Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10 - The Ship Whistle

Ada featuring nih. Kira-kira siapa?

***

Keesokan pagi Daya sudah lebih tenang. Sekalipun mereka melewatkan sarapan dalam diam yang aneh. Basri yang mengawasi dari meja dekat mereka juga diam saja. Seperti mengerti bahwa Daya masih belum berselera. Semalam Maja kembali ke dalam kamar pukul sepuluh dan Daya sudah tidur. Makan malam Daya hanya dihabiskan setengah saja. Sementara Basri belum memberinya kabar lagi. Mungkin masih mencari.

"Apa di kapal pesiar kamu ada kolam renang VIP?" tanya Daya sambil meneguk jus buah.

"Kamar kita punya kolam renang sendiri. Kamu bisa berenang sepuasmu," jawabnya.

Daya diam lagi, menggeser piring yang sudah kosong lalu menyudahi sarapannya. "Aku sudah selesai."

"Tunggu saya di lobby."

Kepala Daya mengangguk lalu wanita itu berjalan menuju luar restoran. Dia memberi tanda pada Basri agar mengikuti Daya sementara dia mengangkat ponsel menghubungi seseorang yang bisa membantu Basri untuk mencari tahu tentang Daya. Ya, sebelumnya dia tidak melakukan pemeriksaan apapun terhadap wanita ini. Karena entah kenapa firasatnya tidak mengatakan apapun. Sikap Daya dan reputasi wanita itu juga baik-baik saja.

Jangan salah, dia yakin Daya bukan gold digger woman. Bahkan pada kontrak pernikahan mereka Daya tidak meminta uang sepeser pun. Hanya koneksi dan kontrak yang akan memperkuat hubungan kerja antara Digicom dan Digjaya. Tapi dia benar-benar penasaran dengan trauma Daya. Bagaimana tidak, dia berpikir tidak akan ada yang bisa menumbangkan seorang Dayana. Wanita itu seperti berhati baja, kokoh, tangguh dan menyebalkan memang. Tapi ternyata Daya bisa begitu rapuh karena trauma.

"Pagi, Nik. Apa kabarmu?" dia memberi salam sopan pada Niko Pratama.

"Ah, pengantin baru. Bukankah kamu masih bulan madu, Maja?"

"Ya, tapi saya tetap butuh bantuanmu."

"Jangan bilang kamu mau memeriksa istrimu? Bukannya itu sedikit terlambat?"

Dia diam saja.

"Hhhhh, ada apa dengan kalian semua," nada Niko kesal karena penyakit keluarga kaya semua sama. Ya, Niko selalu bilang begitu padanya dulu.

"Sayang, bahasamu," ada suara Audra di belakang Niko. "Bantu, Maja. Dulu dia yang membantuku."

"Pagi, Odra. Kalian masih di tempat tidur?" kekehnya.

"Hai, Majaa. Entah kenapa aku yakin istrimu tidak berselingkuh. Mareno bilang Dayana sangat professional dan ahli dalam bidangnya. Atau ini karena kamu cemburu sama Rendy?" suara Audra.

"Kamu kenal Rendy?" tanyanya penasaran.

"Rendy dulu juga pelatihku. Sebelum Tuan Tukang Cemburu yang satu ini marah-marah dan aku jadi berlatih di ADS," ujar Audra.

"Hey, hey. Aku nggak cemburu. Ngapain kamu latihan sama Rendy kalau suami kamu pelatih ADS, pemborosan," protes Niko.

Maja tertawa kecil. "Hey, ayolah Nik. Saya menghubungi kamu bukan untuk mendengar kalian bermesraan begini." Dia memberi waktu Niko untuk menjauh dari Audra sejenak.

Ada suara pintu tertutup kemudian Niko berujar padanya. "Okey, tell me what you need."

"Dayana trauma akan sesuatu. Trauma akut. Orangtua Daya meninggal karena kecelakaan mobil, itu yang saya tahu. Tapi saya penasaran kenapa traumanya seberat itu."

"Tapi istrimu tidak terlihat seperti wanita yang trauma. Serius. Daya yang saya lihat saat kalian menikah adalah Daya yang dinamis dan penuh energi. Tidak ada jejak trauma sama sekali. Hanif bahkan kagum dengan energi yang Daya miliki."

"Itu ketika dia tidak bepergian, Nik. Tapi ketika bepergian traumanya parah sekali. Daya bahkan harus minum obat anti depresan atau pil tidur untuk menenangkan diri. Ini nggak wajar, Nik," nafas dia hirup panjang. "Tolong bantu Basri untuk mencari tahu apa trauma Daya. Kemana Daya berobat? Atau tidak? Detail kecelakaan orangtuanya."

"Okey. Sorry to hear this. Pasti berat buat kalian sekarang."

Dia diam sejenak. Ingin bertanya tapi tidak enak. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya juga karena rasa penasarannya. "Bagaimana kabar Sabiya dan Arsyad?"

Dulu, dia menghadiri pernikahan Sabiya dan Arsyad, kemudian tahu bahwa trauma Sabiya datang. Karena itu Sabiya tidak mengenakan gaun pengantin putih. Dia masih ingat itu.

"Kamu lebih ingin tahu kondisi Sabiya kan? Karena Sabiya pernah trauma," tebak Niko.

"Sorry, saya harusnya nggak tanya. Lupakan saja, Nik. Saya yakin Sabiya baik-baik saja."

"Ya, Sabiya baik-baik saja. Tapi itu semua karena Arsyad menjaganya dengan sangat baik, Maja. Sabiya bisa sembuh dan yang menyembuhkan adalah Arsyad. Jadi saya yakin istrimu juga bisa sembuh. Tapi kamu harus lebih sabar."

Rasa tidak enak pada dadanya datang lagi. Naik ke tenggorokan saat mendengar kalimat Niko. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Tanggapan Niko sangat wajar. Karena Niko menyangka pernikahannya dengan Daya adalah pernikahan sungguhan, bukan pura-pura.

"Rajanya sabar bukannya cuma Arsyad Daud?" dia mengalihkan pembicaraan.

Niko terkekeh di sana. "Arsyad sabar untuk banyak hal, tapi nggak sabar juga waktu ngejar-ngejar Sabiya."

"Yang itu juga saya sudah dengar." Mereka tertawa kecil. Setelah itu dia menutup pembicaraan. "Thanks, Nik. Saya tahu kamu sudah jadi komandan tinggi, nggak seperti dulu lagi. Tapi saya butuh bantuanmu."

"Ah, jangan bilang begitu. Saya akan coba bantu, okey. Sekarang nikmati dulu bulan madu-mu."

"Thanks. Salam buat semuanya di sana. Kalau kalian ingin berpesiar, hubungi saya."

"Okey. Selamat pagi, Maja."

Sambungan dia sudahi. Ponsel dia tatap. Mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Kenapa dia penasaran begini untuk sesuatu yang dia tahu hanya akan jadi sementara saja. Ya, dia dan Daya akan berpisah nanti. Kenapa repot-repot mencari tahu apa trauma Daya.

"Tuan, Nyonya sudah menunggu di lobby," Basri sudah berdiri di dekatnya.

Nafas dia hela perlahan kemudian dia berdiri, membetulkan jas lalu berjalan di depan Basri menuju lobby. "Saya sudah hubungi Niko Pratama, Basri. Dia akan membantu."

"Baik, saya akan cari tahu. Sementara itu, saya harap anda bisa menjaga Nyonya baik-baik."

Dia diam saja. Tidak tahu harus menjawab apa.

***

Kepala staff yang bernama Andito menyambut mereka saat mereka naik melalui pintu khusus ke dalam kapal. Daya mendengarkan dengan seksama tentang salah satu alat transportasi terbesar yang pernah dia naiki. Nama kapal pesiar Admaja yang ini adalah The Blue Ocean. Kapal yang memiliki panjang 1006 kaki dan lebar 200 kaki adalah termasuk kapal ketiga terbesar di dunia. Mampu menampung hingga 6000 penumpang, 2000 awak kapal dan memiliki 2400 kabin. Saat ini status kapal disewakan pada salah satu perusahaan pelayaran terkenal dari Singapore dan nama kapal juga diubah demi kepentingan komersial.

"Apa ini pertama kali untuk Nyonya berpesiar?" tanya Andito sopan.

"Ya, ini pertama kali untuk saya."

"Kamar Tuan Admaja dan anda berada di lantai lima belas. Jika ingin berjalan-jalan, saran saya anda tidak turun di bawah lantai sebelas. Karena lantai sebelas ke bawah penuh dan ramai dengan pengunjung biasa. Lantai dua belas hingga tiga belas adalah untuk tamu VIP, dan dua lantai paling atas adalah VVIP," Andito terus menjelaskan sambil mengiringinya berjalan di koridor menuju VIP lift.

Sebelumnya Daya merasa mual dan sedikit kurang enak badan karena dihantam trauma berkali-kali. Tapi saat ini matanya sudah memandang ke sekeliling area. Benar-benar takjub karena kemewahan desain interiornya dan dengan kenyataan bahwa dia tidak merasa berada di dalam kapal, tapi berada di dalam hotel dan mall mewah di kota. Andito terus menerangkan fasilitas kapal yang ada, jumlah restoran pilihan, juga show-show yang menarik. Okey, tadinya dia pikir dia akan terkurung bersama Admaja di dalam kamar seperti kasus di hotel kemarin. Tapi ternyata berpesiar tidak seburuk yang dia bayangkan.

Andito menatap layar ponsel dan membisikkan sesuatu ke Maja. Lalu beralih padanya lagi. "Sebentar lagi kapal berangkat. Anda tidak mau pergi ke deck luar untuk mendengarkan ship whistle?" tawar Andito padanya.

"Apa itu ship whistle?" tanyanya.

"Klakson kapal," jawab Andito. "Tradisi lama ketika kapal ingin belayar, penumpang keluar dan berdiri di deck untuk melambaikan tangan."

"Kami langsung ke atas," potong Admaja.

"Baik." Mereka menuju lantai atas dengan lift, langsung ke kamar mereka.

Koridor dalam kapal pun tidak ada beda dengan hotel mewah saja. Ketika mereka sudah tiba di depan kamar, ada dua crew dan satu wanita cantik dengan pakaian kerja yang menawan tersenyum menyambut Admaja.

"Halo, Maja. Selamat datang. Lama tidak bertemu dan aku benar-benar rindu," ujar wanita itu dengan bahasa Inggris sambil mencium pipi Admaja.

"Hi, Angie. Kabar baik. Kenalkan, ini istri saya, Daya," Admaja memperkenalkan mereka.

"Halo, saya Angie. Managing Director untuk Asia Pacific. Selamat datang di kamar terbaik kami. The Royal Suites. Hanya orang yang benar-benar penting yang bisa menempati kamar ini."

"Dayana," dia menjabat tangan Angie singkat.

"Maaf aku tidak bisa hadir di pernikahan kalian. Proses perceraianku baru saja selesai dan aku akan berada di sepanjang pelayaran ini," mata Angie terus menatap Admaja. "Aku harap kita punya waktu untuk berbincang di bar bawah nanti. Sambil mengenang masa lalu."

Wanita ini benar-benar tidak menghiraukannya. Hhh, siapa peduli. Admaja menjawab sopan kemudian berpamitan pada Angie, Andito dan dua crew lainnya. Setelah itu mereka masuk ke dalam kamar. Lagi-lagi Daya dibuat terpesona dengan kamar mereka yang memiliki satu setengah lantai itu. Letak kamar berada di salah satu sudut kapal hingga dia memiliki balkon yang berbentuk L dengan satu sisi langsung menghadap laut, sisi lain menghadap ke bagian dalam kapal. Balkon yang menghadap laut memiliki kolam renang berukuran sedang.

Fasilitas kamar sangat lengkap. Kamar mandi mewah, dapur berukuran sedang, area makan, area duduk dan kamar yang berada di lantai atas. Semuanya indah, tidak bercela sama sekali. Seluruh barang-barangnya juga sudah berada di lantai atas. Admaja berdiri di balkon membelakanginya. Dua tangan Maja menggenggam rail besi dengan wajah yang menghadap ke langit. Jelas sekali Maja suka berlayar begini. Karena mata Maja sempat terpejam sejenak, kemudian senyum kecil Maja terbit sambil menghirup dalam-dalam udara laut.

Kemudian dia bisa mendengar beberapa peluit dibunyikan di bawah. Mungkin kapal sudah akan berangkat. Karena penasaran, dia keluar menuju balkon berdiri di sebelah Maja. "Apa sudah mau berangkat?"

"Ya," Maja bergeser ke balkon yang menghadap ke deck bawah.

Beberapa crew sibuk bersiap-siap untuk memulai pelayaran, sedangkan dia memperhatikan. Ini menarik sekali. Setelah beberapa saat, ship whistle dibunyikan.

'Hoooonk!'

Tubuhnya tiba-tiba diam membeku. Suara itu seperti suara klakson salah satu truck container besar. Ship whistle berbunyi dua kali lagi. Refleks dia menutup telinga dan berlari masuk ke dalam kamar. Tangannya mulai bergetar hebat. Kakinya terantuk sofa karena terburu-buru ingin mencari tempat aman. Kamar mandi, Daya. Masuk dan kunci pintunya.

"Daya..." suara Maja jauh sekali.

Dia terus mencari letak kamar mandi panik sambil masih menutup telinga. Kali ini tubuhnya juga sudah bergetar hebat. Lalu suara klakson yang selalu menghantuinya itu berulang di dalam pikirannya. Kepala dia gelengkan kuat untuk mengusir bayangan wajah kedua orangtuanya yang berdarah-darah.

"Daya, stay with me. Daya!"

Bayangan itu terus datang, lagi dan lagi. Senyum ayah dan tawa ibunya selalu berganti dengan suara jeritannya sendiri. Lalu kaca yang pecah, mobil dengan posisi terbalik, lalu darah. Semua berdarah. Wajah ayah dan ibu, wajahnya sendiri, tangannya...

"Berhenti ingat itu semua, Daya. Berhenti, please," suara Maja dekat sekali di telinganya. Berbisik sambil memeluk tubuhnya yang sudah duduk di lantai. Gemetar ketakutan. Admaja tidak boleh tahu. Siapapun tidak boleh tahu kelemahannya. Jadi dia mendorong tubuh Maja kuat lalu berlari ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu.

"Daya!" Maja berusaha menggapainya tapi gagal.

Tubuhnya ambruk lagi ke lantai dalam kamar mandi. Menahan tangis lirih agar tidak terdengar dari luar.

"Saya adalah Dayana Dayandaru. Wanita kuat yang tidak takut apapun dan siapapun. Ambisius, pintar, percaya diri. Tidak ada yang tidak bisa saya atasi. Saya tidak takut apapun. Saya baik-baik saja," dia terus mengulang kalimat itu sambil memeluk lututnya sendiri.

Saat seperti ini. Hatinya seperti diremas cemas yang hebat, pikirannya berusaha memblokir seluruh kenangan buruk, tubuhnya bergetar karena suhu yang tiba-tiba turun, juga wajahnya basah karena seluruh air mata. Dia benci bepergian jauh, dia benci seluruh jenis kendaraan. Karena itu semua bisa membangkitkan seluruh traumanya dulu. Sudah sangat lama traumanya bisa dia atasi dengan cara membatasi jumlahnya untuk bepergian jauh. Jadi dia pikir dia sudah sembuh, atau paling tidak membaik. Tapi sekarang dia tahu, trauma itu adalah bagian dari dirinya yang tidak akan pernah hilang.

Setelah beberapa lama, dia baru bisa mendengar suara Admaja dari luar. "Daya, tolong buka pintunya."

Kepala dia miringkan dan letakkan pada lututnya. Masih mengulang kalimat yang sama. Cara itu selalu berhasil sekalipun butuh waktu. Dia mempersuasi dirinya sendiri. Air matanya sudah berhenti tapi rasa sesak belum sepenuhnya hilang. Pil penenang ada di dalam tas yang dia letakkan di luar. Dia menatap tangannya yang masih bergetar.

"Nyonya, apa saya boleh masuk?" suara Basri di luar.

Laki-laki paruh baya itu sabar sekali, sedikit mengingatkan dia pada ayah. "Saya nggak apa-apa, Basri," nafas dia tarik dalam dua kali. Tenangkan dirimu, Daya. Tangan dia kepalkan untuk mengusir sisa getaran.

"Saya percaya. Anda wanita yang sangat kuat," Basri diam sejenak. "Apa saya bisa masuk?"

"Saya baik-baik saja, Basri," karena masih kalut kalimat dia ulang. Percuma, getaran pada tangannya masih kembali.

"Apa anda membutuhkan sesuatu?"

"Menjauhlah dari kamar mandi, Basri. Saya akan berada di sini seben..."

Pintu kamar mandi terbuka dan ada sosok Maja yang menatapnya cemas. "Saya nggak sabar kayak Basri."

Karena masih terkejut dan bingung, dia diam saja saat Maja menggendong tubuhnya yang duduk di lantai kamar mandi tadi. Maja membaringkannya di sofa besar area tengah. Basri mengatur bantal agar dia duduk nyaman lalu menyodorkan segelas air putih hangat. Setelah meneguk minuman itu dia berbaring miring, menatap laut melalui kaca jendela besar balkon. Seseorang menyelimuti tubuhnya perlahan. Mungkin Maja, atau Basri. Lagi-lagi tangannya masih bergetar, dan tubuhnya masih dingin. Dia mendengar Maja berbicara pada Basri di belakang sofa. Dia tidak peduli, karena selama ini tidak ada yang benar-benar peduli padanya. Dia terbiasa sendiri. Kemudian sedikit demi sedikit matanya mulai terpejam, hingga dia tertidur lelap.

***

Trauma Daya tiga lipat lebih parah dari trauma Adeline dengan ketinggian. Itu yang bisa Maja simpulkan setelah kejadian tadi. Keterangan pertama dari Basri setelah menghubungi Tari – sekretaris Daya, tidak ada yang tahu tentang trauma Daya. Bahkan Tari yang sering bepergian dengan Daya. Tapi memang ketika naik mobil Daya akan mulai sibuk bekerja, tidak menghiraukan apapun. Atau, Daya akan tertidur sekalipun Tari merasa itu hal biasa karena jam kerja Daya yang tinggi. Apa mungkin itu semua adalah cara Daya untuk mengalihkan pikiran hingga menekan trauma? Mungkin saja, masuk akal. Dan sepertinya cara itu berhasil hingga Daya merasa sudah sembuh. Karena Daya tidak protes sama sekali waktu tahu mereka akan bepergian. Apapun itu, wanita ini berhasil menutupi traumanya dengan sangat baik.

Maja menghembuskan nafas dalam. Tubuhnya berjongkok menatap wajah tidur Daya. Ketika di hotel dia mendengar Daya menjerit dan terbangun. Mimpi buruk, tebaknya. Tapi dia sendiri diam saja tidak menghiraukan. Karena tidak mau disangka dia perhatian lebih dari seharusnya. Bagaimanapun mereka harus menjaga jarak. Tapi apa yang terjadi tadi, dia tidak bisa diam begitu saja. Rasanya salah. Semua sudah salah sejak awal, karena itu untuk mengurangi rasa tidak enak di hati dia merasa dia harus membantu Daya tadi. Ya, itu alasannya. Bukan yang lain.

Ada jejak air mata yang mengering pada pipi Daya. Wanita yang tadi duduk di lantai kamar mandi terlihat sangat rapuh, dengan tangan dan bibir yang bergetar hebat. Tapi mata Daya menyiratkan keinginan kuat untuk mengusir traumanya pergi. Karena mata hitam Daya masih menatapnya tegas, berani. Seolah ingin bilang 'aku bisa sendiri!'. Bayangkan, dihantam trauma hebat berkali-kali Daya masih saja menjauh dan tidak berusaha mencari seseorang untuk memeluknya. Padahal ketika trauma Adeline dulu datang, adiknya itu bahkan dia harus temani saat tidur. Adel akan terus menggenggam tangannya kuat. Sedangkan Daya malah berlari ke dalam kamar mandi dan meminta semua orang menjauh.

Hey, wanita menyebalkan. Kamu harus mengakui bahwa tadi kamu membutuhkanku. Kenapa jadi sok kuat begitu? Apa karena kamu selama ini sendiri? Begitukah? Hhh, kenapa dia jadi bicara sendiri?

Dia mendengkus kesal tiba-tiba saat kembali teringat akan sikap menyebalkan dan keras kepala Daya sebelumnya. Tapi kemudian dia tersenyum kecil juga karena jika dipikir mereka konyol sekali terkadang. Lalu dahinya mengernyit nyeri lagi teringat tangis Daya tadi. Hanya wanita ini yang membuatnya merasakan banyak hal hanya dalam waktu yang sangat singkat. Jika mereka benar-benar dekat.

Setop, Maja. Ingat ini hanya sementara. Ya, dia tidak mau memulai sesuatu yang dia sudah tahu pasti akan berakhir dan kali ini dia yang akan mengakhirinya. Tidak seperti kasus Denta dulu yang meninggalkannya pergi. Jadi, jalan terbaik adalah mencari tahu trauma Daya dan meminta Basri untuk membantu Daya agar sembuh. Setelah itu dia akan kembali bekerja dengan tenang.

"Sementara itu, saya harap anda bisa menjaga Nyonya baik-baik."

"Sayang, jaga Daya baik-baik, okey?"

Kalimat Basri dan Mama terulang lagi. Lalu hatinya kembali berderak dengan sesuatu yang dia tidak tahu. Sebelum semuanya menjadi melankolis, dia berdiri kemudian kembali ke meja kerja untuk melakukan sesuatu yang dia suka. Bekerja. Tapi kenyataannya, dia masih menatap wajah tidur Daya sepuluh menit berikutnya.

***

Sudah pukul empat sore saat Daya terbangun dari tidurnya di sofa. Pemandangan pertama saat dia membuka mata adalah hamparan laut dari arah balkon yang pintunya terbuka satu. Okey, ingat-ingat Daya. Kamu sudah menikah dengan laki-laki menyebalkan dan galak itu. Lalu kamu pergi bulan madu di atas kapal pesiar dan tadi pagi traumamu kambuh. Dahinya mengernyit kesal pada dirinya sendiri. Ingatan bagaimana Maja memeluk dan menggendongnya dari dalam kamar mandi datang lagi. Ah, siaaal. Kenapa gue lemah banget tadi.

Maja sudah tahu tentang trauma yang berusaha dia tutupi selama ini dari siapapun. Ya, sebelumnya bahkan Tari atau Rendy tidak tahu. Kepala dia antukkan ke bantal sofa. Daya bodoooh. Maja pasti menertawakannya tadi melihat dia cengeng begitu. Jangan-jangan Maja ada di belakangnya sekarang. Refleks tubuhnya langsung duduk tegak membenahi rambut dan menoleh ke belakang perlahan. Seingatnya ada meja kerja di belakang yang menghadap ke ruang tengah. Nafas dia hembuskan lega karena tahu tidak ada siapa-siapa di dalam kamar selain dirinya. Hanya meja kerja kosong dengan laptop yang terbuka.

"Kamu sudah bangun?" suara besar Maja datang dari lantai atas.

Sejenak dia merutuki kebodohannya lagi karena lupa bahwa ada dua lantai di kamar ini. Suara langkah kaki menuruni tangga sudah dia dengar. Dia berdehem sejenak untuk mengusir kegugupan. Kemudian tubuhnya berdiri dan berputar menghadap Maja yang sudah siap pergi ke luar.

"Kamu lapar?" tanya Maja sambil menggulung lengan kemeja santai berwarna biru muda.

Sikap Maja aneh. Hhhh, ini karena dia tadi menunjukkan sisi lemahnya dan Maja jadi iba lalu bersikap basa-basi tidak perlu begini. "Aku baik-baik. Mau kemana?"

"Ajak kamu makan. Mau makan apa?"

Jangan terlalu dekat Daya. "Oh, nggak perlu. Ada banyak hal yang harus aku lakukan. Telpon Tari, dua meeting penting, terus..."

"Makan, sekarang. Jangan membantah. Cepat ambil tasmu dan ikut saya!" tegas Maja.

"Kamu makan aja. Aku baik-baik dan ada kerjaan."

Rahang Maja bergerak tanda laki-laki itu mulai kesal. Ya, dia memperhatikan. Tapi kenapa Maja kesal sih? Dia tidak mau makan bersama Maja dan jadi pasangan normal. Karena hubungan mereka sejak awal sudah ditentukan akhirnya. Harusnya Maja mengerti.

"Kenapa sikap kamu sulit begini?" Maja menatapnya tajam.

Hhhh, Maja mulai lagiiii. "Sulit gimana?"

"Apa yang saya bilang kamu nggak pernah nurut. Giliran Basri yang bicara kamu baik-baik aja. Apa perlu saya panggil Basri sekarang?"

"Kamu ada perlu sama Basri? Karena aku enggak."

"Setop berpura-pura baik-baik aja karena kamu nggak baik-baik aja, Daya," nada Maja tinggi.

"Kamu kenapa sih? Kok marah-marah? Aku udah bilang aku baik-baik aja dan kamu boleh pergi, atau makan, atau janjian sama Angie, atau apalah terserah kamu. Kenapa jadi marah?"

"Ini nggak ada kaitannya sama Angie!" hardik Maja keras. "Kamu yang butuh makan setelah..."

"Jangan kamu pikir kamu sudah lihat aku kayak tadi dan kamu sekarang bisa pura-pura baik begini! Nggak perlu basa-basi, Maja. Aku nggak suka dikasihani apalagi sama kamu!" potongnya sama emosi.

Tangan Maja mengepal kuat, wajah Maja mulai merah sementara mata Maja seperti ingin keluar. Admaja Hadijaya tidak boleh mengasihaninya karena dia bisa mengatasi traumanya sendiri. Dia bisa sendiri!

"Okey, kalau begitu. Mulai dari sekarang saya nggak akan peduli kamu mau nangis di lantai..."

"Brengsek!" jeritnya marah. "Hanya karena aku punya satu trauma terus tiba-tiba aku nggak bisa cari makan sendiri? Mohon maaf Tuan Hadijaya, kalau itu pandangan kamu tentang saya, kamu salah besar. Saya masih Dayana yang sama!" nafasnya tersengal karena murka. Tidak boleh ada yang menghinanya. "Keluar!"

"Hrrrghhhh, terserah kamu! Saya nggak akan peduli lagi!" geram Maja sambil melangkah cepat ke pintu.

"Emangnya selama ini kamu pernah peduli?" balasnya.

Pintu ditutup dan sosok Maja menghilang dari kamar. Nafas Daya hirup tiga kali perlahan-lahan untuk menenangkan diri. Kenapa sikap Maja begitu sih? Dia sudah bilang dia baik-baik saja tapi Maja memaksa. Main perintah-perintah seenaknya. Memangnya laki-laki itu siapa. Dia selalu bisa mengurus segalanya sendiri sejak usia lima belas. Jadi dia tidak butuh Admaja, atau Basri, atau siapapun. Apalagi dikasihani begini. Kemudian pintu kamarnya diketuk lagi.

Emangnya itu orang nggak punya kunci apa? Dasar nyebelin. Kakinya tetap melangkah untuk membukakan pintu kamar. Kemudian dia melihat sosok Basri berdiri di sana. Hrrrghhh. Dia bukan anak kecil. Karena seluruh batas sikap sopan dia tersenyum pada Basri.

"Sore, Nyonya. Bagaimana kabar anda?" sapa Basri sopan.

"Saya baik, Basri. Terimakasih soal tadi pagi."

"Bukan saya, tapi Tuan yang menjaga anda. Apa boleh saya masuk sebentar?"

Basri selalu bermulut manis soal Admaja. Karena dia tahu Maja tidak mungkin seperhatian itu. Pintu dia buka lebar kemudian Basri masuk. Berdiri di dekat pintu sambil mencermatinya.

"Ya, Basri, ada apa?" dia merasa jengah.

"Wajah anda pucat. Saya akan pesankan makanan agar didatangkan ke sini. Apa yang anda suka?"

"Nggak perlu repot-repot, saya bisa sendiri. Tapi terimakasih, Basri."

"Saya memaksa, Nyonya. Setelah makan saya akan jadwalkan dokter untuk memeriksa tekanan darah anda. Sebaiknya malam ini anda beristirahat dulu."

"Tapi..."

"Ketika anda sakit, anda wajib mendengarkan saya atau Tuan Maja. Ketika anda sehat, silahkan beraktifitas seperti biasa. Saya pamit dulu," Basri berlalu secepat kedatangannya tadi.

Sekalipun kesal, dia tidak punya pilihan lain selain menurut pada Basri. Dia berjalan ke lantai atas untuk bersiap mandi. Kamar ini memiliki dua kamar mandi. Satu di bawah berukuran lebih kecil, dan satu di atas berukuran besar dengan bathtub menghadap ke jendela berpemandangan laut. Indah sekali. Satu demi satu peralatan mandi dia tata di wastafel dalam. Kemudian wajahnya menghadap kaca. Basri benar, dia pucat sekali. Bibirnya bahkan kehilangan warna. Ada banyak tanda kelelahan pada wajahnya. Jadi yang dia butuhkan adalah mandi air hangat lama-lama sambil menghubungi Reza dan Tari.

***

Daya yang keras hati + Maja yang sensitif = .... (coba isi titik2nya sendiri)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance