Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TMRC - Lima belas (Beda)

"Aku senang Kaff, bisa menghiburmu dan juga teman-teman SIALANMU ini! Dan aku juga senang jadi badut dalam hidupmu, jadi ... kau puas sekarang, Kaff?"

Gebi berbalik meninggalkan mereka.
"Gebintang?" cegat Justin. Nyaris saja dia mengejar Gebi. Namun, Kaffi menahannya. Laki-laki itu memberi kode biar dia saja yang mengejar.

"Susul dia Kaff," suruh Keiko.

"Aku tau. Kalian tunggu di sini."

Kaffi mengekori Gebi. Wanita itu berjalan dengan cueknya. Sepertinya dia sudah menemukan kembali rasa percaya dirinya. Gebi tidak peduli pada tatapan-tatapan aneh orang-orang. Kaffi menjaga jarak beberapa meter di belakang. Mata itu terus mengawasi punggung kecil milik istrinya yang sekarang—tanpa rasa malu—masuk ke dalam Casino yang sontak membuat dirinya menjadi pusat perhatian.

"Apa? Kenapa kalian menatapku?" bentak Gebi, galak. "Apa aku lebih menarik dari mesin judi?"

Orang-orang itu sontak mengalihkan tatapannya ke arah lain. Gebi tidak peduli lagi. Sudah terlalu banyak kejadian hari ini yang membuatnya kehilangan rasa malu. Persetan dengan harga diri! Lagi pula, tidak ada yang mengenalnya. Dan, tidak ada nama baik yang harus dia jaga, bukan? Peduli setan dengan Kaffi dan nama baik pria itu. Toh, tidak banyak yang tahu siapa Gebi sebenarnya. Kenapa dia harus repot-repot menjaga sikap?

Gebi berpindah ke gedung sebelah. Perut kecilnya dielus karena mulai minta-minta diisi. Itu semua karena aroma gurih yang menyeruak dari dalam sana. Ia mendadak lapar. Huruf-huruf yang tergantung di atas menandakan bahwa bangunan itu adalah restoran Korea. Gebi kegirangan. Lantas berlari masuk tanpa pikir panjang.

Begitu masuk, seorang pria berumur sekitar 40 tahun dan beberapa wanita yang duduk di meja dekat pintu langsung menatapi Gebi dari ujung kaki hingga ujung rambut. Wanita-wanita itu berbisik tidak jelas sambil menutupi mulut mereka dengan kipas kecil di tangan. Si pria tertawa paling terakhir dan paling keras.

Merasa ditertawai, Gebi mendekati mereka. "Hei, kenapa kau tertawa? Baru pasang gigi, ya?"

"Ti-tidak ada, aku menertawai temanku," sanggahnya

Muka si pria memerah. Apalalgi, Gebi langsung memajukan wajahnya hingga hidung mereka nyaris tubrukan. Para wanita lain hanya menunduk.

"Lalu kenapa kau melihat ke arahku? Matamu sudah pernah dicolok pakai sumpit? Kalau belum, sini kutunjukan padamu," ancam Gebi. Giginya menggeretak keras.

Kaffi yang turut mengamati di ujung sana, menahan napasnya tegang. Dia khawatir jika Gebi berbuat yang tidak-tidak.

"Maafkan aku," ucap pria itu sungguh-sungguh. “Aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Gebi mendengus dan berlalu. Kaffi dibuatnya bernapas lega. Paling tidak, Gebi tidak meninju kepala pria itu seperti yang ia khawatirkan. Atau malah memilin urat lehernya seperti di film-film kungfu.

Gebi menempati sebuah meja. Buku menu, sudah ia ambil dari seoran pelayan yang menghampirinya. Senyum kecil tercetak di bibir mungil Gebi. Ia berbinar mendapati deretan menu yang menggugah selera. Makanan memang mood boster terbaik bagi Gebi. Lihat, dalam sekejap, ia melupakan apapun yang ada di pikirannya saat ini.

"Tiga mangkuk ramen. Minumannya terserah kau saja!"

Pelayan itu mengangguk dan berlalu. Kaffi tertawa tanpa suara. Bersandar di sebuah meja. Sambil terus mengawasi, tangannya bersembunyi di dalam saku. Kadang, ia terkekeh, kadang juga ia waspada, tapi kebanyakan geleng-geleng menonton Gebintang pelototi balik orang-orang yang menatapnya dengan heran.

"Bagaimana, Kaff?” tanya Justin. Dia dan Keiko baru sampai dan langsung menghampiri Kaffi.

"Aku belum berani menghampirinya. Kau tau sendiri dia seperti apa?" komentar Kaffi dalam tawa.

Justin membuang napas lega. Setidaknya suasana hati Kaffi sudah lebih baik.

"Baguslah emosimu juga sudah mereda. Aku hanya khawatir kalian bertengkar lagi."

"Tidak. Aku takut tidak mungkin bertengkar saat dia sedang berada dalam emosi yang tidak main-main."

"Baguslah."'

"Ayo kita ke sana," ajak Keiko.

Langkahnya dicegat Kaffi. "Jangan, Kei. Kau belum tau dia seperti apa. Jangan muncul di hadapannya kalau dia sedang emosi."

"Tidak apa. Kita duduk di meja sebelahnya saja dan pura-pura tidak menggubrisnya," usul Keiko lagi.

Well, beberapa menit selanjutnya mereka sudah duduk di seberang Gebi. Meja mereka hanya berbatasi dengan satu meja. Gebi sendiri tidak peduli pada kehadiran orang lain. Konsentrasinya tersedot pada mangkuk-mangkuk ramen dalam gendongan pelayan. Senyum suka citanya terbit. Di seberang, mereka bertiga memandang Gebi dengan arti masing-masing. Justin yang takjub, Keiko yang iba, dan Kaffi yang ... yah, begitulah.

"Apa dia memesannya untuk kita?" tanya Keiko, heran.

Kaffi tertawa kecil. "Itu untuk dirinya sendiri."

Keiko ikut tertawa. "Apa dia bisa menampung itu semua di perut kurusnya itu? Ya Tuhan, bagaimana bisa? Tubuhnya bahkan seperti anak SMP. Kenapa makannya banya sekali?"

"Aku suka pada gadis-gadis yang tidak menahan diri mereka dari makanan.” Justin menopang dagu dan memiringkan wajah. Pandangannya lurus ke meja Gebi. "Dia tidak pintar menyembunyikan ekspresi. Kalau senang, mata dan tubuhnya akan membahasakannya. Kalau marah, dia akan meledak begitu saja. Jika ada hal yang memicu rasa kesalnya, maka tidak peduli siapa pun itu, dia akan langsung menunjukannya."

Kali ini, pria itu tertawa kecil. Sekian tahun, dia berinteraksi dengan wanita-wanita cerdas dan elegan. Mereka tidak pernah menunjukkan sisi iblis, seolah-olah mereka memang diciptakan hanya dengan kanggunan saja. lagi pula, sudah sejak lama dia tidak melihat wanita memesan banyak makanan untuk dirinya sendiri. “Gebi unik dan jujur.”

Pengakuan itu membuat mata Keiko menyipit. Dia tersenyum kemudian. “Jadi, seleramu ganti lagi?” godanya. “Yang seperti Gebi?” 

"Eh apa?" Justin terperanjat. “Tidak! Maksudku ... aku hanya kagum dengan selera makannya yang berani. Kau lihat? Di saat wanita sepertimu hanya makan dengan sepotong brokoli dan beberapa buah, dia bahkan memakan tiga mangkuk ramen," koreksi Justin cepat, "jadi aku hanya, you know, semacam kagum pada kepribadiannya yang unik. Gebintang itu seperti buah yang baru dipetik. Fresh! Natural, tidak seperti buah-buah lain yang segar karena sudah terkena udara dingin lemari es."

Keiko tersenyum dan mengangguk pura-pura. Sementara Kaffi, melipat tangannya ke dada, dan menatapi Justin di depannya lamat-lamat. Seolah apa yang baru disampaikan lelaki itu adalah hal paling menarik di dunia.

"Sepertinya itu kode untukmu, Kaff," seru Keiko sambil menyenggol bahu Kaffi di sebelahnya.

Pria itu menoleh santai. “Maksudmu?"

"Justin menyukai sepupumu!"

Bum!

Kalimat Keiko seperti siraman air es di sekujur tubuh Kaffi. Sekarang, dia mengalihkan matanya pada Justin. Lelaki itu terperanjat tidak yakin bahwa Keiko akan merilis kata-kata seperti barusan.

"Begitu menurutmu, Kei?" Kaffi jawab, tapi matanya masih tetap di sana.

Wajah Justin memerah. "Bagaimana bisa kau menyimpulkannya seperti itu?" Dia berusaha terdengar santai. Walaupun tidak enak karena ditatap sedemekian rupa oleh sahabatnya.

"Sudahlah. Tidak perlu malu, Just. Kita sudah berteman lama dan Kaffi pasti akan menyetujui kau mendekati sepupunya. Ya, kan, Kaff?"

Tidak ada jawaban. Kaffi malah beralih menatap Gebi.

Perut Justin sepeti digerayangi ribuan rayap. Psikis Keiko memang sudah tidak bagus semenjak diterpa gosi-gosip berat belakangan ini. Sehingga dengan mudah dia menjodohkan Justin dengan seorang wanita bersuami. Bahkan, meminta langsung dari sang suami. Benar-benar gila! Justin belum mau dianggap sinting dengan terang-terangan mengiyakan.

Beruntung suasana yang berubah mencekam itu bisa sedikit teralihkan karena pelayan datang membawa pesanan mereka. Kaffi dan Justin makan dalam diam sementara Keiko mulai bercerita panjang lebar tentang kariernya.

Di seberang, Gebi tidak berpaling sedetik pun dari mangkuk ramen. Begitu khusyuk dengan ritual makan siangnya. Walaupun sesekali ia mendengar tawa Justin dan Keiko, Gebi tidak berniat menoleh. Bukannya sok keren atau apa. Gebi merasa tidak bisa menjamin keselamatan ketiga laknat itu. Mengingat apa yang sudah mereka lakukan padanya tadi, Gebi tidak mungkin tidak tergoda untuk memecahkan mangkuk-mangkuk ini di kepala mereka.

Sesuatu yang wangi terasa menusuk penciuman Gebi, dia melirik ke meja sebelah yang sekarang sudah ditempati dua orang wanita. Gebi menyelidik penampilan keduanya.  Benar-benar mengagumkan! Sekali lagi, mata Gebi melotot sempurna melihat paha dan betis wanita yang memakai mini dress itu.

"Sial! Dia bahkan tidak memiliki bulu kaki,” lirik Gebi, keji. “Nyamuk pun bisa jungkir balik jika main perosotan di paha sucinya.”

"Hei, bukankah itu Keiko?" Wanita yang pahanya Gebi pelototi barusan bertanya pada temannya.

"Tidak salah lagi. Si Wanita Jalang itu!" timpal wanita kedua. Dia tersenyum sinis ke arah Keiko. Lalu membuka kaca matanya dan mengurai rambut yang sejak tadi dikucir. Gebi hampir tersendat begitu menyadari siapa wanita itu.

"Oh Tuhaaaan, betapa beruntungnya aku hari ini. Bisa melihat bintang sinetron ini dari jarak sedekat ini. Ha ha. Apa aku harus minta tanda tangannya di bajuku?” batin Gebi lagi. Padahal rasanya baru beberapa bulan lalu dia membahas soal perceraian wanita ini dengan Kaffi. Hari ini Gebi bisa melihatnya secara langsung dan itu saja sudah membuat Gebi senang bukan main. Gebi tiba-tiba berpikir akan mengajak foto bareng dan mengunggah ke Instagram-nya dengan caption: Coba lihat aku foto dengan siapa? Hahaa. Artis yang selingkuh dengan pelatih yoga dan yang muncul berbulan-bulan di Infotainment. Kalian pasti mencret-mencret melihatnya :p

"Bukankah itu pengacara suamimu? Jadi dia juga jadi pengacara si Keiko?" Paha Suci kembali heboh. "Oh, astaga, dan kau lihat di sebelahnya itu? Justin Poernomo. Anak si pemilik kapal pesiar ini.”

"Cih. Benar-benar Jalang! Kasusnya dengan menteri itu, pun, belum selesai. Sekarang, dia sudah mendekati pria-pria terkenal lain," cibir si Bintang Sinetron.

Gebi menoleh kaget. Ditatapnya kedua wanita itu, tidak yakin. Orang-orang cantik yang populer dan kaya, mereka juga bisa bergosip keji. Entah kenapa, orang selalu mengasosiakan penggosip dengan ibu-ibu yang kurang kerjaan. Padahal, dua wanita ini membuktikan bahwa siapa saja punya bibit menjadi penggosip.

"Apa dia seorang Pelacur? Yang menjual tubuhnya pada pejabat-pejabat dan pengusaha kaya?" Seru Bintang Sinetron dengan suara yang sengaja dibesarkan.

Kali ini, Gebi sukses berhenti mengunyah. Pandangannya beralih pada Keiko yang sedang tertunduk di sana dan mendapati rangkulan di bahu oleh Kaffi.

"Wanita Lima Milliar. Ha ha ha," sindir si Paha Suci dalam tawa yang meledak.

"Setelah ini apa lagi gosipnya? Aku muak melihat wanita Lima Milliar itu di Tv. Aku doakan dia cepat masuk penjara karena perbuatannya. Dasar tidak tahu malu! Perebut suami orang! Penjual diri!" tatar si Bintang Sinetron berapi-api.

Gebintang tidak tahan lagi. Dia bangkit, kesal. "Hei, bisakah kalian berhenti menggunjing orang lain? Kalian mengganggu ritual makan siangku!"

Kedua wanita itu menatap Gebi heran.

Si Paha Suci bertanya tidak sedang, "siapa kau?"

"Kalau aku bilang juga kau tidak akan mengenalku," jawab Gebi, santai.

"Kau punya urusan dengan kami?" tambah si Bintang Sinetron.

"Tidak ada. Aku hanya ingin menyelesaikan makanku dengan damai. Tanpa dicemari dengan gosip orang lain. Bisakah kalian menjauh beberapa radius dariku?"

Bintang sinetron itu bangkit. "Kau. Berani-beraninya kau bicara seperti itu padaku. Kau tidak kenal siapa aku?"

"Tentu saja aku mengenalmu. Kau orang yang membuatku trauma untuk menonton TV. Setiap harinya selama berbulan-bulan aku harus menahan diri untuk tidak membanting TV tidak bersalahku hanya karena terus menyiarkan tentang perceraianmu. Belum lagi episode perselingkuhanmu itu! Dengan laki-laki berbeda setiap saat. Tenang saja semua orang akan mengenalmu dari reputasi buruk itu."

Tanpa diduga-duga, di Bintang Sinetron itu menyambar air mineral di gelasnya dan menyiramkannya pada Gebi.

Di seberang sana, Keiko, Justin dan Kaffi menganga lebar.

Gebi mendekat dan merunduk di depan si Bintang Sinetron itu. Ia menarik ujung baju wanita itu dan membawa ke wajahnya.

"Hei, mau apa kau?" tanya wanita itu, panik.

"Diam sedikit! Aku cuma mau mengeringkan wajahku dengan baju mahalmu," jawab Gebi masih menarik baju wanita itu ke wajahnya.

"Menyingkir dariku!"

Si Paha Suci melerai. "Kau sudah gila, ya?”

Setelah memastikan wajahnya sudah dilap dengan sempurna, Gebi berdiri.

"Sudah gila bagaimana? Haha. Temanmu ini yang gila! Masa memandikanku pakai gelas? Kenapa tidak bawa aku ke pemandian saja, sih?" balas Gebi dengan wajah jenaka.

Si Bintang Sinetron memijat pelipis. "Hei, hubungi pengacaraku dan suruh dia melaporkan tindakan penganiayaan wanita ini padaku!"

"Ha. Ha. Ha. Kurasa profesimu sangat cocok denganmu. Kau memang pintar berakting. Medali dan pialamu pasti sudah banyak di rumah," sindir Gebi.

"Kau!" tunjuk si Bintang Sinetron, rahangnya sudah mengeras dan tangan terkepal.

"Santailah. Aku cuma bercanda. Jangan dimasukan ke hati," gurau Gebi, "percayalah, marah-marah tidak bagus untuk wajah bekas operasi plastik." Gebi menyatukan telapak tangan di wajah. "Aku tidak mengejekmu. Sungguh. Aku juga berencana untuk oplas. Suatu saat nanti."0

Lagi, Binang Sinetron itu memijat kepala. Meraih tas, siap-siap untuk pergi.

"Ayo. Aku benar-benar jengah melihat dia. Selera makanku sudah hilang.”

Mereka beranjak pergi tanpa mau repot-repot menyentuh pesanan yang baru saja diantar oleh pelayan.

"Hei,” cegat Gebi. “Kenapa buru-buru? Kita belum foto bersama! Oh, ayolah, jangan kekanak-kanakan seperti itu. Hei, bolehkan aku meminta tanda tanganmu di bokongku?"

Gebi terpingkal-pingkal sendiri. Tawanya baru terhenti karena sadar sedang diamati oleh mata-mata berbinar lain. Dengan ekor mata, Gebi bahkan mendapati sang suami menghampirinya. Bermaksud menghindari Kaffi, Gebi berdiri cepat dan meraba-raba bokongnya. Mencari sesuatu. Matanya terbelalak, baru ingat kalau dia hanya mengenakanbaju tidur. Itu artinya, dompetnya tidak terbawa.

Rasa-rasanya, Gebi ingin berubah menjadi kuah ramen saja. Dia malu. Terlalu malu! Bagaimana bisa di saat-saat krusial seperti ini, dia lupa bawa dompet? Dan sialnya, tidak ada satu pun orang yang dia kenal di dalam sini selain tiga bedebah tadi. Masa iya dia harus minta tolong kepada tiga laknat itu? Sama saja mencoreng harga dirinya.

Kaffi tertawa kecil melihat wajah pucat Gebi. Dalam hati dia berkali-kali mengucapkan puji Tuhan. Dia tau Gebi tidak mungkin membawa dompet. Ini kesempatan baginya untuk mendekati istrinya. Paling tidak, dia sudah punya satu alasan untuk meluluhkan si wanita pemarah itu. Tampa diminta, Kaffi langsung menyelesaikan semua pembayaran.

Di sana, Gebi sudah tertunduk malu sambil memelintir bajunya. Ini adalah acara merajuk paling tidak keren selama hidupnya. Padahal dia sudah berniat tidak akan bicara dengan Kaffi sampai tahun depan. Si pria itu malah membantunya. Kalau sudah begini, bagaimana bisa Gebi melanjutkan rencana merajuknya?

Kaffi menyeret kursi dan duduk tepat di samping Gebi. Diamatinya wajah Gebi yang masih tertunduk. Lalu dia menarik beberapa lembar tisu. ''Lihat dirimu, berantakan sekali!" cibirnya sambil membersihkan pelipis dan leher Gebi yang basah karena insiden tadi.

"Tidak usah peduli padaku! Bukankah aku ini hanya badutmu?" Wanita itu merebut tisu.

"Ck. Badut bagamana? Tubuhmu itu terlalu mungil untuk ukuran seorang badut. Bagaimana kalau jadi bonekaku saja? Hm? Masha? Kau itu sama seperti Masha, mungil-mungil bandel. Nanti, aku akan jadi beruangnya. Kau mau?"

Gebi memutar bola mata memasang wajah murka kemudian dia berkomentar dengan malas. “Ha. Ha.” Gebi tertawa di buat-buat merespon candaan Kaffi yang tidak lucu. Aksinya itu mendapat sentilan kecil di alis.

"Kenapa kau membiarkan wanita gila itu melakukannya padamu, hah? Kalau aku yang melakukannya, kau pasti sudah membelah kepalaku. Kenapa kau diam saja saat disiram? Kau itu bodoh atau apa?"

Kaffi bergeser lebih dekat lagi dan melepaskan kuncir rambut Gebi. Dengan tangannya, dia menghapus keringat-keringat kecil di sepanjang pelipis wanita itu. Kemudian menyisir rambut Gebi dengan jemarinya dan mengikatnya kembali seperti yang dilakukannya beberapa hari lalu.

"Justru karena aku ini jenius, makanya aku tidak membelah kepalanya. Memangnya kau mau jadi duda seumur hidup kalau aku dipenjara?" tantang Gebi, badannya menegang karena merasakan tangan Kaffi yang sedang merapikan anak-anak rambut di bagian tengkuknya.

"Bodoh! Tentu saja aku akan menikah lagi. Dan kau kuizinkan untuk menikah dengan sesama Napi."

"Itu akan sangat keren. Aku akan memilih tiga suami Napi sekaligus. Bekas pembunuh, bekas terorist, dan juga bekas pencuri. Kalau aku bebas nanti, aku akan menyuruh suami pertamaku meneror kau dan istrimu. Setelah itu, kau akan dibunuh suami keduaku, dan hartamu akan dicuri suami ketigaku. Setelah itu, umm..." Mata Gebi menerawang.

Kaffi yang sudah selesai mengikat rambut Gebi, menopang pipi dan memperhatikan wajah istrinya yang sedang berkhayal.

"Aku akan menceraikan mereka dan menikah dengan seorang bule tampan yang sangat kaya raya. Dan aku akan melahirkan banyak anak, hidup sampai tua dengan bahagia.” Khayalan Gebintang makin liar.

"Setelah itu bekas-bekas suamimu itu akan berkonspirasi dan mulai mengatur strategi untuk menghancurkan kau dan suami bulemu,” sambung Kaffi, “kalian berdua disiksa dan dikirim ke perbatasan untuk dijadikan tawanan. Sementara aku dan istri baruku sudah hidup tenang di Surga.”

Gebi mencibir kesal, "mana bisa begituuuuu!" teriaknya. "Malaikat siapa yang membiarkan orang jahat sepertimu berlenggang cantik ke surga? Kau akan dicekal di pintu masuk surga, dan menunggu kedua teman keparatmu yang sudah menertawaiku itu. Lalu kalian bertiga akan dipanggang menjadi kue kering di Neraka."

"Kita belum akan dipanggang. Karena masih menunggumu yang tidak juga dibunuh. Karena ternyata, kau masih harus ditugaskan di negara konflik lain untuk membawa bom bunuh diri.”

Mereka berdua malah mengobrol dengan topik absurd. Melupakan semua kejadian yang terjadi beberapa jam lalu.

"Keluarga yang aneh," cibir Keiko. Sedari tadi, dia mengamati dua orang itu dengan bingun sekaligus takjub.

Justin terkekeh geli. Dia baru akan menceritakan hal yang sebenarnya soal status hubungan Kaffi dan Gebi, tapi Keiko sudah berdiri dari kursinya.

"Ayo kembali ke kamar," ajak kaffi. Dia melepas sepatunya kemudian berlutut di depan Gebi dan mulai memakaikan sepatunya yang kebesaran di kaki istrinya. "Pakai ini. Aku tidak mau kau ditertawakan lagi karena berkeliling tanpa alas kaki.”

"Lalu bagaimana denganmu?” tanya Gebi, gusar. “Kau akan kembali ke kamar tanpa alas kaki?"

Kaffi tidak menjawab. Dia masih sibuk mengikat tali sepatu. Setelah selesai, Kaffi kembali duduk. Dengan posisinya yang sangat dekat di depan Gebi. "Maafkan aku karena kekanak-kanakan meledekmu. Tapi, bagaimanapun, jangan bertingkah seperti tadi lagi. Kau dengar?”

Gebi tertunduk tidak berani menatap Kaffi.

"Kalau kau marah, kau bisa menamparku atau apa pun. Tapi, jangan menangis seperti itu. Apalagi di depan teman-temanku. Jangan membuatmu jadi bahan tertawaan orang! Walaupun suka meledek, aku tetap suamimu yang tidak suka melihat istriku ditertawakan. Kau paham?"

Dalam tunduknya, Gebi menjawab, "Tapi kau sama saja dengan orang-orang itu. Kalian menertawakan aku."

Kaffi merunduk demi menemukan wajah Gebi yang tersembunyi dalam tunduknya.

"Kupikir, karena kita orang dewasa, kita tau mana tawa bercanda dan mana tertawa yang meremehkan. Aku itu hanya menggodamu supaya kau marah. Bukannya menertawakanmu dalam konotasi yang buruk seperti menghina atau apa pun."

Gebi mengangkat wajahnya menatap Kaffi. Matanya sedikit berkaca-kaca.

"Maafkan aku," ujar Kaffi pelan.

Gebi akhirnya mengangguk lalu Kaffi tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke wajah Gebi. Spontan. Gebintang menahan napasnya mendapati wajah Kaffi di depan biji matanya.

"Jangan menangis. Karena kau sangat buruk rupa. Apa kau tidak malu pada Keiko dan Justin? Mereka bahkan melihat ingusmu. Itu menjijikan!" bisik Kaffi tepat di telinga Gebi.

Asap-asap keluar dari kuping Gebi.

"SELANGKANGANMU YANG INGUSAN!!" teriak Gebi, keras.

Kaffi spontan memundurkan kursiinya, kaget bercampur malu menjadi pusat perhatian orang-orang. "Bodoh! Pelankan sedikit suaramu. Orang-orang melihat kita," bisiknya.

"PEDULI SETAN DENGAN ORANG-ORANG," teriak Gebi, sengaja membuat Kaffi semakin malu.

"Ish. Kau ini!" cibir Kaffi, menjitak lutut Gebi dengan buku-buku jarinya. “Kalau orang-orang pikir maniku ecer, bagaimana? Kau juga yang malu!”

"Kalian kenapa?"

Keiko dan Justin sudah berdiri di samping mereka. Mengernyit heran dapati Kaffi bicara bisik-bisik.

"BUKAN URUSAN KALIAN" jawab Gebi. Sontak, Keiko memeluknya.

"Maafkan aku, Gebi. Aku tidak berniat menertawaimu. Aku benar-benar merasa buruk. Kau masih mau berteman denganku, kan?"

"Aku juga, sorry,“ tindih Justin, sambil memegang bahu Gebi. “Aku menyesal sudah melakukan itu padamu.”

Kaffi bangun. "Ya. Bagaimanapun, kita bertiga sudah membuatmu kesal. Maaf."

Gebintang menatap ketiganya bergantian. "Kalian sedang syuting drama?” sindirnya. "Kenapa tidak sekalian saja kita saling merangkul dan bilang berpelukaaaaaaan?" cibir Gebi. Melepaskan satu demi satu sentuhan aneh di tubuhnya. Dia berdiri kemudian menatap Kaffi dengan penuh cibiran. “Dan kau, Tingky Wingky Cina yang terkutuk!" tunjuk tepat di jidat Kaffi. Lantas, melongos pergi Begitu saja membiarkan Keiko dan Justin terpingkal-pingkal dapati muka memerah sahabat mereka.

***

Hari ini adalah hari ketiga mereka berada di kapal pesiar. Sore nanti, pesta peresmian kapal akan diadakan. Sejak pagi, seisi penjuru kapal terlihat sibuk mempersiapkan diri menyambut acara puncak yang sudah di tunggu-tunggu. Sebagian dari mereka, berbelanja di outlet-outlet fashion merek terkenal yang tersedia. Sebagian yang lain juga memenuhi deretan tempat SPA dan salon kecantikan. Tidak terkecuali dengan Gebi. Dia diajak Keiko untuk melakukan perawatan tubuh. Dengan antusiasnya dia mengikuti. Setelah itu, mereka baru kembali ke kamar masing-masing ketika mulai sore dan berjanji akan bertemu lagi di pesta malam nanti.

Kaffi sudah tampil rapi dengan tuxedo miliknya. Sejak tadi, dia mondar-mandir di depan pintu kamar mandi menunggu Gebi yang sedang ganti baju.

Beberapa menit kemudian, wanita itu keluar dengan menggunakan gaun panjang. Penuh bling-bling dan menyala. Bunga-bunga besar tersebar di bahu. Gaun itu terlihat kecil di bagian paha Gebi, dan daerah dada yang mengendur.

Gebi merona karena mendapati tatapan Kaffi yang sedikit syok. Mata sipitnya bahkan melebar dengan mulut yang menganga.

"Hahaa lihat sekarang dia terpesona padaku." Tawa Gebi membahana di hati.

"Bagaimana penampilanku?" tanya Gebi, menggoda.

Kaffi mengerjap beberapa kali. "APA KAU GILA??" bentaknya keras. Gebi melonjak kaget sampai terduduk di atas ranjang dan menyapu dadanya

"Astaga... kau mengagetkanku. Astagaaa." Gebi mencoba menguasai diri. "Ada apa?"

"Apa kau mau membuat dirimu malu? Kau mau jadi bahan tertawaan orang lagi? Kau lihat bajumu itu, astagaa! Seperti waria gila! Dan apa ini?" Kaffi memegang bunga besar di bahu Gebi. "Demi Tuhan! Jangan membuat orang-orang ketakutan saat melihatmu dengan baju ini. Kau benar-benar seperti wanita—"

Kalimat Kaffi terhenti ketika melihat raut wajah Gebi yang berubah. Kaffi sadar, ucapannya mungkin menyakiti wanita itu. Walaupun sebenarnya tidak ada niat sedikit pun untuk membuatnya tersinggung atau sakit hati. Kaffi hanya tidak suka melihat Gebi berpenampilan aneh dan akan memalukan dirinya sendiri. Dia tidak rela jika istrinya jadi pusat tatapan heran orang-orang nanti.

"Apa aku memalukan?" Suara Gebi bergetar.

Kaffi membuang napas. Telunjuknya menggaruk kecil ujung alis. Lalu dia mendekati Gebi di ranjang.

"Jangan pakai baju itu. Itu aneh dan menyengat mata. Dan itu akan membuatmu ditertawakan, kau dengar?" Suaranya melembut. "Ganti bajumu dengan yang lain. Aku akan menunggumu di depan pintu.”

Gebi merunduk. “Aku tidak bawa baju lain. Kau ... pergi saja. Aku lebih baik tidak ikut," tolak Gebi pelan. Dia berusaha memasang wajah datarnya.

Kaffi tau Gebi sedang sedih. Bagaimanapun, Gebi sangat antusias menghadiri pesta itu. Dari siang, dia terus mengoceh tentang busana yang akan dia pakai malam ini. Tentang dirinya yang pasti akan gugup karena bertemu dengan orang-orang penting. Gebi bahkan sudah mengisi daya ponselnya agar bisa mengambil foto sebanyak mungkin dan memamerkan pada teman-teman kantornya nanti.

"Kalau begitu, lupakan pesta itu," putus Kaffi. "Ayo kita pergi karaoke saja di dek atas."

"Tidak, Kaff! Kau pergilah. Bukankah hari ini juga sangat penting untukmu, karena kau juga akan meresmikan kerja sama firma hukummu dengan perusahaan Prixma, kan?" Gebi tersenyum melihat raut wajah Kaffi yang terlihat khawatir.

"Pergilah. Aku akan menunggumu. Dan ingat, makanlah apapun yang ada di sana! Jangan kembali dengan perut kosong dan menyuruhku memasak. Kau ingat? Aku akan mencekikmu kalau itu terjadi" gurau Gebi, menutup rasa sedihnya.

Kaffi meniti mata Gebi. Ada guratan sedih yang jelas-jelas terpancar di sana. "Kau tidak apa-apa aku tinggal?" tanyanya memastikan.

"Astaga, kau menghawatirkanu karena kau sudah mencintai istrimu ini dengan sungguh-sungguh, kan?”

"Jangan konyol!" dengus Kaffi yang langsung membuat Gebi terbahak.

Mau tak mau Kaffi tersungging. Dia lega wanita gilanya ini sudah kembali ceria.

"Ya sudah sana pergi!" dorong Gebi di bahu Kaffi.

"Baiklah tunggu aku. Ini tidak akan lama."

"Ya.''

Begitu menutup pintu, Gebi menghembuskan napas pelan. Dia memegang dadanya yang sesal. Kenapa sesakit ini? Kenapa keadaan seolah-olah tidak sudi mengijinkannya diakui sebagai istri Kaffi?

Gebi hanya ingin ada di sana. Bersama Kaffi, mendampinginya. Tidak masalah bila tidak ada genggaman, gandengan tangan, ataupun rangkulan. Bahkan bila Kaffi terus-terusan mencibirnya sekalipun, Gebi tidak apa-apa. Asalkan dia diperkenalkan sebagai istri Traymond Kaffiar. Itu saja.

Apakah salah wanita biasa-biasa saja seperti dirinya bersuamikan seorang seperti Kaffi? Apakah salah manusia tanpa reputasi seperti dirinya berdampingan seseorang segemilang Kaffi?

Kenapa harus serumit ini?

Kaffi tidak pernah menyembunyikannya. Tapi, Gebintang terus-terusan merasa tersembunyi. Harus sampai kapan dia begini? Harus berapa lama dia cukup puas dengan status sebagai sepupu saja?

Gebi membuka kostum aneh itu lalu menggantikan dengan jeans dan kaos oblongnya. Dia berdiri di depan cermin dan menatap bayangannya. Senyum getir menghiasi wajah Gebi setelah mengamati penampilannya sendiri di pantulan kaca.

"Memang bukan di sana tempatku, kan?" bisiknya lirih. “Aku sebatas istrinya di rumah. Tidak di tempat-tempat lain.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro