Part 11 - I don't want to sleep with you!
Pagi kedua di kapal pesiar. Daya mengerjapkan mata. Tidurnya masih terganggu semalam tapi dia harus mulai terbiasa dengan ini. Karena dia tidak akan menunjukkan kelemahannya lagi pada Admaja. Dua tangannya merenggang ke atas kemudian dia membalik tubuh lalu refleks berteriak.
"Ya, Tuhan. Maja!!" dua tangan langsung menarik selimut sampai atas dagu karena ternyata Maja tidur di sebelahnya.
"Berisik," Maja membalik tubuh membelakanginya dan menutupi kepala dengan bantal.
"Kenapa kamu tidur di sini?" nadanya sudah naik tinggi.
Maja mengenakan kaus polos berwarna putih sementara dia mengenakan kamisol tidur berwarna hitam dan celana pendek pasangannya. Itu semua dia kenakan karena dia pikir Maja akan tidur di sofa lantai bawah persis seperti perjanjian mereka.
"Maja!!" teriaknya lagi. "Cepetan turun."
Laki-laki itu cuek saja. Masih menutupi telinga dengan bantal dan membelakanginya.
"Hrrgiihhhh..." bantal pada telinga Maja dia tarik lalu tanpa dia duga Maja juga menarik bantal itu tidak mau kalah. "Maja, jangan nggak lucu. Cepetan pergi dari sini."
"Saya ngantuk, siniin bantalnya!"
"Kamu melanggar kontrak. Pasal lima point tiga. Tidur tidak seranjang," dia menarik bantal Maja lagi untuk mengusir laki-laki menyebalkan ini.
"Saya nggak peduli. Ini kapal pesiar saya dan ini kamar saya. Jadi saya bisa tidur dimanapun yang saya mau!" tegas Maja.
Tarik menarik bantal terjadi. Tenaga Maja bukan tandingannya jadi alih-alih bantal jatuh ke tangannya, tarikan Maja membuat tubuhnya menubruk tubuh Maja yang sudah duduk di tempat tidur. Matanya membelalak terkejut karena wajah mereka dekat sekali, ditambah bagian depan tubuhnya menempel pada tubuh Maja. Cepat-cepat dia menjauhkan diri dan ingin berdiri untuk segera turun dari kasur. Tapi kakinya terlilit selimut lalu tubuhnya limbung hingga jatuh ke arah lantai.
Tanpa dia duga satu tangan Maja sudah menangkap pinggangnya, hingga lagi-lagi tubuhnya berada di dekapan Maja. Ini apaaan siiihhhh...hrrghhh. "Lepas!" matanya melotot galak.
"Okey," Maja melepaskan tubuhnya hingga jatuh ke lantai.
'Gubrak!' Dahinya mengernyit menahan sakit pada bahu. Kemudian dia cepat-cepat berdiri dan melempar bantal pada Maja yang melenggang turun ke lantai bawah. "Siapin sarapan sendiri!"
Maja diam saja tidak menjawab. Cepat-cepat dia masuk ke dalam kamar mandi untuk mendinginkan kepalanya. Dasar sialan, kurang ajar, mesum banget sih pake tidur di sebelah gue. Lalu bayangan mereka berpelukan tadi, juga ciuman di mobil saat di airport tempo hari tiba-tiba terbayang. Maja reseeeeee!!!
Setelah tiga puluh menit mandi, dia keluar sudah memakai pakaian lengkap. Matanya memindai cepat dan tidak menemukan Maja di lantai atas. Ternyata laki-laki itu sedang berada di balkon menyeruput kopi dengan jubah berwarna biru navy. Duduk diam membaca sesuatu dari tabletnya. Dia sendiri berjalan menuju meja kerja untuk memulai hari. Ya, jadwalnya penuh hingga makan siang.
Laptop Maja masih terbuka dan menyala. Mungkin Maja lupa mengubah ke sleep mode. Tanpa dia mau dia menatap apa yang Maja baca tadi. Seluruh informasi tentang Trans Indo terpampang di layar. Dari mulai rencana tender, hingga hasil tender dan siapa pemenangnya – yang pemenangnya adalah Digicom. Juga kontrak kerja sama antara Trans Indo dan Digicom untuk fase pertama atas rencana marketing mereka. Hanya satu informasi yang kosong, yaitu apa strategi marketing yang digunakan Digicom. Kemudian dia tahu dia memiliki informasi yang Maja inginkan. Bagaimana tidak, dia dan timnya yang merancang rencana itu.
Ketukan pintu kamar membuat dia beralih untuk membukakan pintu. Maja masih asyik di balkon dengan tablet dan kopi. Apa mungkin Basri? Pintu dia buka dan tebakannya benar. Basri sudah berdiri dengan pakaian rapih seperti biasanya.
"Pagi, Nyonya. Bagaimana kabar anda hari ini?"
"Baik, Basri. Silahkan masuk."
"Saya ada perlu sedikit dengan Tuan Maja."
"Oh, dia ada di balkon."
Basri melangkah masuk dan langsung menuju balkon. Pintu balkon Basri tutup lalu dua laki-laki itu bicara serius sekali. Dia bahkan melihat Maja melirik ke arah dalam sesaat lalu berdiri dan menjahi pintu balkon. Kamu punya meeting lima menit lagi, Daya. Jangan buang waktu. Kemudian dia duduk di kursi kerja Maja, menutup dan menggeser laptop laki-laki itu lalu mulai bekerja.
"Pagi, Tari," dia menghubungi Tari melalui ponsel.
"Hi, Mba. Apa kabarnya?"
"Baik, seperti biasa. Sudah sampai dimana proyek Trans Indo berjalan?"
"Sedang proses produksi, Mba? Dion yang langsung tangani karena Reza fokus ke Digjaya."
"Good," dia diam sejenak, berpikir. "Tari, jangan biarkan rencana untuk proyek Trans Indo bocor keluar. Hati-hati dengan Agam."
"Iya, Mba. Paham. Apa ada masalah?"
"Nggak ada. Saya hanya mau professional. Bagaimanapun, kita mendapatkan Trans Indo lebih dulu daripada Digjaya."
"Tapi hati-hati, Mba. Wincorp mulai curang. Mereka mulai membujuk Trans Indo untuk membatalkan kontrak dengan kita dengan alasan status Mba sekarang."
Hmm, Tari benar. Dia istri dari Admaja Hadijaya. Pesaing utama Trans Indo. Pasti ada kekhawatiran dari Trans Indo bahwa dia akan menjatuhkan perusahaan itu karena statusnya sekarang.
"Saya yang akan hubungi Stevan langsung." Stevan adalah pemilik Trans Indo.
"Ya, Mba. Reza dan Melly ingin kasih laporan progress proyek Digjaya. Mba bisa online jam berapa?"
"Sekarang boleh. Saya ganti ke laptop dulu. Ngomong-ngomong, tahan dulu proses produksi untuk Digjaya," titahnya.
"Loh kenapa, Mba?"
"Saya mau kasih Maja pelajaran."
"Apa yang harus saya bilang ke Pak Yusri untuk laporan minggu ini?"
"Bilang apa adanya. Proses dihentikan sementara atas perintah Dayana. Biar Yusri eskalasi."
Ada jeda sejenak. "Mba, maaf mau nanya."
"Ya?"
"Mba lagi berantem sama Pak Maja?"
"Dari awal juga saya nggak pernah temenan sama dia. Anyway, bukan urusan kamu, Tari. Menunda beberapa hari tidak akan merugikan siapapun. Lakukan saja sementara itu matangkan seluruh persiapannya."
"Okey, Mba. Sebentar lagi kita call Mba dengan Teams ya?"
"Thanks."
Sambungan disudahi saat dia membuka laptop dan bertepatan dengan Basri yang masuk lagi ke ruangan. Entah kenapa tiba-tiba bahunya berdenyut nyeri hingga dia mengernyitkan dahi.
"Apa anda benar baik-baik?" tanya Basri menatapnya.
Senyum dia kembangkan. "Saya benar-benar baik. Hanya ingin bekerja hari ini."
"Jangan terlalu lelah. Tuan sudah meminta untuk mengantarkan sarapan ke kamar."
Kepalanya mengangguk. "Terimakasih, Basri," sahutnya singkat dan yakin sekali bahwa bukan Maja yang menyiapkan sarapan untuk mereka, tapi Basri.
Basri keluar dari kamar mereka sementara kali ini Admaja yang masuk dari arah balkon. Wajah Admaja datar dan menyebalkan seperti biasa. Laki-laki itu diam saja kemudian berjalan ke lantai atas entah untuk apa. Emangnya dia peduli. Headset sudah terpasang, internet sudah terkoneksi, kemudian dia memulai hari.
***
Sudah pukul tiga sore saat meeting terakhir Daya selesai. Dia berhenti karena bahunya makin terasa tidak nyaman. Maja keluar kamar pukul sebelas siang dan belum kembali. Sungguh suasana kamar langsung terasa lebih nyaman tanpa kehadiran laki-laki menyebalkan itu. Perutnya juga mendadak lapar. Sarapannya tadi terlalu awal. Akhirnya dia memutuskan untuk turun dan makan siang sendiri di lantai bawah. Tas dia ambil lalu melangkah keluar kamar.
Dalam perjalanan menuju lantai bawah otaknya terus berputar. Mencerna segala informasi setelah meeting pagi tadi dengan timnya. Memastikan lagi dalam kepala bahwa tidak ada check list monitoring yang terlewat. Kemudian merasa gembira untuk tahu timnya menjalankan seluruh rangkaian rencana dengan baik. Semua teratur sesuai schedule. Jadi dia sedikit tenang karena berada jauh dari Digicom.
Okey, ini pertama kalinya dia berpesiar. Jadi dia memutuskan untuk turun lebih ke bawah daripada lantai sebelas seperti anjuran Andito sebelumnya. Benar saja, suasana kapal memang cenderung ramai. Ini sedikit mengejutkannya karena hari ini masih pertengahan bulan dan bukan hari libur – setidaknya di negaranya. Apa selalu ramai seperti ini? Andito juga menginformasikan seluruh jadwal show yang berlangsung selama pesiar. Semua itu akan dia simpan untuk nanti, jika dia bosan.
Daya berhenti di lantai lima. Lantai yang menyediakan berbagai macam pilihan restoran. Mulai dari Asian food, Japanese, dan western. Semua lengkap tersedia. Akhirnya dia memilih satu restoran Asia yang berbayar dan masuk ke dalam. Seorang pengunjung tidak sengaja menubruk bahunya. Pengunjung itu minta maaf sopan dan dia hanya bisa tersenyum sambil memegang bahu yang tambah terasa sakit. Hhh, dia harus periksa nanti. Kemudian dia mulai sibuk memilih menu dan melihat-lihat. Semua hal di dalam pesiar persis seperti berada di mall besar yang pengunjungnya berasal dari banyak negara. Entah kenapa itu semua menarik minatnya tiba-tiba.
Setelah menyelesaikan makan moodnya benar-benar membaik. Dia berjalan berkeliling melihat-lihat dan akhirnya harus setuju pada Andito bahwa lantai bawah memang penuh dengan hiruk pikuk orang. Selama ini dia terbiasa sendiri, jadi ketika dihadapkan dengan keramaian dan bukan urusan pekerjaan dia cepat merasa tidak nyaman. Jadi dia memutuskan untuk naik dan melihat-lihat restoran khusus tamu VVIP di lantai dua belas.
Ada satu dua restoran fine dining mewah dan satu bar eksklusif yang berada di lantai dua belas. Selain itu juga ada jejeran butik ternama di sana. Belanja adalah satu hal yang dia suka, karena berpakaian yang baik adalah sama pentingnya dengan bekerja. Tapi sebelum naik pesiar dia sudah melakukan hal itu jadi butik-butik mewah tidak menarik minatnya lagi. Perutnya yang sudah kenyang juga membuat dia melewatkan restoran. Jadi hanya bar itu yang belum dia kunjungi.
Salah satu pelayan menyapa ramah dan bertanya dimana letak kamarnya. Dia menyebutkan lantai dan nama kamar lalu pelayan tadi tersenyum lebih lebar. Si pelayan bahkan berkata bahwa Tuan Hadijaya sudah berada di dalam.
"Apa Tuan Hadijaya sedang sendiri atau bersama tamu lain?" tanyanya penasaran.
"Tuan Hadijaya sedang bersama Ibu Angie. Apa Nyonya mau saya antar ke tempat mereka?" tawar si pelayan.
Bersama Angie? Managing Director yang terus menatap Admaja seperti ingin menarik laki-laki itu ke tempat tidur. Hhh, bukan- urusanmu, Daya. Dia tersenyum kecil pada si pelayan. "Terimakasih, sepertinya dia sedang bekerja. Saya tidak mau mengganggu."
"Atau Nyonya bisa menikmati cocktail segar di balkon bar," si pelayan menawarkan hal lain.
"Tidak perlu, saya hanya melihat-lihat. Terimakasih," kemudian dia melangkah pergi.
Bahunya terasa makin tidak nyaman kemudian dia memindahkan tote bag-nya ke bahu lain. Dia sudah tiba di depan pintu saat Basri keluar dari kamar yang letaknya bersebelahan.
"Habis berjalan-jalan?" tanya Basri.
"Ya, Basri. Ternyata berpesiar tidak seburuk yang saya pikirkan," senyumnya.
"Saya senang anda menikmati perjalanan ini. Apa Tuan Admaja ada di dalam?"
"Oh, tidak. Maja sedang bekerja di bawah," jawabnya. "Saya masuk dulu."
"Jangan terlalu lelah dulu, Nyonya. Anda masih sedikit pucat."
"Terimakasih, Basri."
Dia masuk ke dalam, meletakkan tasnya kemudian melangkah menuju balkon dengan kolam renang berukuran tidak terlalu besar. Langit sudah berubah jingga, indah sekali. Mungkin berenang bisa meredakan rasa tidak nyaman di bahunya, juga spekulasi akan apa yang terjadi antara Maja dan Angie dalam pikirannya pergi. Dia tidak punya urusan atas hubungan cinta Maja. Jadi akhirnya dia memutuskan untuk berganti pakaian dan berenang.
***
Admaja kembali ke dalam kamar pukul sembilan malam. Setelah menyelesaikan banyak hal di bawah termasuk memeriksa kontrak pengembalian bersama Angie tadi. Dia tidak suka tempat pribadi yang selama ini jadi miliknya sendiri dijajah oleh wanita menyebalkan itu. Bayangkan, Daya tidur di kasur miliknya dan membuat dia tidur di sofa. Tubuhnya sakit semua. Juga Daya menjajah area kerjanya.
Sejak semalam dia kembali tidur di kasur setelah mereka bertengkar lagi. Alasannya bukan karena dia mau, siapa juga yang mau berada satu tempat tidur bersama Daya. Tapi dia sudah tidak mau mengalah untuk hal mendasar itu. Dia butuh istirahat yang layak karena jam kerjanya yang tinggi. Jadi dia tidak peduli Daya mengamuk seperti pagi tadi karena dia akan terus tidur di tempat yang nyaman. Masa bodoh dengan perjanjian. Dia sudah cukup mengalah untuk menyingkir dan bekerja dari lantai bawah. Jadi dia tidak mau mengalah lagi untuk hal yang lain.
Jas dia lepas lalu letakkan di sofa. Tas laptop tipis sudah dia kembalikan ke meja kerja. Laptop Daya sudah tidak ada di sana. Matanya mencari Daya namun tidak menemukannya di lantai bawah, kemudian kepalanya mendongak untuk memeriksa lantai atas. Tidak ada suara. Apa mungkin si menyebalkan itu sudah tidur? Kemudian dia teringat untuk menghubungi Basri. Ponsel dia angkat sambil berjalan ke arah balkon dan menutup pintu.
"Basri?"
"Ya, Tuan."
"Apa sudah ada hasil?"
"Anda sedang berbulan madu, Tuan. Saya akan urus ini dan melapor ketika kita kembali ke Jakarta. Nyonya Daya hanya butuh ditemani dan ditenangkan ketika traumanya datang. Juga pastikan Nyonya tidak terlalu banyak minum obat penenang."
"Saya hanya ingin ini semua cepat tuntas, Basri."
"Saya mengerti tapi saya masih membutuhkan waktu untuk memeriksa." Basri diam sejenak. "Saya menyarankan sebaiknya anda tidak terlihat bersama wanita lain saat anda sedang berbulan madu, Tuan."
Dahi Admaja mengernyit dalam. Apa Daya mengadu? Tahu darimana Daya jika dia bersama Angie? "Saya bersama Angie untuk bekerja, tidak lebih."
"Mohon maaf jika saya lancang, tapi saya merasa ada yang janggal. Anda tidak tahu perihal trauma akut Nyonya Daya. Trauma sehebat itu seharusnya dibicarakan saat awal hubungan. Lalu, sepertinya anda lebih suka bekerja daripada berbulan madu bersama Nyonya. Di awal pernikahan Tuan dan Nyonya Besar, mereka bisa tidak keluar kamar berhari-hari. Lalu anda bertemu dengan wanita yang terang-terangan tertarik pada anda sejak lama. Bahkan dulu ada rumor tentang hubungan anda dan Angie. Pertemuan di ruangan tertutup di dalam salah satu bar kapal pesiar anda."
Rahangnya mengeras. Basri adalah seseorang yang berpengalaman dan sudah sejak lama mengabdi pada keluarganya. Jadi Basri tahu benar dan mulai curiga. Ini tidak boleh dibiarkan atau Basri akan mengadu pada mamanya. Grrrghh...merepotkan.
"Tidak ada yang terjadi antara saya dan Angie. Dulu, ataupun sekarang," tegasnya. "Dan buang jauh-jauh pradugamu, Basri. Hubungan saya dan Daya baik-baik saja dan..." tiba-tiba dia bingung untuk menjelaskan jenis hubungan mereka. Berbohong itu sulit sekali. "...dan kami saling mencintai sekalipun bukan jenis pasangan mesra."
Basri diam sejenak. "Ya, saya harap begitu, Tuan. Yang saya inginkan hanya melihat anda bahagia bersama Nyonya Daya. Itu saja."
"Selamat malam," sambungan dia sudahi cepat-cepat karena mulai kesal.
Maja melangkah ke atas untuk mandi dan beristirahat. Kemudian melihat Daya sudah tertidur. Pintu kamar mandi dia kunci kemudian dia mulai melepas kemeja dan menatap pantulan wajahnya di kaca wastafel.
"You're too serious, kaku, senyum dikit dong," ada kekeh suara Denta bergema di kepala.
"I try to understand you. Tapi kita nggak cocok, Maja. Aku nggak bisa lagi sama kamu, I'm sorry."
Denta meninggalkannya setelah dia berusaha untuk berubah. Karena dulu dia mencintai wanita itu sepenuh hati. Jadi ketika Denta pergi dengan salah satu teman Adeline, dia frustasi. Semua kejadian lama mengajarkan dia satu hal, untuk tidak mengubah dirinya hanya untuk seorang wanita. Dia cinta apa yang dia kerjakan, jadi tidak ada seorang pun yang bisa mengambil itu darinya. Apalagi Dayana.
Kepala dia gelengkan untuk mengusir kenangan lalu, kemudian dia meneruskan mandi. Berlama-lama di bawah pancuran air hangat sambil mengingat lagi jadwalnya besok. Angie berulah dengan cara berusaha menunda serah terima kapal dengan alasan yang dibuat-buat. Besok mereka akan berlabuh di Penang. Ketika itu dia akan bicara pada Kapten kapal untuk memastikan segalanya lagi.
Sementara itu mereka harus berhati-hati dengan Basri. Ya, mereka artinya dia dan Daya. Karena tanpa sadar Basri mengamati segalanya dan pasti akan melaporkan kecurigaan-kecurigaan lain. Masih ada tiga hari lagi sampai di Thailand. Dia harus memikirkan rencana bagaimana agar Basri sibuk dan tidak terus mengawasi. Atau bahkan mengirim Basri pulang lebih dulu.
Pakaian santai dia kenakan di dalam kamar mandi karena dia tidak mau disangka laki-laki mesum oleh Daya. Sebenarnya dia tidak suka berpakaian lengkap ketika tidur, tapi karena wanita menyebalkan ini ada, dia harus mengabaikan keinginannya yang itu. Daya masih tidur menghadap ke arah bagian luar tempat tidur, kemudian dia membaringkan tubuhnya perlahan di ujung kasur lainnya. Atau jika nanti Daya bangun keributan malam ini pasti terjadi. Suasana kamar temaram saja, lampu meja nakas Daya sudah dimatikan, sementara miliknya belum. Dia belum benar-benar mengantuk sementara sudah tidak ada keinginan melanjutkan kerja. Jadi dia hanya berbaring dan menatap langit-langit dengan lampu gantung yang cantik, menahan dirinya sendiri untuk tidak menoleh ke samping tempat Daya berada.
Ponselnya berdenting, dia mengambil benda itu dari meja nakas. Satu pesan dari Yusri untuk laporan akhir kuartal yang harus dia periksa. Kemudian juga ada dua pesan dari Angie yang hanya berisi nomor kamar dan lantai dimana wanita itu berada. Lalu matanya hinggap pada pesan palsu Daya dan dia dulu. Ada banyak pesan sebelum mereka bertengkar dan putus. Tapi setelah mereka sepakat untuk kembali menjalakan rencana, pesan-pesan palsu itu berhenti. Ditambah dengan Daya yang memasang tembok Cina lebih tinggi, dan dia setuju karena itu dia juga berbuat hal yang sama. Tapi jari tangannya terus bergerak tidak menuruti kerja otak, untuk membaca salah satu pesan yang Daya sudah atur sebagai bagian dari sandiwara mereka.
Maja: aku lapar.
Daya: Masih meeting jam segini?
Maja: Emang kamu udah selesai meeting?
Daya: Belum <emoticon tertawa>. Mau dibeliin apa? Aku jago pesen gojek.
Maja: Bukannya itu tugasnya Tari?
Daya: Iya sih kalau buat aku aja. Kalau buat kamu, aku yang pesen sendiri.
Maja: <emoticon wajah terkejut> Selesaikan meeting kamu dalam sepuluh menit. Aku tunggu di lobby. See you.
Daya: <emoticon hati>
Pesan yang tidak berlebihan tapi terasa...manis. Hal-hal seperti ini seharusnya dia abaikan, atau hapus saja. Tapi entah kenapa dia belum melakukan itu semua. Malahan menatap ponsel seperti orang bodoh begini. Akhirnya ponsel dia letakkan lagi di meja nakas dan ketika dia ingin mematikan lampu kecil, dia merasakan tubuh Daya yang bergerak di belakang tubuhnya. Karena penasaran dia berbalik perlahan.
Mereka berbaring miring berhadapan dengan jarak. Wajah Daya ada di hadapannya. Bukan jenis wajah yang akan membuat semua kepala berpaling, tapi Daya memikat ketika wanita ini mulai bicara. Ada magnet yang tak kasat mata saat Daya berbicara karena seolah seluruh aura percaya diri Daya keluar begitu saja. Rambut hitam panjang Daya biasanya dicepol sederhana, praktis dan sedikit seksi untuknya karena Daya membiarkan beberapa helai rambut menjuntai keluar. Tapi saat tidur begini, rambut hitam itu tergerai lepas membingkai wajah lonjong Daya. Hidung Daya juga mancung dan tinggi, serta leher jenjang....
Maja! Ngapain lo liatin sih? Dia kembali pada posisi telentang. Entah kenapa itu semua hanya bertahan sebentar saja karena kemudian kepalanya menoleh lagi menatap wanita di sebelahnya ini. Tunggu dulu...apa itu keringat di dahi Daya? Tangan Daya yang berada di depan tubuhnya juga mengepal sambil mencengkram selimut. "Daya..." bisiknya perlahan.
Satu tangannya menyentuh kepalan tangan Daya. Panas. Kemudian dia menyentuh dahi Daya perlahan. Daya demam. Dia sudah duduk ingin menghubungi Basri. Namun tangannya berhenti karena teringat kecurigaan Basri tadi. Ketidak mampuan dia mengurus Daya sendiri akan jadi pertanyaan besar dan menambah kecurigaan. Demam bukan penyakit, hanya gejala saja. Ya, dia masih ingat saat-saat dia menjaga Adeline dulu. Tapi lebih baik diturunkan jadi si penderita demam lebih nyaman dan bisa beristirahat. Kotak P3K yang ada di lantai bawah dia ambil. Untuk mencari obat penurun demam. Setelah itu dia mengisi segelas air putih dan kembali naik ke atas.
Tubuh Daya yang mengenakan piyama lengan pendek terlihat gelisah sudah berbalik lagi ke arah luar tempat tidur. Dia berjongkok dekat dengan Daya. "Daya, bangun dulu. Kamu demam," ujarnya perlahan. "Daya," panggilnya lagi kali ini sambil menyentuh lengan Daya yang panas.
"Hmm..." Daya berbaring telentang. "Apa AC nya mati?" mata Daya masih terpejam.
"Kamu demam. Ayo bangun dulu."
"Aku baik-baik aja. Aku Daya, aku baik-baik aja," gumam Daya masih tidak membuka mata.
Lalu dia menggeser tubuh Daya perlahan dan duduk di pinggir tempat tidur. Pipi Daya dia tepuk perlahan. Obat penurun panas harus Daya minum. "Daya, saya bantu bangun tapi jangan mikir yang enggak-enggak."
"Aku mau tidur, bahuku sakit. Jangan ganggu aku, Pa. Ganggu Mama di dapur sana," tangan Daya menepis lemah.
Daya menginggau. "Minum obat turun panas dulu. Jangan kayak anak kecil. Bangun Daya."
"Aku nggak demam, Pa," dahi Daya mengernyit seperti ingin merengek, kemudian mata Daya membuka perlahan. Karena terkejut dengan cepat Daya duduk dan beringsut menjauh darinya. "Ngapain kamu di sini?"
Nafas dia tarik perlahan. "Kamu demam, dan menginggau."
"Aku baik-baik..."
Lengan Daya dia genggam untuk menunjukkan pada Daya bahwa suhu tubuh wanita ini tidak normal. Kemudian tangan itu Daya tepis sambil mengernyit seperti menahan sakit. "Kenapa? Ada yang sakit?"
Daya menyentuh bahu kirinya sambil meringis nyeri.
"Bahu kamu sakit?" tebaknya.
"Nggak usah pura-pura peduli. Kamu yang bikin bahuku terkilir," dengkus Daya sambil beringsut untuk duduk dan mengambil obat di atas nakas yang tadi Maja sediakan.
"Kenapa jadi salahin saya?"
Daya meneguk obat cepat dengan satu tangan lalu menatapnya kesal. "Ya karena memang salah kamu. Kamu menyalahi perjanjian dan tidur di sebelahku. Waktu aku usir kamu jatuhin aku ke lantai dan bikin bahuku terkilir."
"Karena kamu teriak-teriak berisik," dalihnya.
"Aku nggak akan teriak kalau kamu nggak tidur di sebelahku," kemudian Daya seperti menyadari sesuatu. "Kamu barusan tidur di situ lagi?" tanya Daya sambil menunjuk ujung ranjang lain-nya.
"Iya, ada masalah?"
"Ya, ada-lah!" nada Daya naik tinggi. "Dalam kontrak..."
"Saya tahu apa yang ada di dalam kontrak. Tapi saya sama capeknya kayak kamu dan nggak mau lagi tidur di sofa, titik. Saya bayar ganti ruginya," ganti rugi di sini maksudnya kenaikan margin per jasa yang dilakukan Digicom untuk Digjaya.
Mata Daya melotot marah. "Saya nggak butuh duit kamu dan kamu nggak boleh tidur di sini lagi."
Kepala Maja gelengkan kesal. "Kamu luar biasa ya, sakit begini masih punya banyak energi untuk marah-marah," tubuhnya sudah berdiri untuk berjalan ke sisi kasur yang lain. "Saya capek dan mau istirahat. Kalau kamu nggak suka satu tempat tidur sama saya, silahkan kamu yang tidur di bawah."
"Majaaa!!"
Tubuh sudah dia baringkan miring membelakangi Daya. Telinga dia tutup dengan satu bantal dan matanya mulai terpejam. Sekalipun dia belum bisa tidur. Kemudian dia mendengar suara langkah kaki Daya dan sungutan kesal wanita itu saat berjalan ke lantai bawah. Masih ada rasa khawatir terselip di dada karena tingginya suhu tubuh Daya. Tapi rasa itu dia tekan hingga akhirnya dia tidur juga.
***
Tidur Daya tidak tenang karena demam dan bahunya yang berdenyut sakit. Apalagi dia tidur di sofa yang membatasi ruang geraknya. Setiap satu jam dia terbangun. Demamnya turun, kemudian naik lagi empat jam kemudian. Hingga dia kembali meminum obat turun panas serta pereda nyeri. Saat ini dia masih bergerak gelisah dan memejamkan mata di atas sofa. Sementara hari sudah menjelang pagi.
"Apa kamu punya sesuatu yang Ayah nggak tahu, Daya?" senyum Ayahnya mengembang lebar. Mereka sedang berlibur di pondok tepi danau.
"Ah, aku punya satu. Ayah pasti nggak tahu kalau kupu-kupu itu punya sensor perasa di kaki mereka. Jadi kalau mereka mau netasin telur, kupu-kupu akan berdiri di atas daun dan mulai ngerasain pakai kakinya. Kalau menurut kupu-kupu itu ada cukup makanan di daun yang mereka sudah rasain, baru deh telur di tetasin," jawabnya sambil tersenyum karena yakin Ayah tidak tahu.
"Hebaaat. Ayah emang nggak tahu tuh," Ayah tertawa kecil.
Lalu ingatannya berganti saat mereka bertiga berada di atas mobil. Ayah dan Mama sedang bicara serius tentang entah apa di depan. Mereka menyangka dia sedang tidur. Lalu suara klakson besar truck itu bergema di kepala, berkali-kali hingga dia memejamkan mata, disusul dengan suara pecahan kaca, decitan ban dan teriakan Ayah dan Mama. Matanya mengerjap terbuka dan semuanya terbalik. Posisi tubuh Mama yang tertekuk aneh, lalu wajah Ayah yang penuh darah.
"Aaahhhh..."
Seseorang memeluk tubuhnya karena bergetar hebat. Dia bisa mendengar ship whistle dibunyikan nyaring dan panjang. Pantas saja mimpi itu datang. Seluruh bayangan buruk tentang kecelakaan naas itu jelas tergambar di kepala. Membuat pikirannya kosong dan dadanya dipenuhi rasa takut serta cemas berlebihan. Saat seperti ini dia hampir tidak sadar apa yang dia lakukan.
"Tenang, Daya. Tenang dulu. Semua baik-baik saja," suara Maja dekat dengan telinganya sambil terus memeluk tubuhnya.
Maja tidak boleh mengasihaninya lagi. Tidak lagi. Jadi dia mendorong tubuh Maja menjauh lalu berusaha berdiri. Maja memanggilnya tapi dia tidak peduli. Pintu kamar mandi dia dorong lalu terbuka. Tapi satu tangan Maja sudah melingkar di pinggang dan menariknya keluar.
"Daya, hey. Liat saya. Jangan menghindar begini."
Matanya basah dengan air mata karena dicengkram rasa panik dan cemas. Suara Maja timbul tenggelam di telinganya. Tapi dia bisa merasakan hangat pelukan Maja.
"Tenang dulu, tarik nafas pelan-pelan."
"Saya adalah Daya. Saya tidak takut apapun. Saya..." bisiknya lirih sekali.
"Nggak ada yang salah dengan ketakutan, Daya. Kamu boleh takut," suara Maja sudah bisa dia dengar jelas, sejelas tangan Maja yang melingkari tubuh dan mengusap punggungnya. "It's okey, everything will be okey," ujar Maja.
Dia berusaha melepaskan diri. Maja akan menertawakannya nanti. Tapi karena tubuhnya yang lemah dan pelukan Maja yang kuat, dia tidak bisa kemana-mana lagi. Harum tubuh Maja menguar, wangi yang menenangkan. Tangis dia hentikan karena itu akan lebih memalukan. Sejak kapan juga dia menangis? Mereka berdiam pada posisi itu selama beberapa saat.
"Kamu sudah tenang?" wajah Maja menatap Daya yang memalingkan kepala ke samping.
"Saya baik-baik aja," dia melepaskan diri perlahan.
Maja menarik nafas dan menatapnya yang berjalan limbung ke sofa, kembali duduk. Air mata dia hapus cepat dan tangannya yang masih bergetar dia sembunyikan di balik selimut. Bagusnya dia bisa menatap ke luar jendela dengan hamparan laut luas. Karena dia tahu Maja sedang menatapnya entah dengan jenis pandangan apa. Mungkin Maja menertawakannya dalam hati, atau merasa kasihan, atau merasa dirugikan karena kerepotan yang Maja tidak duga. Jadi dia duduk diam berusaha menenangkan diri dengan cara meremas tangannya yang masih bergetar di balik selimut, juga tidak membalas tatapan Maja.
Pintu yang diketuk membuat mereka menoleh ke tempat yang sama. Sofa, selimut dan bantal, Daya. Bereskan cepat, itu Basri. Dia sudah bangkit sekalipun masih sangat pusing dan lemas, ketika tahu Maja sudah membuka pintu kamar. Membiarkan Basri masuk. Apa yang Maja pikirkan?
"Selamat pagi, Tuan dan Nyonya." Kalimat Basri berhenti saat melihat betapa kacau kondisi di dalam kamar – ruang tengah tepatnya.
"Pagi, Basri. Daya habis serangan panik lagi. Tolong jaga sebentar, saya akan bicara dengan kapten kapal soal ship whistle," pinta Maja tenang. "Minta Daya untuk sarapan dan minum obat. Saya akan panggil dokter di lantai bawah. Daya demam dan biasanya dia lebih mendengarkan kamu daripada saya."
"Baik, Tuan."
Kemudian Maja yang memang sedari tadi sudah berpakaian rapih berjalan ke luar kamar. Meninggalkan dia yang terkejut mendengar kalimat Maja tadi, bersama Basri yang sudah melangkah mendekatinya. Basri memeriksa suhu tubuhnya dan mengambilkan obat penurun panas serta segelas air hangat. Dia meminum apa yang Basri sodorkan tanpa bertanya. Berusaha menyusun cerita agar tidak mencurigakan.
"Kami tidur di sini karena menonton TV bersama, Basri," jelasnya.
Kepala Basri mengangguk. "Jangan khawatirkan soal itu, Nyonya. Suhu tubuh anda terlalu tinggi. Apa yang ada rasakan?" Basri duduk di hadapannya.
"Saya baik-baik saja, Basri. Jangan khawatir."
"Saya lebih khawatir jika anda terus tidak bicara perihal kondisi anda, dan saya tahu benar perbedaan orang yang sehat dan orang yang tidak sehat," Basri menangkap getar pada tangannya yang dia sembunyikan lagi.
Mereka diam sejenak sampai kemudian Basri angkat bicara lagi. "Nona Adeline trauma pada ketinggian karena pernah jatuh dari pohon ketika kecil hingga tangannya patah. Tapi semangat dan keberanian Nona Adeline luar biasa. Persis seperti anda. Jadi Nona Muda tidak bilang apa-apa, masih menyangkal akan traumanya. Sampai akhirnya Tuan Admaja membawa Nona pergi ke taman hiburan. Saat mereka menaiki salah satu wahana yang tinggi, Nona Adeline pingsan di sana hingga akhirnya Tuan Admaja harus melindungi kepala Nona dan berakhir terluka."
"Terluka?"
"Ya, wahana tidak berhenti dan terus berjalan. Tuan berteriak ke bawah namun karena semua orang berteriak jadi tidak terdengar. Bahu Tuan tertancap besi karena bersikeras melidungi kepala Nona. Karena Nona Adeline yang keras kepala dan tidak memberi tahu perihal traumanya, Tuan dan Nona hampir saja kehilangan nyawa. Dan Tuan Admaja masih membela Nona saat Tuan Janadi mengamuk marah karena khawatir. Bagaimana tidak, Tuan Admaja butuh dua kantung darah untuk pendarahan pada bahunya."
Benarkah begitu? Sikap Admaja yang dia tahu itu dingin, berjarak dan pemarah. Selalu menatapnya seolah meremehkan, dan semua salah, tidak ada yang benar di mata Maja. Jadi keterangan dari Basri tadi mengejutkan dia.
"Tuan Admaja memang terkesan kaku dan berjarak karena didikan sejak kecil serta beban tanggung jawab. Tapi Tuan Admaja adalah seseorang yang sungguh peduli." Basri memberi jeda. "Saya yakin kalian bisa saling lebih memahami dan mencintai seperti layaknya suami istri."
Jantungnya mencelos mendengar kalimat Basri. Getar pada tangannya sudah berhenti, tapi rasa tidak enak di hati menjalar naik perlahan. Perhatian keluarga Hadijaya padanya begitu tulus, itu yang sebelumnya membuat dia berhenti dan masih menyimpan alasan kenapa akhirnya dia setuju untuk melakukan ini semua.
"Sebaiknya anda berganti pakaian. Sebentar lagi dokter akan tiba untuk memeriksa anda, Nyonya," tangan Basri terulur untuk membantunya berdiri. "Anda pucat sekali. Wajar saja Tuan terlihat begitu khawatir tadi."
Lengan Basri dia genggam kemudian dia berdiri perlahan-lahan. Kenapa tubuhnya lemah begini. Bahu yang terkilir sungguh sulit untuk digerakkan. Basri mengantarnya ke lantai atas. Sementara apa yang Basri katakan tadi terus berputar di kepala. Tubuhnya duduk perlahan di pinggir kasur, sementara Basri mendekatkan koper padanya agar mudah dia jangkau.
"Apa anda butuh bantuan saya lagi?"
Kepalanya menggeleng lemah. "Bahu saya sakit sekali, Basri. Kepala saya terasa berputar. Saya mual."
Basri tersenyum kecil. "Anda mulai bicara jujur. Awal yang baik. Karena wanita yang kuat, bukan wanita yang tidak pernah takut atau sakit. Saya yakin anda paham benar perihal itu."
Dia tersenyum kecil. "Maaf jika saya selalu merepotkan, Basri."
"Sejak hari pertama, Tuan Admaja meminta semua disiapkan dengan sangat baik untuk anda. Tuan bahkan memeriksa alergi anda pada Tari, juga kebiasaan-kebiasaan anda yang lain. Anda suka sekali berenang dan Tuan juga tahu itu. Karena itu kamar ini memiliki kolam renang pribadi. Tuan juga selalu menugaskan saya untuk memeriksa anda."
Lagi-lagi dia kehabisan kata dan menyembunyikan semua dibalik senyum getirnya.
"Baiklah, saya sudah bicara terlalu banyak. Saya akan memastikan sarapan untuk anda dan memeriksa kehadiran dokter."
Basri pamit pergi. Dia duduk termenung di pinggir tempat tidur. Matanya terpejam dan masih bisa merasakan pelukan Admaja tadi, kemudian harum tubuh laki-laki itu yang entah kenapa terasa menenangkan, menyenangkan. Lalu ciuman mereka di mobil saat tiba di Bandara. Daya tahu Admaja melakukan itu karena terpaksa. Tapi entah kenapa diam-diam dia tidak bisa lupa.
Admaja melakukan semuanya hanya karena kamu adalah sang istri pura-pura, Daya. Jangan berpikir berlebihan dan jadi melankolis begini.
***
Mereka itu bisa manis nggak sih? Let see.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro