Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17 - Fool

Another long part dan banyak featuringnya.

***

Sudah sepuluh menit Maja bangun dan berdiri menatap keluar jendela ruang tengah apartemennya, masih mengenakan pakaian semalam. Nafas dia hirup dalam, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepala, tentang dia, tentang Daya, tentang mereka berdua. Juga ketakutannya yang mulai datang. Ingatan atas akhir hubungannya dengan Denta mulai terbayang. Dulu, dia berdiri seperti ini di tempat acara pertunangannya dan Denta. Menatap para tamu yang berbisik karena kasihan padanya. Wanita yang dia cinta tidak muncul di hari penting mereka. Hanya meninggalkan satu pesan singkat untuk mengakhiri hubungan dengan alasan yang dibuat-buat. Semua hantu masa lalu yang diam di kepala muncul lagi. Menggerogoti seluruh akal sehatnya bahkan tanpa dia sadari.

Tubuhnya berbalik dan menatap Daya yang masih tidur di sofa. Semalam, mereka tidur di sofa. Setelah dansa manis di restoran, mereka pulang lewat dari jam dua belas malam. Kecanggungan mereka tutupi dengan baik. Kemudian rasa canggung itu hilang karena Daya mulai membuka pembicaraan dan meledeknya lagi. Mereka tidak bisa berhenti mengobrol dan tertawa. Membicarakan tentang apa saja. Dari hal yang sepele seperti Daya yang ternyata tidak suka bunga, sampai perkembangan perang Ukraina. Aneh kan? Waktu tidak terasa, hingga Daya menguap lalu tertidur di pangkuannya.

Ada banyak keengganan saat dia ingin memindahkan tubuh Daya ke dalam kamar. Dia masih ingin dekat, merasakan hangat tubuh Daya yang tertidur pulas. Apa yang dia lakukan benar-benar di luar dari rencana. Karena akhirnya dia memutuskan untuk tidur di belakang tubuh Daya sambil memeluk wanita itu. Kemudian bangun karena ponselnya bergetar tanda alarm pagi menyala. Seharusnya dia cepat-cepat menjauh. Tapi yang dia lakukan tadi adalah menghirup wangi rambut Daya dalam-dalam.

Hhhh, Maja. What are you doing?

Dia selalu menjadi seseorang yang tidak bisa abai, atas apapun. Karena sejak kecil ayahnya mendidik keras soal tanggung jawab. Sebagai anak laki-laki pertama dia harus bisa melindungi keluarga. Mama, adiknya, saat ini juga Daya. Perasaannya saat ini pada Daya benar-benar membingungkan. Apa ini hanya rasa perhatian biasa karena rasa tanggung jawab tadi? Atau apa? Apa benar dia cemburu seperti tuduhan Daya? Atau hanya kesal karena sikap Rendy yang seolah menantangnya?

Seperti tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Ponsel Daya berdenting. Dia bisa melihat pesan Rendy yang muncul pada notifikasi sebelum menghilang lagi.

Rendy: kamu udah bangun? Aku call bisa?

Nafas dia hirup dalam mencoba merasakan apa yang sebenarnya ada di dada. Kesal sudah pasti. Tapi apa dia cemburu? Kesal dan cemburu adalah dua hal berbeda kan? Mungkin si brengsek Rendy benar, bahwa dia hanya merasa memiliki Daya karena kontrak mereka, bukan karena cinta. Lalu bagaimana dengan ciuman semalam, Maja? Kamu yang mencium Daya dan kamu yang memeluk Daya dalam tidur wanita itu. Hffhhhhh, dia menghela nafas lagi.

Tubuhnya sudah duduk di sofa dekat Daya tidur. Dua tangan sudah mengusap wajahnya karena ciuman mereka semalam terbayang lagi. Dia seperti lepas kendali semalam. Karena euphoria jenis kedekatan baru mereka, karena tertarik pada pribadi unik Daya dan reaksi naik-turun hubungan mereka, karena kemudian pada akhirnya mereka bisa duduk berjam-jam tanpa bertengkar, juga karena rasa kagumnya pada Daya setelah wanita itu membereskan kekacauan yang dia buat. Ya, mungkin dia hanya kagum saja, dan juga impulsif didukung situasi. Pasti itu jawabannya.

"Pagi," Daya berdehem sejenak karena suaranya yang sedikit serak. Wanita itu duduk dan menatapnya bingung. "Kamu pagi-pagi udah kusut begitu? Ada masalah lagi?" tanya Daya baik-baik.

Pikirannya sudah kembali dan meminta dia untuk segera menjauh, membuat jarak. Karena hubungan mereka sudah memiliki akhir yang pasti. Ya, dia tidak boleh lengah dengan situasi dan perasaannya sendiri. Dia tidak mau ditinggalkan lagi. Nantinya dia yang akan melepaskan Daya, meninggalkan wanita itu.

"Maja? Kamu nggak apa-apa?" tanya Daya lagi.

"Siap-siap, ada acara golf pagi," ujarnya kemudian berdiri untuk melangkah ke kamarnya di atas. "Kamar tamu ada di situ dan Basri sudah siapkan segala kebutuhan kamu untuk dua hari. Sisanya kamu bisa urus dengan Tari," langkah dia lanjutkan.

"Maja," panggil Daya. "Ada apa?"

Tubuhnya masih membelakangi Daya. Nafas dia hirup dalam kemudian dia berbalik untuk menatap Daya. "Terimakasih karena sudah banyak membantu saya. Tapi saya harap kamu nggak salah paham soal semalam. Kontrak masih berlangsung dan kita harus professional. Untuk saya ini bisnis, semalam pun begitu, dan seterusnya."

Wajah Daya menegang. Daya adalah wanita dengan harga diri tinggi. Satu-satunya cara agar hubungan mereka kembali berjarak adalah menjatuhkan harga diri wanita ini. Tangan Daya terkepal kuat, seluruh hangat di mata Daya hilang dalam sekejap, ekspresi Daya kembali dingin mungkin sedingin ekspresinya sendiri. "Baik," kepala Daya mengangguk dua kali. "Terimakasih atas penjelasannya."

Daya masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu rapat. Tubuhnya berdiri tegak dihantam rasa sesak. Lebih baik begini. Ya, lebih baik begini.

***

Keinginan Daya untuk menghancurkan sesuatu memenuhi kepala. Terburu-buru dia masuk ke dalam kamar tamu apartemen Maja. Air matanya sudah jatuh tanpa bisa dia hentikan lagi. Ini bahkan terasa jauh lebih buruk daripada saat pertama dia membaca berita Maja dan Angie. Kenapa? Karena semalam untuk pertama kali dia mencoba membuka hati. Bersikap jujur apa adanya pada seorang lelaki. Dia tidak berlari dari detak hangat yang dia rasa di dada, atau dari ciuman Maja yang bahkan dia masih bisa rasakan di bibirnya. Ya, dia membiarkan ciuman itu terjadi bahkan membalasnya. Dia bahkan bisa merasakan Maja memeluk dia dalam tidur dan dia diam saja. Berpikir bahwa mungkin ini bisa berlangsung lebih lama.

Tapi siapa yang ingin mereka bodohi. Kalimat Maja tadi jelas, sejelas sakit pada dadanya yang menghantam hebat. Ini kali pertama dia menangis terisak karena seorang laki-laki. Tubuhnya duduk di pinggir tempat tidur, menahan lirih dari tangisnya sendiri. Sudah cukup, Daya. Berhenti. Sudah. Bagaimana bisa? Karena ini sesak sekali. Dia merasa bodoh, dan terperdaya.

Air matanya baru berhenti sepuluh menit kemudian. Setelah itu dia bangkit berdiri. Wajahnya yang basah dia tatap dari kaca. Dia selalu sendiri sejak dulu, dan selalu bisa mengatasi masalahnya sendiri. Seberat apapun itu, sehancur apapun rasanya, dia selalu berdiri lagi. Hal yang sama akan dia lakukan juga kali ini.

***

Mereka sudah berada di dalam mobil dengan Basri di belakang kemudi. Maja duduk di ujung kursi sambil menatap keluar jendela. Seluruh rasa emosi Daya berusaha kendalikan. Sakit di dada dia abaikan.

"Tuan, Nyonya. Apa kalian baik-baik saja?" tanya Basri dari depan.

"Baik, Basri," jawab Maja singkat tanpa menoleh.

"Nyonya?"

"Hanya pagi yang normal, Basri," dia belum bisa mengembalikan senyum pura-puranya.

Kepala Basri mengangguk sekalipun mata laki-laki paruh baya itu terus mengawasi dari spion tengah. "Ada map coklat pada bagian belakang kursi saya, Nyonya. Mohon dibaca sejenak jadi anda tidak bingung dengan siapa saja yang akan datang pada pagi ini. Acara golf ini acara bulanan. Undangkan khusus dari Tuan Ibrahim Daud pada seluruh tetua kecuali keluarga Hartono. Terkadang yang datang bukan hanya para tetua, tapi anak-anak mereka juga bergantian menemani. Selama ini Tuan Maja jarang sekali hadir. Tapi karena pemberitaan kemarin, Tuan Besar meminta Tuan Maja datang."

Map coklat sudah dia genggam. Ini bagus mengingat dia harus mengalihkan pikirannya sejenak dari rasa sakit hati. Jadi matanya sudah mencermati informasi dari dalam map coklat. Seluruh nama-nama tujuh tokoh tetua di negeri ini beserta nama anak cucu mereka, juga nama perusahaan yang mereka pimpin. Beberapa nama dia sering dengar pada pemberitaan, tapi ada juga nama-nama asing yang dia tidak tahu.

Keluarga Daud ada di peringkat nomor satu. Karena Roy Hartono sudah meninggal dunia, hingga perebutan harta dan tahta terjadi. Roy Hartono juga sudah dikeluarkan dari lingkup tujuh tetua, jadi keluarga Daud naik. Lalu keluarga Tanadi yang merupakan keluarga militer bergenerasi. Disambung dengan keluarga Sanjaya Darusman si pemilik property hampir sebagian besar di kota ini. Kemudian Rudi Dirga Wiratmaja, Hadijaya, dan terakhir Tanudibya. Nama-nama anak dan cucuk mereka pun ada di sana. Termasuk namanya sendiri yang berdampingan dengan nama Admaja. Saliva dia loloskan karena kalimat Maja pagi tadi terngiang lagi. Ini akibatnya kalau mulai main hati, Daya. Kamu bodoh.

Ponselnya berdenting tanda satu pesan masuk dari Tari. Ada screenshot dua berita yang sedang menjadi trending hari ini.

'Angela Liem si Wanita Kedua dan Perbuatan Kotornya.' Ini adalah berita yang dia atur kemarin bersama Karenina untuk muncul di halaman depan hampir seluruh tabloid online. Bukti dari masa lalu saat Angela menghancurkan rumah tangga Karenina ada di sana. Dia tidak terkejut dengan berita ini.

Namun ada satu tajuk berita lagi yang seolah menyiramkan cuka pada torehan luka yang Maja berikan padanya pagi ini. 'Pengantin Baru yang Berbahagia Menghabiskan Malam Romantis Bersama.' Ada foto besar saat mereka berdansa dan bertatapan mata. Sikap Maja yang selama ini perhatian dia salah artikan, ketulusan yang Maja perlihatkan ternyata hanya sandiwara yang sempurna, hingga dia lupa tentang kontrak perjanjian mereka. Pemberitaan ini, juga foto-foto yang ditampilkan membuat dia mengerti, bahwa semalam Maja berperilaku manis padanya hanya karena mereka masih diikuti reporter. Bukan karena Maja sungguh ingin bersama dengannya.

Pikiran bodoh apa itu, Daya? Ini semua hanya bisnis.

Satu tangan dia gunakan untuk meremas tangan lain dan menyembunyikannya di balik tas. Mobil sudah tiba di salah satu lobby tempat golf pinggiran kota yang terlihat mewah. Pintu mobil dia buka dan dia berdiri menaiki tangga. Ketika Maja sudah berada di sebelahnya, dia melangkah masuk ke dalam area dengan Basri yang berada di depan mereka.

***

Para tetua bermain 9-holes hari ini. Karena sebenarnya mereka ingin berkumpul dan mengobrol saja, sambil bertukar kabar tentang kondisi bisnis, ekonomi, politik atau bahkan pembicaraan santai perihal anak dan cucu. Saat para orangtua masih berada di lapangan, mereka – Maja, Daya, Audra Daud, serta El Rafi Darusman berdiri di pinggir lapangan.

"Tumben ikut," ujar El Rafi pada Audra.

"Nemenin Papa dan Niko," Audra menatap suaminya yang sedang bercengkraman dengan para tetua. "Kamu nggak main?"

"Nemenin si sableng, tapi si sableng malah nggak dateng. Lagi nggak pingin main," jawab El Rafi.

"Maaf, tapi si sableng itu siapa?" tanya Daya penasaran.

Audra tertawa kecil. "Brayuda Prayogo, anaknya Bapak Besar, Iwan Prayogo yang ada tato di lehernya tadi," jawab Audra sambil menunjuk salah satu dari para tetua.

"Ada yang manggil gue?" sosok Yuda berlari kecil menghampiri mereka. Yuda menatap Daya kemudian tersenyum lebar. "Ini dia pengantin baru. Selamat datang di perkumpulan Bapak-Bapak keren..."

"...yang takut istri," sambung Audra sambil terkekeh.

"Heits, gue sayang sama istri gue. Bukan takut. Ya nggak, Raf?"

"Bener nggak takut sama Reyna?" ledek Rafi.

"Emang lo berani sama Dara?" balas Yuda. "Ditinggal sebentar aja udah kayak kebakaran hotel."

Dari pembawaannya, Brayuda Prayogo adalah sosok yang lebih santai dari semua orang yang ada di sini. Daya memperhatikan ekspresi wajah El Rafi dan Maja hampir mirip. Kaku dan sulit tersenyum. Audra Daud juga memilik aura yang kuat, namun Audra masih tersenyum ramah.

"Nama gue, Yuda. Brayuda. Sorry waktu lo married gue nggak dateng," tangan Brayuda terulur dan Daya menjabat tangan itu sambil tersenyum. "Selamat dan semoga punya banyak anak kayak gue dan Reyna."

"Baru dua aja udah sombong banget," dengkus Rafi.

"Lo berdua jangan sampe ketuker nanti," jari Yuda menunjuk Maja dan Rafi. "Inget-inget kalau Daya istrinya Maja, Dara istrinya El Rafi, dan gue udah ada yang punya.

"Nggak ada yang mau sama kamu kecuali Reyna, Yud," kekeh Audra.

"Hey, kalian semua baru dapet jodoh setelah gue. Jadi gue yang senior di sini."

"Lo ngaco lagi, gue pergi nih," ancam Rafi.

Dia tersenyum melihat Yuda dan Rafi. Wajah kaku Rafi mencair dan sikapnya lebih rileks setelah Yuda datang. Sementara Maja masih berdiri diam memperhatikan para orangtua yang sedang bermain. Ponsel Maja berbunyi dan laki-laki itu berjalan menjauh untuk menerima panggilan. Rafi dan Yuda juga sibuk dengan obrolan mereka sendiri.

"Kamu tahu Maja kenapa pagi ini? Apa masih soal pemberitaan itu?" tanya Audra yang sudah berdiri di dekatnya.

"Oh, sedang ada sedikit masalah soal kerjaan. Mungkin dia kepikiran," dalihnya.

"Tapi semua sudah kembali stabil kan? Saya dengar kamu yang membereskan?" alis Audra naik satu.

"Saya hanya melakukan yang pasti semua wanita akan lakukan jika rumah tangganya diusik," jawabnya.

"Saya benci wanita jenis itu, menjijikkan. Jadi lain kali jika ada yang menggoda Maja, kamu selalu bisa datang ke saya." Audra diam sejenak. "Angela sejak dulu memang suka mencari sensasi. Mungkin dia jadi besar kepala karena hubungannya dulu dengan Maja dan perceraiannya dengan suaminya sekarang."

"Maja pernah berhubungan dengan Angie?" tanyanya.

"Ah itu. Itu sudah lama saat Maja benar-benar terpuruk karena mantan tunangannya." Kali ini para ayah sudah selesai dan memanggil mereka dan membuat pembicaraan berhenti.

"Daya, kapan-kapan kita harus mengobrol tentang bisnis. Tahun depan saya akan mulai beberapa tender," senyum Audra sebelum berpamitan sopan karena Ardiyanto Daud - ayah Audra sudah memanggil.

"Saya tunggu, Audra," dia tersenyum sambil mengangguk sopan.

Apa yang dia dengar dari Audra mengejutkannya. Jadi Maja dan Angie punya sejarah hubungan di masa lalu. Matanya menatap ke sekeliling mencari sosok Maja. Laki-laki itu sedang berdiri dan bicara serius sekali dengan Niko Pratama. Kemudian dia sendiri dipangil oleh ayah Maja. Jadi dia menghampiri ayah Maja yang ingin memperkenalkannya pada para tetua yang hadir kali ini.

***

Maja menatap Niko Pratama yang sedang menjelaskan apa yang sementara ini berhasil Niko dapatkan perihal Daya.

"Saya belum selesai menelusuri semua, Maja. Background keluarga Daya baik-baik saja dan tidak mencurigakan. Tapi saya berhasil bertemu dengan psikiater yang merawat Daya setelah kecelakaan itu. Namanya dokter Linda," Niko memberi jeda. "Saat kecelakaan terjadi, Daya berada di kursi belakang. Orangtuanya yang menyetir. Jadi Daya menyaksikan langsung bagaimana ayah dan ibunya meregang nyawa. Usia Daya ketika itu lima belas tahun."

"Penyebab kecelakaannya?"

"Ini baru sebagian informasi. Ada truck container yang berhenti mendadak di depan mobil mereka dan mengacaukan semua."

"Trauma Daya bukan hanya pada mobil. Hampir semua alat transportasi, kenapa begitu?" dia makin penasaran. "Daya menangis dan resah sekali di pesawat, dan Daya takut pada ship whistle kapal pesiar. Yang terakhir mungkin karena suara klakson kapal mirip dengan klakson container yang besar. Tapi pesawat?"

Dahi Niko mengernyit dalam seperti berusaha mengingat sesuatu. "Ah, dokter Linda bilang ayah Daya memiliki lisensi terbang dan rutin mengajak Daya terbang dengan pesawat kecil ketika berlibur. Kode etik kedokteran membuat dokter Linda tidak bisa menceritakan segalanya. Tapi mungkin saja..." Niko diam sejenak. "...mungkin saja ada kenangan-kenangan yang tanpa sadar Daya blokir. Mekanisme tubuh manusia akan melakukan itu untuk melindungi diri. Seperti Sabiya dulu saat Arsyad diduga tewas tertimbun reruntuhan. Sabiya kehilangan ingatan sebagian. Mungkin saja Daya punya banyak kenangan dengan ayahnya ketika terbang, jadi traumanya akan terpicu saat dia berada di atas pesawat. Tubuhnya berusaha melindungi diri, karena saat ingatan tentang ayahnya datang maka akan selalu diiringi dengan ingatan tentang kecelakaan itu."

"Masuk akal," dia berusaha mencerna segalanya.

Niko menatap Daya dari tempat mereka berdiri, hingga dia melakukan hal yang sama. Daya dan para tetua sedang mengobrol hangat.

"Maja, perhatikan Daya baik-baik. Saya bukan Hanif yang benar-benar ahli psikologi atau membaca ekspresi, tapi saya pernah melihat jenis tatapan itu."

"Maksudnya?"

"Sinar mata Daya sama seperti Sabiya dulu. Sebelum Sabiya kembali dengan Arsyad. Jenis tatapan mereka sama. Segala senyum, tawa, pancaran sinarnya terkesan semu. Seperti ada yang ditahan. Sekalipun Daya terlihat lebih baik-baik saja daripada Sabiya. Energi positif Daya yang menutupi segala traumanya," nafas Niko hirup dalam. "Nggak tahu kenapa, saya merasa Daya sedang sedih sekarang ini dibandingkan ketika saat saya bertemu dengan Daya sebelumnya."

Ya, dia yang sudah melukai Daya dalam, persis pagi ini. Karena mereka harus kembali pada jalan mereka masing-masing, sebelum apapun yang mereka rasakan semalam tidak terhentikan.

"Thanks, Nik."

"Mungkin kamu harus meminta Daya kembali datang ke dokter Linda. Jadi kamu bisa langsung bicara dengan dokter itu, dan Daya mendapatkan perawatan sebelum guncangan lainnya datang," ujar Niko lagi. "Jangan sepelekan trauma akut, Maja. Saya melihat bagaimana Sabiya hancur karena itu."

Nafasnya berat tertahan, matanya masih mengawasi Daya dari kejauhan. Sulit untuk tidak peduli, sementara dia tidak boleh peduli lagi.

"Apa kamu masih mau saya telusuri lebih lanjut?" tanya Niko.

"Kalau itu tidak merepotkan, Nik. Tidak terburu-buru, tapi saya benar-benar ingin tahu soal Daya lebih jauh."

Kepala Niko mengangguk sambil menepuk pundaknya. "Sabar-sabar, Maja. Seseorang dengan trauma punya emosi yang cepat berubah-ubah. Sekalipun kelihatannya dia baik-baik saja."

Dia menepuk pundak Niko juga. "I will not forget this. Thank you, Nik."

"Ah, kayak sama siapa aja," mereka sudah berjalan ke arah dalam ruangan.

"Apa kabarnya Ayara?"

"Persis seperti mamanya. Nggak pernah ngebosenin. Cita-citanya mau keliling dunia nemenin tantenya, Naya."

"Adikmu sudah menikah dengan Ram?" dia bertanya.

"Pas, saya nggak suka topik Naya menikah. Ram masih belum saya ijinin. Adeline udah punya pacar?"

"Kalau punya, saya akan hubungi kamu lagi untuk background check lengkap dan pasang penjaga," jawabnya.

"Ha, you know how I feel right?"

Mereka tertawa kecil.

"Hey, kalian berdua. Kenapa bekerja terus?" tegur Ibrahim Daud.

"Hanya saling bertukar kabar, Om," dia mengangguk sopan.

"Datang nanti ke acara akikah anak Arsyad dan Sabiya ya. Kapan kamu menyusul?" ujar Ibrahim sambil tersenyum lebar.

"Ah, iya. Selamat, Om," dia sudah menjabat tangan Ibrahim Daud. "Saya akan hubungi Arsyad."

"Hah, aku dulu. Janadi baru punya mantu," sahut Ardiyanto Daud- kakak dari Ibrahim dan ayah dari Audra. Kepala Ardiyanto menoleh pada Niko. "Nik, bagaimana ini? Kamu mau keduluan Maja?"

"Sedang diusahakan, Pa," Niko hanya tersenyum saja.

Obrolan ringan dan santai berlanjut. Masing-masing tetua membanggakan menantu atau cucu mereka. Maja dan Daya duduk bersebelahan. Sejenak Maja menoleh pada Daya yang menatap penuh perhatian ke arah para orangtua. Kemudian tanpa Maja mau kenangan tentang bagaimana Daya merindukan orangtuanya saat mereka bertengkar di kapal berulang di kepala. Bibir Daya memang tersenyum, tapi ada ada raut sedih yang berhasil Daya sembunyikan. Mungkin Daya merindukan ayahnya lagi. Ah, kenapa dia masih peduli. Itu bukan urusanmu, Maja. Bukan urusanmu lagi.

***

"Tolong antar saya kembali ke apartemen saya, Basri. Saya ingin berberes untuk bersiap pindah," mereka sudah berada di perjalanan kembali dari acara golf tadi.

"Baju-baju sudah disiapkan, Nyonya. Sebaiknya anda langsung membereskan semua barang pribadi anda untuk dibawa ke rumah utama. Nyonya besar bilang bahwa rumah itu sudah harus ditempati minggu depan."

"Kami butuh lebih banyak waktu untuk beberes," ujar Maja.

"Saya setuju denganmu, Basri. saya ingin segera pindah ke rumah itu," timpalnya. Ya, berada bersama Maja di apartemen Maja sendiri membuat dia sangat tidak nyaman karena sikap Maja yang kembali dingin dan kaku. Tempat itu adalah teritori Maja. Jika bukan di apartemennya sendiri, dia lebih memilih berada di tempat yang benar-benar baru.

Maja menoleh dan menatapnya tajam. Dia sendiri tidak peduli dan menatap ponsel untuk mengatur segalanya dengan Tari. Mungkin besok dia bisa memeriksa rumah itu bersama Tari dan Basri. Mempersiapkan ruangannya sendiri tanpa sepengetahuan keluarga Maja, agar dia lebih nyaman nanti.

"Saya ingin ke rumah itu besok," dia berujar setelah mengirim pesan pada Tari.

"Saya bisa antar, Nyonya. Bilang saja anda ingin ke sana jam berapa."

"Sementara ini, saya ingin tinggal di apartemen saya untuk berberes agar semua lebih cepat."

"Bagaimana dengan sesi anda sore ini dengan Rendy?" tanya Basri.

"Saya akan berangkat dari apartemen saya dengan Pak Sakih. Jangan khawatir, Basri."

"Anda tidak menemani Nyonya terapi, Tuan?" pandangan Basri beralih pada Maja.

"Maja bilang ada yang penting dan dia harus kerjakan perihal kontrak kapal kemarin. Angela harusnya sudah setuju untuk tanda tangan. Biarkan Maja bekerja, Basri," sambutnya sebelum Maja sempat angkat bicara. Lagi-lagi Maja menahan geraman kesal, mungkin karena dia mengatur semua sendiri tanpa melibatkan Maja. Dia sendiri sudah beralih pada daftar kepindahannya dalam tablet yang sudah dia keluarkan dari tas.

"Baik, Nyonya."

Satu demi satu daftar dia ketik cepat, tidak mempedulikan tatapan dingin Maja di sebelahnya, juga tidak membiarkan laki-laki ini mempengaruhi isi hati dan kepala. Jika berbelas tahun dia bisa bertahan sendiri, maka satu tahun dengan Maja bisa dia lewati mudah. Harusnya ini mudah.

***

Ketika tiba di apartemennya, Maja berdiri menatap sofa di ruang tengah. Tanpa dia bisa kendalikan bayangan tentang apa yang mereka lakukan semalam jelas tergambar. Dia bahkan bisa merasakan hangat tubuh Daya dalam pelukannya. Nafas Daya yang berhembus teratur, juga harum lembut rambut Daya yang tergerai begitu saja. Kepala dia gelengkan kuat kemudian dia berjalan untuk masuk ke ruang kerja. Daya benar, dia harus segera menyelesaikan kontrak itu dan menghubungi Yusri.

Sepuluh menit kemudian dia sudah tenggelam dengan pembicaraannya bersama Yusri yang masih berada di Bangkok. Perwakilan dari Italy mau menunggu. Angie juga masih ada di Bangkok dan akan segera menandatangani kontrak sore ini. Menurut keterangan Yusri seluruh pemeriksaan sudah selesai dan semua berjalan lancar. Setelah tiga puluh menit menyelesaikan pembicaraan, ponselnya berbunyi lagi.

"Ya?" dia menjawab panggilan dari Angie.

"Ini caramu membalasku?" ada geram yang tertahan.

"Saya tidak melakukan apapun, Angie," jawabnya dingin.

"Brengsek!! Kamu rusak reputasiku dan sekarang perusahaan ingin memecatku," teriak Angie.

"Kamu yang main api. Saya sudah peringatkan bahwa saya sudah punya istri. Kamu yang ingin menjatuhkan saya," tegasnya.

"Jadi itu yang istri sial-mu itu bilang padamu? Aku tidak melakukan apapun, Maja."

"Bagaimana saya bisa percaya jika pada pemberitaan itu hanya ada wajah saya saja. Wajahmu tertutup dan terhalang..."

"Tapi sekarang semua terbongkar. Kenapa kamu merusak reputasiku sejauh ini?" nada Angie tinggi.

Dia bisa merasakan tangis Angie dan getar pada suara wanita itu.

"Aku masih memiliki foto-foto kita dulu, Sayang. Semua masih aku simpan dengan baik," ujar Angie sambil terkekeh kecil.

Suhu tubuhnya anjlok seketika. "Angie, sudahi ini semua. Saya hanya ingin berbisnis dengan bersih dan tidak melibatkan masalah pribadi begini."

"Kamu yang membuat ini pribadi, Maja. Karirku akan hancur, jadi beberapa foto tentang kita tidak akan menyakiti siapapun kan? Publik lebih mencintaimu dan istri sial-mu itu. Mereka hanya akan berkata, 'Ah, ini karena si jalang Angie yang sakit hati saja. Foto itu foto lama."

"Angie, tolong jangan lakukan sesuatu yang akan tambah merusak reputasimu sendiri."

Angie tertawa lagi. "Aku tidak peduli, sudah tidak peduli. Jika publik tidak membelaku, tidak masalah. Yang penting istri sial-mu itu tahu bahwa kita pernah bersama dan menghabiskan waktu indah. Ah, apa yang akan orangtuamu pikirkan. Anak mereka tidak sebaik itu."

"Angie..."

"Goodbye, Maja. Jangan lupa baca berita besok pagi," tawa Angie masih di sana.

Wajahnya sudah pucat kemudian dia berusaha menghubungi Angie lagi. Tapi hasilnya nihil. Dia memang pernah berhubungan singkat dengan Angie, ketika dia dalam masa suramnya dulu saat Denta pergi. Entah kenapa dia percaya bahwa Angie memiliki foto-foto tentang hubungan mereka dulu dan dia juga percaya bahwa Angie akan menyebarkan foto-foto itu. Jadi, bagaimana ini? Siapa yang harus dia hubungi? Sementara dia sudah menyakiti Daya setelah wanita itu menyelamatkannya.

Tarik nafas, Maja. Hubungi Basri dan Agam. Periksa media yang sebelumnya Angie gunakan. Tapi seluruh informasi tentang berita sebelumnya masih berada di tangan Daya. Ponsel sudah dia angkat sambil melangkah terburu-buru ke bawah.

"Basri, apa Daya sudah berangkat ke MG?"

"Harusnya sudah, Tuan."

"Hubungi supir agar siap di lobby. Saya ingin bicara dengan Daya."

"Apa ada masalah?"

"Angie akan buat ulah lagi."

"Baik, saya siapkan."

***

Di rumah sakit MG, sesi terapi Daya sudah hampir selesai. Hanya tersisa lima belas menit terakhir saja.

"Coba gerakin begini," Rendy memutar bahu perlahan ke arah belakang sambil mengawasi. "Masih sakit?"

"Lebih baik, tapi belum terlalu nyaman," jawabnya.

"Ini butuh dua kali lagi, dan nanti saya resepkan balsam yang hangat dan nggak berbau. Jadi kamu nyaman," Rendy masih memeriksa bahunya dengan teliti. "Apa kamu baik-baik aja?"

"Aku baik-baik, Ren."

"Kamu kelihatan sedih. Mau cerita habis ini?" Rendy berhenti sejenak kemudian menatap matanya.

"Aku nggak apa-apa, beneran."

"Inget nggak waktu kamu demam sampai 40 derajat, badan kamu menggigil hebat dan kamu bilang hal yang sama. Aku baik-baik aja, Ren. Kamu tipes waktu itu karena kecapekan. Kamu selalu bilang baik-baik aja, tapi kenyataannya enggak, Ya. Persis kayak sekarang," keluh Rendy.

"Pak dokter, boleh fokus ke terapi aja nggak?" ujarnya perlahan.

Nafas Rendy hirup dalam. "Kalau ada apa-apa, kamu selalu bisa cerita." Rendy melanjutkan pemeriksaannya.

Tangan besar Rendy menekan-nekan untuk mencari sumber nyeri yang lain saat Maja menyibak tirai dan dia dengan cepat menutupi bahunya yang terbuka. Mata Maja menatap mereka tidak suka.

"Saya ada perlu dengan kamu. Selesaikan cepat dan saya tunggu di depan," pinta Maja dingin sambil menatap tangan Rendi yang masih berada di bahunya.

"Sepuluh menit lagi saya selesai. Tunggu di luar," timpal Rendy kemudian perlahan meminta dia untuk membuka baju pasien yang menutupi bahunya tadi.

Leher baju pasien dia turunkan sedikit dan tangan Rendy sudah menyentuh bahunya lagi. Tanpa dia duga Maja melangkah maju dan mencengkram kuat lengan Rendy hingga tangan Rendy terangkat.

"Saya perlu istri saya sekarang," rahang Maja mengeras.

"Saya terapis professional dan sedang melakukan tugas saya di sini. Jika kamu menghalangi dan membahayakan pasien saya, sekalipun kamu suaminya, saya bisa memanggil security dan mengusir kamu pergi," tubuh Rendy sudah tegak dan menatap Maja tajam. "Suster, apa bisa tolong bantu untuk minta pengunjung ini tunggu di luar?"

Maja melepaskan tangan Rendy kesal kemudian pergi dari sana. Jika sebelumnya dia membela Maja, kali ini dia diam saja, mematikan hatinya.

"Apa dia selalu kasar begitu?" dengkus Rendy kemudian membetulkan letak leher baju pasiennya.

"Udah, jangan ribut. Kamu udah selesai periksanya?"

Kancing depan baju pasiennya, Rendy benahi. "Sudah," mata Rendy sudah menatapnya dalam. "Kamu masih minum obat anti depresan?"

Dia tidak suka topik ini, jadi dia mulai bergerak turun dari tempat tidur pasien dan membenahi barang-barangnya.

"Tari bilang sama saya kalau kamu punya trauma. Apa karena trauma itu kamu suka berada di kamar mandi lama-lama?"

"Ren, sudah ya. Saya mau ganti pakaian."

"Daya, MG punya psikiater terbaik dan saya kenal beberapa dari mereka. Kamu saya daftarin ya? Silahkan kamu atur sendiri waktu kamu karena saya tahu kamu nggak akan mau ditemenin."

Nafas dia hembuskan perlahan. Rendy selalu perhatian. "Makasih, Ren. Kamu selalu perhatian. Tapi saya nggak apa-apa dan belum perlu ke psikiater."

"Kata siapa? Datang satu kali aja dan biarkan ahli-nya yang menilai. Gimana?" bujuk Rendy.

Belum sempat menjawab tirai sudah disibak lagi lalu lengannya ditarik oleh Maja untuk keluar dari ruangan. Rendy sudah melangkah cepat dan menghalangi Maja dekat di pintu keluar.

"Bisa pelan-pelan? Kamu tahu istri kamu bahunya terkilir kan?" nada Rendy penuh penekanan.

"Jangan kamu pikir kamu bisa atur-atur saya dan istri saya. Saya akan minta terapis pengganti mulai besok."

Rendy terkekeh kecil. "Silahkan, kalau bisa. Saya akan laporkan ini ke dokter Reyn dan dokter Sarah. Mereka kenal dengan orangtuamu kan?"

"Ren, sudah ya," bisiknya. Ada beberapa suster yang memperhatikan mereka. "Besok di jam yang sama kan?"

Kepala Rendy mengangguk dengan ekspresi khawatir yang tidak ditutupi. Dia menghentak cengkraman tangan Maja kemudian melangkah pergi dari ruangan. Mereka berjalan di lorong menuju ruang ganti dan dia mendengar langkah Basri di belakang mereka.

"Saya sudah siapkan ruangan untuk bicara. Pakaian ganti anda juga sudah ada di dalam sana, Nyonya," ujar Basri.

Dia diam saja mengikuti kemana Basri membawa mereka. Kemudian mereka tiba di salah satu ruangan tertutup. Basri membukakan pintu lalu mereka masuk. Hanya mereka berdua karena sepertinya Maja meminta begitu. Tubuhnya berbalik menghadap Maja. Laki-laki ini terlihat berusaha keras mengendalikan diri. Terserah, dia tidak peduli.

"Saya butuh informasi," mulai Maja masih berusaha tenang. "Saya tahu siapa yang menyebarkan berita saya dan Angie adalah Wawan si reporter gossip sialan itu. Tapi saya ingin tahu media mana yang mendukung Angie. Kamu pasti punya informasinya."

"Ya dan tidak."

"Maksudnya?"

"Ya, memang benar Wawan dan dia diminta oleh Angie langsung untuk mengikuti kita. Dan saya tidak punya fakta media mana yang mendukung Angie. Informan saya belum memberi kabar lagi soal media mana yang mengeluarkan berita kalian lebih dulu."

Tubuh Maja bergerak gelisah. Pastinya dia masih murka pada laki-laki ini, tapi tidak bisa menahan diri untuk menebak apa yang Maja gusarkan. "Serangan balik dari Angie? Betul begitu?"

Mulut Maja bungkam. "Beritahu saya jika kamu sudah dapatkan informasi itu."

Dahi Daya mengernyit dalam kembali memperhatikan Maja cermat. Wajah Maja cemas dan sedikit pucat. Mungkin Angie mengancam untuk membeberkan isi chat, video rekaman, atau foto-foto mesra mereka dulu. Sungguh dia bodoh untuk berpikir bahwa Maja tidak akan berbuat sejauh itu dengan Angie, baik dulu atau sekarang. Tapi laki-laki adalah laki-laki. Kebutuhan dasar mereka akan ego dan nafsu harus terpenuhi. Dia sendiri sudah mempersiapkan rencana untuk menanggulangi hal ini jika terjadi. Tapi itu sebelum Maja berulah, sekarang dia akan bungkam. Penasaran dengan apa yang akan Maja lakukan.

"Baik. Ada lagi? Karena saya ingin berganti pakaian dan kamu harus keluar.

Maja diam sejenak berusaha menelisik tatapan dinginnya. Itu percuma, karena ekspresinya dia buat sedatar mungkin agar tidak terbaca.

"Saya akan mengganti terapis mu," ujar Maja.

"Tidak perlu repot-repot. Saya sudah cocok dengan Rendy."

"Saya akan tetap ganti."

"Coba saja jika bisa," dia memberi jeda. "Ada lagi?"

Rahang Maja mengeras. Dulu dia selalu bingung kenapa Maja marah. Sekarang sudah tidak lagi, karena dia tidak peduli. Maja melangkah keluar dan menghilang dari ruangan. Membuat dia bisa menghembuskan nafas karena campuran rasa yang bercokol di perutnya.

***

Di perjalanan kembali ke apartemen, Maja menghubungi Niko Pratama untuk membantunya. Sesungguhnya dia tidak suka terus mengganggu Niko begini. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Selain karena ADS memiliki teknologi mutakhir untuk mencari informasi, juga karena dia tahu Mahendra Daud masih berada di luar negeri dan belum bisa dia hubungi. Niko akan membantu, seperti biasa. Jadi dia menunggu Niko menghubunginya kembali.

Basri dia minta untuk membawa Daya kembali ke apartemennya sebagai antisipasi jika berita itu datang dan reporter gosip mulai mengejar mereka lagi. Agam saat ini sedang menghubungi beberapa media yang menjadi relasi Digjaya agar menahan berita dari Angie jika mereka menerima berita itu.

Langit malam berawan. Minuman dia hisap perlahan. Pikirannya sibuk dengan bayangan bagaimana dia menyakiti Daya pagi ini tapi kemudian dengan cepat berganti ke ingatan tentang Rendy. Tangan laki-laki sialan itu menyentuh bahu telanjang Daya. Kemudian obrolan hangat mereka. Rendy mencari tahu tentang trauma Daya dan bahkan membujuk Daya berobat dengan dalih khawatir. Sejauh apa hubungan mereka dulu? Apa sama seperti dia dan Angie? Apa Daya sudah tidur dengan Rendy hingga laki-laki itu mengejar Daya seperti sekarang ini?

Sejak kecil dia terbiasa mendapatkan hampir segalanya yang dia minta. Sebagai ganti, dia juga akan menuruti apa yang menjadi ekspektasi keluarga. Karenanya dia benci dibantah dan diperintah, dia juga benci ditinggalkan atau diabaikan. Hal-hal yang dia benci itu dilakukan oleh Daya sejak hari pertama mereka berkenalan. Wanita menjengkelkan itu benar-benar sulit diatur dan lebih suka mengatur. Aura Daya juga kuat sekali. Hingga menarik banyak perhatian orang. Ketika kontrak sudah ditanda-tangani, dia berasumsi bahwa Daya adalah miliknya, jadi dia tidak suka ketika ada orang lain yang dekat dengan Daya. Bukan karena cemburu.

Ah, apa pedulimu, Maja? Kamu dan Daya sedang berbisnis. Ini bisnis.

Bel pintu membuat dia kembali dari lamunannya. Basri datang untuk mengantar Daya. Wanita itu masuk, mengucapkan terimakasih pada Basri kemudian melangkah ke arah ruang tamu. Setelah itu Basri juga pamit undur diri. Pandangannya mengikuti Daya yang menarik koper berukuran sedang. Ekspresi Daya kembali dingin, dan datar. Daya juga diam saja, bertingkah seolah dia tidak ada di sana. Jarak seperti ini yang dia mau. Jadi dia melangkah ke lantai atas dan mengabaikan keberadaan wanita itu.

***

Mata Maja nyalang hingga pukul dua, jadi dia baru saja bangun pukul tujuh tiga puluh. Bersiap-siap seperti biasa, memeriksa jadwal yang tidak banyak karena masih hari Minggu, kemudian turun ke bawah untuk membuat kopi. Dia menatap ke sekeliling dan menemukan Daya sedang meditasi di balkon apartemennya membelakangi dia. Daya mengenakan kaus tanpa lengan yang longgar dan nyaman, serta celana yoga midi. Bahu Daya masih dibebat ringan. Rambut Daya cepol tinggi ke atas dengan beberapa bagian menjuntai, memperlihatkan leher Daya yang jenjang dan berkeringat, mungkin setelah yoga tadi.

Suara dari mesin kopi membuat pikirannya kembali. Cangkir dia ambil dan kopi dia tuang. Biasanya setelah itu dia akan duduk di balkon sambil membaca jadwal pada tablet. Kali ini ada Daya di luar. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk di sofa depan TV dan menyalakannya untuk mendengarkan berita pagi. Kemudian dia ingat untuk menghubungi Niko dan memeriksa perihal berita Angie.

Ponsel dia angkat. "Pagi, Nik."

"Pagi, Maja."

"Maaf mengganggu Minggu pagimu. Apa sudah ada kabar?" dia bisa mendengar suara Ayara di belakang sana.

"Nggak usah khawatir, berita itu tidak akan tayang."

"Bagaimana bisa?" dia terkejut.

"Apa istrimu tidak bilang?"

Dia diam saja tidak bisa menjawab. Komunikasinya dengan Daya nilainya nol.

"Kalian bertengkar gara-gara foto lama dari Angie ya?" Niko terkekeh di sana. "Itu lah wanita Maja. Membingungkan. Mereka marah dan murka, tapi tetap membereskan segalanya."

Matanya menatap Daya yang masih berada di posisi yang sama. "Siapa yang membantu Daya?"

"Wanitamu itu punya koneksi sebanyak yang Audra miliki, mungkin lebih banyak bahkan karena Daya membangun usahanya sendiri." Niko diam sejenak. "Audra ingin bicara dengan mu, Maja."

Pandangannya menetap pada sosok Daya. "Ya, Nik. SIlahkan."

"Pagi, Maja," suara Audra di sana.

"Hai, pagi Od. Kamu tahu bagaimana bisa berita Angela hilang?"

"Aku yang bertanya dulu. Kenapa kamu bisa sebodoh itu untuk terjebak dengan Angela?" nada Audra kesal sekali.

"Itu dulu, Od. Kamu tahu apa yang terjadi dulu kan?"

"Aku tidak mempertanyakan kejadian dulu, tapi kejadian yang sekarang sedang berlangsung. How come, Maja? Are you crazy? Kemarin aku menahan diri untuk tidak memukul kepalamu. Sekarang aku kesal sekali melihat foto-foto itu. Tindakanmu yang berduaan saja dengan Angela apapun alasannya saat kalian bulan madu itu sangat gegabah. Itu bodoh, Maja. Karena kamu tahu Angela pasti akan mengungkit hubungan masa lalu kalian."

"Audra, bahasamu. Jangan marah-marah pagi-pagi," suara Niko di belakang Audra.

"Od, bilang saja bagaimana bisa Daya menahan berita itu?"

"Rahasia antara sesama wanita. Aku tidak akan bilang padamu," dengkus Audra. "Daya sudah memiliki semua foto-foto dari Angela."

Nafas dia hirup dalam, benar-benar tidak mengerti dengan sikap Daya.

"Maja, aku wanita dan paham sekali bahwa Daya benar-benar terluka karena kebodohanmu ini. Sebagai teman, aku sangat menyarankan agar kamu memperbaiki semua dengan Daya."

Saliva dia loloskan. Matanya masih memandang wanita yang menjadi istri pura-puranya itu di balkon. Duduk bermeditasi tenang sambil sedikit mendongakkan kepala. Apa yang ada di dalam kepala, Daya? Bukankah dia sudah bersikap buruk dan seharusnya Daya tidak membantunya lagi? Kenapa Daya melakukan ini semua?

Audra menghela nafas di sana. "Maja, aku sudah dengar dari Niko sedikit tentang Daya. Kamu harus berhati-hati pada istrimu. Satu trauma sudah cukup, jangan tambahkan lagi."

Kesadaran tentang itu datang tiba-tiba. Audra benar, bagaimana jika hubungan mereka yang aneh ini bisa membuat Daya trauma? Tapi harusnya Daya tidak memiliki perasaan apapun dengannya kan? Jadi Daya harusnya baik-baik saja.

"Sampaikan salamku pada Ayara, Od. Selamat pagi. Terimakasih."

Sambungan dia sudahi. Tubuhnya melangkah ke dekat jendela besar yang menghadap ke balkon. Tidak mengerti harus bersikap bagaimana. Jalan mereka tidak sengaja bersinggungan, kemudian mereka bertemu, lalu dia menawarkan perjanjian. Kedekatan baru yang penuh dengan kesal dan emosi membuat mereka memasang tembok tinggi. Lalu dia berusaha untuk masuk karena sungguh penasaran pada wanita ini, juga tidak bisa berlari dari rasa simpati. Ketika Daya mulai membuka diri, dia menjauh lagi.

Nafas dia tarik perlahan karena bayangan bagaimana dia sendiri ditinggalkan dengan seluruh tatapan mata kasihan dari para tamu datang lagi. Juga bisik-bisik mereka yang sungguh mengganggu. Dulu dia tidak tahu jika akhir hubungannya akan menyakitkan seperti itu. Tapi saat ini dia sudah mempersiapkan segalanya dengan adanya kontrak mereka. Jadi mereka tidak perlu sakit hati nanti. Karena ini bisnis dan bisnis tidak pernah punya hati.

***

Why did I do this, pick you up, put you down, put you through this. 


https://youtu.be/7nOt3UfboLY

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance