Part 20 - Fall Apart
Yak, siap-siap tarik nafas dalam.
***
"Mba Daya, mau saya jadwalin kapan untuk cek ke lokasi shooting?" tanya Tari padanya. Mereka sedang berjalan di koridor kantor untuk meeting lain setelah selesai meeting sebelumnya.
"Di atas kapal barunya Digjaya kan?" pintu ruang meeting dia buka dan timnya sudah siap di sana.
"Iya, Mba."
"Besok setelah makan siang," dia duduk kemudian membuka laptop untuk membaca cepat proposal untuk salah satu perusahaan minuman kesehatan. "Kita mulai?"
Meeting berjalan lancar. Salah satu perusahaan minuman kesehatan menghubungi dia untuk menangani salah satu re-branding produk mereka. Dia tidak bisa menampik bahwa namanya makin dikenal sejak dia menikah dengan Maja. Ketika namanya dikenal, maka Digicom juga ikut naik bersamanya. Tidak pernah sepanjang Digicom berdiri mereka sesibuk ini. Klien demi klien datang tanpa henti. Mereka bahkan harus menolak beberapa karena padatnya jadwal hingga tidak ada slot sama sekali untuk sisa tahun ini hingga kuartal pertama tahun depan.
Dia sendiri sudah memiliki rencana untuk menanggulangi banjir proyek kali ini. Tim akan dia tambah dan pecah dengan leader tiap tim. Salah satu anggota dari tiap tim harus berisi satu orang yang sudah lama bekerja di Digicom. Tugas akan dia bagi untuk setiap proyeknya. Jadi tidak tumpeng tindih seperti saat ini. Karena semua hal itu jadwalnya menggila. Ini bagus sekali karena bisa membantu dia untuk mengalihkan pikirannya dari permasalahannya dengan Maja. Nafas dia hirup dalam saat sudah menyelesaikan satu meeting lagi. Jadwalnya hari ini hingga jam sembilan malam.
"Mba, si perusahaan minuman kesehatan ini spesifik minta Rendyla buat jadi bintang iklan mereka," ujar Dion sambil membereskan laptop.
"Kenapa?" dia berdiri dengan laptop digenggaman.
"Katanya anaknya yang punya nge-fans sama Mas Rendy," kekeh Tari.
Dia tersenyum kecil. "Nanti coba saya ngomong sama Rendy. Sekalipun yang saya tahu Rendy nggak suka publisitas begitu."
"Iya, Mba. Tolong bujuk Mas Rendy yah," pinta Dion.
"Saya coba ya. Tapi tetap cari cadangan artis. Kalau nggak salah si Rama sudah balik ke Indo. Coba hubungi dia. Posturnya kayaknya pas."
"Okey. Nanti saya hubungi," sahut Tari cepat.
"Yeee, lo mah emang maunya kenalan sama Rama," ledek Dion.
Timnya sudah saling meledek seru. Dia tersenyum melihat itu semua. Mood bekerja mereka sedang tinggi karena semua proyek, dan juga karena mereka sudah sempat beristirahat dengan layak. Oh, alasan yang utama adalah karena dia akan memberikan bonus yang layak dan libur lagi jika mereka bisa melewati seluruh kesibukan ini nanti.
Ledek-meledek makin seru. Sesekali dia tertawa kecil menimpali. Ini keluarganya, bukan Maja, bukan di rumah yang saat ini mereka tempati. Karena rumah itu tidak memberikan kehangatan sama sekali. Tapi di kantor ini, dia menemukan kedekatan yang terjalin diantara tim mereka. Ini tempatnya, she belongs here with her team. Jadi dia benar-benar bersyukur bahwa diantara semua yang sedang terjadi, dia masih memiliki satu-satunya hal yang dia cinta dan mencintai dia kembali. Digicom dan tim di dalamnya.
***
"Kak Daya sibuk banget ya, Kak? Ini udah jam sepuluh malam," ujar Adeline khawatir. Mereka sedang berada di ruang tengah menonton TV.
Matanya menatap jam di dinding, Adeline seolah menyuarakan apa yang ada di kepalanya sedari tadi. Ya, tanpa dia mau dia menunggu kabar dari Daya dan mulai merasa khawatir.
"Kamu semalam nggak ngajak Kak Daya baikan?" lanjut Adeline.
"Jangan mulai, Del." Ponsel dia ambil dan angkat untuk menghubungi Daya. Sambungan pertama tidak diangkat. Kemudian sambungan kedua ada suara Tari di seberang sana.
"Ya, Pak?"
"Daya mana?"
"Oh, Mba Daya lagi ketemu Mas Rendy di ruang meeting. Nanti saya info Mba Daya kalau Bapak telpon."
Tubuhnya sudah berdiri untuk berjalan masuk ke dalam kamar. "Rendy ke kantor Daya ngapain? Malam-malam begini?" pintu kamar dia tutup.
"Ada salah satu klien minuman kesehatan yang minta Mas Rendy jadi bintang iklannya. Jadi tadi Mba Daya hubungi Mas Rendy yang seperti biasa langsung datang," jelas Tari.
Nafas dia hirup dalam karena tahu benar kesal mulai merayap naik. "Rendy memangnya bintang iklan?"
"Bukan, mangkanya Mba Daya yang turun tangan buat bujuk Mas Rendy."
"Bujuk gimana maksudnya?" dia mulai was-was karena teringat bagaimana tangan Rendy dengan kurang ajar menyentuh bahu Daya.
"Ini Mba Daya ada Pak." Ada jeda sebelum Daya menyahut.
"Ada apa?" tanya Daya.
"Ini sudah lewat dari jam sepuluh, Daya. Kenapa belum pulang? Ada Adeline di sini kalau kamu lupa."
"Saya sudah chat Adeline dan dia mengerti."
"Pulang, Daya. Sekarang."
"Kemana? Rumah saya di sini. Bukan di sana," jawab Daya sambil mengetik sesuatu.
"Kamu harus bersedia tinggal bersama dengan saya, sesuai kontrak."
"Bilang Rendy untuk tunggu tadi ada satu yang ketinggalan," bisik Daya pada Tari. "Jangan tunggu saya pulang. Saya masih banyak pekerjaan. Selamat..."
"Kamu nggak boleh berduaan sama cowok lain, Daya," nadanya sudah tinggi.
"Sebaiknya kamu urus-urusan kamu sendiri, Maja. Jangan campuri urusan saya lagi." Daya sudah memutuskan sambungan.
Dengan keras kepala dia menghubungi Daya lagi sambil berganti pakaian untuk pergi ke kantor Daya. Seperti yang dia duga wanita itu tidak menyahut. Dia bersumpah serapah kesal dengan sikap Daya. Pemberitaan tentang mereka baru saja mereda. Jika sampai Daya dan Rendy tertangkap kamera, itu bisa merusak segalanya lagi. Kunci mobil dia ambil lalu dia berpamitan pada Adeline. Ketika sudah berada di dalam mobil, dia menghubungi Daya lagi.
"Ya?" ujar Daya dari seberang sana.
"Dimana kamu?"
Daya diam sejenak. "Ada apa, Maja?"
"Saya akan jemput kamu pulang."
"Tidak perlu, saya sangat mampu pulang sendiri."
"Jam berapa kamu pulang? Ini sudah hampir tengah malam."
"Ketika sudah selesai."
"Hrrrghh, jam berapa itu? Kenapa bisa ada Rendy di kantormu?"
Dia bisa mendengar nafas Daya hirup dalam. "Selamat malam, Maja."
"Daya, jangan diputus dulu." Terlambat, sambungan disudahi dan seperti yang dia sudah duga Daya tidak mengangkat telponnya lagi.
Setelah berkendara empat puluh menit karena kondisi jalanan yang lengang, dia memarkirkan kendaraannya di depan gedung lalu melangkah panjang-panjang ke kantor Daya. Tempat itu masih terang benderang dan sekitar sepuluh karyawan masih ada di sana. Mereka menyapanya yang berjalan langsung menuju ruangan Daya.
"Tari, Daya mana?"
"Ada di ruangan, Pak."
Sebelum membuka pintu dia menduga akan melihat Rendy dan Daya yang sedang melakukan entah apa. Tapi ketika pintu dia buka, yang dia temukan adalah Daya sedang serius menatap laptop dan bekerja mengenakan kacamata. Blazer kerja sudah Daya buka dan sampirkan di kursi, menyisakan atasan satin tanpa lengan dengan renda. Rambut Daya juga sudah digelung apa adanya dan Daya duduk menyilangkan kaki yang tidak mengenakan apa-apa. Jadi tungkai kaki Daya yang panjang bisa terlihat jelas di bawah meja. Seluruh pemandangan itu membuat dia berdebar sendiri. Daya tidak bereaksi, hanya menatapnya sejenak lalu kembali bekerja. Seolah Daya sudah tahu dia akan datang dan tidak peduli.
"Kita pulang, Daya."
Tangan Daya terus mengetik cepat sambil serius menatap layar laptop.
"Daya, denger saya nggak?"
"Ssst, kamu mengganggu saya," Daya menuliskan sesuatu pada buku catatan dan terus bekerja. "Kamu bisa pulang sendiri lagi."
Karena kesal diabaikan, dia mendekati meja Daya untuk menutup paksa laptopnya. Sebelum dia bisa menyentuh laptop Daya, satu tangan wanita itu sudah mencengkram lengannya kuat. Daya menatapnya tajam dari balik kacamata.
"Do not touch my things. Silahkan pulang, Maja."
Tatapan Daya dia balas sama galaknya. Lalu tangannya dia tarik hingga genggaman tangan Daya terlepas. Setelah itu dia menutup laptop Daya.
"Apa maumu, Maja?" Daya sudah berdiri siap memaki.
Ini yang dia tunggu, Daya bereaksi. "Kamu pulang. Itu yang saya mau."
"Kamu...bukan siapa-siapa untuk saya. Jadi kamu tidak berhak..."
"Ya, ini saya beliin kamu kopi kesukaan..." pintu dibuka dan ada Rendy di sana dengan secangkir kopi di genggamannya. Sementara Tari berada di belakang tubuh Rendy dengan wajah serba salah.
"Keluar," nada emosi berusaha Maja kendalikan saat menatap Rendy.
Wajah Rendy berubah datar. Laki-laki sialan itu masuk ke dalam dan meletakkan secangkir kopi di meja Daya. "Are you okey?" Rendy bicara pada Daya tanpa menatapnya.
Rok kerja Daya yang pas di tubuhnya, juga atasan tanpa lengan Daya membuat wanita itu terlihat...terlalu terbuka. Dia mengambil blazer Daya lalu mendekati Daya untuk menutupi tubuh wanita itu. Tapi tangan Daya menampiknya kasar lalu Daya menatapnya dengan murka yang tidak ditahan.
"Kalian berdua, pergi. Saya hanya mau bekerja di kantor saya sendiri!!" teriak Daya murka. "Tari, panggil security."
"Iya, Mba," pintu ruangan tertutup rapat lagi.
"Okey, okey. Asal kamu baik-baik aja. Saya pergi," Rendy mengangkat dua tangannya sambil tersenyum pada Daya. "Daya, look at me. Tarik nafas dan lihat aku. Tenang dulu, okey."
"She is my wife!" karena emosi yang dia juga tidak bisa tahan dia mendorong tubuh Rendy agar keluar ruangan.
"Dari tatapannya Daya tidak merasa seperti itu," Rendy balas mendorongnya.
"Brengsek," seluruh emosi seperti meledak di kepala. Dia mengamuk membabi buta hingga perkelahian di dalam ruangan Daya terjadi.
"Rendy, Maja, setop," teriak Daya hingga dua karyawan laki-laki masuk ke dalam ruangan untuk melerai mereka.
Salah satu dari mereka berhasil menahan tubuhnya dari belakang, sementara satu yang lain sudah terengah dan melepaskan Rendy. Si brengsek itu sudah berdiri sambil menatapnya benci. Hah, dia sama bencinya dengan laki-laki ini. Pintu ruangan terbuka dan satu security sudah ada di sana. Dia melepaskan diri dan membenahi pakaiannya.
"Maaf, Pak. Kalian berdua harus keluar dari kantor ini," ujar sang security.
"Saya pemilik gedung ini dan ini kantor istri saya. Jadi dia yang keluar," dengkusnya marah.
Daya menggelengkan kepala lalu menatap Rendy. Seperti memberi tahu Rendy agar menahan diri. Rendy menatapnya tajam tapi sudah lebih tenang.
"Saya pamit, Ya. Jawabannya saya terima tawaran kamu soal iklan itu. Besok saya hubungi kamu." Rendy berlalu pergi dari sana.
Satu demi satu karyawan Daya keluar ruangan, termasuk Tari. Tangannya masih bergetar karena emosi. Daya sendiri sudah membenahi tas dan mengenakan blazernya lagi. Nafas dia hirup satu-satu untuk mengembalikan akal sehatnya. Daya keluar dan memberi perintah pada Tari agar Pak Sakih siap di lobby dan meminta semua orang pulang. Dia melarang Tari menghubungi Pak Sakih, namun Tari tidak mendengarkannya. Mungkin Daya sudah mengancam Tari. Mereka berdua sudah menunggu lift VIP, saat lift menyala mereka masuk dan seperti yang dia sudah duga, Daya bungkam seribu bahasa lagi. Lengkap dengan tatapan dinginnya.
Setelah berada di lobby lengan Daya dia tarik menuju mobilnya. Daya menampik keras dan cepat-cepat masuk ke dalam mobil Daya sendiri dengan Pak Sakih dibalik kemudi. Karena tidak ingin menambah keributan, dia hanya diam lalu berjalan menuju mobilnya. Sepanjang perjalanan dia mengikuti mobil Daya dari belakang. Berusaha mengendalikan kaki hingga tidak menginjak pedal gas dalam-dalam. Ini bukan kali pertama mereka bertengkar, tapi desakan seluruh jenis emosi dia bisa rasakan jelas sekali. Daya selalu berhasil mengaduk-aduk akal sehatnya, membuat dia cemas, membuat dia marah namun juga serba salah, membuat dia gila. Berada bersama Daya hidupnya terasa jungkir balik tidak menentu. Tapi entah kenapa dia juga tidak bisa berjauhan dari Daya. Karena dia mulai selalu mencari, karena dia tidak pernah bisa benar-benar abai atau tidak peduli, karena dia...hah, entah, entah.
Tanpa terasa mereka sudah berada di pekarangan rumah. Mobil dia parkirkan di garasi sementara dia meminta Pak Sakih menginap saja di rumah karena sudah terlalu malam untuk pulang. Pak Sakih menurut dan menghilang di service area tempat kamar pekerja yang menginap di bagian belakang.
Tenang, Maja. Tenang. Ada Adeline di rumah dan kamu tidak boleh berteriak pada Daya malam-malam. Nafas dia atur lagi saat dia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Kamar tamu sudah tertutup rapat, mungkin Adeline sudah tidur. Matanya menatap lantai atas. Tidak mungkin Daya nekat tidur di sana dan mengacaukan segalanya. Kemudian tatapannya berpindah pada pintu kamar utama. Bicara baik-baik, Maja. Tahan emosimu. Pintu kamar utama dia buka. Sekeliling area dia pindai karena tidak menemukan Daya. Kamar mandi? Perlahan dia melangkah ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Ketika dia ingin masuk, pintu itu terkunci dari dalam.
"Daya, buka pintunya," dia mengetuk dua kali. Tidak ada jawaban. Dia mengulangi lagi dan masih tidak ada jawaban.
Tubuhnya mulai berjalan mondar-mandir gelisah. Berusaha meredam segala rasa yang sedang berkecamuk di dada dan pikirannya. Bagaimana Rendy terang-terangan menantangnya tadi, bagaimana Daya menampiknya kasar di depan Rendy. Daya bahkan menunjukkan terang-terangan ketidaksukaan wanita itu padanya. Daya marah, dia paham itu. Tapi seharusnya ini bisa mereka simpan berdua saja. Tidak di depan orang lain. Tapi kamu terus yang memaksa, Maja. Hhhhh. Pintu kamar mandi dia tatap lagi dan sudah tiga puluh menit Daya tidak keluar dari sana.
Ponsel dia angkat untuk menghubungi Daya. Dalam tiga deringan Daya mengangkat. "Buka pintunya, Daya."
"Saya cuma mau bilang bahwa silahkan gunakan kamar mandi luar."
"Maksud kamu?"
"Selamat malam, Maja. Tolong jangan ganggu saya lagi."
Sambungan disudahi. Dia menatap ponsel tidak percaya lalu berjalan ke pintu kamar mandi dan mengetuk lagi. "Daya, buka pintunya. Kamu nggak sungguh-sungguh mau berada di dalam sana sampai pagi kan?" Wanita ini gila. "Daya..." ponsel dia angkat lagi tapi percuma. Daya sudah mematikan ponselnya.
Emosi yang dia rasakan tadi saat ini bercampur dengan cemas. Dengan apa Daya tidur di dalam? Kamar mandi bukan ruangan untuk beristirahat. Dingin, lembab, dan tidak ada perabot yang nyaman di dalam. Sudah berulang kali dia duduk lalu berdiri lagi menatap pintu kamar mandi bingung. Perasaannya kacau.
"Daya, keluar dulu," dia mengetuk lagi. "Daya..." satu tangan mengusap wajahnya perlahan. "Saya akan terus ketuk sampai kamu buka pintu."
Tiba-tiba ponselnya berdenting tanda pesan masuk.
Daya: diantara semua hal yang bisa saya minta dan memang menjadi hak saya, bahkan di dalam kontrak. Saat ini saya hanya minta satu hal saja. Tolong jangan ganggu saya. Jangan pedulikan saya.
Maja: <mengetik...>
Kata yang dia sudah tulis dia hapus lagi. Kemudian dia ketik lagi. Begitu berulang kali karena entah kenapa dia merasa sesak tiba-tiba membaca kalimat Daya. Permintaan Daya sederhana. Daya hanya minta untuk tidak diganggu, diabaikan, persis seperti apa yang kontrak tuliskan. Tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah dia sendiri, karena bingung dengan dirinya, reaksinya. Bahkan sampai saat ini dia masih bingung, masih tidak mengerti. Matanya menatap pintu kamar mandi nanar. Rasa bersalah datang menghantam. Seluruh wajah murka Daya kembali terbayang. Lalu pipi Daya yang pucat karena kelelahan bekerja. Nafas dia tarik dalam-dalam.
Maja: baik. Selamat malam, Daya.
Pesan itu tidak dibaca. Karena hanya bercentang satu tanpa tanda biru. Seluruh emosi membuat dia dihantam lelah. Baju dia tidak ganti, dia tidak ingin melakukan apapun kecuali berbaring dan menatap pintu kamar mandi. Menunggu Daya keluar dari sana hingga matanya terpejam.
***
Hal pertama yang Maja lakukan ketika membuka mata adalah melangkah cepat ke kamar mandi. Mengabaikan pusing di kepala karena dia berdiri terlalu cepat. Kamar mandi kosong, rapih. Tidak ada Daya di sana. Kemudian dengan sedikit terhuyung dia melangkah ke luar kamar untuk mencari Daya. Sayangnya, hanya ada Adeline yang sedang duduk di meja makan.
"Pagi," senyum Adeline sambil menyodorkan secarik kertas pesan Daya.
Pagi Adik kesayangan dan Bapak Maja. Saya berangkat duluan yah. Maaf nggak bisa tunggu kalian bangun dan sarapan bareng. Ada yang mendesak di kantor. I will make it up later. Sun sayang buat Adeline. Semangat buat ke kampusnya hari ini!
Matanya melirik jam di dinding. Masih pukul enam tiga puluh pagi. Kertas itu dia genggam kemudian dia beranjak ke dalam kamar untuk menghubungi Basri tidak mempedulikan Adeline yang mengajaknya sarapan bersama.
"Ya, Tuan?" sahut Basri di seberang sana.
"Tolong carikan kunci kamar mandi di dalam kamar utama, Basri. Saya membutuhkan kunci itu."
"Baik, Tuan. Apa ada lagi?"
"Terimakasih, Basri."
Kemudian dia menghubungi Agam.
"Ya, Pak."
"Cek jadwal Daya hari ini, Gam. Sekarang."
"Saya sudah punya, Pak. Saya bacakan atau saya kirim email."
"Bacakan."
Agam membacakan runtutan jadwal Daya dari meeting pagi dan memeriksa lapangan. Dalam artian Daya akan pergi ke beberapa lokasi syuting iklan untuk memantau. Itu Daya lakukan mulai pukul sembilan pagi sampai malam nanti. Termasuk satu janji dengan Rendy yang tempatnya Agam belum tahu. Setelah selesai dia meminta Agam untuk mengirimkan jadwal Daya ke ponselnya.
"Atur ulang seluruh meeting saya setelah makan siang. Saya juga ingin memeriksa lokasi syuting di kapal pesiar saya."
"Baik, Pak."
Sambungan dia sudahi. Ponsel masih dia genggam saat kalimat Daya pada pesan semalam datang lagi. Tolong jangan ganggu saya lagi. Permintaan sederhana yang sejak semalam benar-benar mengganggunya. Seharusnya dia bisa tidak mengganggu Daya. Tapi kenyataannya sampai saat ini permintaan sederhana itu gagal dia lakukan. Daya seperti medan magnet yang terus menariknya kuat, dia terjerat. Semakin dia berusaha lepas, semakin bayangan Daya menempel di kepala.
Ini gila, ini benar-benar gila.
***
Pergi ke lokasi syuting untuk memeriksa perkembangan pembuatan iklan biasanya salah satu hal favorit Daya. Tapi kali ini dia kelelahan dan tidak beristirahat dengan baik semalam. Ditambah lagi dengan bunyi-bunyian mesin yang berasal dari galangan kapal membuat dia tidak nyaman. Hanya dedikasi dan komitmen yang membuat dia berusaha berdiri tegak sekalipun seluruh tubuhnya meminta dia beristirahat.
Cuaca siang menuju sore ini sedikit berawan. Menurut prakiraan cuaca sore ini akan hujan. Jadi angin bertiup mulai terasa dingin di tubuhnya. Selesaikan cepat, Daya. Setelah itu istirahat.
"Mba nggak apa-apa?" tanya Tari yang berjalan di sebelahnya menyusuri koridor kapal.
"Saya baik-baik, Tari."
"Mau saya buatkan teh anget? Wajah Mba pucat. Mba belum sempat makan siang tadi soalnya."
Untuk menyimpan energi dia hanya menggeleng kecil. Proses syuting iklan berada di atas kapal pesiar Digjaya. Pengambilan gambar akan dilaksanakan di beberapa area seperti area kolam renang, lobby utama, kamar hotel, restoran dan dua tempat yang lain. Ada empat artis yang diundang juga anak-anak karena salah satu konsep iklan adalah konsep sail with family. Proses konstruksi kapal sendiri sudah selesai. Hanya ada beberapa perubahan dibuat pada bagian dalam kapal agar lebih menonjolkan ciri khas Indonesia. Alat-alat berat yang digunakan untuk proses peremajaan masih terpasang di dek luar dan sedang diturunkan.
"Tari, pastikan anak-anak kecil di dalam tidak bermain ke dek ini. Banyak alat berat," pintanya melihat suasana salah satu dek dengan beberapa alat berat di sana.
Dia bicara pada sang sutradara iklan untuk memeriksa kendala dan berusaha mencari solusi bersama. Setelah kurang dari satu jam memeriksa, dia bisa menyimpulkan bahwa tidak ada masalah besar yang bisa berpotensi mengacaukan proses. Keseluruhan rencana juga berjalan sesuai timeline. Hanya saja dia tetap akan meminta timnya untuk memeriksa hasil awal pengambilan gambar hingga dia bisa validasi nanti. Jika dibutuhkan mereka akan membuat sedikit koreksi.
Satu tangan menunjuk ke salah satu gambar pada story board yang ada. Sutradara iklan dan Dion sebagai production manager berada di sebelahnya.
"Ini angle nya nggak sesuai ya?" tanyanya.
"Kita cari angle laut lepas sebenarnya. Tapi karena kapal sedang bersandar jadi susah didapat. Jadi kita ubah di dalam ruangan."
"Hmm, sayang tapi," dia berpikir cepat. Pakai green screen aja. Nanti bisa diedit setelah itu."
"Dalam perencanaan anggaran green screen nggak masuk, Mba," bisik Dion.
"Periksa realisasi cost yang lain. Kalau kemarin Melly sudah bisa potong dari dana promo berjalan, mungkin bisa dialihkan ke sini."
"Setuju, lebih baik sekaligus sekarang dibuat sebaik-baiknya. Jadi nggak akan ngulang. Kalau ada yang ternyata melebihi budget laporkan pada Yusri," suara Maja tiba-tiba ada di belakang mereka.
Dion dan sang sutradara menyapa Maja sopan. Dia sendiri tidak peduli dan masih mencermati gambar-gambar pada story board yang lain. "Harusnya yang lain sudah oke. Silahkan dilanjutkan," dia mengangguk kemudian berpamitan sopan untuk memeriksa hal lainnya.
"Tari bilang kamu belum makan siang," Maja mengekor di belakangnya.
"Saya bilang jangan ikut campur."
"Saya cuma nggak mau disalahin dan kerepotan kalau kamu sakit."
Kakinya terus melangkah menyusuri area tempat shooting. Tersenyum dan menyapa beberapa artis juga berjongkok untuk bicara pada artis kecil menyemangati mereka. Memastikan mereka sudah makan dan keluarga yang menjaga juga merasa nyaman. Maja harusnya mengerti bahwa ini gestur serius agar dia tidak didekati. Kenapa laki-laki ini bodoh sekali? Padahal dia sudah berulang kali bilang, jangan ikut campur urusannya.
Langit di luar bergemuruh. Dia melangkah menuju dek luar untuk mengingatkan tim yang berada di kolam renang agar cepat membereskan peralatan mereka. Hanya tersisa beberapa langkah menuju dek luar ketika dia mendengar suara ship whistle kapal lain dari kejauhan. Tubuhnya mendadak berhenti. Tarik nafas, Daya. Cari tempat sepi. Headphone-nya. Tas dia buka dan headphone nya tidak ada. Benda itu tertinggal di mobil tadi. Wajahnya mencari Tari.
"Tari..." sudah ada suara decitan ban dan klakson container berputar di kepalanya. "Tari, minta Pak Sakih..." matanya terpejam sejenak.
"Mba kenapa?"
"Daya..." satu tangan Maja menyentuh lengannya dan dia menampik kasar.
Cepat-cepat dia mencari ruangan yang bisa dia gunakan. Sambil terus menggelengkan kepala mengusir bayangan-bayangan yang mulai datang. Suara Tari dan Maja jauh sekali. Kakinya sudah berlari. Pintu yang bertuliskan 'Ruang Make-up' dia buka cepat. Dengan sigap Tari meminta dua orang asisten di sana untuk keluar ruangan hingga kosong.
"Headphone saya di mobil. Tolong, Tari," dua tangannya sudah menutup telinga sambil terus bergerak gelisah. Maja ada di sana melihatnya. Ah, sial.
Tari keluar ruangan dan dia menatap Maja tajam. "Keluar," matanya terpejam lagi karena suara jeritan ibunya sudah menggema di kepala. "Keluaaar!!" teriaknya karena bisa merasakan sentuhan tangan Maja pada lengannya. Matanya terbuka lagi dan entah kenapa sudah basah dengan air mata. Apa dia menangis. Ya Tuhan.
"Daya, dengerin saya dulu..."
Maja hanya berpura-pura, seperti dulu, ini hanya bisnis, dia selalu sendiri, dan dia tidak boleh lagi terperdaya dengan sikap perhatian Maja. Ini tidak nyata. Jadi dengan sisa kesadaran yang dia punya dia mendorong tubuh Maja ke arah pintu. Tidak peduli dengan kalimat Maja yang berusaha menenangkannya. Setelah berhasil, pintu dia tutup cepat kemudian dia kunci. Tubuhnya bersender di pintu dan perlahan surut ke lantai. Wajah dia tutup dengan dua tangan.
Fokus pada saat ini. Kamu aman, kamu di sini, ayah dan ibu sudah pergi. Tapi kamu aman. Nafas dia hembus berkali-kali. Lalu dia mengambil pil penenang dari dalam tas yang jatuh di lantai tadi. Menatap ke sekeliling ruangan untuk mencari air minum. Ada dus air mineral yang sudah terbuka. Cepat-cepat dia meneguk satu-dua kali sebelum menelan obat penenangnya. Setelah itu dia duduk dengan jantung masih berdebar cepat. Ditemani rasa takut yang mencengkram, juga sendiri yang menggerogoti.
***
Beberapa kru menatapnya yang berdiri di depan pintu tempat Daya sedang bersembunyi. Maja membalik tubuh untuk menjelaskan bahwa Daya sedang kurang enak badan. Agam yang sedari tadi ada di dekatnya sudah meminta kru kembali bekerja lagi. Sementara dia mencari Tari. Bagaimana bisa headphone Daya tidak ada di tas wanita itu.
"Agam, susul Tari." Agam berlari menyusul Tari keluar area.
Ponsel dia angkat untuk menghubungi Basri.
"Ya, Tuan."
"Tolong belikan portable headset dengan kualitas terbaik beberapa unit. Pastikan benda itu ada di mobil Daya, mobil saya, tas Daya, di rumah, di kantor Daya...dimanapun tempat Daya sering berada."
"Ada apa, Tuan? Anda terdengar panik. Apa Nyonya baik-baik saja?"
"Tidak, Basri," matanya menatap pintu yang masih tertutup. "Daya tidak baik-baik saja."
"Baik, saya segera sediakan dan segera menuju ke sana."
"Carikan psikiater terbaik di MG. Daftarkan sesi awal untuk Daya di sana. Atau cari dokter Linda, hubungi Niko Pratama. Niko tahu dimana dokter Linda praktek," dia berjalan mondar-mandir menunggu Daya keluar dari ruangan.
Tari datang setengah berlari membawa headphone Daya.
"Mba Daya gimana, Pak?"
"Kamu yang bujuk Daya di dalam. Bawakan headphone nya. Bilang kalau saya tidak ada di luar, sudah pergi. Saya akan carikan Daya minuman hangat."
"Saya aja, Pak," ujar Agam.
"Jauhkan para kru dari ruangan itu. Daya butuh privasi, Agam. Jadi kalian berdua di sini. Daya hanya tidak mau ada saya saat seperti ini. Tapi dia butuh kalian berdua." Dia melangkah cepat-cepat untuk ke arah dapur di lantai bawah. Meninggalkan Tari dan Agam. Dapur memang belum beroperasi. Tapi dengan adanya pekerja, biasanya sudah ada sedikitnya teh, kopi atau bahkan makanan sederhana.
Karena tidak sabar dengan lift yang tidak kunjung datang, dia turun dengan tangga tiga lantai. Benar saja, di dapur ada satu koki dan beberapa asisten yang sedang istirahat. Dia masuk dan mereka memberi salam hormat.
"Maaf mengganggu kalian. Tapi istri saya butuh teh hangat, juga sandwich mungkin," pintanya sopan.
Chef itu langsung mengangguk dan menyiapkan. Salah satu asisten dapur mempersilahkan dia duduk menunggu. Cemas yang menghantam sedari tadi membuat dia gelisah hingga tubuhnya terus bergerak untuk mengalihkan pikirannya sendiri. Wajah Daya yang pucat pasi dan ketakutan tadi mulai membayang, juga bagaimana tatapan benci Daya, serta bagaimana Daya mendorong tubuhnya agar keluar ruangan dengan seluruh upaya. Semua bayangan itu berulang hingga meremukkan hati.
"Saya harap, istri Bapak baik-baik saja," ujar chef tadi yang sudah menyodorkan apa yang dia minta dalam kantung makanan.
"Terimakasih."
Kakinya melangkah cepat ke lantai atas. Suara gemuruh tanda hujan mulai datang dia bisa dengar saat dia sudah tiba di lantai tempat Daya berada. Dahinya mengernyit karena ruangan tempat Daya bersembunyi sudah terbuka lebar. Tidak ada Daya, atau Tari, atau Agam. Dia bahkan tidak melihat kru-kru yang tadi ada di sekitar area. Tempat ini dekat dengan dek luar dan orang-orang yang dia cari ada di sana sedang membelakanginya, seperti sedang menatap sesuatu. Kemudian sirine tanda bahaya dinyalakan. Refleks kakinya adalah melangkah cepat ke arah dek luar. Terus berlari tidak peduli hujan yang membasahi tubuhnya. Tari ada di pinggir dek serta beberapa petugas yang sibuk berlari turun sambil meneriakkan sesuatu pada kru lain di tepi daratan.
"Tari, dimana Daya?" teriaknya pada Tari untuk mengalahkan suara hujan.
Wajah Tari pucat menatapnya. Tubuh Tari gemetar ketakutan diantara hujan lebat yang sedang mendera. "Mba Daya, lompat ke sana, Pak," tangan Tari menunjuk ke arah laut di bawah mereka.
"Jangan bercanda sama saya, Tari," bahu Tari dia guncang. Agam sudah ada di tepi daratan sedang bersiap mengenakan pelampung untuk turun ke laut bersama beberapa penjaga.
"Ada anak kecil yang terpeleset, Pak. Jatuh ke sana..." bibir Tari bergetar hebat sementara air mata Tari bercampur dengan air hujan. Berusaha menjelaskan dengan terbata-bata. "Mba Daya keluar dari ruangan, kondisinya sudah lebih tenang. Mau pergi ke dek luar untuk hirup udara dan pastikan kru yang lain sudah masuk ke dalam. Lalu seseorang teriak kalau ada anak kecil jatuh, terus Mba Daya lihat dan lari...lompat ke laut untuk selamatkan anak itu."
Detik terakhir Tari berkata-kata, tubuhnya langsung berlari menuju pintu kapal untuk turun ke daratan. Kantung berisi makanan dan teh hangat yang akan dia berikan pada Daya sudah jatuh berantakan di lantai. Seperti segalanya saat ini, berantakan.
***
https://youtu.be/dSDehTfGYK4
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro