Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2 - Work smart, not work hard

Keseruan Agam dan Tari dimulai.

***

Enam bulan sebelumnya.

Daya berada di dalam mobil dengan Pak Sakih yang menyetir di depan dan Tari yang duduk di sebelahnya sibuk mengetik seraya memeriksa jadwal. Pikirannya terus berputar perihal proyek-proyek yang sedang mereka kerjakan dan yang paling penting, proyek yang sudah dia incar.

"Reza sudah kasih draft iklan buat e-car yang baru?" tanya Daya pada Tari. Reza adalah sang Creative Director.

"Sudah, Mba. Semalam jam tiga," jawab Tari.

Tablet Daya buka kemudian dia langsung mencari pada share folder tempat timnya memberikan laporan. Ada lima draft proposal dari Reza. Ya, Reza paham benar harus selalu ada cadangan rencana untuk semua hal. Dia membuka satu per satu draft proposal itu lalu segera tahu Reza masih saja membuang waktu.

"Tari, lihat ini. Saya tahu Reza bikin beberapa draft, tapi draft satu sampai tiga itu jelek banget. Ini buang waktu saya," dengkus Daya kesal.

"Tapi masih ada yang nomor empat dan lima kan, Mba."

"Ya kalau emang empat dan lima yang bagus, udah dong kirim dua aja. Jadi dia nggak perlu kerja sampai jam tiga pagi. Work smart, not work hard." Kemudian Daya beralih ke topik lain. "Gimana soal tender Digjaya Trans Corp? Sudah mulai?"

"Jadwalnya masih dua bulan lagi," jawab Tari sambil memeriksa pada emailnya lagi.

"Kamu yakin nggak dipercepat? Saya nggak mau kita kecolongan start. Becoming early bird is the best way to win." Layar tablet Daya terus scroll sambil sesekali berhenti untuk memeriksa. "Ck...hsss. Wincorp ambil perusahaan coklat yang saya incar." Wincorp adalah perusahaan periklanan saingan utama Digicom.

"Ini akibatnya kalau terlambat tahu, Tari. Kamu harus bisa pasang mata dan telinga untuk semua hal. You need to tell me what I don't know. Jadi mata dan telinga saya di luar," lanjut Daya.

"Iya Mba," sahut Tari singkat. Gimana kita bisa tahu apa yang mba nggak tahu. Lha mba hampir ON terus 24/7. Sementara gue cuma kuat dua pertiganya aja, keluh Tari dalam hati.

"Kamu udah gajian?" tanya Daya pindah topik lagi.

Cepat-cepat Tari memeriksa rekeningnya. "Belum, Mba." Sudah jam tiga sore dan gaji belum masuk? O-ow, batin Tari dalam hati. Dia harus memperingatkan Irwan.

Ponsel Daya sudah di telinga, menghubungi Irwan sang Direktur HRD mereka. "Irwan, kenapa anak-anak belum gajian?"

"Saya sudah sampaikan di email kemarin kalau akan ada maintenance IT hari ini, Mba. Jadi gaji baru bisa diproses jam 4 sore," jelas Irwan.

"Maintenance IT itu under my control. Kenapa kalian nggak tanya saya dulu kapan boleh melakukan maintenance? Dan kenapa harus di hari pas gajian?" protes Daya keras. "Saya akan potong gaji kamu dan si manager IT kalau kalian berdua bikin semua orang terlambat gajian. Paham?" sambungan diputus.

"Bilang sama saya kalau jam 4 sore gaji kamu belum masuk, Tari," perintah Daya.

"Saya nggak apa-apa kok, Mba..."

"Tari, itu masalah kalian semua. Kalian terima-terima aja sesuatu yang salah. Nggak ngomong, nggak memperbaiki. Atas dasar apa? Kasian sama temen kamu saya omelin? Kamu memang nggak apa-apa karena kamu nggak punya tanggungan. Kamu pikirin Rudi yang ibunya sakit dan butuh obat, atau Selly yang jadi tulang punggung keluarga. Intinya, kalau ada hal buruk yang bisa saya hindari soal hak kalian, saya akan hindari. Bukan terima pasrah aja," omel Daya panjang lebar.

Saliva Tari loloskan. Sungguh dia hanya kesal mendengar Daya selalu protes ini dan itu. Seolah tidak ada yang sempurna untuk Daya. Ini salah, itu salah, semua salah di mata Daya. Wanita yang sudah menjadi bosnya tiga tahun ini sangat perfeksionis. Hingga hal terkecil. Warna pakaian, pilihan make-up, gaya rambut, bentuk buku catatan, bahkan untuk memilih sebuah pulpen, butuh berminggu-minggu hingga Daya puas dan nyaman dengan benda itu.

Saat awal bekerja Daya akan menyamakan ekspektasi dengan semua pekerja-nya. Daya bahkan melakukan interview untuk office boy. Padahal Daya adalah pemilik perusahaan periklanan yang sedang berkembang sangat pesat di negeri ini. Lalu ekspektasi itu Daya naikkan cepat. Setiap kali Tari mencapai target yang sebelumnya Daya berikan, Daya langsung meninggikan ekspektasi lagi. Untuk Tari hal itu seperti mendaki puncak gunung yang letaknya di balik awan. Nggak pernah kelihatan dimana ujungnya. Dasar gilaa.

"Mama kamu besok ulang tahun kan, jangan lupa belikan dia kado," ujar Daya sambil mengetik sesuatu cepat di ponsel.

Tapi, dibalik seluruh sikap itu, Daya perhatian pada setiap anak buahnya. Seluruh tanggal ulang tahun tim, Daya ingat. Daya juga hafal luar kepala tentang seluruh background keluarga tim di kantor. Daya juga tidak pernah memaki office boy. Daya keras hanya pada tim yang langsung melapor padanya. Para direktur dan manajer menjabat termasuk Tari, sekretarisnya. Hhhh, sulit sekali untuk benar-benar membenci Daya.

"Makasih, Mba. Sudah ingat ulang tahun ibu saya," ujar Tari.

"Jaga orangtua kamu baik-baik selagi mereka ada, Tari." Mata Daya menerawang ke luar jendela. Tatapan sendu itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Karena setelah itu wajah Daya kembali tegas seperti biasa.

"Pak Sakih, mampir ke kedai kopi di depan, Pak. Saya butuh kafein, meeting saya sampai jam 10 malam ini."

Hhhh...siaaal, Tari segera membatalkan janji makan malam bersama teman-temannya.

***

Tubuh Agam berbalik masuk ke dalam ruangan setelah sebelumnya berencana pulang lebih awal. Lebih awal di sini maksudnya adalah jam lima tiga puluh sore. Seharusnya jam kantor sudah berakhir pukul 5 sore tadi, ditambah lagi dia mulai jam enam pagi hari ini. Tapi begitu melihat sosok Admaja, bosnya berjalan ke luar lift VIP dan melangkah kembali ke arah tempat dia berdiri, Agam cepat-cepat meletakkan tas, duduk lalu membuka laptopnya lagi.

Kenapa juga si bos pake balik lagi, rutuk Agam dalam hati.

Ekspresi Admaja datar seperti biasa. Laki-laki itu hanya melirikkan mata satu kali pada Agam lalu refleks Agam adalah berdiri mengikuti bosnya masuk ke dalam ruangan. Jurus lirikan maut.

"Ya, Pak?" Agam sudah siap dengan buku catatan. Sambil berdoa dalam hati semoga saja Admaja hanya kembali karena ingin mengambil tas kerja kemudian berlalu dari sana.

"Panggil orang bagian perencanaan. Meeting darurat. Minta mereka untuk bawa data..."

"Tapi sudah jam lima tiga pu..."

"Kamu nggak bisa? Saya bisa panggil mereka sendiri," tatapan mata Admaja menusuk tajam. Dua tangan Maja dimasukkan ke kantung celana sambil masih berdiri menatap Agam.

"Oke saya panggil. Ada lagi, Pak?"

"Siapkan makan malam, meeting ini akan panjang. Saya nggak mau karyawan saya kelaparan," pinta Maja.

Laper sih nggak, Pak. Tapi nggak bisa punya kehidupan, gumam Agam sambil membalik tubuh dan melangkah ke pintu.

"Kamu bilang sesuatu?"

"Nggak, Pak. Cuma lagi bingung mau pesan apa."

"Terus kamu hanya bergumam dan nggak nanya sama saya kalau kamu bingung?"

"Bukan begitu Pa..." kalimat Agam berhenti melihat tatapan Maja. Dia jadi gugup sendiri. "Baik, Pak. Permisi dulu."

Otomatis tubuh Agam sudah tahu harus bergerak dan berbuat apa. Ya, dia sudah empat tahun bekerja pada Admaja Hadijaya. Pengusaha muda sukses yang mengelola Digjaya Transport Corporation, perusahaan transportasi terbesar di negaranya. Digjaya Corp, adalah pemilik dua maskapai penerbangan besar ternama, juga empat kapal pesiar dan lima mother vessel yang beroperasi di Asia. Saat ini bahkan Admaja sudah berencana untuk bekerja sama dengan pemerintah perihal rencana kereta bawah tanah yang terintegrasi. Intinya, Admaja adalah orang nomor satu di perusahaan milik keluarga Hadijaya ini.

Setelah selesai menghubungi orang-orang yang diminta Maja, Agam melanjutkan dengan memesan makanan. Admaja tidak pernah pelit perihal kesejahteraan karyawan, tapi Maja benar-benar pelit waktu. Maksudnya, Maja terjaga hampir setiap waktu, benar-benar setiap waktu. Kadang Agam tidak mengerti karena email-email dari Maja terus berdatangan hingga pukul tiga pagi. Lalu berlanjut lagi di jam lima pagi. Dasar Bos gilaaa.

Tangan Agam bergerak mengirimkan teks pada teman senasibnya. Utari atau Tari. Wanita unik sekretaris dari Dayana Dayandaru si wanita tangan besi dari lantai sepuluh.

Agam: lo jadi makan malam?

Selama beberapa saat tidak ada balasan. Hhhh...mungkin malam ini Tari beruntung. Kemudian ponselnya berdenting.

Tari: kayaknya si Lady Gaga mesti dicabut baterenya. Biar gue bisa hidup normaaaal.

Nama panggilan dari Tari untuk bosnya adalah Lady Gaga. Karena kata Tari, saking cepatnya Daya bicara, terkadang hanya terdengar seperti 'Ga..ga..ga...ga'. Sementara, julukan Agam untuk Admaja adalah Hawkeye. Karena sikap Admaja yang irit bicara tapi memiliki pandangan tajam, setajam silet.

Agam: Setuju. Tapi dimana letak baterenya? Kasih tahu gue siapa tahu tempat baterenya Lady Gaga sama kayak si Hawkeye.

Bicara melantur adalah salah satu cara melampiaskan kesal yang lumayan berhasil. Hhh...dia ketularan aneh seperti Tari.

Tari: Lo bukannya mau jemput Sherly?

Agam: Sh****t gue lupaaa. Ahhrrghh...bentar gue chat dia dulu.

Lalu Agam sibuk merangkai alasan indah hingga Sherly mengerti keabsenannya yang ke seratus kali. Sambil terus menyumpah serapah dalam hati. Oh, dia harus segera keluar dari lubang neraka ini. Think Agam, think. Or else lo kehilangan Sherly.

***

Tepat pukul sebelas malam, Reza dan Dion keluar dari ruangan Daya dengan wajah lelah. Dua orang kepercayaan Daya itu sudah menghampiri meja Tari siap memuntahkan kesal mereka. Selalu begitu.

"Tariiii...bos lo itu kenapaa siiih?" Dion memulai.

"Ssstt...dia masih di dalam, Gila," bisik Tari sambil berdiri memeriksa. Daya sedang menelpon seseorang serius sekali, aman. "Kenapa emang?"

"Gue disuruh deketin siapapun yang ada di Digjaya Corp untuk cari tahu soal tender kapal pesiar mereka yang baru," ujar Dion panik. "Emang dia pikir gue cowok apaan?"

"Kan slogannya lo tahu, Bro," timpal Reza.

"Tell me something that I don't know," mereka hampir bersamaan mengucapkan kalimat itu. Ajaran Daya sudah terlalu mendarah daging, mengerikan.

"Kapan berhentinya sih itu cewek?" Dion lagi.

"Nanti, kalau penduduk Bumi pindah ke Mars. Kan nggak ada yang bisa dia lobi tuh," dengkus Tari.

"Si Bos punya pacar ga sih?" kali ini Reza.

"Ada tuh, Mas Leno sama Mr. Apple," sahut Tari menyebutkan merek dua benda yang selalu Daya bawa. Reza dan Dion berpikir sejenak lalu terkekeh setelah sadar bahwa maksud Tari adalah laptop merek Lenovo dan ponsel merek Apple.

"Cariin pacar gih, siapa tahu berubah. Jadi kita semua bisa nafas," ujar Dion dan ini bukan pertama kalinya ide itu terlintas diantara mereka.

"Basi solusi lo. Emang ada cowok yang nggak terintimidasi sama cewek kayak begitu?" Reza menurunkan nada takut terdengar.

Bibir Tari gigit karena entah kenapa, tiba-tiba saja ide lama itu menarik minatnya. Dahi Tari mengernyit mencoba mengingat-ingat apa korelasi dari kalimat tadi dengan perkembangan situasi saat ini. Dulu jika ide itu terlintas, Tari pasti akan langsung bilang 'Mana ada manusia yang sama gilanya kayak Daya. Nggak akan ada cowok yang tahan juga.' Tapi itu dulu. Sekarang?

"Udah ah gue balik, gue tahu jawaban lo apa," ujar Reza setengah berbisik.

"Pulangnya ati-ati, udah malem. Naik taksi yang jelas," pesan Dion kemudian keduanya berlalu.

Pikiran Tari sedang berputar liar. Manusia yang sama gila-nya, sama sibuknya, sama suksesnya, dan belum menikah. Hmmm. Hanya ada satu laki-laki yang dia tahu. Satu nama itu. Admaja Hadijaya.

"Tariii, bilang Pak Sakih saya mau turun dan tunggu di lobby," ujar Daya dari dalam ruangan.

Senyum Tari mengembang lebar. Bingo.

***

Tari + Agam = mak comblang dadakan yang dikirim semesta. Masalahnya yang comblangin mau nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance