Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15 - Family Meeting

Tari sudah menanti di airport ketika Daya tiba. Dia berpamitan sopan pada Basri dan segera melangkah menuju mobil mereka. Headphone dan musik ternyata lumayan berhasil mengalihkan traumanya sekalipun dia tetap tidak suka berkendara. Selama ini dia baik-baik saja karena tidak ada yang memicu traumanya. Tapi ketika trauma itu sudah terlanjur kembali, dia mudah sekali gusar. Seperti saat ini di dalam kursi belakang mobilnya sendiri. Tangannya mulai bergetar lagi kemudian dia sembunyikan.

"Mba agak pucat," ujar Tari yang duduk di sebelahnya.

Pak Sakih sudah melajukan kendaraan. Dia meminta musik dipasang dengan volume kecil. Sehingga tidak ada suasana hening dan membuat otaknya terus bekerja.

"Jadwal saya," mulainya.

Tari mulai membacakan runtutan jadwal hari ini. Sementara dia sudah sibuk membuka tablet dan membaca satu demi satu email yang masuk. Jadwal meetingnya hari ini hingga pukul delapan. Selanjutnya dia harus mengejar ketinggalannya, juga menelusuri berita Admaja. Dia juga akan kembali ke apartemennya sendiri, hingga Admaja tiba di Jakarta. Hrrrhghhh, mengingat nama itu saja sudah membuat dia geram.

"Karenina dari Channel 7 menghubungi. Selain soal iklannya Digjaya, dia juga bertanya perihal berita Pak Maja. Jika mungkin mau buat janji sama Mba besok," lapor Tari.

"Kamu sudah tahu siapa yang menulis berita itu?"

"Wawan alias Setiawan Putra. Reporter gossip yang suka sekali dengan skandal para keluarga kaya. Dia bahkan melakukan riset tentang kehidupan anak-anak dari keluarga artis, petinggi negara, atau keluarga old money seperti Admaja."

"Kalau nggak salah dia yang menulis skandal Arya Dirga dulu dan juga yang meliput kasus Michelle Dinatra bukan?" tanyanya.

"Wah, Mba masih inget aja. Iya benar."

Dahinya mengernyit, dia sudah menolehkan kepala. "Kenapa dia bisa ada di sana, Tari?"

"Itu saya nggak paham, Mba. Resource saya terbatas."

"Hmmm, apa yang terlewat. Kenapa Karenina Herbowo menghubungi saya tiba-tiba?" otaknya berputar cepat. "Buatkan saya janji dengan Karen. Siapapun dalang dari berita itu, dia akan merasakan akibatnya karena sudah berurusan dengan saya."

"Baik, Mba," Tari diam sejenak. "Ibu Fe menjadwalkan pertemuan keluarga, setelah Pak Maja kembali dari Bangkok di rumah keluarga Hadijaya. Mungkin dua hari dari sekarang."

Dia mengangguk sambil terus membaca email-email dalam tabletnya.

"Mba, info dari Reza sudah ada dua wartawan yang menunggu di lobby kantor. Ini perihal berita Pak Maja. Sepertinya kepulangan Mba hari ini juga sudah bocor ke media."

Kepalanya mendongak sejenak. "Ada yang nggak beres, Tari. Gunakan koneksi dalam saya di media untuk cari tahu darimana bocornya informasi. Termasuk hubungi yang ada di Wincorp. Kemungkinan kecil mereka berani mengusik saya, tapi siapa tahu."

"Baik, Mba." Tari berdehem sejenak. "Satu lagi, Rendy menghubungi saya perihal kondisi kesehatan Mba."

"Bilang padanya saya baik-baik saja."

"Saya selalu bilang begitu, Mba. Tapi Rendy nggak akan percaya sebelum ketemu Mba."

"Saya tidak mau bertemu siapapun, Tari. Kecuali tim saya untuk urusan pekerjaan."

"Baik, Mba."

***

Pesan Tari ketik cepat pada Agam saat dia sudah selesai melaporkan segalanya pada Daya di mobil. Wanita itu juga sedang sibuk dengan email dan telpon-telpon penting.

Tari: Gam, lo harus ikutin tu si pelakor dan cari tahu. Jangan-jangan dia biang keroknya.

Agam: Bos gue kacau banget mukanya.

Tari: Menurut lo Mba Daya nggak kacau? Pokoknya kita harus hentikan berita itu. Jangan sampai dua bos kita pisah. Bos lo pake macem-macem sih? Dasar cowok!

Agam: Hey, Pak Maja bukan cowok ganjen. Itu si ceweknya aja yang gatel.

Tari: Tapi mereka keluar kamar berdua, Agam. Lo pikir mereka di dalem main kartu?

Agam: Pak Maja kerja, Tari. Ada kontrak penting yang harus segera ditanda-tangan.

Tari: Bulls*** Dasar cowok saling ngebela. Tanda tangan itu di restoran, lobi hotel, atau mana kek tempat umum. Mana ada minta tanda tangan di dalem kamar. Lo pikir Mba Daya bego apa.

Agam: Ini Mba Daya sakit hati karena suka beneran sama Pak Maja? Karena si Pak Maja sama kacaunya sekarang. Kelihatan banget kayak orang nggak tidur semalem.

Tari diam sejenak, berpikir. Iya juga ya. Apa karena itu bosnya sakit hati? Diam-diam dua bos mereka sudah saling tertarik jadi komplikasi perasaan mulai terjadi. Dia tersenyum tanpa sadar.

Tari: tumben lo nggak lemot, Gam. Lo ada benarnya. Tapi kita nggak boleh kendor, Agam. Tetep aja itu dua orang mesti kita bikin rujuk lagi.

Agam: Setuju. Gue akan cari tahu soal si pelakor, lo urus media di sana. Berkabar nanti.

Ponsel dia simpan kemudian dia kembali memeriksa tablet. Daya masih sibuk di sebelahnya. Tidak berapa lama ponselnya bergetar lagi.

Agam: Lo nggak nanya gue balik kapan?

Tari: nggak peduli. Rese lo, pake becanda. Lagi tegang nih gue.

Agam: Gue balik secepatnya, udah kangen sama lo belom apa-apa. <emoticon kedip mata>

Tari: <emoticon mual dan muntah> Ngasih teks nggak penting lagi gue sambit nanti kalau lo udah sampe sini.

Agam: <emoticon tertawa dan hati berwarna ungu>

Senyumnya mengembang lagi. Dasar Agam si lemot yang menyebalkan.

"Kenapa kamu senyum-senyum, Tari?" tanya Daya.

"Oh, nggak Mba. Ini grup SMA lagi pada bercanda."

Sisa perjalanan Tari lewati dengan bekerja. Daya si tangan besi sudah kembali. Dia hanya berharap hati Daya masih terbuka untuk Admaja. Entah kenapa selain karena dia ingin hidup tenang, diam-diam dia juga ingin Daya jatuh cinta dan bahagia.

***

Sudah hari kedua setelah Daya pulang ke Jakarta namun kontrak dengan Angie belum berhasil ditanda-tangani. Jadi semua urusan dengan perusahaan Italy juga tertunda. Angie seperti bermain-main dengannya. Akhirnya dia meminta Yusri untuk melanjutkan sementara dia harus cepat-cepat kembali karena ingin membereskan urusan berita tidak mengenakan itu dan meluruskan kesalahpahaman terutama pada keluarganya. Ya, Adeline tidak mau mengangkat ponselnya dan mengirimkan pesan yang tidak mengenakan. Mama juga diam saja sementara ayah sudah siap menskors-nya dari perusahaan. Ya, peraturan berlaku sama sekalipun dia pimpinan tertinggi. Yusri tetap tinggal di Bangkok untuk menyelesaikan segala proses pemeriksaan kapal dan administrasi, sementara dia kembali bersama Agam.

Hari sudah sore saat dia masuk ke dalam mobil di hari ketiga sejak Daya lebih dulu kembali ke kota ini. Agam duduk di sebelahnya. "Berita sudah diturunkan semua?" tanyanya.

"Sudah, tapi after effectnya besar. Saham perusahaan turun beberapa poin. Bapak harus segera membuat pencitraan baru bersama Mba Daya," lapor Agam.

Nafas dia hirup panjang. "Ya, saya mengerti."

"Bapak sudah dijadwalkan untuk datang pada acara golf mingguan bersama Pak Janadi dan Mba Daya dua hari ke depan. Akan ada pers yang hadir di sana dan sudah diatur oleh Pak Basri. Juga ada salah satu acara amal tahunan yang diadakan oleh Ibu Trisa Daud, jadwal belum dikeluarkan. Bapak diminta untuk datang bersama Mba Daya. Selain itu Ibu Fe sudah merencanakan beberapa makan malam hanya berdua untuk Bapak dan Mba Daya."

Dahi dia pijit perlahan. Sudah paham dengan resiko atas pemberitaan buruk itu. Tadinya dia berpikir dia dan Daya bisa jalan sendiri-sendiri ketika kembali ke Jakarta. Menjaga hubungan mereka di bawah radar berita. Tapi mimpi itu tidak mungkin terjadi karena reputasi keluarga dan perusahaannya harus diperbaiki.

Setelah empat puluh menit berkendara mereka sudah tiba di rumah keluarganya. Dia meminta Agam pulang saja karena pembicaraan di dalam adalah pembicaraan tertutup. Tidak ada Adeline yang menyambutnya di depan. Mobil Daya juga belum tiba. Jadi dia terus melangkah ke bagian dalam rumah dan menemukan mama sedang berdiri menatap jendela ke arah taman belakang.

"Malam, Ma."

"Malam," mama berbalik dan menatapnya. "Sebelum Daya tiba, Mama ingin bertanya dan kamu harus menjawab jujur, Maja. Sejujur-jujurnya. Jadi Mama mengerti harus bersikap seperti apa," ujar mama tanpa basa-basi. Mereka masih berdiri di ruang tengah.

Rahangnya mengeras. "Aku tidak melakukan apapun dengan Angela."

Pandangan mata mama penuh selidik. Berusaha mencari sedikit saja kebohongan di matanya. Dia benci saat tidak dipercaya, dan lebih benci lagi karena dia sudah terjebak pada kesalahannya sendiri.

"Apa kalian berciuman?" tanya Mama lagi sambil berjalan mengambil amplop coklat dari atas buffet dan mulai membuka benda itu.

Tangannya mengepal kuat, dia benci dituduh begini. "Tidak."

"Kenapa kalian berbisik mesra di acara ulang tahun Ruth?" foto-foto dia dan Angie mama sodorkan padanya.

Dia mengambil foto itu dan menarik nafas dalam lagi. Gambar-gambar pada genggaman tangannya menunjukkan bahwa dia dan Angie punya kedekatan khusus. Padahal saat itu terjadi dia hanya sedang kesal karena dia diabaikan oleh Daya. Hrrghhhh...kenapa jadi begini?

"Ini dari Basri?"

Mamanya tertawa kecil. "Mama sangat berharap foto itu dari Basri. Tapi sayangnya Mama dan Papa harus membayar sangat mahal sebelum foto-foto itu masuk ke portal berita kemarin, Sayang." Nafas Mama hela perlahan. "Bagaimana bisa kamu sekamar dengan wanita lain, setelah itu menggoda wanita yang sama pada acara ulang tahun kolega keluarga. Itu yang Mama tidak habis pikir," ada jeda sesaat. "Apa kamu cinta Daya? Atau kamu menikahi Daya untuk menutupi hubunganmu dengan Angela atau wanita lain yang kami tidak tahu?"

Tangannya yang terkepal emosi dia masukan ke saku celana. Sebelum bisa menjawab atau membantah, Basri sudah datang dari arah ruang tamu dan memberitahu kedatangan Daya. Kepalanya menoleh menatap wanita yang sudah mengganggu tidurnya dua hari ini. Daya mengenakan setelan kerja dengan rambut tergerai rapih. Berdiri menatap mama yang sudah menyapa wanita itu hangat. Lagi-lagi, dia diabaikan.

"Malam, Sayang. Kamu langsung dari kantor?" mama dan Daya berpelukan sejenak.

"Ya, Ma." Daya hanya mengangguk kecil tanpa tersenyum sama sekali. "Mama baik-baik? Adeline mana?"

"Adel sedang keluar. Mama tidak baik-baik melihat kalian begini. Kita duduk dulu dan bicara. Kamu sudah makan?"

"Sudah," jawab Daya pendek.

Mama menggandeng tangan Daya untuk masuk ke dalam ruang kerja ayah di bawah. Dia mengikuti dari belakang serta bisa mendengar mama berbasa-basi dengan Daya hangat. Berbeda sekali saat mama menyambutnya tadi. Pintu ruang kerja dibuka lalu ayah berdiri dari duduknya, juga menyapa Daya. Wanita itu membalas dengan sopan. Mereka sudah duduk di ruang kerja dengan tatapan ayah yang tajam menusuknya.

"Kalian pasti sudah tahu kenapa kami memanggil kalian malam ini," mulai ayah. "Sebagai orangtua, kami sangat menyayangkan sikap anak kami, Daya."

Dia sudah ingin angkat bicara namun mama memperingatinya. Rahang dia kembali katupkan kesal sementara Daya menatap ayah dengan ekspresi tidak terbaca. Lalu wajah ayah menoleh menatapnya.

"Maja, apa ada yang ingin kamu sampaikan pada Daya?" nada ayah tajam.

"Saya tidak akan minta maaf karena saya tidak melakukan kesalahan apapun," tegasnya. Emosi yang dia tahan merayap naik di dada.

Pandangan mata ayah menusuknya dalam. Mama memperingatkannya lagi dengan gerakan kepala agar dia menurut saja. Tapi dia tidak mau, karena dia tidak melakukan apapun dengan Angela dan mereka semua harus tahu itu. "Kalian boleh tidak percaya, tapi saya tidak melakukan apapun dengan Angela."

"Yakinkan istrimu kalau begitu!" hardik ayah. "Saya tidak membesarkan anak yang lari dari tanggung jawab."

"Saya tidak lari dari tanggung jawab. Saya memimpin perusahaan sejak kecil, saya berusaha menjadi kakak yang baik, dan saya menikah sesuai dengan harapan kalian! Apa yang kalian inginkan saya penuhi bahkan tanpa peduli apa mau saya!" tubuhnya sudah berdiri. Kekacauan perasaan yang mengendap berhari-hari seperti meledak begitu saja.

Ayah juga sudah tegak berhadapan dengannya, lalu mama berdiri di tengah mereka.

"Kenapa kalian tidak percaya pada saya dan mendengarkan saya. Kalian tidak pernah mendengarkan apa mau saya. Semua harus sempurna kan?" teriaknya marah.

"Kamu bersalah tapi kamu..."

"Saya percaya pada Maja," potong Daya. "Saya percaya jika suami saya tidak melakukan apapun dengan Angela. Dua hari ini saya menelusuri, perusahaan Angela tidak ingin melepas kontrak dengan Digjaya begitu saja, jadi mereka meminta Angela untuk berusaha membatalkan serah terima kapal. Angela melakukan improvisasi dan Maja terjebak pada permainannya. Karena cemburu saat melihat saya menolong salah satu chef di sana. Dengan adanya pemberitaan buruk, Angela ingin peluncuran kapal pesiar Digjaya yang baru gagal karena nantinya Digjaya bisa menjadi pesaing yang kuat bagi perusahaan Angela. Juga Angela berharap kontrak kerja sama dengan perusahaan Italia batal. Trik bisnis biasa, tapi biasanya berhasil," jelas Daya sudah berdiri di sebelahnya. "Jangan emosi, Pa. Maja hanya terjebak karena kecemburuannya pada saya."

"Apa benar begitu?" bisik mama benar-benar terkejut dengan semua keterangan Daya. Bukan hanya mama, dia pun terkejut dengan penjelasan Daya.

Cemburu katamu? Hhh, jangan harap. Mulutnya bungkam padahal dia kesal dengan kalimat Daya.

Kepala Daya mengangguk dua kali. "Angela Liem adalah urusan saya, Ma. Saya akan bereskan dia dan mengembalikan reputasi keluarga."

Nafas ayah hirup dalam. Ekspresi ayah terlihat lega. "Reputasi keluarga adalah urusan kalian berdua, Daya. Bukan hanya kamu. Jadi Maja punya kewajiban yang sama," nada ayah sudah lebih tenang. Mereka sudah kembali duduk.

"Kamu punya semua bukti atas keteranganmu tadi?" tanya ayah.

"Saya tidak akan berani bicara jika tidak punya bukti. Papa dan Mama duduk tenang saja. Saya dan Maja akan bereskan ini bersama," jawab Daya.

"Apa kamu sudah memaafkan Maja, Sayang?" mama bertanya lagi.

Kali ini wajah Daya menatapnya sendu. "Saya sakit hati karena praduga Maja atas saya. Tapi inilah pernikahan kan, Ma? Tidak selalu sempurna, tapi kami akan baik-baik saja."

"Ah, betapa beruntungnya kami memilikimu, Sayang."

Dia sendiri membeku kaku. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kesal karena tuduhan cemburu Daya, juga benar-benar terkejut dengan sikap Daya. Dia pikir Daya akan menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkannya di depan keluarganya sendiri. Memaki apa yang sedang terjadi. Tapi Daya malahan memberi solusi, berdiri di sebelahnya dan membela dia saat kedua orangtuanya tidak percaya. Jelas Daya masih sakit hati, karena sikapnya kemarin memang konyol. Jadi setelah ini apa? Kenapa dia merasakan hal yang berbeda pada Daya?

Wajah mama menoleh pada ayah. "Kami bersyukur masalah ini sudah ada jalan keluarnya dan kami punya satu kejutan lagi untuk kalian." Mama memberi jeda. "Papa dan Mama sudah siapkan saat kami tahu kalian akan menikah karena kami paham semua terjadi cepat dan mungkin kalian tidak sempat bersiap-siap," mama berdiri dan mengambil sebuah kunci kemudian menyodorkan benda itu di meja.

"Ini tempat tinggal baru kalian. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota. Suasananya enak dan nyaman, juga dengan system keamanan yang baik, karena Trisa dan Ibrahim Daud tinggal di kompleks itu juga. Mama dan papa juga sedang mempertimbangkan untuk pindah ke kompleks itu, jadi Adeline tidak jauh dari kalian. Tapi kami akan diskusikan dengan Adel dulu."

"Ma, kami lebih nyaman tinggal di apartemen seperti sekarang," elaknya. Ini mengacaukan seluruh rencananya sendiri untuk tidak tinggal satu apartemen dengan Daya. "Lebih praktis dan nggak jauh dari kantor."

"Karena kesalahanmu kamu tidak punya hak untuk menolak ini, Admaja," pungkas mama tegas.

Hhhhh...ini jadi kacau.

"Bagaimana, Sayang?" mama menoleh pada Daya.

"Saya...setuju dengan Maja. Akan lebih praktis jika kami tinggal di apartemen, Ma. Lebih dekat dari kantor," jelas Daya perlahan.

"Tidak, Sayang. Kalian tidak boleh terus bekerja. Kalian bahkan bekerja saat bulan madu. Apa-apaan itu. Jadi tidak ada penolakan. Agam dan Tari akan atur semua perpindahan kalian dari apartemen masing-masing. Sudah ada perabot-perabot yang esensial, tapi kalian bisa melengkapi lagi untuk hal-hal kecil lainnya. Bekerja sama membuat rumah itu lebih hangat dan nyaman sesuai selera kalian."

"Kami tidak punya waktu, Ma," protesnya lagi.

"Tapi kamu punya waktu untuk membuat ulah!" tegas ayah yang sudah berdiri. "Jangan membantah lagi. Selamat malam," sebelum pergi ayahnya menoleh pada Daya. "Saya sudah membaca strategi pemasaranmu dari tender yang Digicom menangkan. Itu brilliant, Daya. Sabar-sabarlah dengan Maja karena terkadang dia sedikit kekanakan dan cemburuan seperti katamu tadi. Saya istirahat dulu."

"Iya, Pa. Selamat beristirahat," Daya mengangguk.

"Pa..." dia juga sudah berdiri ingin protes tapi mama menahannya.

"Ada apa denganmu, Maja? Kenapa kamu membantah terus?" bisik mama kesal padanya. "Sayang, kamu mau makan salad segar? Mama bisa minta bibi siapkan. Bagaimana dengan bahumu? Apa masih sakit?"

Dia berjalan melewati mama dan Daya untuk keluar ruangan ingin mencari Adeline. Kenapa mama dan ayah membiarkan Adeline belum pulang sudah semalam ini. Setelah berada di luar dia melihat Adeline yang baru saja masuk dari arah ruang tamu. "Del, habis darimana?"

Mata Adeline menatapnya tajam. "Yang jelas bukan abis janjian di kamar hotel berduaan," dengkus Adeline.

"Deel, kamu nggak adil karena nggak dengerin aku dulu."

"Picture speaks a thousand words. Aku suruh kamu jagain Kak Daya, kenapa malah jadi berduaan sama cewek lain? Pas lagi bulan madu lagi. Kamu kok brengsek banget sih? You're not my brother," bisik Adeline masih dengan tatapan marah.

"Tapi aku nggak..."

"Malam, Kak Daya," sapa Adeline tiba-tiba karena Daya sudah keluar dari ruang kerja bersama mama. Senyum Adeline merekah lebar lalu kedua wanita itu berpelukan sesaat.

Adeline bahkan membisikkan sesuatu ke Daya dan respond Daya mengangguk kecil saja. Dia makin kesal karena merasa terpojok di rumahnya sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk pamit pulang. "Ma, Maja pulang dulu."

Baru dua langkah mama sudah memanggilnya lagi. "Maja, istri kamu nggak diajak pulang?"

Nafas dia hela perlahan. Tubuhnya berbalik lalu menatap Daya yang berdiri di sebelah Adeline. "Ayo pulang."

Mata Adeline melotot kemudian berujar, "Kak Daya, sini aku kenalin sama cowok yang lima kali lebih ganteng dari Kak Maja. Masih single, sukses, lebih cocok sama Kakak," tangan Daya sudah ditarik Adeline menuju pintu keluar.

"Adel, apa-apaan sih?"

"Kamu yang apa-apaan. Udah bikin salah, terus kelakuan kamu nggak ada manis-manisnya begitu," sahut Adeline galak.

"Udah, udah," Daya merangkul Adeline. "Aku tetep mau dikenalin cowok ganteng," senyum Daya terkembang pada Adeline. "Tapi Maja lagi pusing soal kontrak kapal pesiar yang masih belum di tanda tangan, Del. Jadi dia lagi sensitif," Daya membisikan sesuatu pada Adeline kemudian wajah kesal adiknya itu hilang. "Besok juga udah nggak marah-marah lagi."

Kemudian Daya sudah berdiri di sebelahnya. Karena tatapan mama dan Adeline padanya, dia terpaksa menggenggam tangan Daya yang ternyata dingin dan berkeringat. Apa Daya sakit? Daya pamit sopan pada mama dan Adeline kemudian mereka melangkah keluar rumah. Wajah Daya dia tatap dari samping dan dia merasa Daya sedikit pucat, sekalipun Daya menutupi itu semua dengan make-up.

Hanya ada satu mobil yaitu mobilnya yang berada di halaman rumah. Basri sudah menunggu di sana dan menjelaskan bahwa Basri yang meminta Pak Sakih – supir Daya untuk pulang saja. Jadi mereka naik ke kursi belakang dan Basri yang berada di belakang kemudi. Dugaan Maja ini permintaan mama dan ayah lagi. Karena semua pemberitaan yang belum reda.

Setelah di dalam mobil, Daya menarik tangannya yang masih dia genggam. Kendaraan sudah melaju. "Antarkan saya ke apartemen saya," pinta Daya.

"Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa melakukan itu. Untuk sementara sampai barang-barang dipindahkan, kalian akan tinggal di apartemen Tuan Maja. Reporter masih berkeliaran jadi saya akan terus berada bersama kalian."

Ekspresi Daya kesal namun Daya bisa mengendalikan diri dengan baik. Dia sendiri diam saja, menatap ke arah luar jendela kemudian melihat pada pantulan kaca, Daya mulai mengenakan headsetnya. Setelah beberapa saat berkendara, dia bisa mendengar suara nafas Daya yang berhembus teratur. Daya tertidur.

"Mekanisme tubuh Nyonya akan berusaha melindungi diri dengan tidur saat berkendara. Sepertinya kebiasaan ini sudah berlangsung lama, Tuan," ujar Basri dari depan karena tahu dia menatap Daya lama-lama. "Pilihan lainnya Nyonya akan bekerja di jalan. Itu keterangan Pak Sakih tadi."

"Apa Pak Sakih tahu soal trauma Daya?"

"Ya, dia tahu. Nyonya sempat berobat ke psikiater hingga dapat obat anti depresan yang diminumnya sekarang. Tapi sudah lama trauma Nyonya tidak kambuh lagi. Kemudian terpicu saat mendengar suara mesin jet pesawat dan klakson kapal. Sepertinya Nyonya trauma berat atas segala jenis kendaraan dan suara-suara mesin. Itu dugaan saya." Basri diam sejenak. "Setelah isu Angela selesai, saya sangat menyarankan anda membawa Nyonya ke psikiater untuk pemeriksaan."

Tangan Daya yang berada di pangkuan wanita itu terjatuh ke samping. Refleks dia menangkap tangan itu lalu menggenggamnya. "Tangannya dingin, Basri."

"Nyonya kelelahan karena bekerja hingga pagi beberapa hari ini. Sepertinya benar-benar mencari tahu soal berita tentang anda dan Angie." Basri diam sejenak.

Apa benar begitu? Kenapa Daya melakukan hal itu? Bukankah Daya marah padanya dan meminta dia untuk membereskan segalanya sendiri? Kenapa Daya malah membantunya? Sikap Daya terus berubah dan membuat dia tidak mengerti, bingung sendiri. Satu yang pasti, saat ini dia enggan sekali untuk melepaskan genggaman tanganya pada tangan Daya yang dingin.

"Putar balik, Basri. Kami menginap di rumah mama saja. Saya tidak mau Daya terbangun karena harus naik lift apartemen saya."

"Itu keputusan yang baik. Saya akan siapkan."

***

Mata Daya kerjap perlahan. Ingatannya berhenti hingga mereka berada di atas kendaraan menuju apartemen Maja. Dia tidak terkejut karena dia bangun di tempat tidur besar, tapi dia terkejut karena posisi tidurnya yang berhadapan dengan Maja dan dengan tangannya dalam genggaman tangan besar Maja. Nafas Maja masih berhembus tenang, laki-laki itu sedang tidur lelap. Dia melirik jam di tangan. Masih pukul dua pagi. Tubuhnya sudah diselimuti nyaman, headset juga sudah tidak dia kenakan. Kemudian tatapannya berpindah pada genggaman tangan mereka.

Masih ada banyak emosi yang dia rasa. Pada Maja, pada Angela. Tapi dia tidak bisa diam saja jika taruhannya adalah reputasi mama Fe, Adeline dan juga dirinya. Mama menghubunginya dua hari lalu dan terdengar sedih sekali. Karena pemberitaan tentang Maja makin menjadi-jadi. Emosinya sendiri mereda saat mengetahui siasat busuk Angela. Dia masih marah pada Maja, sakit hati entah kenapa. Dia juga sudah berusaha cuek saja. Maja harus bereskan ini sendiri. Tapi informasi terus dia dapatkan. Bukti dan fakta yang memang dia gali karena rasa penasarannya yang tinggi. Apa benar Maja tidur dengan Angie? Apa seluruh ketulusan Maja padanya di atas kapal hanya palsu? Menurut cerita Basri tidak begitu. Maja tidak seperti itu.

Lalu dia mencari tahu dengan seluruh koneksi yang dia punya perihal kejadian itu. Menghubungi orang-orang dalam yang biasa menyediakan informasi untuknya, juga menemui Karenina Herbowo dan keberuntungan berpihak padanya. Karenina Herbowo adalah seseorang yang memiliki dendam pribadi pada Angela Liem. Jadi Karenina membantunya mencari tahu dan bahkan memberikan dia media untuk membalas Angela. Seluruh rencana sudah dia susun rapih, berikut bukti-bukti yang akan dia kirimkan ke perusahaan Angela untuk mengancam mereka agar segera menandatangi kontrak serah terima kapal dengan ganti rugi karena penguluran waktu yang disengaja.

Tanpa rencana, segala yang sudah terjadi membawa mereka pada komplikasi hubungan yang lebih dalam lagi. Padahal dia berharap mereka bisa tinggal di tempat yang berbeda, entah bagaimana caranya. Tapi karena pemberitaan buruk itu, mereka harus tetap bersama dan membantah berita pada wartawan gossip yang tiba-tiba selalu mengikuti. Hhhh, semua karena kebodohan laki-laki yang sedang menggenggam tangannya ini. Lagian apa sih yang ada di otak Maja? Kenapa bisa terjebak pada permainan Angela. Dasar laki-laki menyebalkan.

Tapi kenapa dia tidak menarik tangannya dari genggaman Maja. Dia bisa, tapi tidak mau mengganggu tidur Maja. Karena jika Maja terbangun, mereka akan bertengkar lagi. Wajah Maja tenang, mata hitam keabuan Maja yang biasanya melotot galak tertutup sempurna. Semalam tadi Maja terlihat sangat terluka karena tuduhan keluarganya. Mama dan ayah menegur Maja keras dan ingin Maja meminta maaf padanya. Maja bersikukuh bahwa dia tidak bersalah dan entah kenapa dia percaya. Sekalipun dia tetap emosi karena perilaku kekanakan Maja dengan Angela.

Hhh, itu karena kebodohanmu sendiri, Jelek. Kenapa pakai marah-marah sama Graham dan Gracie? Juga ngapain sekamar sama Angela? Kalau kamu beneran tidur sama Angie, aku akan....hrrghhh. Apa juga pedulinya? Hubungan mereka tidak normal. Karena tiba-tiba kesal dia menarik tangan yang digenggam Maja. Kemudian tangan Maja bergerak seperti mencari, padahal mata laki-laki itu masih terpejam dan dia yakin Maja masih tidur. Karena penasaran, dia menggeser tangannya mendekat pada tangan Maja, membiarkan pinggir tangan mereka bersentuhan. Lalu tangan Maja menangkup tangannya lagi. Maja melakukan itu tanpa sadar, seperti refleks.

Apa yang ada di otak laki-laki ini? Kenapa sikap Maja berubah-ubah? Marah dan emosi, kemudian perhatian, lalu kesal dan marah lagi. Kenapa begitu? Apa benar Maja menunggu dua jam lamanya dalam kapal yang sudah berlabuh? Memerintahkan seluruh crew untuk mencarinya? Lagi-lagi, kenapa begitu? Dia hanya istri pura-pura kan? Harusnya Maja tidak seperhatian itu. Seluruh pertanyaan berputar di kepala. Tapi karena suhu dingin di dalam kamar, juga genggaman lembut tangan Maja yang terasa hangat, matanya sedikit demi sedikit terpejam.

***

Mereka resmi jadi pasangan paling aneh sejagad-nya Andini. Susah ditebak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance