Part 13 - The Q&A Session
Daya bangun pagi dan merasa sedikit lebih baik. Awal membuka mata dia terkejut sejenak karena Maja yang tidur di sebelahnya. Mulutnya refleks membuka tapi kemudian dia ingat apa yang terjadi kemarin lalu mengurungkan niatnya untuk memaki Maja. Tapi alih-alih berdiri, dia malahan tinggal sejenak menatap wajah Admaja Hadijaya di sebelahnya. Ini bukan pertama kali dia melihat wajah Maja, tapi baru pertama kali dia memperhatikan. Mata Maja dalam dengan alis hitam lebat. Rambut Maja bergelombang di bagian atas dengan potongan pendek yang rapih. Bibir Maja tipis dengan bentuk rahang lonjong. Wajah Maja mirip dengan ayah Janadi, sementara senyum Maja serupa dengan mama Fe.
Pandangan mata Maja selalu tajam dan seolah menilai. Maja jarang tersenyum ketika bekerja, tapi ketika bersama adiknya, sikap Maja berubah seratus delapan puluh derajat. Ada banyak rasa hangat ketika Maja berada di tengah keluarga Hadijaya, sekalipun entah kenapa Maja seolah menyembunyikan hangat itu. Tidak pernah dia merasa penasaran begini dengan seorang laki-laki. Karena terlalu sibuk, karena fokusnya hanya bekerja. Tapi kedekatan yang tidak terelakkan dengan Admaja, membuat dia penasaran juga. Maja seolah memiliki banyak ekspresi yang sering berganti sekarang ini. Padahal sebelumnya Maja hanya bisa marah-marah saja.
Kenangan mereka kemarin terlintas. Bagaimana Maja dengan tulus membantunya. Ya terkadang laki-laki ini masih kaku dan galak. Tapi Maja berhasil membuat dia merasa aman, nyaman. Ah, kenapa dia jadi melankolis begini. Nafas dia buang perlahan, berharap sikap mereka akan kembali normal dan berjarak hingga semua lebih mudah nanti. Dia menyudahi pengamatannya atas laki-laki aneh ini. Tidak membiarkan rasa asing yang mulai naik perlahan masuk ke dalam dada.
Ini hanya bisnis, Daya. Dilarang main hati, itu kesepakatannya. Nafas dia hirup dalam dua kali, kemudian dia beranjak perlahan dari sisi tempat tidurnya dan berlalu ke kamar mandi. Tanpa tahu, bahwa ketika pintu kamar mandi tertutup, mata Maja membuka perlahan.
***
Maja tidak mengerti kenapa saat dia bersama Daya, perasaannya bisa berganti-ganti. Kesal, marah, emosi, awalnya hanya itu. Tapi kemarin dia tiba-tiba gugup dan kikuk. Oh itu bukan yang terburuk, yang terburuk adalah ketika dadanya berdebar aneh saat Daya mulai menunjukkan sisi rapuh dan membiarkan dia membantu Daya. Ya, bayangkan si wanita tangan besi itu tiba-tiba tersenyum tulus, tertawa kecil, lalu menggenggam lengannya karena ingin jatuh. Belum lagi saat dia memeluk Daya karena trauma wanita itu yang kambuh. Seluruh kesal, marah dan emosi hilang pergi. Berganti keinginan untuk melindungi.
Apa-apaan ini? Kepala dia gelengkan keras-keras saat dia sudah bangun dan duduk di sisi tempat tidur setelah mematung pura-pura tidur saat Daya menatapnya tadi. Ini tidak boleh terjadi, atau mulai terjadi. Suara benda yang jatuh di dalam kamar mandi membuat refleksnya berdiri dan menghampiri pintu. Tuh kan, dia seperti orang bodoh. Bukannya pergi, dia malah berdehem dan berujar.
"Daya, kamu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. Ini tempat sabunnya licin, jadi jatuh," jawab Daya dari balik pintu.
Lalu dia berjalan mondar-mandir di depan kamar mandi, kebingungan sendiri. Apa dia harus menunggu dan berjaga di sini? Atau turun ke bawah saja? Daya sudah besar dan bisa jaga diri kan. Hrrghhh, ini aneh sekali. Akhirnya dia melangkah ke ruang bawah untuk memesan sarapan dan kopi melalui telpon kamar. Setelah selesai, jubah biru dia kenakan kemudian dia menuju balkon untuk meredakan pikirannya sendiri.
Langit pagi ini cerah dan sedikit berawan. Itu membuat pantulan air laut yang biru seperti berkilauan. Nafas Maja hirup dalam dua kali, dia selalu suka menatap laut begini. Matanya terpejam sejenak kemudian wajah Daya yang tertawa karena ulah Mickey semalam terbayang lagi. Sialaaan. Kenapa jadi mikirin Daya? Bel pintu berbunyi kemudian dia cepat-cepat membuka pintu, pasti Basri.
"Selamat pagi, Tuan."
"Pagi, Basri." Dia mempersilahkan Basri masuk.
"Sarapan anda di dalam kamar saya batalkan."
"Kenapa?"
"Saya sudah siapkan rangkaian acara kalian hari ini. Dimulai dari sarapan pagi bersama di restoran VIP bawah dan seluruh rangkaian acara yang pasti lebih menarik daripada bekerja," jelas Basri tenang sambil menyodorkan map kulit dalam genggaman.
"Saya banyak urusan hari ini, Basri. Ada tiga meeting penting dan laporan-laporan yang harus saya periksa dan tanda tangani," dia melangkah ke arah meja kerja untuk mencari laptop nya, tidak menghiraukan ide Basri.
"Semua sudah ditangani."
Kepalanya menoleh pada Basri. "Maksudnya?"
"Tuan Janadi yang akan mengurus semua bisnis di Jakarta sampai anda kembali. Jadi keputusan anda tidak akan berlaku sementara ini."
"Apa?"
"Hal ini atas permintaan Nyonya besar karena ingin memastikan..."
"Jadi kamu mengadu pada mereka, Basri?"
"Saya melaporkan apa yang saya lihat di sini, Tuan. Sekalipun tidak semuanya, atau belum-semuanya," mata Basri menatap tajam dan dia tahu apa arti tatapan itu.
Rahangnya mengeras karena kesal yang ditahan. Bagaimanapun dia tidak bisa berteriak pada Basri.
"Anda dan Nyonya Daya selalu bekerja dan entah kenapa seperti sendiri-sendiri. Mungkin anda yang pemalu dan kurang pengalaman..."
"What?"
"...atau anda dan Nyonya Daya memang menutupi sesuatu."
"Jangan macam-macam, Basri," nadanya tegas.
Wajah Basri masih datar. "Apapun itu, Tuan. Tugas saya hanya dua. Memastikan kalian berdua aman dan nyaman, serta menghabiskan waktu yang berkualitas bersama sebagai pasangan."
"Apa hak mu mengajarkan pada saya bagaimana saya berhubungan dengan istri saya?"
"Saya tidak punya hak untuk mengajarkan apapun pada anda, tapi saya punya kewajiban untuk menjalankan tugas saya pada Tuan dan Nyonya Besar."
"Tapi..."
"Selamat pagi, Basri," Daya menyapa sambil turun ke lantai bawah memotong kalimatnya.
"Pagi, Nyonya. Bagaimana kabar anda hari ini?"
"Membaik. Terimakasih soal kemarin," senyum Daya sambil berdiri di sebelahnya.
Kepala Basri mengangguk kecil lalu melanjutkan. "Saya sedang menjelaskan bahwa saya sudah menyusun rencana untuk anda dan Tuan Maja."
Daya diam sejenak kemudian menjawab dengan tenang. "Apa ini ada kaitannya dengan laptop saya yang tidak ada di atas?"
Mata Maja mulai mencari laptopnya juga dan benda itu tidak ada di meja.
"Ya. Mohon maaf, saya harus menyita laptop anda dan Tuan, serta mematikan jaringan internet di kamar kalian."
Maja membelalak terkejut. "You did what?" tangan Daya menggenggam lengannya seolah memperingati agar dia tidak emosi.
"Nona Utari sudah saya hubungi dan dia sudah mengerti apa yang harus dilakukan sementara Nyonya tidak aktif. Hanya tinggal dua hari kapal berlabuh di Thailand. Setelah itu Tuan Maja harus bekerja di sana sejenak untuk serah terima kapal dengan perusahaan perwakilan dari Italy. Nyonya bisa berbelanja, atau kembali bekerja selagi menunggu Tuan. Setelah itu anda berdua diminta untuk..."
"Setop!!" teriak Maja makin kesal. Genggaman Daya pada lengannya menguat.
"Maja, ide Basri tidak buruk dan sesungguhnya aku ingin melihat-lihat kapal denganmu hari ini," senyum Daya sambil menatapnya penuh arti. Kemudian wajah Daya menoleh lagi pada Basri. "Okey, biarkan kami bersiap-siap dulu kalau begitu."
Basri mengangguk lalu meletakkan map kulit besar yang berisi jadwal mereka hari ini di meja. Setelah Basri pamit dan pintu tertutup, Daya melepaskan genggaman pada lengan Maja. Mereka berdua berdiri berhadapan seolah berpikir cepat.
"Periksa schedule awal kamu hari ini dari ponsel," ujar Daya kemudian mereka berdua bergerak cepat untuk memeriksa jadwal dari ponsel masing-masing.
"Oh, s***. Saya punya banyak jadwal penting," Maja mulai menyebutkan satu per satu jadwalnya di hadapan Daya yang juga sedang memeriksa ponsel.
"Kamu punya janji sama Menteri Perdagangan? Serius?" tanya Daya tertarik. "Terus sama Rudi Dirga? Dia itu ayahnya Arya Dirga kan? Aku dengar mereka lagi mau tender salah satu..."
Maja selalu kesal ketika Daya mulai bicara soal 'kesempatan'. "Bukan itu poin-nya," potong Maja cepat.
"Kamu harus kenalin saya ke mereka."
"Dayaa, kita nggak bisa kerja hari ini."
"Atur ulang jadwal kamu karena orang-orang penting itu bisa tersinggung. Saya mau telpon Tari," Daya menempelkan ponsel di telinga dan Maja juga melakukan hal yang sama.
Lalu dahi Maja mengernyit heran menatap ponselnya. Tidak ada sinyal? Apa-apaan ini? Ponsel dia angkat sambil berjalan ke arah balkon. Daya melakukan hal yang sama.
"Maja, aku juga ga dapet sinyal."
"Hrrrghhhh, Basri keterlaluan." Nafas dia hirup dalam-dalam berusaha berpikir.
Lawan mereka Basri. Laki-laki itu tahu segalanya tentang kapal laut dan cara memblokir sinyal atau jaringan internet hanya untuk kamar mereka. Tidak akan bisa diakali. Belum lagi Basri kenal seluruh kru penting di kapal ini. Jadi sia-sia saja untuk membatalkan permintaan Basri. Kepalanya menoleh melihat tubuh Daya yang bersandar di tiang balkon masih berusaha mencari sinyal. Satu tangan Daya yang memegang ponsel terulur ke atas hingga tubuh Daya miring melewati batas balkon. Terlalu miring.
"Daya, bahaya!" dia melangkah lebar-lebar untuk meraih pinggang Daya karena kaki wanita itu tergelincir hingga tubuh Daya hampir jatuh melewati pagar balkon.
Ponsel mereka berdua jatuh ke lantai balkon saat dia berhasil meraih tubuh Daya. Lagi-lagi wanita ini ada dalam dekapannya. Tanpa dia mau atau rencanakan. Mata Daya yang terkejut menatapnya. Wangi Daya segar dan manis pagi ini, dengan rambut lepas tergerai. Selama beberapa saat mereka diam, tapi saat berikutnya mereka cepat-cepat melepaskan diri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil menatap bebat di bahu Daya yang tersembunyi di balik kemeja.
Kepala Daya menggeleng namun wanita itu masih diam saja.
"Nggak ada gunanya kamu melakukan hal tadi. Di atas laut semua benar-benar tergantung pada jaringan internet yang disediakan kapal. Jalur khusus yang langsung tembak ke satelit di atas sana," jelasnya.
Daya mengambil ponselnya di lantai.
"Semua penumpang juga menggunakan internet berbayar ini, jadi mereka nggak akan mau kasih password internet mereka ke kita karena biayanya yang sangat mahal. Lagian itu akan aneh kan. Pemilik kapal malah internetnya bermasalah," Maja mendengkus kesal.
Kepala Daya miring sedikit. "Aku bisa meyakinkan mereka untuk membantu. Apalagi tamu VIP, mereka pasti nggak ada masalah dengan biaya internet, dan kamu bisa kasih voucher gratis untuk pelayaran berikutnya sebagai ganti atau hadiah mewah yang lain," bahu Daya gendikkan. "Ini ide aja."
"Terus kita kerja di kamar mereka padahal semua tamu VIP di sini tahu saya dan kamu baru married. Kapten kapal yang umumkan pernikahan kita di gala dinner semalam."
"Ada gala dinner semalam waktu kita nonton Mickey?" tanya Daya.
Kepalanya mengangguk.
"Terus kita nggak dateng?"
"Itu nggak penting."
"Itu penting buat aku. Kamu melewatkan kesempatan untuk aku kenalan sama orang-orang penting itu," keluh Daya kesal.
"Saya bisa buat gala dinner lainnya saat kamu sehat, Daya."
"Saya baik-baik aja, Maja."
"Semalam tidak. Apa bisa kita fokus hari ini?"
Nafas Daya hirup dalam. "Ya sudah, kita ikuti jadwal Basri. Seburuk apa sih?"
Nggak buruk kalau ini bukan sama kamu, Daya. Segalanya soal kamu penuh dengan spekulasi, gumamnya dalam hati. Dia mengikuti Daya yang melangkah kembali masuk ke dalam. Wanita itu sudah mengambil map kulit besar dan membuka serta membaca urutan jadwal Basri.
"Sarapan di kafe bawah, fisioterapi sesi lanjutan, tur lantai dua belas, makan siang di restoran VIP. Terus belanja oleh-oleh, Basri perhatian ya. Disambung dengan pertunjukan theater musical, undangan dari kapten kapan untuk birthday dinner istrinya, dan lain sebagainya." Wajah Daya menatapnya. "This is not so good but not too bad also."
"Buat kamu iya, tapi saya sudah bosan dengan itu semua," dia menunjukkan wajah yang tidak tertarik padahal dia mulai merasa gugup karena tahu mereka akan berdua saja hingga akhir hari.
"Apa kamu punya ide yang lain, Tuan Muda?" ledek Daya sambil terkekeh kecil.
"Kamu mulai nyebelin."
"Kamu mulai merengut," balas Daya.
"Saya nggak suka kalau ada hal yang nggak berjalan sesuai rencana saya, atau disabotase kayak begini."
"Sama, saya juga gitu. Tapi, ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Nggak bisa kita kontrol. Saat itu kejadian saya akan cari cara gimana biar tetap seru, sekalipun nggak sesuai ekspektasi. Bukannya merengut kayak begini," Daya memasang wajah cemberut.
"Kamu jalan sendiri aja," ujarnya cepat.
"Okey, saya nggak masalah. Tapi apa Basri nanti nggak tambah curiga?" dahi Daya mengernyit sejenak seperti menyadari sesuatu. "Maja, saya bilang semua yang tadi juga bukan karena mau berduaan sama kamu, jangan salah paham."
"Itu maksud saya dari tadi. Kita nggak seharusnya spend time bareng kan?"
Ekspresi Daya mulai kesal. "Gini aja deh. Ini saya ada jadwal terapi jam sembilan tiga puluh. Saya duluan ke sana, setelah itu saya akan minta Andito temani saya tur dan yang lainnya." Daya melangkah ke lantai atas lagi.
Dia sendiri masih berjalan mondar-mandir gusar dengan apa yang sedang terjadi. Rencana Basri agar dia dan Daya menghabiskan waktu bersama sungguh buruk sekali. Tapi membiarkan Daya bersama Andito akan menimbulkan kecurigaan Basri. Hrrrghhh, ini buntu.
Setelah turun Daya sudah mengenakan celana linen putih santai dengan kemeja biru garis-garis yang setengah lengannya dilipat ke atas. Lengkap dengan aksesoris ikat pinggang kulit coklat dan tas rajut ukuran sedang merek ternama. Daya juga mengenakan sepatu putih kets santai dengan anting-anting bulat berukuran sedang. Daya selalu pintar memadumadankan pakaian.
"Terus, saya gimana?" tanyanya tiba-tiba.
"Tadi bukannya kamu yang nyuruh saya jalan sendiri?" ujar Daya sudah berdiri lagi di hadapannya. "Mending kamu mandi deh biar nggak cemberut terus begitu. Muka kamu jadi nyebelin lagi," Daya berlalu.
"Daya, tunggu saya di tempat fisioterapi. Jangan jalan sama Andito."
"Nanti, kalau inget. Bye, Mr. Grumpy."
Maja menghirup nafas kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia ingin naik ke lantai atas untuk bersiap-siap mandi saat mendengar bel pintu berbunyi. Pasti Basri, hrrrghhh. Pintu dia buka dan terkejut karena sosok Angie yang berada di hadapannya.
"Good morning," senyum Angie lalu melangkah masuk membukakan pintu agar salah satu waiter yang membawakan kopi juga masuk. "Kami sedang mencoba jenis kopi baru dari negara kamu. Mungkin kamu bisa coba dan kasih pendapat," Angie memberi jeda sambil terus menatapnya. "Tadi aku ketemu Daya di koridor, katanya mau fisioterapi. Daya terluka?"
"Bahunya sedikit terkilir tapi dia baik-baik saja."
Angie sudah berpakaian rapih dan sedang meminta waiter meletakkan kopi di meja tengah sambil terus bicara. Waiter tadi sudah keluar ruangan meninggalkan mereka berdua.
"Saya harus bersiap-siap, Angie," ujarnya sopan.
"Kontrak serah terima juga sudah selesai aku revisi."
"Besok saya periksa. Hari ini..."
"Perwakilan dari Italy pasti tidak suka menunggu lama setelah kita berlabuh di Thailand. Apalagi jika aku bisa meminta para teknisi agar melakukan pemeriksaan kapal lebih cepat." Angie berlalu ke arah pintu. "Jadi, aku tunggu di kamarku setelah ini, Maja. See you."
Nafas dia hirup dalam karena kesal dengan segala situasi. Namun kemudian berjalan ke lantai atas untuk segera bersiap-siap memulai hari yang belum apa-apa sudah tidak menyenangkan.
***
Terapis yang Maja bawa dari Malaysia sungguh terampil. Dua jam sesi fisioterapi juga menyenangkan karena mereka mengobrol hangat. Jadi setelah kesal dengan Maja pagi-pagi, mood Daya membaik setelah fisioterapi selesai. Bahunya juga sudah terasa lebih ringan sekalipun belum bisa diputar lancar. Rambut sudah dia ikat tinggi dibantu dengan sang terapis tadi.
Jam dua belas dia keluar dengan perut lapar. Sarapannya tadi pagi sedikit karena tahu Basri mengawasi dari meja lain dan seperti yang dia duga, Maja tidak menyusulnya. Ah, mungkin sedang berduaan dengan Angie si wanita centil yang tadi berpapasan di koridor saat dia keluar dari kamar. Angie sudah berdandan cantik diikuti dengan satu waiter membawa nampan dan kopi yang Daya duga itu hanya alasan saja. Wanita itu benar-benar ingin ditiduri oleh Maja. Hrrghhh, dasar murahan. Lagian apa juga bagusnya Maja. Si menyebalkan tukang marah-marah, sombong dan selalu kumat jeleknya kalau pagi-pagi.
Andito sudah menunggu di pintu keluar ruangan terapi. "Siang, Nyonya."
"Panggil saya Daya. Bukan Nyonya," timpalnya sambil tersenyum.
"Maaf, sudah prosedurnya," Andito tersenyum ramah.
"Atau Mba Daya juga boleh. Saya nggak suka Nyonya."
Andito diam sejenak kemudian berujar lagi. "Okey, Mba. Apa Mba mau makan siang dulu atau langsung ke lantai dua belas." Mereka mulai berjalan beriringan menuju lift.
"Makan siang, dan saya mau tur lengkap dari lantai bawah, Dito. Lantai VIP sudah pernah saya lihat."
"Baik, Mba," mereka sedang menunggu lift.
Ketika pintu lift terbuka, sosok Maja sudah ada di sana. Laki-laki itu mengenakan kemeja linen putih santai dan celana panjang berwarna biru tua. "Saya yang antar istri saya, Dito. Kamu boleh kembali."
"Baik, Tuan. Have a great day." Andito tinggal di lantai itu sementara dia masuk ke dalam lift VIP berdua dengan Maja.
"Saya udah bilang tunggu saya di ruang terapi dan jangan jalan sama Dito. Kamu nggak denger?" protes Maja.
"Nungguin kamu pacaran? Sorry ya. Saya mau seneng-seneng sendiri," ujarnya kesal karena ingat dengan kelakukan Angie tadi pagi.
"Saya nggak pacaran, saya kerja, Daya."
"Saya nggak peduli, dan kamu nggak perlu jelasin."
"Saya nggak jelasin ke kamu. Cuma bilang kalau saya kerja."
Pintu lift terbuka kemudian dia melangkah keluar diam saja. Mereka masuk ke salah satu restoran dan di arahkan ke area pinggir jendela kaca besar dengan pemandangan terbaik. Dia duduk dan masih diam saja. Hanya menoleh menatap hamparan laut luas dari jendela.
"Daya, behave. Ada Basri di sini," bisik Maja. "Kamu mau makan apa? Chicken or beef?" Maja membuka buku menu yang diberikan oleh waiter.
Matanya beralih menatap Maja. "Saya nggak selera tiba-tiba."
"Jangan mulai," bisik Maja balas menatapnya galak. Maja memesankan mereka makanan kemudian waiter berlalu pergi.
"Sekali lagi kamu melotot, aku pergi dari sini," desisnya tidak mau kalah.
Nafas Maja hirup dalam-dalam. Kemudian laki-laki itu duduk bersender menatapnya. "Bahu kamu masih sakit jadi kamu cranky begini?"
"Aku nggak suka kamu terus-terusan kesal dan kayaknya nyalahin aku. Kita berdua dirugikan, Maja. Bukan cuma kamu," bisiknya.
Mereka saling balas berbisik sampai kemudian kapten kapal yang baru tiba di sana dengan istrinya menyapa mereka. Maja dan dia berdiri lalu berbincang hangat. Atas inisiatifnya, mereka makan bersama dalam satu meja hingga keinginannya untuk melanjutkan marah mereda. Cara ini jitu karena dengan begitu suasana lebih cair dan tidak kaku.
"Kalian berdua pasangan yang serasi sekali. Iya kan, Sayang?" puji Ruth – istri sang Kapten.
"Ya. Muda, sukses, bentuk wajah kalian bahkan mirip. Jodoh," sang Kapten tertawa. "Rencana mau punya berapa anak?"
"Satu..."
"Tidak..."
Mereka berdua menjawab serampak namun tidak kompak. Itu membuat istri sang Kapten tertawa kecil. "Lihat, Sayang. Persis seperti kita dulu. Bingung ketika ditanya anak tapi kemudian...jadi lima."
"Kalian punya lima anak?" tanya Daya penasaran
"Ya, the more the merrier. Mereka luar biasa," jawab Ruth.
"Pasti seru sekali," dia tersenyum membayangkan hal itu.
"Pasti repot, tapi semua akan sangat menyenangkan," sambung Ruth.
"Petualangan setiap hari," kelakar sang Kapten. "Sayang kami tidak mengajak mereka kali ini, tapi mungkin lain kali. Kalian datang kan ke pesta ulang tahun istri saya malam ini? Tempatnya di restoran sebelah."
"Ya, kami akan datang," jawab Maja.
Daya juga menimpali dengan mengangguk sopan. Memandangi sepasang suami istri setengah baya yang masih mesra ini di hadapannya. Dia selalu merasa senang melihat sebuah keluarga yang bahagia dan hangat. Persis seperti keluarganya dulu sebelum kecelakaan itu.
"Daya, maaf saya tidak bisa menghentikan klakson kapal," ekspresi wajah sang Kapten berubah.
"Oh, itu. Tidak apa-apa. Saya sangat mengerti," jawabnya sopan.
"Suamimu benar-benar khawatir ketika bicara dengan saya tempo hari. Sungguh jika bisa, saya akan hentikan," sambung sang Kapten lagi.
Dia mulai merasa tidak nyaman dengan tatapan iba dari istri sang Kapten. Maja seperti tahu hal itu lalu membuka pembicaraan lain perihal pekerjaan. Sementara Ruth bertanya satu-dua hal yang dia jawab ringan. Setelah satu jam, makan siang mereka selesai. Sang Kapten berpamitan sopan kemudian berlalu. Mereka duduk lagi dan tahu bahwa Basri sudah tidak ada di sekitar mereka.
"Aku mau turun ke bawah, bukan area VIP," ujarnya pada Maja.
"Terlalu ramai. Apa yang mau kamu lakukan?"
"Apa saja, kecuali hanya berdua denganmu."
Maja mengangguk dua kali. "Okey, setuju."
Mereka berjalan beriringan menuju lift. Maja memijit angka empat. Tapi di lantai sepuluh, beberapa tamu lain masuk hingga lift penuh. Tubuh mereka berdua terdesak ke salah satu pojok. Bahu mereka bersentuhan dan karena seorang laki-laki di sebelah Maja terbatuk, refleks tangan Maja adalah merangkul bahunya dan menjauh dari laki-laki itu. Dia menatap Maja yang datar saja. Hingga lift terbuka dan akhirnya mereka keluar dari sana sambil menjauhkan diri lagi.
Maja benar, area non-VIP hari ini lebih ramai. Mungkin karena sudah masuk waktu makan siang jadi seluruh tamu keluar. Dia melangkah di belakang Maja karena bingung juga mau kemana. Maja diam saja berjalan lurus di depannya. Ternyata Maja membawanya ke dek luar dengan segala fasilitas kolam renang yang lengkap. Dia sibuk melihat-lihat hingga terpisah dengan Maja yang sudah berada entah dimana.
Ada dua kolam renang di hadapannya. Satu untuk dewasa dan satu lagi untuk anak-anak yang ramai. Anak-anak kecil di sana bermain air sambil berlari dan tertawa bersama orangtua mereka. Dia berdiri menatap pemandangan itu sambil tersenyum lebar.
'BRUK!'
Seseorang menubruk kakinya. Dia menoleh ke bawah dan menemukan seorang gadis kecil dengan es krim di tangan yang sudah terjatuh sebagian ke lantai dek. Air mata gadis kecil itu mulai naik. Refleksnya adalah berjongkok.
"Maaf, aku bisa membelikanmu es krim yang baru," ujarnya dengan bahasa Inggris sambil tersenyum menenangkan.
Kepala gadis kecil itu menggeleng tapi matanya masih sedih. "It's okey. Bukan salahmu," satu dua air mata sudah menetes dan itu membuat dia makin tidak tega.
"Dimana orangtuamu, Sayang?" matanya menatap berkeliling mencari orangtua yang kehilangan gadis kecil ini.
Mata gadis kecil itu juga mencari ke belakang tubuhnya, kemudian menangis lagi karena tahu orangtuanya tidak ada di sana.
"Siapa namamu, cantik?" dia berusaha menenangkan gadis kecil ini.
"Gracie. Aku kehilangan ayahku. Dimana dia?"
"Nama yang cantik sekali. Namaku Dayana," dia menawarkan jabatan tangan.
"Seperti Princess Diana?" tangis Gracie berhenti.
Dia tertawa kecil. "Ya, seperti Princess Diana," mereka berjabatan tangan. "Aku bisa bantu untuk mencari ayahmu. Kamu mau?"
Gracie mengangguk dua kali. "Aku yakin kamu bukan orang jahat."
"Kenapa begitu?"
"Karena kamu punya senyum yang cantik sekali," jawab Gracie polos.
Senyumnya mengembang lebih lebar. Dia berdiri lalu menggandeng Gracie. "Terimakasih. Kamu juga sangat cantik. Dimana kamu terakhir melihat ayahmu?"
"Ice cream stall. Dia sedang membayar es krim dan aku mengikuti balon merah yang lucu."
Mata Daya memandang ke sekeliling mencari stall es krim yang dimaksud. Ah, itu dia. Kedai kecil itu ramai pembeli. "Kita ke sana dulu. Siapa tahu ayahmu masih ada di sana." Mereka mulai melangkah menyusuri dek. "Apa kamu sedang berlibur?"
"Aku sedang ikut ayahku bekerja di sini."
"Benarkah? Pasti seru sekali."
"Ya, aku suka kapal."
Kemudian sayup-sayup dia mendengar suara seorang laki-laki yang berteriak. "Gracie, Gracie, dimana kamu? Gracie!"
Bukannya melepas genggaman tangan, Grace menariknya hingga dia ikut berjalan cepat menuju arah suara itu.
"Ayah, ayah. Aku di sini," teriak Gracie.
Sosok ayah Gracie muncul sambil tersenyum lega menatap anaknya. "Ya Tuhan, Sayang. Jangan menghilang begini." Ayah Gracie berjongkok dan mencium putrinya sayang.
Kenangan tentang ayahnya datang melihat apa yang terjadi di hadapannya. Itu membuat dadanya berdetak nyeri. Dia merindukan ayah, sangat merindukannya.
"Ini Princess Diana, dia yang menolongku, Ayah," ujar Grace masih menggandeng tangannya.
Ayah Gracie berdiri. Sosok laki-laki itu tinggi tegap dengan tubuh besar, mata biru dan senyum yang hangat. "Halo, saya Graham. Terimakasih, Nona..."
"Dayana."
"Ah, namamu benar-benar Diana."
Dia tertawa. "Cara mengejanya berbeda dalam bahasa Indonesia," mereka berjabat tangan hangat.
"Dia cantik kan, Ayah?" ujar Gracie lagi sambil melepaskan genggaman tangan.
"Selamat siang," suara Admaja ada di belakangnya. "Halo, Graham. Akhirnya kamu bertemu istri saya."
Dia sedikit terkejut saat Maja sudah muncul dan merangkul pinggangnya dari samping.
"Oh, halo Maja. Istrimu baik sekali sudah menolong anak saya," ujar Graham.
Maja mengangguk sopan. "Kalian sudah berkenalan. Kamu mengajak Gracie kali ini? Halo Gracie."
Gracie menatap Maja kesal, kemudian menatapnya sedih. "Ayah, aku mau main yang lain."
Graham mengangguk dua kali lalu menatapnya untuk berpamitan. Gracie menyentuh tangannya lalu berujar, "Terimakasih, kamu cantik dan baik sekali." Gracie menyebutkan nomor kamarnya dan meminta dia untuk menghubungi nanti.
Graham dan Gracie sudah berlalu kemudian Maja menggenggam tangannya dan berjalan menyusuri dek menuju ke bagian dalam kapal lagi. "Kamu seperti magnet masalah, Daya. Baru saya tinggal beberapa menit, kamu sudah..."
"Aku bersenang-senang dengan Gracie. Daripada bersama penggerutu sepertimu," tangan dia lepaskan perlahan dari genggaman Maja. "Kamu kenal ayah Gracie?"
"Salah satu chef yang kebetulan diundang di pelayaran kali ini, dan jangan dekat-dekat dengan anaknya."
"Apa salahnya Gracie?"
"Nggak ada. Tapi status Graham yang jadi masalah?"
Alis Daya mengangkat satu, tidak mengerti. "Maksud kamu karena Graham sudah berpisah dari istrinya?"
Maja tidak menjawab dan malahan melihat jam tangan. "Ada show di salah satu teater. Semoga nggak terlalu ramai," Maja mulai berjalan lagi di depannya.
Karena kesal dengan sikap bossy Maja, dia memutar tubuh lalu berjalan menjauhi Maja. Pergi ke toko souvenir untuk berbelanja oleh-oleh mengikuti saran Basri sepertinya lebih menarik daripada berdekatan dengan si Grumpy hari ini. Baru beberapa langkah lengannya ditarik oleh Maja.
"Kamu nggak punya telinga?" Maja menatapnya kesal kemudian melangkah sambil terus menggenggam lengannya.
"Kamu nggak punya manner?" dia balas menatap Maja galak dan menghentikan langkahnya hingga Maja juga berhenti.
"Kalau sikap kamu terus begini, Basri bisa tahu dan kacau semua, Daya," protes Maja.
"Aku nggak masalah bagian pura-puranya, Maja. Tapi aku nggak suka kalau kamu menggerutu terus," dia menurunkan nada. "Inget ya, aku nggak minta ini semua. Jadi kalau kamu tidak menghargai aku dan terus-terusan cemberut seolah nggak seneng deket-deket aku, ya sudah. Kita jalan sendiri-sendiri."
"Terus kamu maunya saya kayak gimana?"
"Normal aja. Nggak usah sok galak dan sok atur. Kamu jalan sama Dayana, bukan cewek lain yang nurut aja sama kamu." Ya, Maja harus tahu bahwa dia memiliki bargaining power yang kuat.
Nafas Maja hirup perlahan dua kali. "Okey, Dayana. Kita nonton teater ya."
"Enggak," dia berbalik lagi meninggalkan Maja yang segera menyusulnya di belakang.
"Ini mangkanya saya nggak bisa normal sama kamu, Daya. Karena kamu juga abnormal," geram Maja sambil berjalan di sebelahnya. "Bikin saya kesal terus."
Sayang sekali siasatnya untuk membuat Maja marah harus berhenti karena matanya menangkap Basri berjalan tidak jauh dari mereka. "Ada Basri," tanpa basa-basi dia menggenggam lengan Maja dan berjalan lebih perlahan.
Maja mendengkus kesal melihat perubahan sikapnya. Basri menghampiri mereka.
"Adik anda ingin menghubungi," Basri meminta mereka mengikuti ke salah satu area yang tidak terlalu ramai. Kemudian Basri menyodorkan ponsel pada Maja.
Selama beberapa saat Maja mengobrol dengan adiknya sementara dia berdiri di dekat Basri. Dia menggunakan kesempatan ini untuk bertanya. "Basri, apa perlu sampai sita ponsel kami begini?"
"Perlu atau tidak perlu itu semua tergantung pada kalian berdua. Kalian terlalu sibuk bekerja hingga lupa bagaimana cara bersenang-senang, padahal kalian bersama," jawab Basri.
Maja sudah selesai menghubungi Adeline dan memberikan kembali ponsel Basri lalu mengeluhkan hal yang sama. Basri memberikan jawaban seperti tadi kemudian meninggalkan mereka lagi.
"Adel kenapa?"
"Nggak apa-apa. Dia nanyain kondisi kamu karena dengar dari Basri."
Dia diam sejenak untuk berpikir. "Ini nggak berhasil kan?"
"Maksudnya?"
"Kita jalan-jalan di luar begini. Karena kita berdua memang bukan mahluk sosial yang nyaman di keramaian. Bener nggak?" ujarnya straight to the point. "Kamu akan terus kesal karena nggak nyaman, saya juga kesal karena sikap kamu yang akan jadi menyebalkan."
"Kamu punya ide lain?"
"Dimana kita bisa beli buku? Atau board game?" ujarnya.
"I know the place."
Akhirnya mereka sepakai untuk satu hal. Maja membawanya ke satu toko yang menyediakan buku dan board game. Mereka memilih dan bertengkar lagi dalam proses pemilihan. Akhirnya mereka membeli game sendiri-sendri. Tidak ada yang mau mengalah. Setelah itu mereka kembali ke kamar.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul empat sore. Undangan dari kapten kapal masih pukul tujuh nanti. Daya mencoba menyalakan TV, tapi lagi-lagi kecewa karena Basri masih memblokir semua. "Kita kayak di jaman batu ya. TV nggak bisa, telpon nggak bisa, internet juga nggak ada."
Maja tertawa kecil. "Basri memang keras sekali kalau sudah dapat tugas," laki-laki itu duduk di sofa ruang tengah sambil menatapnya. "Basri pernah menyabotase seluruh makanan saya waktu kecil dulu. Jadi sayur semua. Basri bahkan tidak berusaha untuk membuat sayur itu lebih menarik. Ya, hanya sayur aja."
Dia tersenyum mendengar cerita Maja sambil berjalan menuju kulkas untuk mengambil air mineral dalam botol kaca. Salah satunya dia sodorkan pada Maja. Kemudian dia duduk di hadapan Maja, meneguk minumannya karena Maja memandangnya entah karena apa.
"Saya pikir saya punya ide lebih baik dari board game. Nanti kalau bosan baru main board game," Maja melempar ide.
Gelas dia letakkan di meja. "Okey. Mau main apa?"
Maja diam sejenak, seperti menimbang sesuatu.
"Jangan kelamaan mikir, Mr. Grumpy. Kamu jadi tambah jelek," wajah Daya datar saja ketika mengatakan hal itu. Kaki Daya lipat ke samping di atas sofa hingga duduknya nyaman sementara Maja masih menatapnya. Aneh banget nih cowok.
"Saya nggak tahu apa-apa soal kamu, selain data diri dan biodata normal lain." Maja diam lagi. "Akan ada banyak acara yang harus kita datangi bersama nanti, waktu kita sudah balik ke Jakarta. Gimanapun kondisinya kita pasangan. Tadi kita nggak kompak soal jawab anak. Untungnya Ruth nggak curiga."
"Kenapa kamu bilang satu? Serius kamu mau punya anak sama saya?" tanyanya heran teringat jawaban Maja tadi.
"Ya kalau jawab nggak punya rencana akan lebih aneh lagi, Daya."
Dia mengangguk setuju. "Okey, jadi rencananya anak kita satu. Bikinnya pake mixer pembuat kue di dapur nanti."
Maja terkekeh sambil menggeleng kesal. Laki-laki itu berdiri dan membuka pintu-pintu balkon hingga angin laut masuk ke dalam ruangan. Suasana lebih nyaman saat Maja sudah duduk lagi dengan posisi lebih santai. "Saya tanya pertama, kamu jawab. Terus harus diingat jawabannya."
"Okey," dahinya mengernyit penasaran. Maja mau tanya apa sih.
"Kamu suka warna apa?"
Awalnya matanya membulat karena mencerna pertanyaan sepele tadi, kemudian dia tertawa kecil. "Oh, okey. Ternyata jenis pertanyaan buat ngisi buku diary."
"Kamu mulai menyebalkan, Daya," dengkus Maja.
"Tebak dong."
"Daya, poinnya bukan tebak-tebakan. Ini biar cepat dan efisien, jadi saya akan tanya seluruh kesukaan kamu dari mulai yang paling sepele sampai yang penting-penting."
"Sebentar-sebentar. Aku laper butuh cemilan. Topiknya berat banget soalnya," ledeknya sudah berdiri dan melangkah ke arah cabinet dapur kecil.
Dua kantung keripik dia keluarkan kemudian salah satunya dia berikan pada Maja. Saat dia ingin duduk di seberang sofa seperti tadi, Maja sudah menarik lengannya agar dia duduk di sofa panjang yang sama dengan Maja.
"Duduk sini aja."
"Two-meter distance," dia menggeser duduknya hingga di ujung sofa. Tubuhnya duduk miring hingga bisa menghadap Maja dari samping.
"Kamu nggak secakep itu buat saya deketin," geram Maja lagi.
"Nah, pemikiran kita sama," kantung keripik dia buka. "Okey, kita mulai. Warna kesukaan saya hitam. Lebih elegan, klasik. Atau warna-warna yang lebih gelap lainnya."
"Makanan?" Maja serius memperhatikan.
"Saya nggak ada alergi, jadi aman. Tapi saya suka...mmm...banyak. Asal nggak makanan yang lembek-lembek kayak bubur, atau sushi yang nggak mateng. Kalau puding masih okey, " dia menjawab santai sambil makan keripik di genggaman. "Keripik ini enak, saya juga suka."
"Minuman?"
"Kopi dan jus buah murni tanpa gula."
"Film?" lanjut Maja.
"Action, atau drama dengan plot twist thriller di belakangnya. Sekalipun saya jarang banget nonton bioskop karena kerjaan."
Kepala Maja mengangguk. "Musik?"
"Apa aja, saya nggak picky dan nggak terlalu ngikutin trend. Nggak sempet, sibuk."
Maja diam sesaat. "Gantian kamu."
Sikap Maja mulai sedikit lebih santai. Mungkin karena dia juga rileks. Ya, mereka terperangkap berdua jadi lebih baik menikmati suasana kan? Posisi duduk Maja juga sudah miring ke arahnya.
"Beneran siap denger pertanyaan saya?"
"Kenapa harus nggak siap?" mata Maja menatapnya penuh selidik. "Jangan nanya yang aneh-aneh."
"Kamu pernah punya binatang peliharaan?"
Ekspresi wajah Maja berubah penasaran, mungkin karena tidak mengira dengan pertanyaannya. "Adel punya kucing dulu. Saya nggak punya karena nggak sempat ngurusnya."
"Kamu suka nulis jurnal?"
"Jurnal? Catatan sehari-hari maksud kamu?"
Dia mengangguk.
"Yang saya tulis cuma jadwal saya dua minggu ke depan, atau catatan meeting penting," jawab Maja.
"Suka olahraga?"
"Treadmill di gym."
"Baca buku?"
"Yang saya baca kontrak kerja, laporan, atau jurnal penting soal update situasi bisnis terbaru."
"Bisa masak?"
"Nope. Buat kopi bisa."
"Suka nonton?"
"Nemenin Adeline nonton aja. Filmnya terserah dia."
"Berpetualang?"
"Business trip."
Checklist yang ada di dalam kepalanya hanya menyimpulkan satu. Kemudian dia tersenyum lebar lalu melempar Maja dengan keripik yang dia pegang.
"Kenapa ngelempar saya?" ekspresi Maja masih serius.
Dia tertawa kecil melihat Maja. "Sekarang saya tahu apa masalah kamu."
"Saya nggak punya masalah, enak aja."
"Ya Tuhan, ngeliat kamu begini saya jadi bersyukur kalau ternyata saya masih bisa lebih santai daripada kamu." Senyumnya masih lebar sambil menggeleng tidak percaya. "Mungkin itu bedanya kerja di industry kreatif sama jadi pure-business man kayak kamu."
"Maksudnya?"
Ya ampun, ini cowok kenapa lemot sih. Dia berdiri lalu menarik lengan Maja untuk berdiri juga. "Sini, ikut saya."
Mereka berjalan ke arah kaca besar yang ada di dalam ruangan. Dia membuat Maja berdiri di hadapan kaca kemudian dia berujar lagi. "Maja, liat ekspresi kamu. Datar, kaku. Padahal kita lagi tanya jawab santai sekarang. Itu bikin saya penasaran, kamu itu datar begini karena apa?" dia berdiri di sebelah Maja. "Saya juga hobi kerja, Maja. Jangan salah. Tapi saya nggak kaku kayak kamu."
"Kamu mulai nyebelin," dengkus Maja sambil berjalan kembali ke arah sofa. "Saya ya saya. Kamu ya kamu. Saya nggak akan berubah buat kamu," tegas Maja.
"Setuju, jangan berubah buat orang lain. Jangan pernah. Karena saat orang itu pergi, kamu kecewa banget nanti," jelasnya ringan. "Tapi berubah buat diri kamu sendiri, Maja. Nggak semua hal kamu perlu seriusin. Santai sedikit, ini bagus buat otak kanan kamu yang akan banyak produksi ide kreatif."
Ekspresi Maja berubah seperti dia mengucapkan sesuatu yang tepat sasaran. Mereka sudah kembali duduk lagi.
"You need a hobby, A.S.A.P," ujarnya lagi. "Biar nggak kayak zombie."
"Kamu sendiri, hobby kamu apa emangnya?"
"Saya suka olahraga. Berenang, yoga, gym. Kalau nggak di kantor dan saya lagi sehat, saya pasti di gym. Olahraga itu sehat dan bisa memproduksi hormon bahagia biar kamu nggak menggerutu terus begitu."
"Dengan Rendy?"
Matanya mengerling. "Kenapa? Cemburu sama Rendy?"
Maja tiba-tiba tertawa. "Apa? Cemburu? Never," wajah Maja berubah galak lagi.
"Nggak cemburu tapi muka galak begitu? Nggak ada yang percaya," Maja dia timpuk lagi dengan keripik kentang. "Nggak usah denial, kamu cemburu kan?"
"Daya, jorok banget sih. Timpuk sekali lagi nanti saya..."
'Pluk!' dia tidak mempedulikan protes Maja dan melempar satu keripik lagi. "Mau apa?" tantangnya paham benar Maja tidak akan berani melakukan apapun yang melanggar peraturan.
Maja bergerak untuk duduk lebih dekat dengannya. Dia terkekeh kecil lalu menimpuk keripik lagi. "Sini, lebih deket lagi." Kepala dia miringkan dengan ekspresi meledek.
Tubuh Maja tambah mendekat, tidak sampai disitu, wajah Maja juga perlahan menuju ke arah telinganya. Dia bisa membaui wangi Maja dengan jelas dari jarak sedekat ini. Juga panas tubuh laki-laki itu. Daya, this is your game. Not him. Tapi tubuhnya membeku kaku. Tarik nafas Daya.
"Mau saya lebih dekat lagi? Bilang aja kalau mau dekat-dekat saya. Nggak usah pakai alasan lempar-lempar keripik," bisik Maja dekat sekali di telinga.
Nafas sudah dia atur perlahan, dia tidak akan kalah. Wajah dia tolehkan sedikit hingga posisi bibirnya dekat dengan pipi Maja. "Oh, saya pikir kamu yang mau lebih deket sampai hopelessly asking apa warna kesukaan saya...Tuan Admaja," bibirnya turun ke leher laki-laki itu. Tetap dengan jarak yang tipis sekali.
Kemudian Maja menjauhkan diri sambil terseyum kecil menatapnya. "Kamu benar-benar menyebalkan. Pacar kamu dulu banyak pasti. Ada berapa?"
"Nggak lebih banyak dari kamu," dia tersenyum juga. "Kamu punya berapa?
"Pass, pertanyaan lain. Kamu nggak penasaran warna kesukaan saya apa?"
"Saya udah tahu. Kamu suka navy blue, karena kamu suka laut. Kamu alergi debu tapi sama makanan baik-baik aja. Kamu suka makanan-makanan mahal, terutama caviar – which I don't know why you like caviar. Kamu suka kopi, sekalipun bukan penggemar fanatik. Kamu nggak punya hobi selain bekerja, dan aku baru tahu tadi. Kamu bisa mengendarai segala jenis alat transportasi, karena ayah kamu mewajibkan itu. Lisensi pilot kamu juga masih berlaku. Nggak punya teman dekat, hanya Audra Daud harusnya. Nanti kamu harus kenalin aku sama dia. It's a part of the deal," dia berpikir lagi. Apa yang terlewat selain nama mantan pacar Admaja yang juga sudah dia tahu. "Hmm...apalagi ya?"
"Wow, you know me well."
"I'm better then you. I did my homework," kepala dia topang dengan tangan yang tidak dibebat.
Mereka diam sejenak, dan baru sadar jika posisi duduk mereka masih dekat setelah saling menggoda tadi. Wajah Maja menoleh menatapnya dan dia membalas tatapan itu. Sungguh dia tidak mengerti apa arti tatapan Maja. Karena ekspresi laki-laki ini masih kaku, dengan senyum yang ditahan, tapi Maja terlihat seperti penasaran akan sesuatu. Ada pertanyaan lain yang tidak Maja ucapkan.
"Paling enggak, waktu kita hari ini bermanfaat," dia bedehem memecah keheningan.
"Besok enaknya ngapain?" tanya Maja.
"Nonton show-show yang hari ini dijadwalin sama Basri, bukan ide yang buruk. Aku belum bisa berenang dan olahraga berat. Masih ada satu sesi besok dan dua di Thailand."
"Okey, as you wish," kepala Maja mengangguk. "Kamu mau siap-siap buat birthday dinnernya Ruth?"
Jam di tangan menunjukkan pukul enam sore. "What? Maajaaa, kamu harusnya bilang dari tadi," dia langsung berdiri kemudian berlari ke lantai atas.
"Daya, jangan lari-lari," Maja menggeleng melihat kelakuannya.
***
Duuuh, coba akur terus yah. Ini part paling panjang sampai 6000 words.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro