Part 14 - Scandal
Yak, tarik nafas dan hembuskan.
***
Sudah beberapa kali Maja melihat Daya mengenakan gaun karena hubungan pura-pura mereka. Tapi malam ini, entah kenapa Daya terlihat lebih istimewa dari sebelumnya. Gaun Daya berwarna hitam sedikit berkilauan pada bagian bawah yang panjang. Potongan gaun sederhana dengan kualitas bahan dan jahitan yang sangat baik. Bahu Daya yang dibebat juga tertutup dengan lengan gaun yang panjang. Rambut Daya ditata sederhana, hanya dengan jepit mutiara yang menyatukan bagian tengah rambut hitam Daya. Lalu dilengkapi anting-anting dan gelang senada yang pas. Penampilan Daya terlihat klasik dan elegan.
"Gaunku ada masalah?" tanya Daya ketika turun dari lantai atas.
Dia berdehem dua kali. "Nggak masalah. Biasa aja. Beli gaun dimana?"
"Butik Enchanted, milik Sabiya si perancang terkenal itu. Ini hadiah dari mama kamu. Dia memesankan aku beberapa gaun selain gaun pengantin."
"Oh, pantas. Rancangan Sabiya selalu jadi favorit mama."
"Sebenarnya aku suka yang sedikit edgy buat sehari-hari. Tapi, ini cantik sekali ternyata dan benar-benar nyaman dipakai. Detail potongannya mengagumkan. Sekalipun panjang, aku tidak sulit bergerak," Daya berputar perlahan ingin menunjukan betapa nyaman gaun yang dia kenakan.
Maja diam memperhatikan Daya bicara hingga wanita itu selesai dan sudah berdiri tegak di hadapannya. "Shall we?"
Kepala Daya mengangguk dua kali kemudian mereka berjalan menuju restoran lantai bawah.
***
Saat memasuki restoran Maja mengamit satu tangan Daya yang dia kaitkan di lengannya. Dalam perjanjian dia boleh menyentuh Daya jika diperlukan dan saat ini sebagai suami-istri yang normal dia melakukan hal itu. Daya juga diam saja dan bersikap professional. Suasana restoran didekor sederhana namun mewah. Ada beberapa foto-foto pernikahan Kapten dan Ruth pada meja-meja di beberapa sudut area. Tamu-tamu VIP diundang dan beberapa crew kapal sebagai perwakilan. Termasuk Angie yang mengenakan gaun merah gelap berpotongan dada sangat rendah.
Sebelum Angie menghampiri mereka, Maja berjalan ke arah Kapten dan Ruth untuk mengucapkan selamat. Pasangan mesra itu sedang mengobrol dengan beberapa tamu. Dia menggunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan Daya resmi karena melewatkan gala dinner kemarin.
"Ini kesempatan yang kamu minta," bisiknya pada Daya.
Daya tersenyum kemudian berbisik, "Aku tidak akan berterimakasih untuk sesuatu yang sudah menjadi kewajibanmu."
"Sama-sama," bisiknya kembali.
Sikap Daya benar-benar sempurna. Wanita ini seperti bunglon. Ketika bekerja Daya akan terlihat sangat dingin dan professional, ketika bersamanya Daya bisa berubah menyebalkan, merajuk, tapi juga bisa tersenyum dan tertawa santai, ketika bersama keluarganya Daya akan berubah hangat serta perhatian. Saat ini sikap Daya luwes, tersenyum dan terlihat sangat percaya diri namun santai. Benar-benar seperti bunglon yang terus berubah sesuai keadaan. Itu yang membuat dia selalu penasaran dan sulit untuk bosan.
Acara berlangsung lancar. Kapten dan Ruth terlilhat sangat bahagia malam ini. Akhirnya juga dia tahu bahwa Graham ikut pelayaran kali ini atas undangan Kapten. Ruth sepertinya suka dengan masakan Graham. Hal yang menyebalkan adalah karena perhatian Daya terbagi saat bertemu dengan Gracie si gadis kecil anak Graham. Ya, Gracie terus menarik tangan Daya karena ayahnya sedang sibuk dibalik dapur.
"Malam Maja, istrimu sibuk dengan Gracie. Boleh aku duduk di sini?" sapa Angie sudah duduk tanpa permisi di kursi Daya sebelahnya. KursiAngie geser hingga mendekat padanya.
Dia diam saja meneruskan hidangan penutupnya. Ya, memang sudah masuk waktu makan malam dan mereka sudah hampir selesai makan. Dia dan Daya duduk satu meja dengan Kapten. Namun pasangan bahagia itu sedang menyapa tamu lain sedang Daya sudah ditarik Gracie untuk duduk di meja gadis itu, berdua.
"Masakan Graham istimewa. Dia koki yang hebat," puji Angie sambil menyesap anggur.
"Saya pernah makan yang lebih enak dari ini," timpalnya menyudahi hidangan. Tiba-tiba dia kehilangan nafsu dan hanya ingin pergi dari tempat ini bersama Daya.
"Aku dengar Graham sudah berkenalan dengan Dayana. Tadi dia cerita padaku dan dia bilang istrimu memiliki senyum yang memikat."
Matanya menatap Daya dari kejauhan yang sedang tertawa kecil dengan Gracie. Mahluk kecil menyebalkan. Kenapa Gracie nggak cari teman seusianya sih?
"Maja, kamu nggak dengerin aku," protes Angie.
Dia menoleh kemudian tersenyum sopan. "Ada apa, Angie? Apa kamu sudah menyelesaikan seluruh tanda tangan dari pihakmu?"
Angie tersenyum lagi sambil meletakkan satu tangan di bahunya. "Ya, aku akan segera selesaikan. Apa rencanamu di Thailand setelah urusan kita selesai?" tubuh Angie sedikit condong padanya.
"Menemani istriku."
"Aku dengar, Dayana memiliki usahanya sendiri dan lumayan besar di Jakarta. Pasti dia sibuk," tangan Angie tidak pergi dari bahunya. "Seperti saat ini," kepala Angie menggendik ke arah meja Gracie.
Dia menoleh dan melihat Daya yang sedang duduk bersama Gracie dihampiri oleh Graham. Laki-laki bermata biru itu keluar dari arah dapur masih dengan seragam kokinya untuk melakukan tradisi. Yaitu menyapa beberapa tamu penting dan menanyakan tentang bagaimana hidangan malam ini. Tapi saat di meja Gracie, Graham mengobrol hangat bersama Daya.
"Jika istrimu sibuk, kita bisa melakukan apa yang tertunda pagi tadi di kamarku," bisik Angie dekat sekali.
Sebelum dia bisa sempat menanggapi, kepala Daya menoleh dan mata wanita itu tertumbuk padanya dari jauh. Senyum hangat Daya berhenti dan berubah menjadi datar ekspresi melihat posisi Angie yang dekat sekali dengannya. Sedikitnya dia menikmati tatapan datar Daya kali ini. Mungkin Daya tidak suka dia berdekatan dengan Angie, seperti dia yang tidak suka saat Daya tertawa untuk laki-laki lain selain dia. Jadi dia membiarkan tubuh Angie yang bersandar padanya, sambil menatap Daya sama datarnya.
***
Sikap Maja dan Angie tidak membaik sepanjang acara. Mereka terlihat berbisik di ujung meja bar, dengan tubuh Angie yang dekat dengan Maja sambil tersenyum menggoda. Laki-laki itu meladeni, sementara Daya berusaha tenang sambil berbincang dengan Ruth dan Kapten di seberang ruangan.
"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Ruth padanya.
"Sayang, saya yakin Maja hanya sedang berdiskusi tentang kontrak kapal ini bersama Angie. Tidak ada yang lain," sang Kapten berusahan menetralkan situasi.
"Kami baik-baik, Ruth. Jangan khawatir," ujarnya menutupi denyut nyeri di dada.
Sepanjang sisa acara dia berhasil bersikap professional saja. Tersenyum hangat, tertawa jika dibutuhkan, juga mengobrol dengan tamu-tamu penting dan mengingat-ingat nama perusahaan mereka. Maja sudah kembali berdiri di sisinya setelah puas dengan Angie. Beberapa kali, Maja menyentuhnya sopan. Namun sebisa mungkin dia memberi jarak dengan cara halus. Karena sungguh dia tidak paham kenapa Maja bersikap seperti itu pada Angie, seperti memberi angin segar atas hubungan rahasia apapun yang mereka miliki.Dia tidak peduli jika dia bukan istri Maja. Sungguh. Tapi sebagai istri sah Admaja Hadijaya, perilaku Maja malam ini di depan tamu seolah meledeknya. Jika Maja memang ingin tidur dengan Angie, silahkan lakukan di ruang tertutup, tidak bermesraan di depan publik begitu. Padahal baru saja sore tadi mereka melakukan gencatan senjata, namun sepertinya itu sia-sia. Untung saja Basri tidak ada di sana. Hah, apa pedulinya juga. Maja yang merusak ini semua.
"Kamu diam saja. Ada apa?"tanya Maja saat pintu sudah ditutup dan mereka sudah kembali ke dalam kamar pukul sebelas malam.
Dia berbalik berhadapan dengan Maja. Bersiap menumpahkan seluruh makian untuk laki-laki menyebalkan ini.
"Kamu tidak suka saya dekat dengan Angie?" lanjut Maja.
Dengan seluruh daya upaya dia berusaha menahan emosinya. "Silahkan dekat dengan Angie. Wanita itu seksi dan cantik sekali. Urusanmu, bukan urusan saya." Tubuhnya berbalik dan melangkah ke lantai atas.
"Tapi urusanmu, adalah urusan saya, Daya."
Langkahnya terhenti. Dia tidak tahan juga. "Kenapa kamu tidak meminta Angie untuk jadi istri pura-puramu? Kelupaan atau gimana? Karena pada akhirnya kalau kamu mau terus bersama dia jadi gampang kan? Urusan bisnis lancar, kamu juga bisa tidur dengannya bebas, dan bisa saling menyentuh di depan umum seperti tadi. Ini bukan kali pertama kalian berduaan kan?"
Maja diam saja.
"Saya tidak mau ikut campur, ketika itu tidak merusak nama baik saya sebagai istri sahmu. Perilakumu malam ini benar-benar kelewat batas, Admaja. Seluruh tamu melihat, Ruth bahkan bertanya padaku apa kita sedang bertengkar. Dan aku harus jawab apa? 'Oh tidak Ruth, suamiku hanya sedang menggoda wanita lain di hadapanku', begitu?"
"Bagaimana dengan prilakumu sendiri? Dengan Graham, serius?" nada Maja naik.
"Aku duduk dengan Gracie dan sedang mengobrol saat Graham datang menyapa. Kami tidak saling berbisik mesra!" teriaknya. Emosi dia coba kuasai. Ini sulit sekali. Nafas dia hirup dalam-dalam dua kali. "Laki-laki terhormat sepertimu harusnya lebih mengerti dan tidak perlu diajari."
"Jangan sembarangan bicara! Kamu yang meninggalkan saya untuk mendekati Gracie."
"Jangan bawa-bawa gadis kecil itu. Ini tidak ada hubungannya dengan Gracie!"
"Aku sudah bilang jangan dekat-dekat Gracie!" bentak Maja.
Percuma, Daya. Ini percuma. Kepala dia gelengkan dua kali untuk menepis amarah. Mulut dia bungkam kemudian dia melangkah pergi dari kamar mereka untuk mendinginkan kepala.
"Daya! Mau kemana?"
Langkahnya panjang dan cepat. Maja tidak akan menyusulnya, untuk apa. Dia marah karena dia dihina di depan umum tadi. Jika saja Maja berhubungan di belakangnya, dia tidak masalah. Tapi apa benar begitu? Kenapa dadanya sendiri penuh sesak dengan emosi? Terlalu penuh. Bukan hanya kesal pada sikap Maja saja. Ada banyak kebingungan yang dia rasa atas amarah ini. Tanpa sadar dia menyusuri lorong-lorong koridor yang tampak sama. Kemudian dia menoleh ke belakang karena kamar mereka sudah entah dimana. Punggung dia senderkan di dinding, nafas dia atur tiga kali. Dia butuh udara.
***
Tubuh Maja mondar-mandir gelisah. Dia masih marah dan sangat emosi karena sikap Daya tadi. Tapi entah kenapa dalam hatinya merasa bahwa apa yang Daya bilang tadi benar. Kenapa juga dia membiarkan dirinya sendiri terjebak dengan kata-kata Angie. Setelah beberapa menit berlalu dia baru sadar bahwa ini sudah malam dan keberadaan Daya di luar bisa menimbulkan banyak asumsi. Langkahnya panjang-panjang untuk keluar dan mencari Daya.
Dia turun ke lantai VIP bawah tempat restoran dan bar yang masih buka hingga menjelang pagi nanti. Bertanya pada waiter di sana tentang keberadaan Daya. Jawaban mereka sama, tidak ada. Kemudian dia menuju dek luar masih di lantai VIP. Angin malam yang dingin berhembus. Hanya ada sedikit orang yang sedang mengobrol dan tertawa. Daya juga tidak di sana. Mungkin Daya terus turun ke bawah. Kakinya sudah ingin melangkah pergi saat mendengar suara dalam seorang laki-laki dari sudut dek yang dia tidak periksa tadi. Basri?
"Sebaiknya anda masuk ke dalam, Nyonya. Angin malam tidak baik untuk kesehatan anda."
Kakinya melangkah mendekat namun memutuskan untuk menyembunyikan diri. Hanya diam mendengarkan percakapan Daya dan Basri.
"Saya masih ingin di sini, Basri," jawab Daya.
Wanita itu mendongakkan kepala menatap bulan di atas sana. Wajah Daya terlihat sendu sekali ditatap dari samping begini. Sementara Basri berdiri di belakangnya. Ada jas Basri yang sudah disampirkan pada bahu Daya. Ya, dia mengintip dari tempatnya berdiri.
"Apa anda bertengkar dengan Tuan?" tanya Basri.
"Kami tidak selalu sependapat."
"Tuan Admaja memang terkadang..."
"Aku tidak mau bicara soal dia, Basri. Tolong," pinta Daya. Ada jeda yang lama. Mata Daya masih terus menatap bulan. "Apa kamu tahu Graham dan Gracie?"
"Ya, saya tahu mereka."
Daya diam sejenak lalu berujar lagi. "Mereka keluarga yang hangat. Graham begitu mencintai Gracie, begitu pula sebaliknya." Saliva Daya loloskan, seperti menahan sedihnya sendiri.
"Anda rindu dengan orangtua anda?"
Kali ini mata Daya terpejam sekalipun kepalanya masih mendongak ke atas. "Aku bukan hanya rindu, Basri. Aku akan menyerahkan apa saja, asal aku bisa bertemu dengan mereka lagi," air mata Daya menetes perlahan. "Apa saja."
Dada Maja berdetak lambat sekali, menyaksikan itu semua. Daya senang berada bersama Graham dan Gracie hanya karena merindukan ayahnya. Bukan tertarik dengan laki-laki bermata biru itu. Sakit yang Daya rasakan seperti bisa dia rasakan juga. Karena tiba-tiba udara terasa lebih dingin menusuk hati. Daya tidak terisak cengeng. Hanya diam menatap bulan sambil meneteskan air mata. Tapi pemandangan itu meremukan hati. Karena kerinduan Daya bisa dia rasakan sejelas udara. Bercampur dengan kesepian, dan juga dalamnya trauma Daya.
"Ini kenapa aku jarang sekali berlibur, Basri. Berlibur membuatku selalu teringat mereka," Daya mengusap air mata sambil terkekeh getir.
Saliva dia loloskan karena tidak tahan dengan campuran rasa yang mengaduk perutnya. Langkah kakinya mundur perlahan. Menjauh pergi dari sosok Daya dan Basri. Sikapnya buruk sekali tadi, buruk sekali.
***
Kapal akan berlabuh sore hari tapi Maja belum berhasil menemukan Daya sejak pagi tadi. Ya, dia tertidur di sofa karena menunggu Daya kembali dan bangun kesiangan. Ketika dia bangun, Daya sudah tidak ada di kamar. Restoran tempat sarapan sudah dia sambangi, waiter bilang Daya tidak ke sana. Daya bahkan melewatkan sesi terapi. Dia tidak mau bertanya pada Basri dan membuat Basri melaporkan banyak hal buruk lain tentang mereka pada orangtuanya. Tapi ketiadaan Daya membuat dia benar-benar khawatir.
Akhirnya dia menemui Andito agar membantunya untuk mencari Daya. Apa mungkin Daya menonton salah satu pertunjukkan di bawah? Atau bioskop. Hingga pukul dua siang Andito belum melaporkan apapun. Padahal dia sendiri sudah keluar masuk teater dan ruangan pertunjukan. Suasana yang ramai membuatnya kesulitan mencari. Dia juga tidak tahu Daya mengenakan pakaian apa.
Dimana kamu, Daya? Jam tangan terus dia periksa saat ponselnya berbunyi. Hah, Basri sudah mengembalikan akses telpon mereka.
"Selamat sore, Maja."
"Sore, Kapten."
"Dalam dua puluh menit kapal akan berlabuh dan dalam sepuluh menit saya akan mulai membunyikan klakson. Tolong peringatkan istri anda."
"Terimakasih, Kapten."
Dia memutuskan untuk kembali ke lantai atas. Mungkin saja Daya juga sudah berada di kamar. Ponsel dia angkat untuk menghubungi Daya. Namun ponsel Daya belum aktif. Sial. Setelah keluar dari lift, dia melangkah cepat-cepat. Pintu kamar dia buka.
"Daya, Daya." Dia naik ke atas dan terkejut karena bahkan koper Daya sudah tidak ada di sana. Tadi ketika meninggalkan kamar koper itu masih ada di tempatnya.
Jantungnya seperti berhenti mendengar klakson kapal yang berbunyi. Ya Tuhan, Daya. Dimana kamu. Telpon dia angkat lagi.
"Basri, dimana Daya?"
"Tadi siang Nyonya berjalan-jalan di lantai bawah. Tapi saya pikir Nyonya sudah kembali ke kamar."
Klakson berbunyi lagi. Dia makin cemas. "Basri, tolong cari Daya sekarang."
"Baik, Tuan."
Kakinya melangkah keluar balkon dan mengamati dek yang ramai di bawah. Mencoba mencari sosok wanita itu. Klakson kapal berbunyi lagi, saat itu terjadi, dadanya terasa sesak karena cemas yang ditahan. Sampai kapal berlabuh dengan selamat, Daya tetap tidak bisa dia temukan.
***
Sudah lebih dari dua jam kapal berlabuh dan mungkin saja seluruh penumpang sudah turun. Maja masih belum beranjak dari kamarnya karena masih menunggu kabar perihal Daya. Bayangan tentang betapa paniknya Daya ketika diserang trauma membuat dia tidak bisa melakukan apapun karena terlalu khawatir dan cemas. Dia bahkan meminta secara khusus agar seluruh crew mencari Daya. Bayangan Daya meringkuk ketakutan pada salah satu ruangan dalam kapal besar ini membuat pikirannya buntu. Apa mungkin Daya pingsan? Ya, Tuhan. Pintu kamar diketuk lalu Basri masuk.
"Tuan, saya sudah dihubungi oleh Nyonya," lapor Basri.
"Dimana Daya?" tubuhnya sudah berdiri tegak.
"Nyonya sudah keluar kapal dan berpesan bahwa dia baik-baik saja. Nyonya akan menemui anda di hotel karena tadi saya sudah menginformasikan hotel kalian."
"Daya akan selalu bilang dia baik-baik saja, Basri. Tapi kenyataannya nggak begitu," geramnya kesal. Ponsel sudah dia angkat untuk menghubungi Daya lagi.
Nada sambung tanpa jawaban. "Hrrghhh." Sebelum dia mengulang panggilan, ponselnya berdenting tanda pesan masuk.
Daya: Saya punya banyak pekerjaan yang tertunda. Kita ketemu di hotel saja. Pastikan kamar kita terpisah. Penjelasan pada Basri adalah urusanmu.
Ponsel dia genggam erat sambil membaca ulang pesan Daya. Wanita ini benar-benar....hrrrghhh. Dia sungguh khawatir dan cemas seharian, tapi Daya berpeilaku seolah tidak ada apa-apa. Tangannya mengetik cepat untuk membalas pesan Daya.
Maja: Angkat telpon saya.
Selama beberapa saat dia menunggu jawaban Daya. Tapi nihil. Kemudian dia mengetik lagi.
Maja: Dimana kamu? Cepat hubungi saya. Sekarang, Daya.
Dia menghubungi Daya lagi sekalipun hasilnya masih sama, tidak diangkat. Sepuluh menit kemudian juga tidak ada jawaban dari Daya atas pesan yang dia kirim.
"Tuan, sebaiknya kita menunggu di hotel saja. Saya yakin Nyonya Daya bisa menjaga dirinya dengan baik. Kita akan periksa kondisi Nyonya bersama saat sudah bertemu dengannya."
Tangannya bertolak pinggang sambil menghembuskan nafas perlahan. Dia benar-benar harus bicara pada Daya perihal ini. Kemudian dia melangkah keluar kamar.
***
Ada headphone berwarna perak dalam genggamannya. Daya memilih headphone dengan kualitas terbaik agar tidak perlu mendengar klakson kapal dari tempatnya bersembunyi tadi, ruang terapi yang tidak diperiksa Maja dua kali. Ruangan itu kedap suara tiga puluh persennya, untuk memberikan efek tenang dan nyaman. Apa berhasil? Dia masih bisa mendengar klakson kapal itu sayup-sayup diantara musik pada headphone-nya. Tapi sang terapis membantu dengan cara terus menggenggam tangannya.
Kemudian dia turun dari kapal lebih dulu, lalu duduk di salah satu kafe yang dia temukan di perjalanan. Mulai membuka laptop dan bekerja. Tidak membiarkan getar pada tangannya dan bayangan-bayangan mengerikan itu mengganggu. Tari dan timnya sudah stand by. Lalu dia tenggelam dengan sesuatu yang dia suka, pekerjaannya.
"Mba, gimana keadaan bahu kamu?" tanya Tari setelah meeting online selesai. Tersisa mereka berdua saja.
"Baik, Tari. Terimakasih."
"Rendy telpon saya dan tanyakan Mba. Dia tahu dari Mba Adeline."
"Kamu nggak bilang apa-apa kan?"
"Saya bilang Mba sudah membaik."
"Good."
Tari diam sebelum melanjutkan. "Pak Yusri sudah tanya kapan eksekusi tahap pertama bisa jalan. Saya bilang masih ditahan sama Mba Daya."
"Jalankan minggu depan," nafas dia hela karena dia benar-benar lelah.
Sebelumnya dia ingin Maja bereaksi atas penundaannya. Tapi setelah kejadian Angie, dia tidak mau banyak berurusan dengan Maja dan membuat semua professional saja. Matanya menatap jam di tangan, sudah pukul delapan malam. Sebelum dia menyudahi pembicaraan dengan Tari, dia mendengar Tari seperti berbisik di seberang sana.
"Ada apa, Tari?" tanyanya penasaran.
Tari berdehem gugup. Ada suara ketikan cepat Tari. "Mba, maaf."
"Kenapa?"
"Tolong liat portal berita Celebrity One. Beritanya baru keluar dan Melly yang tadi kasih tahu saya."
Dia mengetik cepat pada mesin pencari di laptopnya. Saliva dia loloskan membaca judul berita itu.
'Menikah karena perjodohan, Admaja Hadijaya lebih memilih sekamar dengan wanita lain saat berbulan madu.'
Jantungnya seperti berhenti melihat foto-foto Admaja yang keluar dari kamar VIP di dalam pesiar. Wajah Admaja jelas sekalipun wajah wanitanya tidak. Dia sudah tahu siapa si sang wanita tapi tidak menyangka bahwa Admaja benar-benar bisa melakukan hal itu. Kamar di dalam foto jelas bukan kamar mereka.
"Mba, saya hubungi orang dalam kita di sana, cari sumbernya, dan kabari Mba setelah ini."
Ponsel sudah dia tutup dengan wajah yang masih menatap kosong ke depan. Admaja tidak mencintai dia, sudah jelas, sudah tahu. Tapi tidur dengan wanita lain saat mereka berbulan madu hingga tertangkap basah begini membuat semua berantakan. Bukan hanya rumah tangga pura-pura mereka, tapi juga nama keluarga Maja, reputasi mama Fe, reputasinya. Ya, jika sebelumnya dia marah pada Admaja. Kali ini, dia murka.
Cepat-cepat dia membereskan barang-barang saat ponselnya berbunyi lagi. Admaja. Makanan dan minuman dia bayar kemudian dia melangkah cepat ke luar kafe. Mencari taksi dan beruntungnya ada satu yang berhenti. Layar ponsel dia tatap. Nama Admaja berganti dengan Basri. Ponsel itu dia angkat.
"Ya, Basri?" dia berusaha keras mengendalikan diri.
"Nyonya, kami tunggu di hotel. Kami sangat khawatir dengan kondisi anda. Selain itu, ada sesuatu yang harus dibicarakan."
"Baik."
Pikirannya berkecamuk saat menatap lagi foto-foto berita tadi pada ponselnya. Sekalipun tidak mau membaca detail berita yang sudah pasti dilebih-lebihkan. Entah kenapa dia merasa sesak. Hubungan mereka hanya pura-pura, dia tahu itu. Tapi kenapa ini terasa persis seperti pengkhianatan. Bukan hanya reputasi Admaja, tapi reputasinya sebagai istri Maja akan dipertanyakan. Selain itu, entah kenapa atau bagaimana dadanya terasa sakit sekali. Matanya menatap keluar jendela kemudian dia menghirup nafas berkali-kali, berusaha menghentikan air mata. Dalam tiga puluh menit dia tiba di hotel mewah pada pusat kota Bangkok dan Basri sudah menantinya di lobby.
"Apa anda baik-baik saja?" tanya Basri.
Dia diam dan terus melangkah. "Suami saya berselingkuh, Basri. Saya tidak baik-baik saja." Mereka masuk ke dalam lift kemudian dia berujar lagi. "Pesankan saya satu kamar terpisah."
"Sebaiknya anda bicara dulu dengan Tuan..."
"Pesankan, atau saya bisa pergi dari sini malam ini juga," pintu lift tertutup.
"Baik, Nyonya."
Mereka sudah tiba di depan pintu kemudian dia menghirup nafas dua kali. Matanya terpejam sesaat kemudian bayangan bagaimana Admaja saling menggoda dengan Angie ada di sana. Get over it, Daya. Pintu dia buka dan laki-laki itu sudah berdiri menunggunya.
"Saya ingin bicara dengan istri saya berdua saja, Basri," ujar Maja sambil menatapnya tajam.
"Baik, Tuan. Saya..."
"Tinggal di sini, Basri. Saya tidak mau berada dalam satu ruangan dengan Admaja saja," tegasnya balas menatap Maja.
Laki-laki itu sudah melepas jas dan menggulung lengan kemeja. Selama beberapa saat Maja hanya diam seperti mengatur kata-kata.
"Darimana saja kamu?"
"Saya sudah mengirim pesan bahwa saya bekerja."
"Kenapa kamu tidak mengangkat telpon saya?"
"Ah, itu ya. Saya pikir kamu sedang sibuk bersama Angie."
Rahang Maja mengeras. "Keluar, Basri."
"Tetap di sini, Basri."
Basri melangkah dan berdiri di antara dia dan Maja. "Tuan dan Nyonya, sebaiknya anda berdua duduk dulu. Bicarakan baik-baik. Saya yakin ini hanya salah paham..."
"...dan Admaja salah kamar? Apa itu maksudmu, Basri?" potongnya.
"Saya bekerja dan tidak terjadi apa-apa," teriak Maja.
"Oh ya. Sudah pasti. Apa yang saya pikirkan hingga menyangka kamu tidur dengan Angie? Kamu pasti hanya bekerja di dalam kamar hotel berdua saja! Kamu bodoh atau apa?"
"Jangan keterlaluan, Daya!"
"Saya yang keterlaluan?" dia terkekeh saat air matanya jatuh satu.
"Saya mencarimu seharian dan meminta seluruh crew kapal mencari dua jam lamanya. Kamu menghilang seenakmu saja! Pergi kemana kamu? Sibuk dengan Graham?"
Tangannya mulai bergetar dan mengepal kuat. Jika pernikahan sandiwara seperti ini sudah terasa seperti neraka, maka harusnya dia beruntung karena tidak menikah sungguhan dengan Admaja. Laki-laki ini egois, kekanakan, mau menang sendiri dan suka memutar balikan fakta. Tidak ada satu hal pun yang dia suka. Air matanya yang jatuh hanya karena dia merasa dihina. Berita itu seolah berkata bahwa dia tidak pantas, dia tidak sebaik Angela Liem. Kekasih diam-diam Admaja. Dia sudah kembali menegakkan kepala. Satu-satunya alasan kenapa dia tidak meneruskan ini adalah karena keberadaan Basri. Jadi tubuhnya berbalik pergi meninggalkan ruangan.
"Mau kemana kamu? Kita belum selesai bicara?"
Langkahnya berhenti kemudian kepalanya menoleh ke samping. "Standar bicaramu dengan saya sangat jauh berbeda. Saya pikir saya tidak suka laki-laki yang berselingkuh, namun ternyata lebih benci pada seseorang yang suka memutar balikan fakta. Bereskan sampahmu sendiri, Admaja."
Pintu kamar dia tutup di belakangnya. Ponsel dia angkat untuk menghubungi Tari. Tidak sadar bahwa Basri menyusul di belakang. "Tari, carikan tiket ke Jakarta malam ini. Saya ingin segera kembali bekerja."
"Baik, Mba. Saya carikan dulu," jawab Tari.
"Sebaiknya anda beristirahat dulu malam ini, Nyonya," Basri mensejajari langkahnya. "Saya akan aturkan jet agar siap besok pagi untuk mengantar anda pulang."
"Tidak, terimakasih. Saya berangkat malam ini," mereka sudah berada di dalam lift menuju lobby bawah.
"Saya memaksa, Nyonya," Basri dengan sigap menghubungi Tari untuk membatalkan permintaannya setelah keluar dari lift.
Kemudian Basri menahan lengannya yang tidak terkilir. "Nyonya, kita duduk dulu dan ini bukan permintaan," tegas Basri.
Tubuhnya berbalik dan berhadapan dengan Basri. "Saya sangat menghargaimu, Basri. Kamu adalah orangtua selain ayah dan ibu Maja. Saya paham kamu khawatir pada saya, tapi saya sudah dewasa dan tidak perlu berlebihan begini. Berbelas tahun saya sendiri dan kehidupan saya jauh lebih buruk dari ini," nafas dia hirup dalam. "Sudah ada dua pemberitaan muncul perihal Maja dan Angie. Sebaiknya kamu fokus untuk menurunkan berita itu sesegera mungkin. Reputasi saya saat ini adalah sebagai korban dan kamu paham benar yang paling dirugikan adalah Admaja dan keluarganya."
"Saya sudah paham, Nyonya. Agam sudah mulai bekerja menangani hal itu. Tapi bepergian dengan kondisi trauma akut bisa berbahaya bagi anda," ujar Basri tenang. "Saya tidak melarang anda kembali dan paham benar dengan segala sakit hati anda atas pemberitaan ini. Jadi biarkan saya menyiapkan semua untuk anda."
Belum sempat dia menjawab ponsel Basri berbunyi. Setelah menyapa seseorang di seberang sana Basri mengulurkan ponsel padanya. "Nyonya Besar menghubungi. Dia ingin bicara dengan anda. Tolong duduk dulu di sini sementara saya mengatur semua."
Nafas dia hirup dalam lalu mengambil ponsel Basri. "Malam, Ma."
"Apa kabarmu, Sayang?" tanya Ferina di sana.
Dia diam sejenak. "Tidak terlalu baik."
Ada helaan nafas terdengar. "Mama mengerti. Ayah sedang bicara dengan Admaja. Apa yang kami bisa lakukan agar kamu lebih nyaman?"
Saliva dia loloskan. Sungguh jika semua tidak palsu, dia pasti akan merasa sangat bahagia memiliki ibu dan ayah mertua yang begitu pengertian. Juga adik ipar yang selalu mendukungnya. Tapi saat ini semua terasa sesak. Kekalutan yang tadi berhasil dia redam saat ini kembali terdorong naik ke dada, bercampur dengan rasa bersalah yang mendera karena status pura-pura mereka.
"Sayang, kami mengerti jika kamu ingin kembali ke Jakarta. Biarkan Basri bersamamu, okey? Kita akan bicarakan semua di sini bersama-sama."
Kepalanya menunduk karena satu-dua air mata jatuh lagi. Ah, kenapa dia cengeng begini. Dia membenci Admaja Hadijaya, tapi sangat menyayangi keluarga laki-laki itu. Nafas dia hirup dalam sambil menghapus air mata tadi. "Baik, Ma." Sambungan disudahi.
Basri melangkah ke arahnya setelah selesai dari meja resepsionis. "Kamar anda sudah siap. Saya antar."
Dia mengangguk kemudian melangkah bersama Basri. Malam ini dia harus menenangkan diri, hingga bisa berpikir lebih jernih atas segala yang sudah terlanjur terjadi. Memisahkan satu demi satu yang dia rasa agar dia bisa mengantisipasi. Dengan begitu dia memiliki bentengnya sendiri dan tidak terperangkap pada perasaan semu untuk laki-laki yang dia benci.
***
Ponsel sudah Maja tutup dan kemarahan ayah masih jelas di telinga. Gelas minuman yang ada digenggamannya sudah dia banting ke lantai karena amukan perasaan di dada. Dia tidak menyangka bahwa mereka diikuti reporter seperti ini. Brengsek, sialan! Tapi apa benar Daya tidak tahu tentang reporter itu? Karena Daya pernah bilang wanita itu bisa membaui reporter dari jauh? Atau ini hanya akal-akalan Daya saja?
Daya terlihat sangat marah tadi, Maja. Tidak mungkin Daya. Tapi benarkah begitu? Dia sudah meminta Agam mencari tahu bagaimana bisa berita itu lolos ke media. Harusnya Angie tidak bodoh karena pemberitaan ini akan menyeret wanita itu juga. Ponsel dia tatap karena berdering tiba-tiba.
"Ada apa, Angie? Sedang menikmati rumor tentang kita?" ujarnya dingin.
"Hey, ayolah. Itu bukan aku. Aku juga dirugikan," kekeh Angie ringan di seberang sana.
"Kamu tidak terdengar seperti orang yang dirugikan."
"Jam berapa besok kita bertemu?" Angie tidak merespon kalimat terakhirnya.
"Kamu akan bertemu dengan Yusri, salah satu perwakilan kami. Saya harus kembali segera ke Jakarta."
"No, no, no. Saya tidak akan mau tanda tangan jika kamu tidak datang, Sayang."
"Jangan macam-macam, Angie. Saya sudah beristri."
"Kalian dijodohkan, Maja. Kamu nggak cinta dia, dan aku bisa rasakan itu. Hubungan kalian berjarak dan kamu membiarkanku masuk."
"Apapun yang terjadi antara kita dulu, itu tidak akan terulang lagi," tegasnya.
"Maja, kamu sekarang sedang kesal karena pemberitaan kita. Aku mengerti. Aku akan menahan diri sementara waktu, tapi besok kamu tetap harus datang atau serah terima akan aku tunda. Itu pasti tidak baik untuk hubungan profesionalmu dengan perusahaan dari Italy kan? Si penyewa baru?"
Ponsel dia cengkram kuat karena emosi.
"Sampai jumpa besok, Sayang."
Sambungan dia sudahi. "Hhhharghhh."
Ponsel dia lempar ke atas meja. Dua tangannya mengusap wajah. Lalu dia bersender pada sofa sambil memejamkan mata. Ada banyak bayang-bayang wajah Daya yang terluka tadi. Ya, wanita itu bahkan meneteskan air mata diantara pandangan tajamnya. Dia sadar benar bahwa hubungan mereka hanya sandiwara, dan harusnya dia tidak sepeduli ini dengan Daya. Wanita itu kuat dengan caranya sendiri. Tapi air mata Daya tadi mengganggunya. Karena kali ini dia yang membuat Daya menangis.
Pintu kamarnya diketuk dan dia tahu Basri memegang akses kamar hotelnya. Jadi dia meminta Basri masuk.
"Nyonya Daya ada di kamar sebelah. Saya sudah siapkan jet untuk penerbangan besok pagi," lapor Basri.
"Tunda keberangkatan Daya. Saya harus bertemu dengan Angie untuk tanda tangan itu, Basri. Saya akan selesaikan cepat. Saya baru bisa kembali setelah makan siang."
"Nyonya tidak mau berada satu pesawat dengan anda."
"Saya akan bicara dengannya," tubuhnya sudah berdiri.
"Maaf, Tuan. Saya sudah melihat bagaimana kalian berdua berkomunikasi jika sedang emosi. Jadi sebaiknya kalian bicara di Jakarta, tidak di sini. Anda lelah, istri anda juga lelah. Ambil waktu sejenak untuk mendinginkan kepala."
Dia diam sejenak. Sulit sekali untuk menahan rasa penasarannya sendiri. "Bagaimana kondisinya?"
"Tangguh, seperti biasa. Nyonya menggunakan headphone dan mendengarkan musik untuk mengalihkan traumanya."
"Apa kamu tahu dia kemana?"
"Nyonya bekerja di salah satu kafe. Tari yang melaporkan pada saya tadi." Basri memberi jeda. "Tuduhan anda atas Graham sedikit berlebihan, Tuan."
Tubuh dia balik untuk menatap jendela besar ke arah luar. Dalam hati dia tahu bahwa dia bersalah. Namun kemarahan karena Daya mengabaikannya sudah terlanjur menguasai kepala.
"Saya ingin istirahat, Basri. Selamat malam."
"Baik, besok pagi saya akan berangkat menemani Nyonya. Yusri dan Agam akan tiba pagi hari di sini. Tuan Besar meminta anda segera menyelesaikan semua cepat-cepat dan kembali ke Jakarta."
Dia bisa melihat sosok Basri yang melangkah ke pintu dari pantulan kaca.
"Selamat malam, Tuan."
Pintu kamar tertutup, meninggalkan dia dalam kekalutan rasa. Ini semua harusnya mudah, sederhana. Sejak pertama dia sudah merasa bahwa Dayana memang berbeda dari wanita pada umumnya. Namun saat ini, dia tetap terkejut juga. Bukan hanya pada sikap Daya, tapi juga pada reaksi dirinya sendiri atas keberadaan wanita itu. Kepala dia gelengkan kuat untuk mengusir gundah yang meraja. Ada banyak bayangan wajah Daya dengan ekspresi yang berganti-ganti di dalam pikirannya. Bahkan ketika dia sudah berlama-lama berada di bawah pancuran kamar mandi. Atau ketika dia sudah merebahkan diri di kasur besar dalam kamar. Bayangan itu tidak hilang, menetap di kepala.
***
Baru akur satu episode, udah perang dunia beneran. Ck, ck, ck.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro