Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TMRC - Dua Puluh Satu - Jawaban & Keputusan

Tenang aja, ebook-nya akan langsung kurilis setelah aku ngepost bbrp bab lagi. Pkonknya aku cut di bab yg tepat. Kalo yang di Google Play Book, mungkin tunggu versi layout. Krn upload di sana harus rapi. Nggak bisa alakadar. Malu😆
Tapi yg versi pdf, bisa langsung kujual, kok. Habis itu, cerita ini langsung kutarik dari Dunia Oren ini krn udah gak sesuai dgn prinsip menulisku. Dan nggak relate dgn kenyataan duniawi zaman sekarang. Wkwk.

***


Malam ini Gebi duduk di meja makan dalam keadaan gelap gulita. Tidak ada lampu yang dinyalakan di dalam ruangan itu. Satu-satunya penerangan yang ada hanya cahaya lampu taman yang menerobos lewat pintu kaca. Wine-nya sudah habis menyisakan es batu di gelas kristal. Dengan telunjuknya, Gebi memainkan kotak es itu sehingga menimbulkan bunyi-hal konyol sederhana yang cukup menghiburnya.

Gebi menuang untuk gelas kelimanya lalu meneguk dalam sekali napas. Terus seperti itu sampai menghabiskan bergelas-gelas.

Gebi sudah bosan menangis meratapi diri. Mungkin sedikit asupan alkohol dapat membantunya melupakan masalahnya sesaat. Gebi bahkan ingin hilang ingatan. Sudah habis cara untuk menenangkan pikirannya yang kacau balau.

"Sial. Kenapa ingatan itu masih ada di kepalaku!" gumamnya tidak jelas. Meskipun lidahnya sudah kelu, dan dunia terasa berputar, tapi kesedihan itu tidak pergi begitu saja.

Tidak cukup dengan sakit hati dan kekecewaan karena sikap Kaffi, Putri menambahkan lagi satu daftar pikiran Gebi dengan memberikan pilihan sulit untuknya. Kalau sudah begini, Gebi rasanya ingin dikubur hidup-hidup saja. Terlalu lelah menanggung beban pikiran.

Dengan kepala yang semakin memberat dan pening. Gebi mengangkat botolnya tinggi-tinggi lalu mencurahkan isi botol itu ke wajahnya hingga membuat cairan merah itu tumpah ruah ke wajah dan merembes sampai ke lehernya.

Praaaaaaang.

Gebi membanting botol itu keras-keras. Ada rasa lega yang lolos ketika melihat botol itu pecah menjadi puing-puing di lantai. Itu mengingatkan Gebi pada hatinya yang sudah hancur dan tak berbentuk lagi saat ini. Lalu ketika ia meneguk botol kedua, setengah isinya hampir lolos ke perutnya, Gebi merasakan botolnya direbut paksa dari dalam genggaman.

Dengan mata sayu, Gebi mengangkat wajah. Kaffi di sini. Berdiri disampingnya. Gebi tidak bereaksi apa-apa ketika Kaffi mengambil botol-botol di atas meja dan membuangnya ke dalam kotak sampah di sudut meja pantry.

Ruangan terang-benderang. Gebi sampai harus menghalau cahaya yang menusuk matanya. Sampai penglihatannya sudah terbiasa, dia mendapati Kaffi sudah berdiri dengan satu tangan yang dimasukan ke saku celananya. Walaupun sedang mabuk berat, Gebi bisa menangkap dengan jelas apa ekspresi Kaffi saat ini. Pria itu terlihat marah. Sangat sangat marah.

"APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN SEMUA MINUMAN INI!?" teriak Kaffi keras hingga urat-urat seketika tercetak dengan jelas di lehernya.

Gebi diam.

"Kau tau? Aku benci ada alkohol di rumahku!" Suara kaffi turun beberapa oktaf, namun tetap penuh penekanan. "Kalau kau ingin minum, pergi saja ke kelab. Dan kau bisa mabuk sesukamu. Kenapa mengotori rumahku dengan benda seperti ini?"

Gebi tertatih-tatih berjalan ke arah Kaffi, setelah dirasakannya jarak antara mereka cukup dekat. Gebi membungkukan badannya memberi penghormatan pada pria itu.

"Maafkan aku." Gebi menegakkan lagi punggungnya. "Aku ... banyak pikiran. Maafkan aku sudah mengotori rumahmu."

Kaffi menatap gebi lekat-lekat, tanpa diberitahu pun dia tau apa yang sedang dipikirkan gadis didepannya saat ini. "Sudah kuduga, ini tidak mudah bagimu. Kau dan semua keras kepalamu itu!"

Gebi mengusap wajahnya berkali-kali, efek minumannya baru terasa. Walaupun begitu dia masih cukup sadar untuk sekedar mendengar dan memahami semua perkataan Kaffi.

"Kalau kau terluka, kau bisa menyerah. Jangan terus-terusan menyiksa dirimu dengan pernikahan ini. Jangan baik padaku," ucap Kaffi lagi.

Gebi memukul-mukul dadanya. "Sialan! Minuman ini benar-benar tidak bisa membantuku mengurangi sakit hatiku," gumam Gebi yang menganggap bahwa dirinya sedang berbisik saat ini. Padahal ucapannya terdengar lantang dan bahkan bisa didengar orang walaupun dalam radius 10 meter darinya.

Gebi benci memelihara kesedihan. Tapi dia tidak bisa pergi dari pernikahan ini. Ada Tuhan, dan keluarga yang pasti merasa diingkari bila dia menyerah. Dia bahagia beberapa bulan belakangan, dan hanya terluka baru-baru ini. Pernikahan bukan sesuatu yang gampang ditinggalkan dalam sekali luka. Hanya manusia gila yang melakukan itu.

Dengan susah payah karena lidah yang kelu, Gebi berujar, "Jangan menyuruhku menyerah. Jangan pernah minta aku untuk pergi. Karena aku ... sampai kapan pun, akan menunggu sampai segalanya membaik."

Keras kepala! Seperti biasa Gebintang masih bersikukuh dengan keyakinannya. Kaffi bahkan tidak yakin dengan ucapan gadis itu. Menunggu? Dengan semua luka dan rasa sakit yang terus-terusan Kaffi beri untuknya? Apa Gebi bisa?

"Kau..." Kaffi diam beberapa saat memberikan jeda yang cukup lama. Matanya beradu dengan mata Gebi yang sudah berkaca-kaca tapi dibuat-buat tegar. "Tidak akan ada yang kau dapat dariku walaupun kau menghabiskan seumur hidupmu untuk menungguku. Aku ... tidak bisa menjanjikan apa pun."

Mati-matian Gebi menahan bulir-bulir air mata yang sudah menggantung. Menangis di depan Kaffi adalah ide buruk. Pria itu mungkin hanya melihat pernikahan dari satu poros saja. Dia sudah belajar dari kliennya tentang menyerah dan mengakhiri dalam perceraian. Tapi, dia tidak pernah belajar tentang usaha dan bertahan dalam rumah tangga. Akan Gebi tunjukan poros berbeda.

"Tidak apa. Aku tidak butuh apa-apa darimu. Aku akan menunggumu walaupun aku tidak mendapatkan apa pun."

Dengan langkah gontai gebi meninggalkan Kaffi.

Braaaaang.

Suara benturan keras mengagetkan Kaffi. Gebintang sedang memijat jidatnya yang terbentur bingkai pintu kaca.

"Kenapa kau juga ikut-ikutan menyakitiku?" seru gadis itu pada pintu.

Lalu dengan susah payah, dia tertatih-tatih menuju kamar. Gebi bahkan menaiki tangga kamar dengan merayap. Dia tidak mampu lagi menopang kakinya untuk sekadar berjalan. Akhirnya Gebi menghamburkan dirinya di lantai dan tertidur begitu saja.

Dari jauh, Kaffi hanya mampu menyaksikan pemandangangan tadi dalam diam. Dadanya ikut sesak. Seperti halnya Gebi, Kaffi juga merasakan rasa sakit yang sama di hatinya saat dia harus melukai Gebi dengan sengaja.

Kaffi terluka dengan ucapannya sendiri. Sedih dengan tingkahnya sendiri. Bahkan ikut berkaca-kaca saat melihat Gebi yang begitu keras kepala. Kaffi berucap dalam hati mengingatkan dirinya untuk tidak luluh pada perasaan kasihan. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini hanya sedikit dari konsekuensi yang akan dihadapinya dari pernikahan pura-pura ini. Dia tau saat ini, perasaannya kepada Gebi hanya sebatas Iba. Ya, bagaimanapun mereka sudah satu tahun menika. Dan rasa-rasa seperti itu pasti akan muncul. Namun Kaffi memilih untuk mengabaikan perasaan-perasaan aneh itu dan fokus pada prinsipnya. Dia tidak butuh orang lain untuk hidupnya. Tidak butuh pendamping, tidak butuh teman hidup atau apa pun yang mengerikan itu. Seorang istri hanya akan merusak ketenangan hidupnya. Apalagi jika mereka rewel dan meminta waktunya untuk terus-terusan berada di samping mereka, itu adalah perenggut kemerdekaan. Kaffi rasa, jika dia menikah betulan, dia pun akan berakhir dengan perceraian. Orang-orang menikah untuk bercerai. Itu terbukti adanya.

Beberapa menit setelahnya, Kaffi menyusul Gebi ke kamar. Dia mengamati Gebi yang tertidur di lantai. Hati Kaffi terenyuh saat melihat air mata yang masih berjatuhan dari sudut-sudut mata Gebi padahal gadis itu sudah tertidur. Kaffi lalu duduk disamping Gebi. Merapikan anak-anak rambut gadis itu. Dilihatnya memar di jidat Gebi yang semakin membiru.

Dalam tidurnya, Gebi meringis saat telunjuk Kaffi menyentuh pelipisnya.

"Jangan lukai dirimu karena aku." Dengan ibu jarinya, Kaffi mengusap air mata Gebi yang meleleh melewati sudut mata dan jatuh ke pangkal hidung gadis itu. "Aku tidak bisa menjagamu. Jadi, jagalah dirimu sendiri."

***

Bunyi dering telepon menggagetkan Gebi. Hal pertama yang dirasakannya saat bangun adalah kantong kemih yang terasa seperti akan pecah sebentar lagi. Ggbi berlari ke kamar mandi dan melepaskan semuanya. Perutnya seperti diaduk-aduk hebat. Gebi memuntahkan semua isi perutnya ke water closet lalu menyalakan shower dan mengguyur dirinya yang masih berpakaian lengkap dengan air dingin. Ia sengaja berlama-lama agar rasa pening di kepalanya sedikit berkurang.

Setelah membersihkan diri, Gebi menuju pantry dan mengisi perut laparnya dengan makanan sisa semalam. Seperti biasa Gebi menghidupkan teve, ia langsung disuguhkan oleh pemberitaan tentang konferensi pers Kaffi dan Keiko. Ia memindahkan saluran, dan masih mendapati berita yang sama. Sialnya, di chanel yang ini, Gebi malah diperlihatkan potongan wawancara Kaffi dan Keiko yang sedang tersenyum dan menampik kabar kedekatan mereka. Selanjutnya Kaffi yang dielu-elukan karena berhasil membebaskan sekaligus membersihkan nama Keiko dari kasus yang menjeratnya. Selanjutnya diisi dengan rumor yang menyatakan bahwa mereka berdua kini tengah menjalani hubungan. Gebi sontak mematikan teve. Cukup sudah untuk hari ini, dia mual mendengar semua kabar itu.

Dalam hatinya Gebi bertanya apakah Kaffi benar-benar tidak mempunyai sedikit perasaan kasihan kepadanya? Kenapa mereka hadir di berbagai acara dan menampik kedekatan mereka tapi bahasa tubuh mereka justru mengisyaratkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta satu sama lain?

"Kau sudah menolak kesempatan bagus bekerja di stasiun teve suasta itu. Dan sekarang kau juga menolak beasiswa ini? Kenapa, Geb? Apa ini gara-gara Kaffi? Dia bahkan tidak peduli padamu! Kenapa kau harus memikirkan dia? Berhenti mengorbankan dirimu untuk orang yang selalu mengacuhkanmu. Yang tidak menganggapmu ada!"

"Kalau kau terluka, kau bisa menyerah. Jangan terus-terusan menyiksa dirimu dengan pernikahan ini."

"Kau punya masa depan yang bagus, Geb. Jangan menghabiskan waktumu sia-sia dengan pernikahan aneh itu! Kau bisa mati beridiri jika terus-terusan bertahan!"

"Tidak akan ada yang kau dapat dariku walaupun kau menghabiskan seumur hidupmu untuk menungguku."

Sekelebat ucapan putri dan kaffi terputar berkejaran di kepala Gebi. Dia memijat kepalanya yang semakin pusing memikirkan apakah sudah saatnya dia membuat keputusan? Gebi tidak mau ceroboh. Dan tidak bisa juga bertahan lebih lama lagi untuk ini. Semua pemberitaan kedekatan Kaffi dan Keiko, semua sikap dan ucapan Kaffi yang menyakitinya, semua usahanya yang dirasakannya mulai sia-sia. Lukanya yang semakin terasa perih dalam pertahanannya. tekanan Putri. Apakah semua itu cukup untuk mengambil sebuah keputusan? Bagaimana dengan janjinya untuk bertahan? Rasanya baru beberapa jam yang lalu dia yakin akan pilihannya untuk bertahan. Namun saat ini dia meragukan keyakinannya sendiri.

***

Di depan gedung apartemennya, Keiko menunggu Gebi dengan tidak sabar. Senyum gadis itu mengembang di wajah cantiknya. Sesekali, dia bersenandung kecil memikirkan hal yang akan dilakukannya. Keiko melambaikan tangan begitu melihat Gebi turun dari taksi. Tanpa menunggu lama. dia menyeret Gebi langsung masuk ke apartemennya.

"Mau minum sesuatu, Bi?" tawar Keiko, antusias.

"Boleh."

Keiko mengambil dua kaleng softdrink lalu menyuguhkan pada Gebi. Ia duduk di sebelah gadis itu.

"Terima kasih sudah mau datang ke sini. Utunglah kau bersedia membantu."

Gebi tersenyum tipis. "Lalu? Apa yang harus kita lakukan?"

"Kau ingat? Dua minggu lagi ulang tahun Kaffi. Aku berencana akan membuatkan pesta kejutan untuknya."

Gebi tercengang. Dia bahkan tidak mengingat kapan ulang tahun Kaffi. Ironinya, Keiko yang mengingat semuanya. Satu lagi daftar yang membuat Gebi kalah saing.

"Jadi, apa yang harus kulakukan untuk membantumu?" tanya Gebi tidak sabar.

Keiko tersenyum misterius dan menceritakan semua ide yang ada di kepalanya pada Gebi. Ide yang membuat Gebintang bungkam seribu bahasa. Ia hanya mendengar dan mengatur hatinya yang bergemuruh hebat. Melihat semangat Keiko, pancaran matanya, senyum tulusnya, membuat Gebi mendapatkan sebuah pencerahan untuk masalahnya.

Ya, sore itu ada hati layu yang menolak untuk tumbuh dan diam-diam menyerah pada sebuah hati yang baru merekah indah.

Ada langkah yang tiba-tiba harus terhenti dan kalah oleh langkah kaki lain yang mendahuluinya

Ada keyakinan yang sudah mati terkubur luka dan terpinggirkan oleh keyakinan baru yang lahir oleh cinta.

Sore ini, Gebi sudah mendapatkan alasan dan jawabannya. Rasanya, semua sudah harus berhenti. Gebi sudah mendapatkan kemenangannya sendiri dengan cara mengalah pada hati lain yang jatuh cinta. Kalau bukan dengan dirinya Kaffi belajar, maka pria itu akan belajar dari wanita lain.

***

Tiga hari berlalu begitu saja setelah pembicaraan Keiko dan Gebi waktu it. Gebi sendiri menjadi semakin pendiam akhir-akhir ini. Tidak pernah lagi berusaha memulai pembicaraan apa pun dengan Kaffi. Jika Kaffi sedang di kamar, maka Gebi akan duduk di ruang teve berjam-jam. Dan jika Kaffi sedang di ruang teve, maka Gebi akan menghabiskan waktunya di taman. Bila kebetulan mereka berada di ruangan yang sama, Gebi selalu pura-pura tertidur untuk menghindari interaksi.

Gebi memegang kalender kecil. Beberapa kali ia membolak-balikkan halaman. Matanya dipicingkan dan mulutnya komat-kamit menghitung sesuatu. Setelah itu, dia tersenyum dan mengangguk-angguk lalu meletakan kalendernya begitu saja dan menarik selimutnya sampai menutupi dada. Mata gebi memandang bentangan langit malam dengan kelap-kelip bintang. Ya, saat ini Gebi sengaja tidur di dipan kayu di tengah taman rumah mereka.

Gebi menyesal baru melakukan hal ini dua hari belakangan ini. Ternyata seperti ini rasanya tidur beratapkan langit malam. Ditemani udara dingin. Gebi merasa seperti seseorang yang baru dibebaskan dari sebuah lorong kecil sejak terimpit bertahun-tahun lamanya.

Lega.

Bebas.

Bintang....

Cantiknya hanya terpancar jika terpasang di atas bentangan langit malam yang gelap. Bintang dimusuhi pagi. Karena pagi menyukai matahari.

Itu sebabnya Bintang tidak akan pernah pantas untuk langit biru yang indah. Karena bintang hanya seperti itu: bersahabat dengan malam, bercengkrama dengan kegelapan.

***

Gebi duduk di sebuah dermaga kecil di atas laut. Kakinya dibiarkan tergantung menyentuh air laut yang sedang pasang. Rambut panjangnya di terpa angin sore yang sudah bercampur dengan bau laut-bau yang selalu disukainya.

Sudah lama Gebi tidak ke tempat ini. Dulu, setiap akhir pekan, biasanya dia suka menghabiskan waktunya bersama Putri, Zero, dan Bumi. Lalu mereka akan memancing atau bahkan mengobrol semalaman.

Bukan tanpa maksud Gebi datang ke tempat ini. Dia sedang menunggu Putri untuk bicara. Mereka sudah tidak bertemu berminggu-minggu. Gebi rindu pada sahabatnya itu.

Derap kaki mendekat. Yang ternyata milik Putri. Gebi lantas tersenyum, menepuk bentangan kosong di sampingnya. Dengan wajah setengah malas, Putri mengikuti instruksi.

"Syukurlah kau datang."

Wajah Putri masih ditekuk tak bersahabat. "Terpaksa!" jawabnya ketus.

Gebi terkekeh pelan lalu merangkul bahu Putri. "Terima kasih. Kalau bukan karena kata-katamu waktu itu, sekarang aku pasti masih mengurung diri di rumah menunggui pria itu dan menangisinya yang tidak pulang."

Putri melirik Gebi tidak mengerti dengan arah pembicaraan sahabatnya ini.

"Put. Kau siap berjauhan denganku?"

"Maksudmu?"

"Ish!" Bahu Putri dicubit. "Kau siap, tidak, berjauhan denganku?" ulang Gebi dengan nada suara meninggi.

"Aku tidak mengerti, Geb."

"Kau ini!" Gebi mendorong kepala putri keras. Tapi ketika dilihatnya mata Putri melotot galak. Gebi langsung terkekeh dan memeluk Putri lagi. "Aaaaahh. Aku akan rindu bertengkar denganmu!"

Putri tidak tahan lagi dengan kalimat-kalimat Gebi yang ambigu. "Sebenarnya kau ini kenapa? Hah?" Suaranya meninggi. "Kau membuatku takut dengan sikapmu sore ini. Kau tidak berencana bunuh diri, kan? Atau kau divonis kangker otak? Miningitis?"

"Selangkanganmu yang miningitis!!" umpat Gebi. Sseringai jahil muncul di wajahnya. Dia tersenyum lebih lebar lagi lalu mengambil sesuatu di ranselnya dan menyerahkan pada Putri. Dengan kening berkerut, Putri merebutnya.

"Pasport?" tanya Putri bingung.

Gebi mengangguk. Putri memiringkan wajahnya dia mulai menangkap maksut Gebi. Ditatapnya sahabatnya itu dengan ekspresi penuh tanya yang langsung dijawab Gebi dengan senyuman dan anggukan pasti.

"Kau pasti bercanda!" cecar Putri tidak percaya.

Gebi menggeleng cepat.

"SERIOUSLY??"

"Ya."

"Huaaaaaa Gebintaaang!" Putri memeluk Gebi erat. "Ini baru sahabatku!" teriaknya kencang.

Gebi balas memeluk putri. "I'll be miss you."

"Aku juga. Akan sangat sangat merindukanmu." Putri sudah mulai menangis terharu.

"Ugh, jangan menangis! Aku sudah tidak punya air mata lagi untuk berduet menangis denganmu sekarang!"

Yang ditegur menyapu air matanya penuh haru.

"Tunggu." Putri melepaskan pelukannya. "Kapan kau berangkat?"

"Untuk trip pertama, tiga minggu lagi. Tapi, untuk trip kedua, masih sekitar dua bulan ke depan. Aku ikut trip yang kedua, karena masih ada yang harus kuurus."

Wajah Putri berubah sedih saat melihat sahabatnya tiba-tiba bersemangat. Dia tau Gebi pasti melalui hari-hari yang berat sampai bisa mengambil keputusan besar seperti ini.

"Kau begini gara-gara aku, ya, Geb?"

Tanpa diduga-duga, Gebi malah tertawa keras menanggapi. "Kau gila? Haha. Tidak! Ini bukan karenamu. Ini karena keinginanku sendiri. Aku lelah dengan hidupku yang monoton di samping laki-laki itu. 16 bulan ini, sudah cukup. Aku tidak akan berkembang bila terus berada di sisinya. Tapi, sudahlah. Aku kesini bukan untuk membahas dia." Gebi membuka ranselnya dan mengeluarkan snack, dan beberapa minuman ringan yang dibawanya. "Kita harus bersenang-senang. Put. Ayo buncitkan perut kita!"

Putri memekik senang. Dalam sekejap, keduanya langsung tenggelam dengan berbagai obrolan mereka.

***

Masuk ke rumah, Kaffi melonggarkan dasi. Keadaan di dalam gelap total. Tidak ada penerangan satu pun bahkan dari taman. Dia meraba-raba dinding, temukan sakelar. Lampu ruangan itu tidak juga menyala. Karena berpikir, mungkin saja, ada kerusakan pada kontak lampu di ruangan tamu, Kaffi menuju pantry. Dia pikir, sakelar di sana berfungsi dengan baik. Ternyata, hal serupa terjadi. Lampu itu tidak bisa dinyalakan. Dibantu ponsel, Kaffi mengecek gardu listrik yang terletak di samping rumah.

Begitu menggeserkan pintu kaca. Kaffi heran melihat lilin-lilin kecil di atas rumput taman. Dengan ragu, dia mendekat. Hal pertama yang dilihatnya di sana adalah arah panah yang berada tepat di tengah apitan barisan lilin tersebut. Mau tidak mau, Kaffi mengikuti jalan itu yang ternyata membelok ke arah taman besar di samping rumah.

Kaffi mengernyit ketika melihat ujung dari jalan ini yang berbentuk sebuah hati. Di tengahnya berdiri seseorang. Menggunakan jubah hitam, dan membelakanginya. Kaffi yang sangat tidak suka dengan permainan-permainan aneh seperti ini langsung berjalan mendeka. Dia harus berhenti karena mendapti tulisan stop yang tertulis di sebuah kertas kecil di rumput. Mau tak mau, Kaffi berhenti dan menunggu.

Sebuah lampu menyala tepat di belakang sosok itu. Tidak, itu bukan lampu biasa. Kaffi bisa melihat itu adalah rangkaian lampu yang membentuk sebuah huruf I. Lalu, ttiba-tiba sebuah lampu di ujung sebelah kanan menyala lagi. Kali ini, membentuk sebuah huruf U. Kaffi menunggu dalam diam karena ada jeda waktu yang lama kali ini. Lalu detik selanjutnya, dengan durasi yang diperlambat, perlahan-lahan satu demi satu lampu yang diapit oleh huruf I dan U tersebut mulai menyala.

L O V E.

Alis Kaffi berkerut ketika membaca semua tulisan itu: I LOVE YOU.

"I love you?" ulangnya tidak mengerti.

Lalu sosok yang berdiri di tengah lilin berbentuk hati tersebut mulai bergerak. Pelan-pelan, dia berbalik. Tapi Kaffi tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup tudung jubah. Tangannya memegang sesuatu. Kaffi sampai harus memiringkan wajahnya mengamati sosok di depan.

"Gebintang?" sebutnya ragu-ragu.

Pelan tapi pasti, sosok itu melepaskan jubahnya. Kaffi langsung terpaku begitu mengetahui siapa orang di balik tudung itu.

"Kei?"

Keiko tersenyum dari jauh. Dia menyalakan lilin-lilin berbentuk angka 28 di atas tart yang lagi-lagi berbentuk hati. Setelah lilin itu menyala, Keiko terlihat gugup; menarik napasnya berkali-kali.

"Kaff, aku tidak mau bertele-tele karena kita adalah dua orang dewasa yang tidak pantas lagi bermain teka-teki perasaan." Keiko maju beberapa langkah. "Aku rasa kau sudah cukup bisa membacaku akhir-akhir ini. Jadi, kau mungkin sudah tau apa maksud dari semua yang aku lakukan malam ini. Jangan tanya kenapa, kapan, dan mengapa aku memilihmu. Aku hanya mempunyai satu jawaban untuk semua itu."

Keiko berhenti tepat di depan Kaff. Menatap lurus ke dalam manik mata pria itu. "Jawabannya adalah aku mencintaimu, Kaff. Selalu kau." Kali ini, wanita itu berjinjit dan mengecup pipi Kaffi singkat. Dia berbisik, "Happy birthday, lawyerku."

Kaffi mundur beberapa langkah bersamaan dengan bunyi petasan-petasan dan suara terompet yang mengagetkannya. Teman-teman kantor, dan para staf-nya muncul ramai-ramai membawakan sebuah kue ulang tahun berbentuk sebuah neraca yang menyimbolkan profesi Kaffi. Keiko tersenyum puas. Pesta kejutan ulang tahunnya sukses.

"So, bagaimana rasanya ditembak seorang penyanyi?" tanya seorang teman Kaffi.

Seorang lagi merangkul bahu Kaffi. "Selamat ulang tahun dan selamat untuk pertunanganmu."

Kaffi yang dari tadi hanya diam saja, menanggapi semua godaan teman-temannya dengan ekspresi tidak suka. Namun, Keiko gagal paham dengan ekspresi itu. Di matanya, Kaffi tampak lucu saat sedang malu-malu.

"Jadi, kalian langsung resmi bertunangan?"

"Sudahlah jangan menggoda kami," tegur Keiko. "Sekarang biarkan dia meniup lilinnya."

Dalam perasaan serba salahnya, Kaffi menurut saja ketika disuruh meniup lilin dan memotong kuenya. Potongan kue pertama otomatis diberikan pada Keiko yang sedang tersipu malu.

"Ciu. Cium. Cium!" celutuk para staf bersamaan.

Kaffi meraup kue dan melemparkan pada mereka. Lalu keiko yang melihat kejahilan Kaffi. jadi ikut-ikutan jahil dengan mengolesi wippy cream segenggam penuh ke wajah Kaffi. Setengah hati, pria itu membalasnya. Seketika taman itu riuh dengan olok-olokan para staf, teman kantor Kaffi yang melihat aksi romantis di depan mereka.

"Stop, Kaff," kata Keiko. Matanya sudah berair karena kebanyakan tertawa. Dengan napas tersengal, mereka duduk di kursi taman dan melihat para tamu yang sudah sibuk dengan makanan yang disiapkan Keiko dan Gebi sejak sore tadi.

Kaffi melirik Keiko. Ada rasa tidak enak di hati. Sejujurnya saat ini, Kaffi bingung bercampur takut. Bingung bagaimana memulai untuk menjelaskan pada Keiko. Dan takut kalau-kalau Gebintang mengetahui apa yang baru saja terjadi di rumah mereka saat ini.

Di sampingnya, jantung Keiko berdetak hebat. Dia masih malu dengan kejadian tadi. Kaffi belum menyinggung apa pun. Membuat Keiko penasaran dengan jawabannya.

"Kei, aku-"

Ucapan kaffi bertepatan dengan Keiko yang tiba-tiba berdiri.

"Maaf. Kaf. Aku ke toilet sebentar."

Kaffi mengangguk. Ditatapnya punggung keiko yang menghilang di balik pintu kaca. Lalu, dia memegang pipi, tepat di mana Keiko menciumnya tadi. Tanpa sadar, Kaffi menghapus pelan bekas ciuman itu. Kaffi menyesali keputusannya yang lebih memilih diam dan menyembunyikan statusnya di depan Keiko dan teman-teman kantornya. Ternyata, diam tidak selamanya emas. Diam juga bisa menyeret dia ke situasi sulit seperti saat ini.

"Ada apa? Kau tidak jadi ke toilet?" tanya Kaffi ketika melihat Keiko kembali.

"Mereka sedang mengantri memakai toiletnya."

"Kau benar-benar butuh toilet saat ini, Kei? Tidak bisa ditunda?"

Keiko tertawa mendengar pertanyaan polos Kaffi. "Kau ini!" Dia tunjukan penampilannya yang sudah berantakan dengan wippy cream yang memenuhi wajah dan rambutnya.

Kaffi berpikir sebentar.

"Uhm. Pakai toilet kamarku saja, Kei," ajak Kaffi sedikit ragu.

Pipi Keiko langsung memanas mendengar ajakan itu.

"Toilet yang menghadap ke Utara. Hati-hati, jangan pipis di ruang kerjaku!" gurau Kaffi. Dia mengantarkan Keiko sampai ke tangga kamarnya.

Keiko menanggapinya dengan debaran dan senyuman kecil. Kakinya lemas ketika menginjakan kaki ke kamar itu.

***

Wangi lembut menyeruak ke dalam paru-paru Keiko saat dia masuk ke kamar Kaffi. Keiko tersenyum melihat interior kamar yang menurutnya sedikit girly untuk ukuran seorang pria. Mata Keiko terbelalak kaget, mulutnya terbuka lebar begitu melihat ranjang besar dengan sprei bermotif Cinderella. WHAT? Keiko mengucak matanya berkali-kali. Memastikan penglihatannya. Cinderella?? Dibekap mulutnya, lalu tertawa terbahak-bahak. Tidak disangka, pria semaskulin Kaffi mempunyai selera yang agak beda dari karakternya. Keiko jadi berpikir mungkin saja pria ini mengagumi kecantikan si tokoh Disney tersebut.

Begitu masuk ke kamar mandi, Keiko terpingkal-pingkal lagi mendapati jubah mandi berwarna pinl dengan motif floral. Apakah kaffi semanis ini? Menuju arah wastafel, dahi Keiko berkerut dapati satu per satu keanehan. Ada dua sikat gigi berwarna pink dan biru. Juga, beberapa peralatan mandi dan sederet produk pembersih yang keiko sangat tau adalah milik perempuan.

Tidak aneh memang jika seorang pria memakai produk wanit. Hanya saja, tidak mungkin kaffi menggunakannya bersamaan dengan produk pria lainnya. Di sini jelas-jelas ada dua jenis produk. Kemudian Keiko menangkap sesuatu di dalam keranjang pakaian kotor, di sudut kanan kamar mandi.

"Bra? Apakah itu bra?"

Keiko mendekat ke arah keranjang tersebut untuk memastikan penglihatan. Selanjutnya, dia tertegun melihat semua isi keranjang pakaian yang kebanyakan berisikan pakaian wanita. Underwear seksi berbagai warna, bercampur dengan kemeja Kaffi yang Keiko ingat dipakai Kaffi beberapa hari lalu.

Tidak cukup sampai di situ, Keiko juga membuka kabinet kecil tepat di atas keranjang pakaian. Lagi-lagi ia menemukan beberapa bungkus pembalut dan sederet produk pembersih organ intim wanita. Keiko syock. Tiba-tiba, tubuhnya lemas. Berbagai pertanyaan berkecamuk ke dalam otaknya: apakah Kaffi mempunyai seorang pacar yang sering ia bawa ke sini?

Tidak. Itu jelas tidak mungkin! Beberapa bulan ini, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Dan Kaffi selalu terlihat seperti seseorang yang belum terikat hubungan apa pun dengan seorang wanita. Lalu ini semua milik siapa? Tentu bukan milik Kaffi. Keiko yakin, pria itu tidak memiliki penyimpangan, atau condong ke orientasi tertentu mengingat beberapa kali tidur dengan wanita-wanita cantik waktu mereka kuliah dulu.

Dalam sekejap, Keiko melupakan rencana awal untuk membersihkan diri. Dia keluar dari kamar mandi. Dan lagi, ia baru sadar melihat segala macam benda milik perempuan di meja rias: alat make up, parfum, semuanya milik wanita. Lalu dengan berani dia menggeserkan pintu lemari, lagi lagi dia terpaku melihat pemandangan di depan. Pakaian, tas, sepatu, aksesoris milik wanita memenuhi rak-rak itu.

Kepala keiko berdenyut seketika. Tubuhnya lemas. Baru beberapa menit lalu, dia menyatakan perasaannya pada Kaffi. Sekarang, apa yang dia dapatkan?

Keiko yakin Kaffi mempunyai teman wanita yang sudah hidup bersamanya. Dia tinggalkan kamar itu dengan air mata yang menggenang. Dengan pelan, dia menuruni tangga kamar dengan terseok-seok. Kaffi yang sedang menunggu Keiko di ayunan kayu terheran-heran dengan cara berjalan wanita itu.

"Kei." Kaffi memegang tangan Keiko. "Ada apa? Kau sakit?"

Keiko menepis tangan Kaffi. "Aku baik-baik saja. Aku mau pulang," jelasnya buru-buru. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya agar Kaffi tidak melihatnya.

"Kei, biar aku mengantarmu."

Lagi, Laffi memegang tangan Keiko. Kali ini, Keiko tidak bisa lagi menahan emosi. Didorongnya tubuh kaffi menjauh.

"Berhenti. Kaff." keiko mulai terisak.

"Ada apa, Kei?" tanya Kaffi bingung dengan perubahan mood Keiko.

Wanita Keiko tertawa getir dan menghapus air matanya. Dipandangnya Kaffi dengan tatapan luka. Saat ini, dia sangat malu dan juga merasa dibodohi habis-habisan.

"Kebaikan, perhatian, dan caramu melindungi aku selama ini, itu semua karena kau kasihan padaku kan, Kaff?"

"Apa maksudmu, Kei?"

"Tidak taukah kau, dengan semua perlakuanmu padaku, aku rasa seolah-olah diberi harapan baik olehmu?" Keiko mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke arah Kaffi. "Berhenti memberiku harapan kalau kau sudah memiliki seseorang dalam hidupmu," lanjut Keiko penuh luka.

Hening.

Kaffi masih terus berusaha mencerna setiap kalimat Keiko.

"Siapa, Kaff?"

Lelaki itu menggeleng. "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau bicarakan."

"SIAPA WANITA ITU? SIAPA WANITA YANG SUDAH HIDUP DENGANMU DI SINIII?"

Keiko meledak bersama isakannya. Dia tidak tahan lagi. Ingin sekali menampar Kaffi, namun, ia berusaha menahan keinginan frontalnya.

Kaffi membeku. Pejamkan mata setelah mengerti kenapa Kaiko bereaksi seperti ini. Padahal, dia memang akan menyampaikan semuanya malam ini. Tapi Keiko sudah tau lebih dulu. Kaffi menduga, Keiko sudah melihat barang-barang Gebi di dalam kamar mereka. Pelan-pelan, Kaffi mendekati Keiko tapi wanita itu sudah mengamuk duluan. Tangisnya pecah. Dia menyerang Kaffi dengan pukulan-pukulannya. Sementara Kaffi berusaha menenangkan Keiko dengan pelukannya. Setelah dirasakannya Keiko sudah cukup tenang, Kaffi menggiring Keiko ke ayunan kayu.

"Sudah lama aku ingin menjelaskan padamu. Tapi ak-"

"Jelaskan saja padaku. Jangan berbelit-belit!" potong Keiko.

Kaffi menatap lurus kedepan tidak berani menoleh. Dia tidak sanggup melihat Keiko saat ini. Bukannya kasihan, dia hanya merasa bersalah sudah membiarkan perasaan wanita ini sampai sedalam ini.

"Aku sudah menikah, Kei."

Keiko menatap Kaffi tidak yakin. "Kau... kau apa, Kaff?"

"Aku sudah menikah selama 16 bulan belakangan ini. Aku punya seseorang dalam hidupku. Aku bukan pria single lagi seperti yang kalian pikir. Aku sudah berkeluarga. Aku seorang suami."

Mata keiko terpejam bersama bulir-bulir air mata yang jatuh ke pipinya. Sungguh ini jawaban yang tidak ia duga sama sekali. Tadinya, Keiko pikir Kaffi hanya memiliki seorang kekasih yang hidup bersama. Kenyataanya, Kaffi sudah menikah. Dan usia pernikahannya bahkan sudah 17 bulan!

Napas Keiko tiba-tiba berat. Ia memegang dadanya yang mendadak nyeri. Bagaimana bisa Kaffi menyimpan semua ini begitu rapi darinya?

"Siapa Kaff? Wanita beruntung itu?" tanya Keiko di sela isakanya.

Wajah Kaffi tertunduk. "Kau kenal siapa dia."

Kali ini, Keiko menatap Kaffi tidak yakin. Tidak mungkin dia kenal dengan istri Kaffi. Diundang KE pernikahanya saja tidak. Bagaimana mungkin mengenal istrinya? Demi Tuhan, Keiko tidak pernah merasa dikenalkan Kaffi dengan siapa pun akhir-akhir ini

"Bagaimana mungkin aku mengenalnya, Kaff? Kau tidak pernah mengenalkan seseorang akhir-akhir ini. Kau pun tidak dekat dengan wanita mana pun. Hidupmu hanya tentang pekerjaan. Tidak mungkin, kan, wanita itu adalah teman kita waktu kuliah? Bukankah kau alergi komitmen, dan hanya menjadikan mereka teman tidurmu tanpa mau terikat?"

Kaffi tersenyum getir menanggapi pertanyaan beruntun Keiko. Dia menengadah wajahnya ke langit. "Dia tidak ada hubungan apa pun dengan masa laluku. Apa kau yakin, tidak melihat seorang pun wanita yang dekat denganku akhir-akhir ini?" tanya Kaffi hati-hati.

Wanita itu berpikir keras. "Kaff apa mungkin...," ucapan Keiko tergantung begitu saja. Di otaknya saat ini, hanya muncul satu nama. Tapi Keiko tidak yakin. Dia menatap Kaffi dan mencari jawaban di sana.

Ditatap seperti itu, Kaffi hanya mengangguk.

Keiko menutup mata dan memijat pelipisnya. Kepalanya pusing begitu mengetahui siapa orang yang dimaksud Kaffi.

"K-kenapa, Kaf? Kenapa kau tidak jujur padaku dari dulu?" Keiko mulai memukul dada Kaffi dengan histeris. Sementara Kaffi tidak bergeming. Dibiarkannya Keiko meluapkan emosi.

"Kau keterlaluan! Kenapa kau menyembunyikan ini padaku? Bagaimana aku bisa menghadapi Gebi dengan semua yang sudah aku lakukan padanya selama ini? Hikz. Dia bahkan yang memberiku ide untuk menyampaikan perasaanku dengan cara tadi, Kaff. Bagaimana ini? Ya, Tuhan. Aku... aku wanita paling jahat di dunia ini."

Kepala Keiko semakin berdenyut. Dia jatuh dan terduduk begitu saja. Refleks, Kaffi memeluknya. Tubuh itu melemah dalam pelukannya.

"Kei." Kaffi panik. Menepuk-nepuk pipi Keiko yang sudah pingsan. Mau tidak mau, dia membawa Keiko untuk dibaringkan ke ranjang. Kaffi mencari wewangian yang bisa mmanggil pulang kesadaran Keiko. Diambilnya cologne bayi milik Gebi. Dihirupkan pada keiko. Begitu membuka mata, tangis Keiko kembali meledak. Kaffi berusaha menenangkannya lagi.

Setelah memastikan Keiko sudah tertidur, Kaffi keluar menemui teman-temannya yang sepertinya sudah mengerti keadaan Kaffi. Tanpa diminta, satu per satu dari mereka pamit pulang. Kaffi kembali ke kamar untuk mengecek keadaan Keiko.

***

Pintu rumah dibuka Gebi. Dia terpana mendapati keadaan rumah seperti kapal pecah. Gebi tau mereka baru saja merayakan pesta ulang tahun. Sampai di taman, dia masih menemukan kekacauan di sana. Pintu kamar pun menganga lebar. ampai matanya menatap aneh pintu kamar yang terbuka lebar. Gebi naik ke tangga dan baru saja sampai di ambang pintu, dia mendapati Kaffi sedang duduk dan mengamati Keiko yang sedang tidur di ranjang mereka.

Gebi membeku beberapa saat. Dia tau tentang semua rencana yang dilakukan Keiko malam ini. Hanya saja, adegan ini tidak pernah diprediksi akan terselip dalam agenda pesta kejutan. Bagaimana bisa, Kaffi berani membawa Keiko ke kamar mereka? Ini bukan bagian dari komitmen pernikahan, tapi ini menyangkut dengan privasi. Apa sopannya mengajak teman, tidur di kamar keluarga mereka?

Gebi lalu mengusir perasaan kecewa. Dia lebih memilih untuk tidak lagi peduli dengan dua orang itu.

Kaffi terkesiap dan buru-buru bangun menjauh dari ranjang begitu dilihatnya Gebintang melewatinya begitu saja. Ada sedikit perasaan lega ketika melihat Gebi yang akhirnya pulang juga setelah seminggu ini menginap di rumah Putri. Kaffi mendekati Gebi. Gadis itu sedang mengambil beberapa baju bersih di dalam lemarinya.

"Kau sudah pulang?" Ini pertama kalinya Kaffi memulai obrolan lebih dulu selama kurang lebih tujuh bulan belakangan ini.

Gebi mengangguk.

"Itu... Keiko tiba-tiba pingsan di taman. Dan aku membawanya ke kamar kita. Maaf," jelasnya tanpa diminta.

"Oh. Ya. Tidak apa," balas Gebi acuh.

Kaffi mendekat dengan maksud hendak menyentuh pundak Gebi, namun gadis itu bergeser cepat dan memutar posis berdirinya.

"Bi." panggil Kaffi lagi.

Gebi tidak menyahut.

"Kau ... mau tidur?"

Tidak ada jawaban. Gebi sibuk memilih-milih celananya.

"Kau temanilah Keiko tidur di sini. Aku akan tidur di sofa ruang teve."

"Kau saja yang temani dia. Aku akan ke rumah Putri." jawab Gebi santai. Dia membawa baju dan celana yang sudah dipilihnya dan memasukannya ke ransel. Semua itu dilakukan dengan senyap karena takut membangunkan Keiko. Tanpa pamit, dia menuju ke taman di mana ayunan kayu berada. Sementara Kaffi mengekor dalam diam.

"Gebintang!"

"Mm."

Kaffi melirik jam di pergelangan tangan. Sudah pukul satu dini hari. "Ini sudah pagi. Jangan keluar rumah lagi."

"Tidak bisa. Ada hal penting yang aku lakukan besok pagi di dekat rumah Putri. Jadi aku harus menginap di sana. Aku tidak mau terlambat."

"Kau itu wanita bersuami. Tidak bisa seenaknya menginap di rumah orang. Apa yang dikatakan orangtua Putri nanti? Jangan pergi. Aku tidak mengijinkanmu pergi malam ini."

Apa lagi sekarang? Beberapa bulan ini hanya bisa membentak, memarahi, acuh dan bersikap masa bodoh, dan sekarang dia pura-pura peduli hanya karena sudah tertangkap basah membawa wanita lain ke kamar? Sungguh Gebintang muak!

"Tidak apa. Orangtua Putri sudah menganggapku anak sendiri."

Kaffi menarik napas dalam. Dia tau Gebi sedang dikabuti kekecewaan. Sekarang, wanita itu bahkan tidak berani menatapnya.

"Gebintang."

"Hm."

"Gebintang Lihat aku!" perintahnya.

Gebi yang sedari tadi sibuk mengecek is ransel, menoleh pada Kaffi.

"Ada apa?"

"Aku tau kau tidak ingin mendengar penjelasan ini. Tapi aku perlu memberitahukanmu, tadi Keiko minta ijin untuk memakai kamar mandi jadi aku mengijinkannya masuk ke kamar kita. Karena toilet tamu sedang digunakan temanku. Sepertinya, dia melihat semua barang-barangmu. Dia sudah tau ada wanita yang tinggal bersamaku. Keiko pingsan saat aku siapa kau-"

"Aku akan memindahkan barang-barangku kalau memang dia tidak nyaman," potong Gebi cepat.

"Apa maksudmu?" tanya Kaffi mulai terpancing.

"Aku bilang aku akan memindahkan barang-barangku kalau memang Keiko tidak nyaman dengan itu. Jika perlu, aku akan pindah dari sini. Dan kalian bebas lakukan apa pun yang kalian mau di kamar itu!"

Mata Kaffi terpejam. Rahangnya mengeras. Keadaan semakin rumit. Sungguh dia hanya ingin menjelaskan agar Gebi tidak salah paham. Tapi kenyataanya dia malah memperkeruh suasana. Gadis di depannya ini terlihat murka setengah mati.

"Jangan memandangku serendah itu! Kami tidak seperti yang kau pikirkan!"

Gebi tersenyum getir mendengar kata 'kami' yang digunakan Kaffi entah kenapa dadanya sesak mendengar itu.

"Maaf sudah berpikir yang tidak-tidak tentang kalian. Tentu saja kalian tidak serendah itu. Aku saja yang tidak mengerti keadaan kalian. Dan akulah yang membuat kalian terjebak dengan keadaan sulit seperti ini. Kalau saja aku tidak bertindak egois dan menahanmu dalam pernikahan bodoh ini, kalian tentu saja sudah bebas berhubungan terang-terangan tanpa perlu memikirkan apa pun."

Mendengar jawaban Gebi, emosi Kaffi tersulut. Dipandangnya Gebi dengan tatapan marah. Kaffi kecewa mendengar semua kalimat Gebi. Padahal yang ada di pikirannya hanya ingin meluruskan benang kusut antara mereka, tapi Gebintang malah menyudutkannya dengan asumsinya yang tidak masuk akal.

Bukannya berusaha memberi pengertian, Kaffi malah berujar, "Terima kasih sudah begitu pengertian dan repot-repot memikirkan tentang hubungan kami. Kami tersanjung dengan kepedualianmu!" Akhirnya dia berlalu begitu saja meninggalkan Gebi yang membeku di ayunan kayu itu

"Kaff."

Satu langkah sebelum Kaffi masuk ke kamar, langkahnya terhenti saat mendengarkan Gebi memanggilnya. Kaffi tidak berbalik hanya berdiri di tengah-tengah ambang pintu.

"Selamat ulang tahun. Aku harap kau mendapatkan yang terbaik untuk hidupmu. Maaf, tidak bisa memberimu kejutan-kejutan manis. Aku... aku tidak mampu seperti itu."

Keduanya berdiam cukup lama.

"Besok, hadiahmu akan kukirim. Aku pergi, Kaff."

Gebi menyambar ranselnya dan berlalu. Kaffi yang berbalik dan baru saja berniat mengejar Gebi terhenti karena menangkap pergerakan di atas ranjang kamarnya. Keiko terbangun dengan senyuman lemah.

"Kalian, bertengkar gara-gara aku?"

Kaffi Tidak menjawab dan mendekat ke ranjang.

"Maafkan aku," ucap keiko menyesal. "Dia dia pasti salah paham melihatku. Kau harus menjelaskan Kaff. Atau aku saja yang-"

"Ayo, Kei. Aku antar kau pulang," potong kaffi cepat. Dia berdiri dan meninggalkan keiko yang sedang menatap punggungnya sedih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro