat-obatan di dalam tubuhnya terdeteksi dan Mama baru tahu jika Daya punya trauma akut dan rutin minum obat anti depresan. Kalian berdua sebaiknya tidak menyembunyikan informasi sepenting itu pada Mama," nada Mama tegas.

"Ma, kita bahas nanti. Biar Daya pulih dulu, okey?" dia menengahi.

Mama menghela nafas perlahan. "Dengan kejadian ini Mama minta Basri selalu mengantar Daya. Kamu bisa kelolosan membiarkan istrimu pergi ke tempat dimana dia trauma. Ada apa denganmu, Maja?"

"Ma, Daya sedang bekerja di sana. Bukan salah Maja," kali ini Daya membelanya.

"Ciyee yang saling bela. Udah yuk, Ma. Kita pulang aja. Nggak mau jadi nyamuk lagi," seloroh Adeline.

Matanya melotot menatap Adeline kesal.

Mau tidak mau mama tersenyum geli juga. "Okey, okey. Mama tidak akan ikut campur urusan kalian tapi Mama tetap pasang Basri. Daya harus istirahat satu minggu, setelah itu Daya wajib pergi ke psikiater. Sudah didaftarkan oleh Rendy," mata mama menatapnya kesal lagi. "Kenapa bisa yang daftarkan psikiater malah Rendy? Bukan kamu?"

"Kita bicara besok, okey? Daya capek, aku capek. Terimakasih karena kalian sudah repot-repot ke sini," potongnya sambil memeluk mama dan Adeline serta mendorong tubuh mereka keluar ruang rawat perlahan.

"Jaga Daya baik-baik, Maja," mama menatapnya tajam sebelum pergi.

"Eh, Kak. Inget, ini rumah sakit ya. Nggak boleh macem-macem dulu. Nanti ketahuan suster lagi," kikik Adeline lalu dia menjitak kepala adiknya itu.

Pintu sudah dia tutup setelah mama dan Adeline menghilang di ujung koridor bersama Basri. Lalu dia baru sadar bahwa dia akan berdua saja dengan Daya malam ini. Apa mereka akan bertengkar lagi? Dia tidak ingin, sungguh. Dadanya mulai berderak tidak menentu. Tubuhnya masih berdiri menatap pintu, salah tingkah sendiri. Jangan jadi bodoh, Maja. Nafas dia hirup dalam kemudian tubuh dia balik untuk berjalan melangkah ke arah Daya yang duduk di atas tempat tidur pasien.

"Kamu masih demam? Kok infusnya dilepas?" tanya Daya.

Okey, nada Daya baik-baik saja. Jadi ini artinya mereka gencatan senjata kan? "Kamu yang sakit, bukan saya," kenapa nadanya ketus begini? Air wajah Daya mulai berubah. Oh, no. "Maksud saya, saya baik-baik aja. Tadi mau mandi jadi dilepas dulu."

"Oh," kepala Daya mengangguk.

Kemudian hening. Jaraknya hanya beberapa langkah dari Daya namun kenapa rasanya kikuk begini. Untung saja suster datang dan memecah kecanggungan suasana. Infusnya kembali dipasang dan suster menjelaskan tentang obat yang harus dia minum. Makanan juga diantar untuk mereka berdua. Suster juga mengingatkan bahwa mereka harus tidur terpisah karena tersedia dua tempat tidur di sana. Sebelum pergi suster tadi lagi-lagi masih mengulum senyum geli menyebalkan sekali.

"Saya mau complain sama dokter Reyn," ujarnya.

"Kenapa?"

"Suster di sini suka senyum-senyum nggak jelas," dengkusnya kesal.

Tanpa dia duga Daya tertawa. Ya, wanita itu tertawa. Terakhir kali Daya tertawa bersamanya adalah ketika mereka makan malam dan berdansa. Jantungnya mulai berulah karena melihat tawa Daya.

"Kok ketawa?" refleks tubuhnya adalah duduk di pinggir tempat tidur Daya.

"Ya karena ini lucu. Masa si sakit jagain yang sakit. Lihat nih tangan kita," Daya menunjuk infus di tangan mereka lalu terkekeh lagi.

Mau tidak mau dia tersenyum lebar juga. "Harusnya saya nggak sakit ya?"

Tawa Daya sudah reda. Kemudian tanpa dia duga satu tangan Daya mengulur ke arah dahinya, memeriksa suhu. "Harusnya kamu..."

"Setop. Sekalipun saya sudah mandi dan lebih segar, saya nggak mau berantem sama kamu malam ini," satu tangan Daya yang mengulur tadi dia tahan di pipinya sendiri. "Apa bisa?"

Daya diam sejenak sambil menatapnya dalam. Ekspresi Daya berubah sendu seiring dengan hening yang menyeruak diantara mereka. Kemudian bibir Daya bergerak untuk bicara.

"Harusnya kamu nggak tidur sama Angie dulu, harusnya kamu nggak sekamar sama wanita itu atas alasan apapun, harusnya sikap kamu nggak membingungkan saya, harusnya kamu nggak buat saya murka." Air mata Daya jatuh satu. "Kamu laki-laki paling pintar dan bodoh yang pernah saya kenal. Tapi kamu nggak cocok untuk jadi brengsek. Sekalipun mungkin dulu kamu begitu."

Jika tadi dia masih bisa merasakan jantungnya, saat ini organ itu menghilang entah kemana. Kalimat Daya jujur apa adanya. Daya mengungkapkan apa yang Daya tahan dan rasa. Tangan Daya makin dia genggam erat. Kemudian dia mulai berucap.

"Harusnya kamu ganti terapis kamu. Dia menyebalkan dan suka ikut campur. Harusnya kamu tidak main lompat begitu saja untuk orang lain, lupa kalau kamu punya kami di sini yang benar-benar khawatir. Harusnya kamu tidak keras kepala dan bisa menuruti saya sekali saja. Sekali saja, Daya. Harusnya kamu nggak tidur di kamar mandi dan biarkan saya memeluk kamu kalau trauma kamu datang. Harusnya kamu bicara seperti sekarang, bukan diam saja dan buat saya gila," dahinya dia letakkan pada dahi Daya. Tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, tapi tidak bisa berhenti.

"Karena saya nggak paham mau kamu apa, Maja? Apa mau kamu?"

Pipi Daya terasa dingin saat dia sentuh perlahan. Atau mungkin suhu tubuhnya mulai naik lagi. Ah, entah dia tidak peduli. Ujung hidung mereka sudah bersentuhan. "Kamu sendiri...apa mau kamu, Daya?" suaranya sedikit serak. Tangannya sedikit bergetar. Dia ingin meledak dengan segala yang dia rasa pada wanita ini. "Sekarang, saya akan turuti apa mau kamu."

Bibir mereka bertemu. Diantara keheningan dalam kamar rawat rumah sakit MG, dia mencecap lembut. Membiarkan hati menggerakkan tubuhnya sendiri. Daya membalas, satu tangan Daya sudah melingkar di lehernya dan satu tangannya sudah meniadakan jarak tubuh mereka. Ini terasa seperti rindu, karena sekalipun mereka berdekatan tapi terasa jauh. Karena semua ego dan pertengkaran yang memisahkan. Karena awal mula yang salah dan akhir yang sudah ditentukan.

"Harusnya kita...nggak begini kan, Maja?" bisik Daya di sela ciuman mereka.

"Saya...nggak punya jawabannya lagi," jawabnya jujur.

Mereka tidak ingin ini berakhir. Jadi mereka terus merasakan, membiarkan hati memimpin. Satu-satunya hal yang menahannya untuk tidak membuka pakaian Daya adalah karena dia tahu dimana mereka berada. Juga karena dia tidak mau Daya terluka lagi karena keinginannya untuk memiliki. Kemudian Daya berhenti, karena dia sendiri sudah hampir lepas kendali. Tempat tidur Daya dia turunkan lalu dia berbaring di sebelah Daya. Memeluk tubuh wanita ini seperti ketika itu di sofa. Kepala dia benamkan di leher Daya, menghirup dalam wangi yang dia suka.

"Goodnight, Daya," bisiknya sambil menyelimuti tubuh mereka.

"Goodnight, Maja," tangan Daya menggenggam lengannya. Mereka tidur di posisi itu hingga pagi. Tidak peduli pada larangan suster tadi.   

***

Nyeri-nyeri gimana gitu bacanya. Sedih tapi bahagia, tapi mau full bahagia juga masih abu-abu semuanya. Kamu ngerasa gitu juga?

Akhir cerita belum ditentukan. Segala kemungkinan masih bisa terjadi karena uniknya dua manusia ini. Kita lihat saja nanti. Untuk part berikutnya, mau kayak apa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance