Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12 - Goodnight

Kapal sudah tiba di Penang, Malaysia. Karena itu ship whistle berbunyi. Saat tahu hal itu akan terjadi Admaja sudah berlari ke bawah dan berjaga jika saja trauma Daya kembali. Benar saja, wanita keras kepala yang menolak tidur satu ranjang dengannya berteriak dalam tidur. Pekikan ngeri seperti melihat sesuatu yang buruk sekali dalam mimpi. Wajah Daya pucat, seluruh tubuh wanita itu bergetar, mata hitam Daya terbuka dan menatap ngeri apapun yang ada di dalam pikiran Daya. Wanita itu bahkan menangis tanpa sadar sambil terus bergumam untuk menenangkan diri.

Dia selalu kesal dan cepat emosi saat berdekatan dengan Daya, tapi melihat Daya seperti ini sungguh dia tidak bisa untuk tidak peduli. Apa yang Daya alami hingga traumanya seburuk itu? Apa Daya ada di dalam mobil yang sama saat kecelakaan dengan orangtuanya dulu? Semua rasa mengaduk perutnya dan yang dia inginkan agar ketakutan Daya pergi. Jadi refleks tubuhnya adalah memeluk Daya.

Wanita keras kepala itu terus mendorongnya menjauh, berdiri dan berlari terseok untuk bersembunyi dari semua orang. Lagi-lagi di dalam kamar mandi. Tapi kali ini dia berhasil menahan tubuh Daya yang masih bergetar hebat. Kemudian dia memeluk lebih erat. Benci melihat Daya seperti ini. Saat Daya lebih tenang, dia melepaskan perlahan. Pandangan mereka terjalin, ada ketakutan hebat yang baru pertama Maja lihat. Rasa takut yang begitu besar hingga dadanya bereaksi. Ada ganjalan rasa yang naik perlahan dan membuat keinginan tak terbendung untuk melindungi Daya datang. Mata hitam yang basah, wajah Daya yang merah karena demam, juga tubuh Daya yang masih bergetar dalam pelukannya. Dayana terlihat rapuh sekaligus berani dalam saat yang bersamaan. Wanita ini, cantik sekali karena ekspresinya yang jujur.

Untungnya Daya segera melepaskan diri dan duduk di sofa. Karena jantungnya terasa ingin meledak berantakan tiba-tiba. Jadi dia hanya bisa menatap Daya sambil menghela nafas perlahan. Daya sudah duduk tegak menatap ke luar jendela. Tangan Daya yang masih bergetar wanita itu sembunyikan. Kemudian ada rasa yang tidak dia suka. Apa dia sakit hati karena Daya masih saja tidak mau jujur padanya? Kenapa juga dia harus peduli? Oh, ini harus berhenti. Basri datang di saat yang tepat. Jadi dia segera keluar ruangan untuk menangkan diri. Jejak harum rambut Daya masih terasa. Dia berjalan cepat-cepat sambil menghubungi Kapten kapal, dan juga dokter untuk memeriksa Daya.

Empat puluh menit dia mengatur segalanya dan mengangkat ponsel lagi untuk kembali ke kamar. Apapun yang Daya derita harus segera disembuhkan. Atau....atau apa, Maja? Daya sembuh atau nggak sembuh itu bukan urusan kamu. Seluruh akal logika memang bicara begitu tapi yang dia lakukan malah mengangkat ponsel menghubungi Basri.

"Basri, apa dokter sudah tiba?"

"Baru saja, Tuan. Sebaiknya anda kembali ke sini. Bahu Nyonya terkillir parah."

Cepat-cepat dia melangkah menuju kamar mereka saat berpapasan dengan Angie.

"Ah, aku mencarimu. Aku sudah pesan tempat di restoran terbaik untuk makan siang di Penang. Kita bisa turun kapal bareng," ujar Angie sementara dia terus berjalan menuju lift. "Maja, kamu selalu turun kapal."

"Tidak kali ini, Angie. Ada istri saya menunggu di kamar," pintu lift tertutup.

Dia sudah tiba di dalam kamar dan menemukan Basri berdiri menunggu di bawah. Langkahnya lebar-lebar untuk naik ke atas. Seorang dokter laki-laki sedang memeriksa Daya yang bajunya setengah terbuka. Refleks kepalanya berpaling namun akhirnya dia menoleh juga karena tidak suka dengan kenyataan dokter laki-laki itu bebas menyentuh Daya tanpa wanita itu protes.

Dia berdehem sejenak. "Bagaimana kondisinya, Dok?" matanya menatap Daya yang segera menutup pakaiannya. Ada biru gelap di sekitar bahu Daya.

"Dugaan saya demam ini karena bahunya yang terkilir parah. Saya sangat menyarankan Dayana untuk dibawa ke rumah sakit terdekat dan melakukan fisioterapi. Ambil kesempatan ini karena kita sedang berlabuh," dokter sudah berdiri. "Daya memberikan saya nama seseorang yang biasa menanganinya ketika ini terjadi. Jadi tolong hubungi dia sementara saya akan memberikan obat penahan rasa sakit. Untuk sementara bahu dan lengan kiri Daya tidak saya sarankan untuk banyak digerakkan."

Kepalanya mengangguk mengerti. Dia menahan diri untuk tidak bertanya perihal trauma Daya karena khawatir Daya akan marah-marah dan membuat situasi yang canggung. "Terimakasih, Dok. Saya akan atur sisanya."

Dokter itu tersenyum lebar. "Saya mengerti kalian sedang berbulan madu. Tapi kalian tetap harus hati-hati ketika melakukan itu. Selamat, Maja. Saya baru dengar dari Basri tadi."

Dia hanya diam saja tidak menjawab. Sang dokter pamit sopan kemudian dia meminta Basri menghubungi salah satu rumah sakit yang ada di Malaysia.

"Daya ingin menghubungi Rendy dan saya pikir itu ide baik," ujar Basri. "Lebih nyaman jika yang menangani Nyonya adalah seseorang yang Nyonya tahu."

"Ide baik darimana? Rendy nggak ada di Malaysia," dengkusnya kesal. "Lupakan Rendy dan cari fisioterapis lain di sini, dan harus perempuan, Basri. Tidak laki-laki."

"Baik," Basri melangkah pergi.

Dia kembali naik ke atas dan melihat Daya berusaha berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi dengan cara berpegangan pada dinding dengan satu tangan. Refleks nya adalah melangkah untuk menggenggam lengan Daya dan membantu Daya berjalan. Sekalipun dia tahu Daya akan mulai memaki lagi. Tapi kalau Daya jatuh, dia juga yang harus gendong kan.

"Saya pingin pipis, tadi banyak minum biar demam saya turun," ujar Daya dengan nada baik-baik saja yang sedikit mengejutkannya.

"Kamu pusing?" tebaknya. Mereka sudah berada di dalam kamar mandi besar.

"Kepala saya berputar. Tapi dokter sudah kasih obat tadi."

Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Kemudian dia keluar ruangan setelah meminta Daya untuk tidak mengunci pintu kamar mandi. Dia berdiri di sana menunggu Daya selesai. Ini aneh sekali. Kenapa Daya tidak marah-marah seperti biasanya? Suara toilet flush dan wastafel yang menyala terdengar dari balik pintu. Bayangan bahu Daya yang membiru datang. Pasti karena dia menjatuhkan tubuh Daya kemarin. Hhhhrrghh, geramnya kesal pada diri sendiri.

Pintu kamar mandi terbuka dan dia menghiraukan ekspresi terkejut Daya saat tahu dia masih di sana. Jika sebelumnya Daya tidak mau dia sentuh, kali ini satu tangan Daya yang memegang lengannya.

"Masih pusing?" dia berdehem.

"Kalau enggak pusing, saya nggak pegangan."

Mulai lagi deh. Dugaannya setelah kalimat Daya tadi, Daya akan mulai memaki. Tapi wanita itu diam saja lalu kembali duduk di tempat tidur. Dia membantu menyusun bantal agar Daya bisa bersandar. Kaki Daya yang sudah mengenakan celana panjang dia selimuti perlahan.

"Makanan saya akan antar ke atas. Kamu harus sarapan. Basri sedang menghubungi rumah sakit terdekat untuk jadwal fisioterapi. Setelah makan kamu bisa bersiap-siap." Bahu Daya pasti masih sakit, jadi dia duduk di pinggir tempat tidur agar kepala Daya tidak mendongak.

Selama beberapa saat Daya menatapnya saja. Sudah tidak ada rasa takut tadi. Saat ini Daya seperti tersenyum dalam datar ekspresinya.

"Maaf, karena saya bahu kamu jadi terkilir begini."

Lalu senyum yang sejak tadi Daya tahan mengembang kecil. "Saya masih kesal karena kamu sengaja jatuhin saya."

Nafas dia hirup dalam agar Daya tahu dia mulai tidak suka kemana arah kalimat tadi. Kenapa mudah sekali merasa kesal pada wanita ini.

"Tapi terimakasih, Maja," Daya memberi jeda. "Terimakasih karena sudah berusaha menjaga saya."

Mata hitam Daya seolah mencair, lalu berganti dengan hangat dan ketulusan di dalam sana. Karena terkejut dengan sikap Daya, dia kehilangan kata. Hanya terpaku pada mata hitam itu saja. Lalu perasaan yang sudah lama dia lupa mulai merasuk perlahan. Hingga dia berpikir bahwa Daya cantik sekali dengan wajah pucat, dan rambut hitam yang kontras membingkai rahang Daya. Kepala Daya menunduk sedikit kemudian dia sendiri berdehem sambil berdiri. Ini aneh sekali.

"Saya di bawah. Kalau ada apa-apa panggil aja."

Kepala Daya mengangguk lagi. Lalu dia melangkah menuju lantai bawah berusaha menenangkan diri.

***

Sudah pukul enam sore ketika mereka kembali ke atas kapal setelah melakukan anjuran dokter. Selama proses pemeriksaan dan fisioterapi, perilaku Maja baik-baik saja. Daya sendiri tidak banyak bicara dan membiarkan Maja membantunya. Sikap Maja sedikit kikuk dan kenyataan itu membuat dia tersenyum geli dalam hati. Bagaimana tidak kikuk, ketika pemeriksaan berlangsung dan dia sedang berbaring diperiksa oleh dokter bersama dengan fisioterapis perempuan, Maja diminta berdiri di sebelahnya dan menyaksikan. Admaja si kaku dan pemarah itu berkali-kali memalingkan kepala saat setengah bagian depan tubuhnya terbuka, sementara sang dokter menegur Maja karena tidak perhatian. Ya dia juga gugup, tapi berhasil menutupi bagian tubuhnya yang lain. Tetap saja, melihat si grumpy bingung sedikit menghibur hatinya.

Untuk sementara waktu bahunya dibebat agar tidak banyak bergerak. Demamnya sudah turun sejak siang tadi dan belum naik lagi. Vertigo-nya juga membaik hingga dia bisa berjalan tegak di sepanjang koridor, mengikuti Maja yang berjalan di depannya juga Basri yang ada di belakang dan fisioterapis tadi di rumah sakit yang Maja minta untuk meneruskan terapinya di atas kapal. Entah wanita itu dibayar berapa hingga langsung tersenyum lebar saat bicara dengan Basri di rumah sakit tadi. Tiba-tiba dia sadar bahwa ini bukan arah ke kamar mereka.

"Kita mau kemana?" tanyanya pada Maja.

"Ikut dulu, nanti dijelaskan," jawab Maja.

Keluar dari lift di lantai dua belas, mereka masuk ke sebuah lobby kecil yang bertuliskan VIP Theater Room. Maja mempersilahkan dia masuk ke dalam salah satu ruangan berperedam suara ukuran sedang, sementara Basri menunggu di luar.

"Tolong dengarkan saya dulu baik-baik," Maja memulai. "Kapal sebentar lagi berangkat dan cuaca berkabut. Jadi saya tidak bisa melarang kapten membunyikan klakson kapal. Fungsi klakson utamanya untuk memberi peringatan pada kapal kecil yang tidak memiliki radar, jadi mereka minggir. Saat ingin berlayar, apalagi dengan cuaca kabut begini, saya tidak punya pilihan," Maja menerangkan perlahan.

"Kapan Kapal akan berlayar?" tanyanya karena jantung yang mulai berdebar. Dia mulai cemas.

Admaja melihat ponsel lalu menjawab, "Tepat sepuluh menit lagi klakson akan dibunyikan."

Kepalanya sedikit menunduk tapi mengangguk. Tangannya mulai bergetar perlahan. Tenang, Daya. Tenang. Tarik nafas dalam. Dia membasahi bibirnya lalu memandang ke sekeliling ruangan, mencari tempat perlindungan. Admaja memperhatikan itu semua.

"Daya, tolong tenang dulu. Lihat saya," nada Maja lembutkan.

Kedua tangannya yang bergetar dia sembunyikan di belakang tubuh. Sekalipun dia tahu itu percuma, karena Maja terus memperhatikannya. Kemudian dia menatap Maja lagi setelah berusaha menenangkan diri. "Ya?" suara yang keluar seperti bisikan.

Admaja melangkah menghampirinya, mereka berdiri berhadapan. "Pernikahan kita memang...baru," Maja menutupi karena khawatir ada yang mendengar mereka. "Tapi saya sungguh-sungguh benci melihat kamu begini dan saya ingin membantu. Sebagai apapun menurut kamu," Maja diam sejenak. "Apa boleh, kali ini kita gunakan cara saya?" tangan Maja terulur padanya.

Tidak ada tatapan merendahkan yang dia pikir selalu ada di sana, juga tidak ada pandangan kesal atau marah. Mata hitam keabuan Admaja terlihat sungguh-sungguh ingin membantu, uluran tangan laki-laki ini tulus. Daya bisa merasakan semua itu. Entah karena apa juga, akhirnya dia meletakkan tangannya di telapak tangan Maja. Lalu dia bisa melihat hembusan nafas lega yang Maja berusaha sembunyikan.

Tangan besar Maja menggenggam tangannya kemudian laki-laki itu melangkah masuk ke dalam satu pintu yang ada di sana. Seperti tulisan di luar, area ini adalah teater atau bioskop untuk tamu VIP dan seperti luxury theater lainnya, kursi-kursi bioskop berbentuk sofa kulit satu dudukan yang besar dan nyaman dengan meja di samping kiri-kanan. Tapi di bagian tengah area sudah dimodifikasi karena tidak ada kursi bioskop. Berganti dengan satu meja sedang dan dua kursi. Ada makanan lengkap terhidang di atasnya juga satu pelayan yang sudah membungkuk memberi salam pada mereka.

Senyumnya mengembang lebar melihat itu semua. "Jadi kamu ngajakin saya nonton bioskop dan dinner dalam waktu bersamaan?"

Maja menarik kursi untuk mempersilahkan dia duduk. "Saya nggak bisa hentikan ship whistle kapal ini, jadi saya meminta Basri untuk mencari ruangan yang kedap suara. Ada beberapa pilihan tapi ini satu-satunya ruangan yang paling kedap dari yang lain," Maja sudah duduk di hadapannya.

Jam tangan menunjukkan hanya tinggal tiga menit hingga kapal berangkat. Rasa gugup mulai datang. Admaja meminta film diputar lalu kembali menatapnya. Kemudian tanpa dia duga tangan Maja meraih lengannya dan melepas jam tangan yang dia kenakan.

"Saya simpan dulu. Ini tidak penting untuk sekarang." Layar bioskop mulai menyala, lampu meredup namun tidak gelap total. Suara film salah satu animasi Disney dimulai. "Saya nggak tahu kamu suka film apa. Jadi saya putarkan kesukaan Adeline dulu."

Pikirannya teralihkan pada seluruh perhatian Admaja. "Adel suka kartun?"

Maja terkekeh. "Suka banget, mangkanya nggak gede-gede."

Suara film sudah memenuhi ruangan. Kartun Mickey Mouse edisi lama ditayangkan. Terakhir dia menonton bioskop adalah ketika dia kuliah dulu, bersama salah satu teman. Jadi sudah lama dia tidak melakukan aktifitas ini. Seluruh kesibukan menghalangi. Jadi ketika melihat Mickey dan Minnie beraksi, dia mulai terkekeh geli. Penutup makanan dibuka pada piring mereka. Ada sup hangat yang mengepul.

"Semoga kamu suka," ujar Maja lagi.

"Udah lama aku nggak nonton film dan sup ini kelihatan enak," senyumnya terkembang. "Aku makan ya." Dia menyeruput sup itu perlahan.

Mereka menyaksikan film diputar sambil menikmati makan malam. Saat ship whistle terdengar sayup-sayup, tangan Maja dengan sigap menggenggam tangannya hangat sambil terus bicara tentang film yang sedang mereka tonton. Kepala dia gelengkan tiga kali untuk mengusir bayangan masa lalu pergi. Rasa cemasnya berganti dengan suara Mickey yang sedang tertawa dengan Minnie, tangannya yang kaku menghangat dalam genggaman tangan besar Maja, pikirannya teralihkan karena Maja terus bicara dan tertawa mengomentari tindakan Minnie. Dia hanya bisa menatap Maja di hadapannya sambil tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya terpesona dengan ketulusan hati laki-laki ini.

***

"Kamu menikmati filmnya?" Maja bertanya saat mereka berjalan beriringan kembali ke kamar mereka.

"Minnie-nya cengeng banget ternyata, aku kesel jadinya."

"Ya kan itu film tahun 1970an, emansipasi wanita belum umum waktu itu. Mungkin sekarang ada bagian yang Minnie-nya jadi wanita karir, nanti coba saya tanyain sama Adel."

Daya terkekeh kecil. "Baiknya Minnie jadi Minnie aja, nggak usah jadi wanita karir."

Dia membukakan pintu kamar mereka lalu mengucapkan terimakasih pada Basri yang sedari tadi berjalan di belakang mereka. Pintu kamar dia tutup lalu menoleh pada Daya. "Kenapa emangnya?"

"Nanti Mickey ngerasa kesaing lagi, terus mutusin Minnie."

Jawaban Daya membuat dia tertawa. "Kalau gitu Mickeynya harus cari kerjaan yang lebih hebat lagi dari Minnie. Jadi nggak perlu merasa terintimidasi." Mereka berjalan ke lantai atas.

Kamar mereka sudah dibersihkan dan sudah ada obat-obatan yang harus Daya minum di atas meja nakas. Basri menyiapkan semua atas permintaannya. Tempat tidur dia tatap, kemudian dia tahu bahwa dia harus mengalah karena kondisi Daya.

"Terimakasih untuk hari ini," ujar Daya.

Kepalanya mengangguk dua kali. "Jangan lupa minum obat," mereka berdiri berhadapan sedikit canggung. "Saya hanya akan ambil baju dan tidur di bawah."

Koper dia buka dan dia mengambil apa yang dibutuhkan, lalu pergi ke lantai bawah.

"Maja..."

Langkahnya terhenti di tengah tangga. "Ya?"

"Saya nggak masalah..." Daya berdehem. "...kalau kamu mau tidur di situ." Maksud Daya adalah di ujung tempat tidur yang lain. "Kamu pasti capek juga hari ini."

Dia melangkah naik lagi dari tengah tangga untuk memastikan dia tidak salah mendengar kalimat Daya. Pandangan Daya berlari saat dia menatapnya, mencari tahu apakah Daya sungguh-sungguh. Kemarin dia bisa tidur di sebelah Daya karena wanita ini sudah tertidur. Jika mereka berdua masih terjaga pasti akan aneh sekali rasanya.

"Kalau kamu mau di bawah juga nggak apa-apa, aku hanya menawarkan," lanjut Daya lagi.

"Ini bukan karena kamu mau margin yang lebih besar sesuai kontrak kan?" candanya.

"Aaah, ya udah kamu tidur di bawah aja. Aku lagi nggak mood berantem," Daya sudah mengambil pakaian dari dalam koper saat dia menahan lengan Daya.

"Daya, saya bercanda."

"Saya nggak suka bercandaan kamu yang itu," wajah Daya muram.

"Iya, maaf." Lengan Daya yang masih dia genggam dia lepaskan perlahan dengan canggung. "Kamu silahkan bersih-bersih dulu dan tidur. Masih ada perkerjaan yang saya harus periksa. Nanti saya naik lagi." Kalau kamu sudah tidur, lanjutnya dalam hati.

"Okey."

Kepalanya mengangguk satu kali lalu dia berjalan ke bawah lagi. Pada tengah tangga dia bisa mendengar Daya berbisik di belakangnya.

"Goodnight, Maja."

Saat itu dia hanya tersenyum saja lalu melanjutkan bekerja di lantai bawah. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, dia kembali naik ke atas dan menemukan Daya yang sudah tidur miring ke kanan karena bahu kiri yang terkilir. Malam ini Daya mengenakan piyama panjang berwarna hitam. Mungkin karena tahu mereka akan tidur bersama. Hah, kenapa juga dadanya bereaksi saat berpikir tentang tidur bersama Daya. Setelah membersihkan diri, tubuhnya dihantam lelah. Jadi dia berbaring menghadap langit-langit sambil menahan keinginan untuk menoleh ke arah wanita itu. Hal itu hanya bertahan lima belas menit lamanya. Lalu dengan alasan ingin memeriksa suhu tubuh Daya, dia berbalik miring menatap Daya juga. Satu tangannya terulur untuk menyentuh dahi Daya. Demamnya sudah turun. Dia berhasil menarik tangannya lagi tapi tidak berhasil membalik tubuhnya. Sebelum matanya terpejam karena lelah, dia berbisik juga.

"Goodnight, Daya."

***

Kembali ke Jakarta, Tari dan Agam sedang duduk di salah satu resto & bar setelah menikmati salah satu hari yang tenang. Agam bahkan mengundang Sherly datang. Pacar Agam itu datang hanya tiga puluh menit saja, kemudian merasa bosan dan pergi ke klub dengan teman-teman modelnya.

"Gue denger Mba Daya sakit di atas kapal, lo tahu?" tanya Agam.

"Ya tahu dong, Gam. Kan Mba Daya bos gue."

"Bisa sakit juga si Lady Gaga," kekeh Agam sambil menenggak minumnya.

"Lady Gaga juga manusia. Dia jarang sakit, biasanya cuma keseleo waktu olahraga aja. Tapi kalau ada proyek gede dan kita semua lembur, ya bisa sakit juga," jawab Tari sambil mengunyah nachos.

"Digicom masih pegang Trans Indo? Rumor dari Wincorp lo apain?" tanya Agam.

Mata Tari langsung mendelik waspada. Dia curiga dengan arah pembicaraan Agam. Pesan dari Daya jelas, bahwa Digjaya sedang mencari informasi tentang strategi pemasaran Trans Indo dan sudah pasti dia tidak akan memberikan. Jadi dia berdalih, "Udah nggak usah ngurusin kerjaan. Hari-hari udah indah nih. Kapan lagi bisa balik jam lima sore terus nggak ditelpon lagi."

Agam terkekeh kecil. "Elo nggak ditelpon, gue mah tetep aja. Hawkeye sekalian kerja di sana. Bos lo emang enggak?"

"Gue dan anak-anak udah nyiapin segalanya biar Lady Gaga di sana nggak nyanyi atau konser. Jadi hidup kita beneran tenang. Tim lo nggak keren kali, mangkanya Hawkeye pasang badan mulu. Kerja yang bener mangkanya, jangan pacaran mulu."

"Sialan, bener juga ya."

"Ngomong-ngomong, jadi kapan lo married sama Princess Sherly?" tanya Tari.

"Gue mau cepet-cepet. Tapi dia minta banyak syarat," Agam diam sejenak. "Cita-cita dia adalah bersuamikan CEO kayak di drama-drama, bukan sekretaris kayak gue."

Pantas saja sikap Sherly lebih acuh tak acuh. Kurang menghargai Agam menurut Tari. Tapi tadi dia diam saja. "Apa sih yang lo cari dari cewek, Gam?"

"Lo mau bilang kalau Sherly sempurna?" kekeh Agam. "Gue udah tahu. Mangkanya gue berusaha buat dia," gelas minuman Agam putar perlahan.

"Gue mau bilang kalau lo bego milih cewek," timpalnya tanpa basa-basi.

"Kayak lo punya cowok aja, pake ngatain gue," balas Agam. "Lagian kurangnya Sherly apa?"

"Heh, gue nggak sembarangan milih cowok, nggak kayak elo. Cewek body bagus, muka blasteran, langsung ijo mata lo kayak liat duit," decak Tari kesal. "Sherly nggak ngehargain lo, Gam. Lo keliatan banget bucinnya sih."

"Kelas-nya Sherly emang beda dibandingin gue dan elo, Tari."

"Eh, enak aja gue disamain sama cewek manja, modal tampang, nggak ada isinya begitu. Gue lebih berharga dari itu. Lo juga lebih berharga dari itu, Agam. Lo itu pinter dan Hawkeye udah siapin posisi buat lo satu tahun lagi. Kita itu manusia-manusia yang bertahan dari neraka dunia fana ini. Kita manusia pilihan. Mangkanya gue bingung lo mau sama Sherly."

"Jangan hina cewek gue."

"Masalahnya dia nggak anggap elo cowoknya, Agaaaaam. Coba lo telpon dia di klub buat cek dia lagi sama siapa."

"Nggak akan ke angkat karena nggak kedengeran, Tariiiii."

"Itu alasan dia sama lo. Habis nge-klub, Sherly balik nggak ke apartemen lo?"

"Ya enggak lah. Dia juga punya apartemen sendiri," dalih Agam.

"Lo pernah cek nggak, dia balik ke apt-nya atau enggak?"

"Kenapa gue harus cek?"

"Ihhhhh, lo tuh bego banget sih."

"Ngatain gue lagi, kita musuhan nih," Agam mulai kesal.

"Iya, iya. Hrrghhh...gimana jelasinnya." Tari menutupi kenyataan bahwa ketika dia dan Sherly berpapasan di kamar mandi, Sherly sedang bertukar nomor ponsel dengan laki-laki lain.

"Lo punya pacar dulu sana, baru bisa nasihatin gue."

Tari menatap mata Agam yang seperti menutupi sesuatu. "Gue temen lo, Gam. Lo pinter, berbakat, sekalipun lemot kalau bukan soal kerjaan. Maksudnya, lo itu sekretaris dari Admaja Hadijaya salah satu pebisnis muda sukses di negara raya ini, dan lo bilang kalau Maja sudah siapkan satu posisi buat lo tahun depan. Itu berarti lo diakui sama dia, Gam." Tari memberi jeda. "Don't waste your time with a woman who can't respect you."

Agam diam sejenak, balas menatapnya. Kemudian laki-laki itu tersenyum kecil. "Kenapa? Lo cemburu ya?"

Refleksnya adalah menempeleng kepala Agam yang langsung menghindar sambil tertawa. Sumpah serapah sudah keluar dari mulutnya. "Ngomong jangan sembarangan, monyoong. Gue nggak suka cowok lemot kayak lo. Lagian ini gue bilang sebagai...."

"Aaah alasaan..."

"Enak aja alasan. Lo telanjang depan gue juga gue nggak bakalan..."

"Bener ya...tapi lo juga harus telanjang depan gue..."

"Mesum gila, parah. Lo tuh tambah nyebelin makin hari tahu nggak..."

Mereka berdua saling menoyorkan kepala dan berbalas ledekan serta tertawa-tawa. Melewati sisa hari dengan canda sambil melepas penat setelah kerja. Di antara hiruk pikuk kota, dan ramainya suasana restoran malam itu.

***

Ada selingan Agam-Tari. Siapa tahu kangen sama mereka. 

Enaknya kalau adem begini suasana. Next part roller coasternya mau diarahin kemana? Nukik ke bawah, belok kanan santai, apa masih naik ke atas?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance