Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TMRC - Tujuh

Suara gaduh dari arah pantry mengusik tidur Gebi. Dari sofa tempat ia tidur, diliriknya Kaffi yang terlihat sedang sibuk di sana. Gadis itu menghampiri suaminya.

"Sedang apa?" tanyanya sambil mengambil segelas air.

Kaffi tersenyum dengan diameter yang lebar. "Aku ingin membuat nasi goreng kornet. Kaumau?" tawar lelaki itu ramah.

Kening Gebi berkerut. Kejutan apa lagi ini? Kaffi dalam mode sumringah? Benar-benar tidak beres! Pikir Gebi. Ia tidak mengerti dengan sifat Kaffi yang berganti-ganti. Kadang, pria itu bersikap dingin. Kadang cerewet, dan sekarang Kaffi sehangat magic jar.

"Sekarang apa lagi? Jin apa yang sudah masuk ke tubuhmu?" Pada akhirnya Gebi hanya mampu melempar pertanyaan mencemooh dan dibalas Kaffi dengan dengan dengkusan pendek.

"Jangan membuat mood-ku hancur, Gebintang. Lebih baik kau pergi mandi. Kalau tidak salah, terakhir kali kau menyentuh air, dua hari yang lalu. Badanmu itu bau!"

Gebintang mencium dua sisi bajunya. Benar saja dia belum mandi sejak kemarin dan badannya sedikit bau. Tanpa menunggu cibirian beruntun, gadis itu melongos ke kamar mandi.


***

Kaffi sibuk menyuapi nasi goreng. Sesekali, dia tertawa menonton film kartun. Gebi masuk ke pantry dan menyambar nasi goreng yang sudah Kaffi siapkan di piring besar lengkap dengan segelas jus jeruk. Disusulnya sang suami yang hari ini seperti malaikat.

"Ha. Ha. Ha."

Tawa Kaffi meledak karena film kartun yang ditontonnya. Gebi melirik Tv dan mencoba mencari sesuatu yang lucu namun gagal menemukan kelucuan apa pun di sana. Yang Gebi lihat hanyalah kepala kotak dan bentuk aneh para tokoh. Entahlah. Gebi tidak mengerti apa yang ditertawakan laki-laki di depannya ini.

"Ck. Ck. Lihat dirimu," cibir Gebi.

Kaffi menoleh malas. "Apa?"

"Kau ternyata punya kepribadian ganda. Kadang serius, kadang misterius, kadang dingin, dan sekarang apa? Kau seperti bocah! Tertawa seperti orang gila dan menonton film seperti ini. Sadarlah kau itu siapa dan ingat umur!”

"Bagaimana denganmu? Membohongi kami dengan berpura-pura lugu. Lalu sekarang apa? Kau berubah jadi wanita jahat! Kau kasar! Banyak makan, dan psikopat! Keluargaku pasti serangan jantung kalo tahu sifat aslimu."

Gebi tersenyum sinis menanggapi komentar Kaffi. Gadis itu memahat aura horor di wajahnya dan berbisik dengan nada mengerikan, "Aku seperti ini hanya padamu. Spesial untukmu. Kupersembahkan semua yang istimewa ini untukmu, Sayang."

Kaffi bergidik. “Kau gila!”

Setelah makan, mereka berdua tidur-tiduran di sofa. Piring bekas makan dan gelas masih di atas meja; Box ice cream dan beberapa bungkusan makanan kecil berserakan di lantai. Keadaan di pantry sama kacaunya dengan ruang Tv. Karena Kaffi tidak membereskan semua alat masak yang digunakannya untuk memasak tadi.

Ting. Tong.

Bunyi bel mengagetkan keduanya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah untuk membuka pintu. Cukup lama mereka bergeming dalam posisi masing-masing.
"Hei." Kaffi menggunakan ujung jari kaki untuk menekan kaki Gebi.

"Buka pintunya!" perintah lelaki itu seenaknya.

"Kau saja. Aku kenyang!" tolak Gebi.

"Kau akan seperti babi kalau membiarkan perut kenyangmu itu diam saja tanpa digerakkan. Ayo cepat buka pintunya!"

"Kau sendiri? Kau akan seperti chetah kalau—"

"Cepat! Aku sudah membuat sarapan untuk perut babimu itu!” potong Kaffi. Dia menghadiahi Gebintang pelototan garang.
Gebi berdecak kesal dan bangun dengan malas. Gadis itu menggaruk-garuk kepalanya kasar. Dengan langkah gontai, menuju pintu.

Panik, Gebintang mundur beberapa langkah begitu melihat siapa yang datang. Itu Justin. Berdiri dengan senyuman yang mencetak lesung pipinya. Pria itu terlihat sangat tampan dengan celana pendek selutut berwarna biru gelap dan kaos putih yang mencetak badan bagusnya.

Kaffi menegakkan badan penasaran. "Siapa?"

"Eh. Ayo masuk!" ajak Gebi, dengan muka yang sedikit mengantuk dan badan yang lemas. Gebi berjalan tertatih-tatih. Justin mengekor dengan senyum mengembang.

"Apa aku mengganggu?" tanya Justin begitu sampai di ruangan Tv.

"Ooh. Itu kau? Hei." Kaffi bangun dan duduk di sofa.

Tersenyum, mata Justin bergantian menyelidik penampilan Kaffi dan Gebi yang kelihatan sangat berantakan. Sementara Kaffi bingung. "Ada apa?"

Justin tersenyum jahil. Duduk di sofa yang digunakan Gebi sebelumnya. Sementara Gebi bergabung dengan Kaffi.

"Kalian sepertinya baru melakukan sesuatu yang hebat pagi ini. Harusnya aku langsung pergi saja begitu 10 Menit menunggu di depan dan tidak dibukakan pintu."
Gebi dan Kaffi terkejut begitu tahu maksud justin. Mereka  berpandangan lalu kompak bergidik. Detik selanjutnya mereka membuang muka. Justin yang ikut mengamati ekspresi mereka langsung tertawa.

"Ya, aku mengerti. Kadang-kadang, setelah bercinta hebat, kita akan merasa bosan bahkan tidak ingin melihat wajah pasangan kita. Tapi, jangan khawatir, itu tidak akan lama," serunya dalam tawa yang berderai.

"Diam!"

Yang dibentak Justin, yang kaget Kaffi. Dia sampai melotot ke arah Gebi. "Hey. Kenapa berteriak pada temanku? Di mana sopan santunmu?"

"Tidak apa. Aku tahu istrimu sedikit..."

"—Kasar maksudmu?" sambung Gebi.

Justin mengedikan bahu. "Aku tidak bilang begitu. Tapi baguslah kalau kau bisa menyimpulkan tentang dirimu sendiri."

Gebi sudah siap-siap melemparkan bantal kursi di pelukannya ke arah Justin ketika mendapati Kaffi yang sedang menatapnya dengan pandangan marah. Dia pun tertunduk tidak berani melanjutkan aksinya.

"Hei. Aku ke sini bukan untuk melihat pertengkaran suami-istri di pagi hari," seru justin setengah tertawa.

Dengan gerakan dagu, Kaffi memberi kode kepada Gebi untuk masuk ke kamar. Gadis itu akhirnya mengalah lalu melangkah gontai.

"Well... ada apa kau kesini pagi-pagi?" tanya Kaffi setelah memastikan hanya tersisa mereka berdua di ruangan itu.

"Jadi benar aku mengganggu kalian yang sedang..." Justin sengaja menggantung kalimat. Aksinya itu dihadiahi lemparan bantal oleh Kaffi. Pria itu terbahak melihat wajah Kaffi yang memerah.

"Bukan seperti itu. Maksudku, kau, kan, bisa menelfonku saja."

"Kaupikir aku akan sudi berdiri depan kamar hotel seperti orang bodoh kalau ponselmu bisa dihubungi?"

Ah, benar saja. Kaffi baru ingat ponselnya sengaja dimatikan demi terbebas dari telepon yang berhubungan dengan pekerjaan.

"Aku lupa," ucap Kaffi dengan seringai lebar. "Jadi? Ada apa?"

"Kau pernah dengar perusahaan papaku yang membeli kapal pesiar dua bulan lalu?"

Kaffi mengangguk.

"Ya. Kebetulan hari ini mereka akan mengadakan uji coba. Aku ke sini mau mengajak kalian. Kalau mau, kalian bisa—"

"Aku ikut! Aku ikut!" Gebintang berlari membabi buta dari kamar.
Justin dan Kaffi menoleh serempak.

"Tidak ada yang mengajakmu!" tolak Kaffi kesal oleh ulah perempuan ini yang seenaknya menginterupsi.

Gebi mengabaikan Kaffi. Dia menghampiri Justin dan duduk di sebelah pria itu. "Aku tahu sebagai teman baru, waktu itu aku pernah sedikit kasar padamu. Tapi, bisakah kita melupakan itu dan mulai berteman?" mohon Gebi dengan wajah tanpa dosa yang ditanggapi Justin dengan tawa sementara Kaffi hampir muntah dengan tingkah istrinya itu.

"Ya. Aku pikir kau adalah sahabat suamiku. Itu artinya kita mungkin juga akan menjadi sahabat. Bukan begitu?"

"Nyonya Gebi," Justin berkata, "Berbelit-belit bukan gayamu."

"Itu... bisakah aku ikut dengan kalian? Aku belum pernah naik kapal," mohon Gebi dengan puppy eyes andalannya.

"Gebintang!" tegur Kaffi. Dia malu dengan kelakuan istrinya di hadapan Justin. "Sepertinya kau mulai berlebihan. Tidak ada yang mengijinkanmu bicara di sini. Cepat masuk ke kamar dan jangan keluar kalau tidak kusuruh!"

Nyali gebi menciut. Dia masuk ke kamar dengan tertib.

"Sialan!" Umpat Gebi pelan. Setelah menutup pintu, dia menguping.  Nihil. Gebi tidak bisa mendengarkan apa-apa. Pada akhirnya, Gebi menyerah dan berakhir dengan bermain game.


***


Dua jam berlalu Gebintang masih betah memainkan ponselnya sampai suara pintu terbuka.

"Berhenti memainkan game itu," tegur sebuah suara.

Wajah Gebi terangkat. Ia mendapati Kaffi bersandar di salah satu kusen pintu.

"Cepat bangun dan bersihkan hotel ini! lihat? Apa yang kaulakukan di ruangan Tv itu?"

Mengabaikan perintah Kaffi? Gebi bertanya, "Di mana Justin? Apa dia sudah pulang?"

"Jangan banyak tanya, cepat bersihkan saja ruang Tv-nya! "

Kaffi mengambil ransel kecilnya di samping nakas dan menuju ke lemari mengambil beberapa baju dan memasukannya ke dalam ransel. Gebi belum beranjak dia hanya sibuk mengamati gerak-gerik Kaffi dari atas ranjang.

"Jadi, kau akan pergi? " Wajah Gebi berubah murung. "Tidak bisakah aku ikut denganmu?" bujuk gadis itu dengan suara memelas.

Tak mendapat jawaban, Gebi menghampiri Kaffi. "Kaf. Aku ikut, ya?" mohonnya lagi. Dia bahkan memeluk lengan Kaffi seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan ice cream pada ayahnya.

"Kaaaaf." Suara Gebi sedikit bergetar. Gadis itu menarik-narik kaos suaminya dengan tampang memelas.

Kaffi menepis tangan Gebi. "Jangan memasang tampang imut seperti itu! Aku akan muntah sebentar lagi."

Pipi Gebi mengembung.
"Kautahu? Banyak orang-orang penting akan datang di kapal pesiar itu. Jadi, buat apa kau ikut?"

Gebi memikirkan ucapan Kaffi, benar juga. Untuk apa dia ikut? Berada di tengah orang-orang penting itu, dia hanya akan terlihat seperti babu dan majikannya jika mendampingi Kaffi. Itu pun kalau Kaffi mau mengajaknya.

Pada akhirnya ... dengan langkah gontai, Gebi ke luar dan mulai membersihkan kamar hotelnya. Room service akan meninggal jika melihat kamar mereka seperti kapal pecah.

Hampir 10 menit berlalu, Gebi mendapati dirinya sedang mencuci alat-alat yang digunakan Kaffi untuk memasak tadi. Gadis itu kemudian terdiam sebentar. "Sial!" umpatnya. "Kenapa juga aku harus mencuci ini?"

Gebi membilas tangan kemudian mengeluarkan semua cemilan yang dibelinya kemarin. Dia berencana akan menghabiskan semuanya. Persetan dengan kamar hotel ini!
Gebi mulai membuka beberapa bungkusan snack. Membuang kulitnya begitu saja ke lantai. Diliriknya Kaffi yang baru keluar dengan pakaian rapi dan rambut yang basah. Begitu melihat lantai yang dipenuhi sampah pembungkus makanan kecil, tatapan Kaffi beralih pada Gebi.

"Apa yang kaulakukan dengan semua makanan itu?"

Gebi menyahut santai, "Menurutmu
?"

Kaffi memijat bantang lehernya yang tiba-tiba menegang. "Dengar," ujarnya. Pelan namun penuh penekanan. "15 Menit waktumu. Kalau tidak membereskan semua ini, jangan harap kaubisa ikut denganku!"

Gerakan tangan Gebi yang sedang menyuapi Ice cream ke mulutnya terhenti. Gadis itu bertanya antusias, "Apa? Kaubilang apa? Aku boleh ikut denganmu?"

Tidak memerlukan jawaban, Gebintang berseru lagi, "Tunggu!  Tunggu di situ! Jangan ke mana-mana. Aku akan membersihkan ini semua dan akan mandi. Tunggu aku!"

Menit selanjutnya Gebi sudah mencuci semua piring kotor dan secepat kilat membersihkan kamar hotel dari sampah-sampah itu lalu setelah memastikan semuanya selesai. Buru-buru dia ke kamar mandi.


***

Napas Gebi naik turun. Tangannya terkepal. Air tergenang dan menggantung di sudut matanya. Di sebelahnya, Kaffi berdiri dengan rahang yang mengetat. Mereka berdua saat ini berasa di atas dermaga memandang ke laut.
Bukan. Bukan laut saja. tapi ... kapal pesiar.
Ya! Kapal pesiar yang semakin menjauh....

***
Satu jam lalu...

Setelah mandi, Gebi buru-buru menyambar bajunya. Dia semakin panik karena Kaffi terus-terus berteriak. Dengan membabi buta gadis itu memakai celana jeans. Kemudian mengambil bra.

"Sedang apa kau di dalam?" teriak Kaffi sambil menggedor pintu. "Kenapa lama sekali?"

"Sebentar. Aku sedang pakai bra,” sahut Gebi.

"Kau bahkan memiliki dada seperti anak SD! Tidak perlu menghabiskan waktumu memakai bra. Pakai saja kaosmu! Tidak akan ada yang melihat," ejek Kaffi.

Jika tidak berfikir kebaikan Kaffi yang sudah mengijinkannya ikut, Gebi mungkin sudah menyumpal mulut pria itu dengan sneakers-nya.

Gebi mematut diri di kaca. Dia tidak memakai apa pun di wajahnya dan menjepit rambut panjangnya asal lalu buru-buru ke luar kamar. Kaffi yang berdiri di depan kamar langsung memandang Gebi ngeri.

"Ada apa?" tanya gadis itu tidak mengerti.

"Setidaknya pakai pelembab. Bibirmu menjijikan sekali!"

"Aku malas! Lagi pula, aku tidak akan dekat-dekat denganmu di sana. Tidak akan ada yang tahu kalau aku ini istrimu. Kau tidak perlu malu. Oke? Aku janji reputasimu tetap terjaga," terang Gebi dengan mata yang dikedipkan.

"Oh Tuhan, terserahlah!"

Mereka buru-buru turun ke lobI hotel. Taksi yang dipesan Kaffi sudah ada di depan. Kaffi masuk lebih dulu dan diikuti Gebi. Tapi tiba-tiba pria itu mengingat sesuatu.

"Sebentar, Pak, dompetku ketinggalan." Kaffi kembali ke kamar hotel sementara Gebi menunggu tidak sabar. Beberapa menit setelahnya? Kaffi ke luar dari hotel dengan napas yang tersengal.

"Cepat sedikit, Bodoh! Kapalnya sudah mau berangkat," perintah Gebi, tidak sabaran.

"Kau yang bodoh! Dompetku ada padamu, cepat ambil!"

Gebi menepuk dahi. Baru ingat bahwa dompet yang diberikan Kaffi kemarin belum sempat dia kembalikan. Sekarang giliran dirinya yang lari membabi buta ke dalam hotel. Sesampainya di kamar, gadis itu mencari-cari dompet dengan mulut yang tidak berhenti memaki.

Pintu berbunyi dan Kaffi muncul dari balik pintu. "Gebintang. Apa yang kaulakukan? Kenapa lama sekali? Apa tulangmu berubah jadi puding? Lambat sekali gerakanmu!"

Gebi menjawab dengan mata yang terus menyapu penjuru kamar itu, "Sebentar. Aku lupa menaruhnya di mana."

Kaffi menggertakan giginya hingga menciptakan bunyi. Namun, pada akhirnya dia melibatkan diri untuk mencari.

"Sial!" umpat Gebi. "Bukannya kemarin aku menaruhnya di sini?"

Mereka melengserkan sofa dan mencarinya tapi masih tidak ditemukan. Gebi lalu memutuskan untuk mencarinya di kamar dan menggeledah semua barang-barang mereka. Hotel sudah seperti kapal pecah tapi dompet itu belum juga ditemukan.

Kaffi berkacak pinggang. "Itulah kenapa aku bilang kau BODOH!" teriaknya. "Benar-benar tidak bisa diandalkan!"

Kaffi  sudah menyerah untuk mencari. Kerongkongannya butuh dialiri air. Kaffi kemudian menuju ke lemari es mengambil air minum.

"Kau yang lebih bodoh! Kalau menurutmu aku bodoh, kenapa kau memberikan dompet itu padaku? Jadi ini bukan sepenuhnya salahku."

"Sudahlah. Sekali bodoh tetap bod—" ucapan Kaffi terhenti begitu melihat sebuah benda hitam bertengger manis di tempat air mineral. Kaffi mengangkatnya.

"Astaga, Gebintaaang di mana otakmu? Kenapa kau menaruh dompetku di dalam kulkas? Apa kau berniat membekukan kartu kreditku?"

Gebi menyeka keringat di pelipis. "Kau sudah menemukannya?" 

"Dasar bodoh!"

Tak menunggu lama, Gebi berlari lebih dulu menuju lobi. 15 Menit perjalanan, mereka sampai di dermaga dengan wajah berseri-seri. Tapi, itu tidak lama. Karena lima menit setelahnya mereka sudah mematung melihat kapal pesiar yang semakin menjauh.
Ya. Mereka ketinggalan. 

***


Gebi menunjuk kapal pesiar yang sudah semakin menjauh. Bahunya naik turun, matanya memanas. Beberapa saat kemudian, tangisnya pecah.

“Huh, Huh. Hwaaaaa. Ba-bagaimana bisa ini?" Gebintang terduduk di atas dermaga dan memukul-mukul beton dermaga dengan kepalan tangan. Hatinya sakit. Padahal, dia benar-benar berharap bisa naik kapal pesiar itu.

"Bagaimana bisa mereka meninggalkanku? Hiks. Dasar sial!" Gebi menjambak rambutnya dengan kedua tangannya, sementara Kaffi yang berdiri di sampingnya hanya melempar tatapan ngeri.

Kaffi melirik orang-orang yang memandangi Gebi. Bahkan ada beberapa yang sengaja mengambil gambar Gebi dengan ponsel mereka.

"Hei, bangun!" Kaffi menendang bokong Gebi dengan ujung sepatunya.

"Apaaa!? Huuu. Hikz. Ini semua gara-gara kau, Keparat!!" maki Gebi, "Aku gagal mewujudkan impian masa kecilku!" Tangis Gebi makin pecah.

Sebenarnya saat ini Kaffi ingin sekali membalas makian Gebi hanya saja dia malu dengan orang-orang yang mulai mengerumuni mereka. Kaffi bergidik lalu cepat-cepat menjauh dari Gebi karena perasaan malu.

"Apaaa!? Kau mengambil gambarku!? Dasar gendut! Akan kupatahkan jari berlemakmu itu!"

Kaffi menoleh ke belakang dan mendapati Gebi memaki seorang pria gemuk yang sedang merekam aksi menangis ekstremnya itu. Pria itu hanya bisa menggelengan kepala. "Dia gila!"

***

Kaffi masuk ke hotel diikuti Gebi yang hanya merunduk di belakangnya. Mata gadis itu sembab karena terlalu lama menangis. Selama perjalanan pulang tadi, mereka bahkan tidak bicara sama sekali.

Begitu pintu hotel terbuka, Kaffi langsung mematung. Gebi yang berjalan merunduk di belakangnya, menabrak punggung pria itu. Ia lantas mengangkat wajah dan detik selanjutnya ia terperanjat melihat keadaan kamar hotel mereka. Mulut Gebi menganga dramatis.

"Astaga. Apakah ada perampokan di sini?" tanya Gebi, syok. Dia menyapukan pandangan mengelilingi kamar hotel itu.

"Apa kau bodoh? Itu karena ulahmu sendiri. Cepat bereskan kamar ini! Aku akan mandi dan tidur. Jangan menggangguku!" perintah pria itu lalu melongos ke kamar mandi.
Gebi yang baru sadar dengan keadaan ini sekali lagi terduduk di lantai dan mengacak-acak rambutnya frustrasi.

***


Besoknya Kaffi ke luar kamar dan mendapati Gebi sedang menonton Tv dengan pandangan kosong. Kamar hotel terlihat rapi.

Kaffi duduk di seberang Gebi tapi tidak berniat mau menonton Tv. Dirinya hanya memandang Gebi dengan tatapan mencemooh. Di sampingnya, Gebi bahkan tidak melirik Kaffi atau bahkan tidak menyadari keberadaan pria itu sama sekali.

Iseng, Kaffi melemparkan bantal tepat di wajah Gebi. Gadis itu  tersentak.

"Aku tidak mengganggumu. Jangan menggangguku!" desis Gebi tanpa semangat.

"Lihat dirimu. Pergi mandi!"

"Tidak mau."

"Aku tahu kau jorok. Tapi, bisakah kau memikirkan aku sebagai teman sekamarmu? Aku harus mencium baumu sepanjang hari dan juga melihat tampang horormu itu."

Gebi menyahut santai, "Bukan urusanku."

Kaffi menggigit bibirnya kesal. Baru saja mau membalas perkataan Gebi, ponselnya berbunyi.

"Ada apa, Just? Ya. Kita ketinggalan 30 Menit. Santailah. Aku tidak apa-apa, tapi..." Kaffi mengerling ke arah Gebi. "Ada yang hampir memakan tembok dermaga karena tidak bisa ikut. Ha. Ha."

Kaffi puas terbahak, “Ah, tidak perlu. Dia baik-baik saja kalau sudah kutraktir makan. Benarkah? Apa tidak merepotkanmu? Oh. Baiklah aku mau. Ya. akan kusampaikan. Terima kasih."

Kaffi menutup teleponnya. Di sampingnya, Gebi menatap pria itu, antusias.

"Ada apa? Apa mereka kembali untuk kita?" tanya Gebi penuh harap.

"Kaupikir itu kapal pesiar kakek buyutmu?"

Gebi kembali lemas.

"Kau telalu banyak nonton drama dan terlalu mengada-ada."

Gebi makin murung. Wajahnya tertunduk sedih. Melihat itu Kaffi bertanya, "Kenapa kau sangat ingin naik kapal itu?"

"Itu impian masa kecilku. Dan hampir saja terwujud kalau kau tidak mengacaukannya kemarin."

"Kau menyalahkanku?"

"Ya!"

"Dasar tolol! Itu salahmu sendiri."

"Kalau dari awal kau langsung mengajakku, aku pasti akan siap-siap berapa jam sebelumnya. Tapi, kau baru memberitahuku beberapa menit terakhir. Wajar saja kalau kita terlambat."

"Itu karena kau menghilangkan dompetku, Bodoh!"

"Kau yang bodoh!" balas Gebi, geram.

"Kau lebih bodoh!" Kaffi melemparkan bantal kursi ke arah Gebi dengan keras dan sukses menghantam wajah gadis itu.
Napas Gebi naik turun, wajahnya memerah karena ingin menangis.
Kaffi mulai panik. "Maaf, aku tidak sengaja,” ucap pria ancang-ancang untuk kabur.

"Kau." Bahu Gebi naik turun. "Kau." Gebi mulai menangis kencang. "Huwaa kenapa aku harus menikah dengan orang seperti kau. Dosa apa aku ini? Kau benar benar Iblis Cina terkutuk!"

Kaffi menutupi kedua telinganya. Sedangkan mata Gebi mulai liar mencari-cari apa pun yang bisa digunakan untuk menyalurkan emosinya. Beruntung, Gebi mendapatkan remote Tv, diraihnya remote itu dan bersiap-siap melempari Kaffi.

"Gebintang. Ap-apa yang kau lakukan? Itu akan sakit."

Brak.

Hampir saja Kaffi terkena hantaman remote jika pria itu tidak cepat bergeser dari tempat duduknya. "Gebintang apa kau gila!?" teriak Kaffi ketakutan. 
Gebi tidak peduli. Dia masih mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk melempari Kaffi. Dengan membabi buta, Kaffi lari ke kamar dan mengunci dirinya dari dalam.

"Oh, astaga hampir saja." Kaffi mengelus dada. "Wanita gila!"

Bug. Bug. Bug.

"Keluar kau bodoh! Akan kuhancurkan tangan kurang ajarmu itu." ancam Gebi sambil terus memukul pintu kamarnya.
"Astaga. Dia menyeramkan!"
Kaffi lalu naik ke ranjang dan memainkan game di ponselnya, Memilih mengabaikan Gebi yang berteriak di luar sana.

***


Kaffi melirik jam. Sudah dua jam dia sibuk dengan game di ponsel. Kerongkongan pria itu kering, Kaffi bangun dari ranjang dan mengendap-endap sambil meletakan kupingnya di balik pintu; mencari-cari suara Gebi. Takut kalau-kalau Gebi masih di depan pintu.

Selama hampir satu jam tadi Gebi terus menangis dan berusaha mendobrak pintunya tapi saat ini Kaffi tidak mendengar apa pun dari luar. Dengan pelan, dia memberanikan diri membuka pintu, Kaffi melonjak kaget mendapati Gebi sudah tertidur di lantai depan kamarnya.

"Bodoh!" rutuknya menuju ke pantry dan mengeluarkan air mineral dari lemari pendingin.

Kembali ke depan pintu kamar dengan membawa gelas, Kaffi menuangkan sedikit air ke tangannya lalu mengibaskan ke wajah Gebi. "Cepat bangun dan mandilah, ini hari terakhir kita di sini. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat."

Gebi mengerjap merasakan cipratan air es di wajahnya. Gadis itu bangun, mengucak matanya. Ia bertanya dengan suara serak, "Apa kau salah makan?"

"Maksudmu?"

"Tadi kau menganiayaku sekarang baik padaku. Kau ini seperti roaller coaster. Kadang jahat seperti iblis kadang baik seperti malaikat."

"Ya sudah kalau tidak mau. Aku akan pergi sendiri dan kau membusuklah di kamar ini."

Gebi berpikir sebentar. "Tunggu, aku akan mandi!" Baru saja Gebi melangkah, dia kemudian berbalik.

"Apa?" tanya Kaffi heran melihat Gebi yang menatapnya.

Ptsssss.

Satu tamparan masuk ke jidat lebar Kaffi, pria itu meringis kesakitan sambil mengusap dahi.

"Kita impas, Kaff," teriak Gebi sebelum berlari ke kamar mandi.

"Sial! Akan kubalas kau, bodooooh!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro