Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TMRC - Dua Puluh Empat - Spasi

Dua tahun kemudian.

Dentuman music jazz mengalun pelan dI taman belakang kediaman keluarga Chanzu. Beberapa orang lalu-lalang dengan pakaian formal serbaputih. Robi terlihat berbaur dengan rekan-rekan kerjanya. Sementara Emerald sibuk memperbaiki tatanan rambut seorang wanita yang hari ini menjadi pusat perhatian dengan gaun shocking pink miliknya. Ia terlihat  kontras di antara semua tamu yang mengenakan dress code serbaputih.

Di sebelahnya, berdiri seorang pria tinggi tegap di balik tuxedo putih. Dipadukan dengan celana seperempat. Dasi kupu-kupu pink bertengker manis di leher. Sedangkan pria yang satunya lagi juga terlihat gagah dengan tuxedo putih, minus dasi kupu-kupu.

Gava berdiri di depan Kiffarah, menarik-narik dasi kupu-kupu yang terikat di kerah bajunya. "Kak, tolong lihat dasiku."

"Dasimu sudah oke. Jangan kau rusakan, Bodoh!” teriak Kiffarah yang juga sedang terdiam kaku karena Emerald sedang meniti rambutnya lagi.

"Heiii. Mau sampai kapan kalian di sini? Cepat naik ke stage. Orang-orang sudah menunggu kalian!" tegur Kaffi, mulai risih melihat adik dan sang kembaran tidak henti-hentinya meneliti penampilan mereka. Didekatinya Justin. Menepuk bahu pria yang berdiri di samping Kiffarah itu. "Kau pasti menyesal memilih dia," bisik Kaffi.

Justin hanya tersenyum simpul menyambut candaan sahabat sekaligus calon iparnya ini.

"Ehm." Suara dehaman membuat perhatian para tamu teralih ke atas stage. Robi Chanzu berdiri di sana. Dengan tangan kanan bersembunyi di saku celana, tangan kiri memegang gelas berisi cairan keemasan.

"Selamat sore semuanya.”

Sapaan Robi serempak dibalas oleh para tamu undangan yang memenuhi pekarangan luas rumah mereka.

“Terima kasih untuk kalian semua yang sudah bersedia datang ke garden party ini. Aku sangat senang karena bisa berbagi kebahagiaan dengan kalian yang ada di sini." Robi mengangkat gelas cocktail-nya di udara. Kompak, semua tamu juga melakukan hal yang sama. Bersulang di udara.

"Aku punya cerita." Robi melanjutkan dengan mata yang mulai menerawang. "Kalian semua mungkin tidak tau, di dalam keluarga ini, aku mempunyai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Beberapa tahun lalu, aku sudah melepas satu tanggung jawab dengan menikahkan sepasang anak laki-laki dan perempuanku." Robi berhenti sebentar sementara di sisi lain, Emerald, Gava, dan Kiffarah spontan melirik Kaffi yang tampang tenang. Pria itu merunduk sambil memainkan kaki gelas yang panjang dengan jarinya.

"Tapi aku sedang tidak ingin membahas soal putra pertamaku.  Karena kalian semua sudah kenal dan tau reputasi dia seperti apa. Juga mungkin sudah bosan melihat dia. Karena terus terang, sebagai Ayah, aku pun  sudah jengah melihat dia muncul di mana-mana."

Ucapan Robi mengundang gelak tawa tamu undangan. Sementara Kaffi si objek topik, menggelengkan kepala tanggapi celotehan ayahnya.

"Kita tinggalkan Tuan Traymond Kaffiar si pengacara fenomenal versi infotainment gosip itu. Aku tidak mau kepopuleran dia bertambah kalau terus-terus membahasnya di sini. Bagaimanapun, dia menenggelamkan kepopuleranku sebagai pengacara kawakan Indonesia. Jadi, posisiku terancam sejak dia muncul ke publik," seru Robi masih bercanda. Yang dihadiahi Kaffi dengan gelengan samar dan tatapan memelas. Meminta ayahnya berhenti menyebut dirinya di depan umum seperti itu.

"Hahaha. Baiklah-baiklah. Aku sudah mendapatkan tatapan somasi dari Tuan Traymond. Ehm, langsung saja aku undang ke stage kedua anakku yang tidak terkenal dan tidak populer ini, Trista Kiffarah dan Trigavari. Ayo naik ke stage agar kalian bisa juga terkenal seperti Papi, dan juga Kaffi."

Dengan wajah cemberut Kiffarah naik ke atas panggung. Diikuti Gava. Dari jauh, Kaffi tertawa melihat tingkah kembarannya dan si bungsu. Mereka tampak malu-malu karena tidak terbiasa di depan umum.

"Jadi karena ini adalah hari spesial untuk mereka berdua saja, aku tidak akan memanggil istriku ke stage ini. karena, ya... sudahlah. Panggung ini bukan untuk orang-orang yang sudah mempunyai jam terbang tinggi seperti istri saya juga ehm... pengacara fenomenal itu."

Kali ini Emerald yang menjadi korban keisengan suaminya. Wanita itu menekuk wajahnya dengan mata yang dipicingkan. Sudah terlalu terbiasa dia menghadapi aksi suami yang jenaka. Tidak heran karena sifat suaminya itu, ia mempunyai banyak penggemar sampai pada umur setua ini.

"Okay. Trigavara ini sebulan yang lalu baru saja lulus dari Australian National Airline College. Sekarang, mulai belajar menjadi pilot profesional. Boleh beri sedikit sanjungan kepadanya, please?"

Riuh tepuk tangan terdengar di penjuru taman itu. Gava tersenyum sopan dan menunduk beberapa kali.

"Dan di sebelah ini adalah Trista Kiffarah. Dia adalah seorang desainer interior. Saat ini, sudah mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di bidang property. Siang ini, gadisku ini akan bertunangan dengan salah satu orang terpenting di Prixma Group—Justin Poernomo. Please, naik ke stage, Mister."

Kiffarah melingkarkam tangannya ke lengan Justin begitu pria itu naik ke stage.

"Maafkan anakku yang tidak sabaran," goda Robi lagi. Anak gadisnya cuek. Malah dengan sengaja meletakkan kepalanya di bahu Justin. Para tamu dibuat heboh oleh pemandangan itu.

"Ck. Kalau sudah seperti ini, saku resmikan saja. Sayang, tolong bawa cincinnya," pinta Robi pada Emerald. Wanita itu naik ke stage membawa dua buah kotak cincin pada Gava dan kembali menempatkan dirinya di samping sang Robi. Menggandeng mesra tangan suminya itu.  "Lihatlah, sekarang kalian tau sifat Kifffarah mengikuti siapa."

Lagi, para tamu terbahak.

"Jadi siang ini aku sendiri yang merangkap sebagai MC. Hahaa. Tapi tidak apa. Kita langsung saja ke acara penyematan cincin. Ananda Gava, tolong berikan cincinya pada kedua mempelainya.”

Gava menurut.

“Thanks adik kecil." Pipi Gava dikecup Kiffarah. Aksinya dihadiahi pelototan Gava yang beralasan tidak mau merusak sisi maskulinnya dengan perlakuan centil kakaknya.

Setelah acara penyematan cincin tersebut selesai, Kifarah dan Justin mengucap beberapa ucapan terima kasih pada rekan, teman, juga keluarga yang datang. Robi Chanzu kemudian mempersilahkan orchestra untuk mengambil alih stage dan mulai menyuguhkan hiburan kepada para tamu undangan.

***

Gava mengobrol dengan beberapa teman, lalu berpindah ke beberapa orang rekan kerja ayahnya demi basa-basi. Pandangannya menyapu seluruh penjuru taman itu sambil tak henti-hentinya melemparkan senyumnya. Namun di balik senyumnya, terselip sedikit kesedihan. Gava ingat tiga tahun lalu pernah berjanji pada seseorang, saat ia lulus dan menjadi pilot profesional, ia akan mengajak orang itu menjadi penumpang pertamanya.  Tapi, saat Gava berhasil mendapatkan semua yang dicita-citakannya, dia justru tidak bisa menepati janjinya. Jangankan menepati, bertemu dan berkomunikasi saja tidak pernah. Gava bahkan tidak tau lagi keberadaan orang itu.

Sudah setahun ini, dia tidak pernah menyebut nama orang itu di depan keluarganya. Cukup lama kedua orangtua Gava terpukul karena kepergian orang itu yang tiba-tiba. Gava tidak mau lagi mengungkit apa pun tentangnya. Ia berniat mengembalikan senyum kedua orangtuanya lagi.

Pandangan mata Gava jatuh di bawah pohon besar di taman itu. Kaffi terlihat sedang mengobrol dan tertawa dengan seorang wanita cantik.

"Hai. Apa aku mengganggu waktu pacaran kalian?"

Suara Gava menginterupsi obrolan mereka. Keiko memicingkan mata, bibirnya maju beberapa senti sementara Kaffi hanya tersenyum sekadar.

"Untukmu." Keiko mengulurkan sesuatu yang baru diambilnya dari dalam clutch.

Gava terperanjat melihat isi kotak yang diberikan keiko. Sebuah jam tangan Bulavo yang diidam-idamkanya beberapa bulan ini. "Dari mana kau tau aku menginginkan ini?" tanyanya senang.

Bola mata keiko terputar ke atas. "Kau mengumumkannya di hampir semua sosial mediamu, Tuan," cibirnya

"Hahaha. Akhirnya umpanku termakan juga." Tapi kemudian wajahnya berubah datar dan matanya menyipit ke Keiko. "Omong-omong, kau tidak menyogokku untuk misi khusus kan, Kak?"

Semburat merah muncul di pipi Keiko. Dia tau ke mana arah pertanyaan Gava ini.

"Astaga, kau lihat ini, Kak?" Gava menyenggol bahu Kaffi. "Dia merona."

Kaffi melirik Keiko sepintas. Yang dilirik menutup wajah dengan kedua tangan.

"Itu kode keras, Kak! Dia memintamu membujuknya," ledek Gava lagi.  Keiko yang sudah tidak tahan melongos pergi begitu saja meninggalkan kedua kakak beradik yang sekarang sudah menertawainya.

"Kau itu, lihat dia jadi malu," tegur Kaffi. Dia mengejar Keiko.

Di balik candaannya, ada semburat kesedihan yang muncul di hati Gava. Sebentar lagi, Kaffi mungkin sudah siap melangkah untuk suatu hubungan baru. Entah kenapa, Gava merasa sedikit tidak rela. Dia tau kebaikan Gebi. Dia juga tau penyebab perginya Gebi dan alasan di balik perceraian mereka yang membuat Gava merasa tidak adil bagi wanita itu. Namun, dua tahun mungkin cukup. Kakaknya butuh seorang yang bisa menggantikan sosok Gebi di hatinya.

"Di mana kau, Kak Gebi? Aku merindukanmu," bisik Gava pelan.

***

Di sebuah tempat, di malam hari, seorang gadis dengan seragam seperti seorang suster berdiri di balkon paling atas tepat di atap sebuah gedung. Angin penghujung musim gugur menerpa rambut panjangnya dan menerbangkannya ke udara. Matanya menatap layar ponsel. Semburat senyum yang mengisyaratkan rasa rindu terpancar dari wajahnya. Dia mengusap layar ponsel seolah-olah sentuhannya bisa dirasakan oleh pemilik wajah-wajah yang ada di foto itu. Gadis itu berbisik, "Congratulation Gava, Kiffa, Justin."

***

Dari jauh, Kaffi menatap Justin dan Kiffarah yang terlihat begitu bahagia sore itu. Ada perasaan sesak yang muncul di dadanya. Perasaan yang membuat hatinya bergemuruh. Cocktail di gelas sudah berganti dengan wine. Ia perlu mengalihkan diri dari sesuatu di kepalanya saat ini.

Tepukan di bahunya membuat lelaki itu menoleh. Keiko menyodorkan sebuah piring berisi salad bua.

"Oh, harusnya aku yang melayanimu karena aku tuan rumahnya," ujar Kaffi tidak enak.

"Santailah. Aku sudah menganggap ini rumahku sendiri."

Kaffi tersenyum. Ya benar. Hampir dua tahun ini, Keiko selalu menjadi orang yang menemaninya melewati hari-hari berat. Walaupun Keiko tidak pernah membahas apa pun tentang perasaannya lagi, tapi Kaffi tau wanita  itu masih menyimpan perasaan lebih untuknya.

"Kei.”

Keiko mengalihkan matanya dari arah stage yang mempertontonkan Emerald dan Robi yang sedang berdansa. "Ikut aku," ajak Kaffi.

Mereka berpindah ke taman belakang yang dekat dengan ruangan makan dan duduk di sebuah ayunan kayu. Tempat itu tidak terlalu berisik karena semua tamu berkumpul di taman samping untuk memulai pesta dansa. Keiko meletakkan minumannya dan berpindah ke tepi kolam. Duduk di sana. Membiarkan kaki jenjangnya terendam air kolam. Senyum wanita itu tersungging melihat pantulan cahaya dari lampu-lampu yang sudah mulai dinyalakan karena langit sudah mulai gelap.

Kaffi mengikuti Keiko dan duduk disamping wanita itu.

"Hei. Wajahku basah!" seru Keiko ketika dengan usil Kaffi mengibaskan air kolam ke wajahnya. Kaffi tidak peduli ia terus menyirami keiko dengan percikan air, mau tidak mau keiko membalasnya. Jadilah mereka seperti dua anak kecil yang tertawa-tawa dan bermain air.

"Berhenti, Kaff. Umur kita sudah tidak cocok untuk main air seperti ini."

"Haha. Baiklah, baiklah"

Diam-diam Keiko mengamati Kaffi. Ia sedikit heran mendapati Kaffi yang ceria tidak seperti biasanya. "Aku senang sekarang kau sudah bisa tertawa," imbuhnya.

"Memangnya selama ini aku tidak pernah tertawa?"

"Bukan begitu, selama ini kau hanya berusaha tertawa tapi tidak benar-benar tertawa. Baru hari ini aku melihatmu tertawa lepas lagi." Keiko menyenggol bahu Kaffi. "Atau kau sedang jatuh cinta, ya?"

Tebakan Keiko dihadiahi  Kaffi dengan cubitan keras di hidung wanita itu. Keiko memekik kesakitan. Memegang ujung hidungnya yang memerah sementara Kaffi tertawa gemas dan lagi-lagi mengacak rambut Keiko.

"Kaff, kau merusak dandananku!" bentak Keiko mulai kesal saat mendapati rambutnya berantakan.

"Haha. Maaf. Aku hanya suka melihat wajah kesalmu. Kau cantik dan  menggemaskan kalaus sedang menekuk wajah."

Kepala Keiko tertunduk malu, pipinya memanas mendengar pujian Kaffi.

"Tapi, cantik saja tidak cukup membuatmu tertarik, kan?" gumam Keiko hati-hati.

Dengar itu, air muka Kaffi tiba-tiba berubah. Tawanya perlahan-lahan memudar tergantikan dengan senyuman canggung. Keiko yang mengamati perubahan ekspresi Kaffi langsung merasa tidak enak. Dia sudah salah bicara.

"Maaf," ucapnya

Kaffi tersenyum, pegang pundak Keiko. "Dengar, Kei. Kau adalah sahabatku. Tidak ada yang bisa menggantikan posisimu. Kau partner yang spesial. Selamanya."

Tapi tidak pernah bisa menjadi yang spesial di hatimu kan, kaff?

Keiko mengangguk bersama elusan Kaffi di kepalanya. "Oh, ya, sampai lupa, beberapa hari lalu aku bertemu Viktor."

Wajah Keiko langsung berubah murka saat mendengar nama Viktor disebut.

"Hahaha apa? Jangan bilang kalau kau masih membencinya? Bukankah kejadian itu sudah lama? Kalian sudah putus lima tahun lalu, kau masih dendam padanya?"

Aku hanya akan menunggumu, Kaff! Bukan Viktor atau siapa pun.

"Dia kan sudah menjelaskan, kalau yang kau lihat waktu itu sepupunya.  Kau masih tidak percaya? Kau tau sekarang dia adalah pengusaha sukses.  Juga masih melajang. Menunggumu barangkali."

Aku tidak peduli. Tidakah kau tau? Kau satu-satunya yang mengisi hatiku saat ini? Kenapa, Kaff? Kenapa kau tidak pernah bisa melihatku dengan jelas? Aku di sampingmu. Aku menunggumu...

"Stop, Kaff, aku mau pulang!" Keiko berdiri dan menyambar clutch-nya di ayuna. Menenteng heels-nya lalu meninggalkan Kaffi dengan kaki yang dientak-entak.

"Hahaha. Aku akan mempertemukan kalian, Kei," teriak Kaffi, meledek.

Kaffi menatap punggung Keiko datar. Senyumnya sudah hilang. Kaffi bukannya laki-laki bodoh yang tidak bisa membaca gestur dan segala macam kode yang diumpankan wanita-wanita padanya. Dia tau! Dia mengerti! Selama dua tahun ini, dia terus saja pura-pura buta dan tidak mau melihat siapa pun yang dengan terang-terangan maupun diam-diam mendekatinya. Hanya Keiko satu-satunya wanita yang masuk dalam pengecualian Kaffi dan diijinkan Kaffi untuk berada di sekitarnya.

Tapi Keiko hanyalah seperti sebuah buku favorit bagi Kaffi. Sudah dia baca sampai ke lembaran terakhirnya.

Kaffi tau, apa yang dipikirkan maupun diharapkan Keiko darinya. Sayangnya, Kaffi sendiri belum mampu menemukan jawaban dari pertanyaan kepada dirinya sendiri: Kenapa hatinya tidak bisa menerima wanita sebaik Keiko?

Soal prinsip? Kaffi rasa bukan tentang itu.

Yang Kaffi tau, ada yang tidak beres dengan hatinya saat ini.

***

"Nanti malam kau akan menginap di sini kan, Sayang?" tanya Emerald.

Mereka semua sedang sarapan di meja makan besar di kediaman Chanzu. Kaffi yang sedang sibuk meratakan selai di rotinya mengedikan bahu.

"Belum tau, Mam."

"Pulanglah ke sini. Kita akan mengundang Keiko dan Justin untuk dinner malam ini." tambah Kiffarah.

Gava meletakkan gelas dengan kasar. "Ini tidak adil! Mom," protesnya.

Emerald menatap heran anak bungsunya. "Apanya yang tidak adil?"

"Kalian semua akan dinner dengan pasangan kalian masing-masing. Lalu bagaimana denganku yang baru putus? Aku hanya akan menjadi penonton kalian. Begitu?" seru Gava dengan menunjuk-nunjukan garpu kepada satu demi satu anggota keluarganya.

"Pasangan apa maksudmu?" tanya Kaffi, santai.

"Sudahlah. Kalian semua bersekongkol untuk mengerjaiku, kan? Bagaimana mungkin aku bisa menikmati dinner jika harus melihat kalian makan berpasang-pasangan di depan aku? Mami dan papi, Kak Kiffa dengan Kak Justin, kau dengan Kak Keiko. Kalian pikir aku tidak iri?"

Robi dan Emerald berpandangan kemudian tertawa mendengar keluhan anak bungsunya. Dilirknya arloji di pergelangan tangan. "Ya sudah. Kau masih punya beberapa jam untuk mencari pacar. Pergilah ke halte-halte bus, pasar tradisional, pasar sembako, dan carilah seseorang yang bisa kauajak dinner dengan kita."

Ucapan Robi sontak mengundang gelak tawa di ruang makan itu.

"Aku butuh pacar, Pi. Bukan pedagang sembako!"

"Hahaa. Ide bagus itu. Otak Papi memang briliant," puji Kiffarah sengaja memanasi.

"Ya, ya, Mami tidak masalah punya calon mantu penjual sembako."

"Seorang pilot memang butuh pendamping yang terbiasa menghabiskan hari-harinya di pasar tradisional. Kau, kan, sibuk terbang. Jadi butuh seseorang yang tau keadaan pasar. Biar seimbang rumah tangga kalian," sambung Robi.

Tiba-tiba Kaffi meraih ponselnya dan pura-pura sedang menelepom seseorang, "Halo sayang, aku sekarang sedang berada di atas langit Taj Mahal dengan ketinggian 20 ribu kaki. Bagaimana denganmu? Berapa harga cabai keriting untuk hari ini? Harga ikan lele tidak merosot, kan?"

Ledakan tawa langsung menggema ke seluruh penjuru ruang makan.

"C'MON INI TIDAK LUCU!!!" teriak Gava, murka.

Emerald menghapus air mata di sudut matanya karena kebanyakan tertawa melihat tingkah suami dan anak-anaknya. "Sudahlah berhenti mengganggu adik kalian."

"Hm. Kalau gitu aku pergi dulu." Kaffi tersenyum puas lalu beranjak dari kursinya dan mencium pipi kedua orangtuanya bergantian. Dia berdiri di antara kursi Kiffarah dan Gava, mengacak-acak rambut kedua saudaranya itu.

Kiffarah menepis tangan Kaffi. "Sialan kau ini. Aku sudah menata rambutku 2 jam!" protesnya.

Kaffi tersenyum lebar dan berjalan cuek ke arah pintu penghubung ruang makan dan ruang keluarga.

"Oh, ya, Kaff, Apa Mami perlu menghubungi Keiko untuk datang lebih awal?" teriak Emerald saat Kaffi hampir hilang di balik pintu penghubung.

Pria itu berbalik. "Untuk apa? Ini makan malam keluarga. Kenapa mengundang dia?" tanyanya bingung.

"Oh astaga dia itu kan pacarmu. Tentu saja aku mengundangnya karena sebentar lagi dia akan menjadi keluarga kita. Lagi pula, bukan dia saja yang aku undang, ada Justin. Kau ini, bagaimana bisa bicara seperti itu pada pacarmu?" omel Emerald.

Kaffi mendekat ke meja makan. "Bagaimana bisa Mami menyimpulkannya seperti itu? Sejak kapan status Keiko berubah menjadi pacarku? Aku dan dia cuma berteman! Tidak pernah lebih!"

Dahi kiffarah berkerut. "Bukankah selama ini kalian cukup dekat?"

"Iya. Papi pikir kalian pacaran."

"Aku juga berpikir seperti itu, Kak."

"Dan mami lihat, sepertinya dia menyukaimu."

Kaffi menatap tidak senang pada seluruh anggota keluarganya. "Jadi kalian pikir, hatiku bisa semudah itu menerima orang lain?" Nada suaranya merendah tapi mengandung ketegasan di setiap kata-katanya. "Aku masih perlu menata ulang hatiku. Dan aku hanya akan menyakitinya jika membiarkan dia masuk ke dalam hidupku."

"Lalu, perempuan siapa lagi yang cocok kau jadikan korban berikutnya? Atau, kau berencana akan menunggu Gebintang seumur hidupmu? Kau sudah melukai dia. Kesalahanmu padanya sudah sangat fatal. Jangan berharap dia akan kembali lagi padamu!" tatar Kiffarah.

"Berhenti menyiksa dirimu sendiri! Berikan kesempatan pada orang lain yang ingin masuk ke dalam hatimu. Lagi pula, aku yakin, saat ini Gebi sudah menemukan orang yang tulus mencintai dia. Itu lebih baik daripada dia hidup dengan pria yang cuma menganggapnya Kelinci!"

"Stop, Kiffa!" bentak Kaffi. Pria itu memijat pelipis. Itulah kenapa aku sangat keberatan pulang ke rumah ini. Karena kalian semua selalu membuatku semakin menyalahkan diriku sendiri! Dan satu-satunya alasan yang membuatku tidak bisa melupakan Gebintang dan tidak bisa menerima orang lain dalam hidupku adalah kalian!! Kalian yang terus-terusan menyudutkanku!"

Kaffi meninggalkan rumah orangtuanya dengan hati panas. Sementara kiffarah berdiri lalu naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Blam.

Kiffarah membanting pintu kamarnya keras. Robi mengembuskan napas beratnya lalu pura-pura menutupi kesedihan dengan mengalihkan konsentrasinya pada koran pagi. Sementara Gava sibuk menenangkan Emerald yang mulai terisak.

***

Sudah Kaffi duga. Setiap kali menginap di rumah orang tuanya, dia akan pulang dalam keadaan seperti ini. Selalu seperti ini selama dua tahun belakangan. Gebintang adalah topik sensitif keluarganya.

Sampai di dalam mobil, Kaffi berteriak sejadi-jadinya. Melepaskan kekesalannya. Setelah dirasakannya emosi sedikit menurun, barulah ia menghidupkan mesin mobilnya kemudian menuju kantor

***

Dua tahun lalu.


Kaffi duduk di sofa depan ruang teve. Dikelilingi Kiffarah, Robi dan Emerald. Tatapan keluarganya menyelidik penampilannya yang acak-acakan. Matanya memerah karena pengaruh alkohol yang diminumnya. bahkan bajunya mengeluarkan bau tidak sedap karena tidak mandi berhari-hari.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau jadi seperti orang gila!?" Tanpa basa-basi, Emerald langsung mencecar Kaffi dengan pertanyaan.

Pria itu tidak menjawab.

"Di mana Gebintang?"

Pertanyaan Kiffarah sukses membuat kerongkongan Kaffi tercekat. "Sudah tiga bulan ini, kalian berdua tidak bisa dihubungi. Dia juga tidak pernah datang ke rumah lagi!"

Masih tidak dijawab oleh Kaffi.

"Apa kalian bertengkar?" Kali ini, Robi ikut bertanya.

Masih Kaffi abaikan rentetan pertanyaan keluarganya.

Emerald berkacak pinggang, ingin sekali ia membelah kepala si sulung. "Traymond Kaffiar, aku sedang bicara denganmu! Apa kau tuli??"

Bentakan Emerald langsung membuat Kaffi mendongak. "Gebi, sedang menginap di rumah keluarganya.”

“Jangan bohong! Dia tidak ada di mana-mana. Bilang padaku, di mana istrimu?” desak sang ibu lagi.

Kaffi tertunduk. “Gebi... dia pergi dari rumah, Mam," jawabnya pelan.

"Apa?" sambut Emerald dan Robi serempak "Bagaimana bisa dia pergi? Hah?"

Kaffi mengacak-acak rambutnya. "Aku tidak bisa cerita sekarang!”

"Biar kutebak," Kiffarah membuka suara. "Ini semua karena Keiko, kan?" kembarannya itu terpengarah. Rupanya tebakan Kiffa tepat sasaran. "Kenapa? Aku benar, bukan?" Todong Kiffarah lagi.

Telak. Kali ini, Kaffi benar-benar tidak sanggup buka suara juga terlalu lelah meladeni keluarganya.

"Kau benar-benar bodoh!!!" maki Kifffarah lagi.

Kaffi mulai jengah. "Jangan menyudutkanku! Kau tidak tau apa-apa tentang rumah tanggaku!"

"Aku tau semuanya!" balasa Kiffarah, tajam. "Kau pikir bisa menyembunyikan ini dariku?" Kifarah mengeluarkan amplop coklat besar dan melemparkan ke wajah Kaffi. Amplop tersebut terpantul dan jatuh begitu saja ke lantai.

Emosi kaffi mulai tersulut. "Kau!!! Apakah kau tau batasan antara peduli dan ikut campur?"

Kiffa tersenyum sinis menanggapi bentakan saudara kembarnya. "Tidak perlu berteriak dan menghabiskan energimu untuk mengalihkan perhatian kami dari kesalahan fatalmu! Kau sudah tertangkap basah, Traymond!"

Kaffi kalah telak menanggapi komentar penuh intimidasi Kiffarah. Ia diam tak bisa berucap apa-apa.

"Lihat dirimu. Kau bodoh! Terkutuk! Nista! Apa kau tidak ingat? Sudah berapa banyak luka yang dia dapat dari keluarga ini? Kita sudah membuatnya menjadi sebatang kara. Dan lihat, sekarang dia juga harus memikul status janda karena ulahmu! Di mana otakmu yang katanya jenius itu? Kau seharusnya mati saja!" Kiffarah menghadiahi Kaffi dengan tamparan-tamparan keras yang mendarat sembarangan ke wajah saudaranya itu.

Melihat itu, Emerald menarik tangan Kaffi. Lebih tepatnya menyeret Kaffi ke kamarnya. Anaknya dibiarkan berbaring di ranjang. Emerald tau, saat ini, kondisi anaknya tidak memungkinkan untuk menceritakan semuanya. Tangannya dengan pelan dan penuh kasih sayang mengusap rambut Kaffi.

"Aku salah," ujar Kaffi pelan.

"Sstt. Tidurlah. Jangan pikirkan apa pun lagi. Kau harus istirahat."

Kaffi memindahkan kepalanya di paha Emerald. Sentuhan lembut tangan ibunya membuat perasaannya sedikit tenang. Tanpa ragu lagi, ia meluapkan semua yang ia simpan sendiri selama tiga bulan ini pada Emerald. Dengan sabar, wanita itu mendengar semua cerita anaknya tanpa komentar apa pun. Walaupun setelah mendengar alasan Gebintang menggugat cerai membuat Emerald ingin sekali melabrak Kaffi. Tapi, naluri keibuan meredam amarahnya.

***

Kiffarah duduk dengan napas naik turun. Sementara Robi memegang amplop coklat besar berisikan surat cerai yang sudah ditandatangani Gebi. Emerald sendiri sudah menangis bacakan isi surat kecil berwarna biru itu.

"Ya, Tuhan. Apa yang dilakukan Kaffi kepadanya? Dia pasti sangat terluka dengan pernikahan ini," Emerald menyerahkan surat biru itu kepada Robi.

Setelah mendengarkan dari Emerald semua cerita Kaffi, Kiffarah menggelengkan kepala tak habis pikir. Dia tidak mengerti, kenapa Kaffi bisa mengambil pelajaran tentang pernikahan pada sederet klien-kilennya. Dia berguru terlalu jauh. Pada guru yang gagal. Kenapa dia tidak bisa melihat rumah tangga orangtuanya yang harmonis sampai setua bangka ini? Mereka berhasil menikah. Lahirkan anak-anak berkualitas dan hidup sejahtera hingga usia senja. Kenapa itu saja tidak bisa Kaffi jadikan contoh baik? Dasar bodoh! Tolol! Kiffarah sampai malu harus menjadi kembaran laki-laki dungu seperti Kaffi.

Kalau sudah seperti ini, Gebi pasti tidak akan memaafkan Kaffi. Apalagi mau kembali dengan si brengsek itu.

"Jangan pesimis, Kiffa. Yang terpenting, saat ini kita harus mencarinya."

"Percuma, Pi. Tidak ada yang tau dia di mana saat ini."

Di tangga kamar, Kaffi mendengar tangisan ibunya. Dia memejam merasa bersalah. Dadanya perih bukan karena kalimat sumpah serapah dari kiffarah. Di balik kalimat murka durjana, Kaffi akui sebagain besarnya adalah kebenaran. Gebi sudah banyak menderita karena keluarganya. Sekarang, lihatlah apa yang sudah dia lakukan pada gebi?

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kaffi merasakan dirinya lebih buruk dari seorang bajingan.

***

Tiiiiin.

Bunyi klakson panjang membuyarkan lamunan Kaffi. Dia menggeleng beberapa kali dan mengusap wajahnya kasar lalu kembali fokus menyetir.

"Sial!" maki Kaffi. Bisa-bisanya dia memikirkan lagi kejadian dua tahun lalu saat terjebak macet seperti ini. Kaffi melemparkan matanya ke kaca jendela. Bulir-bulir hujan mulai jatuh membungkus kaca mobil yang mengantarkan ia kembali bermain-main dengan memorinya.

"Kenapa kau takut hujan di malam hari? Kau bukan anak kecil lagi," tanya Kaffi di suatu malam saat dia dan Gebi sedang tidur dengan punggung yang saling menempel dan selimut yang menutupi keduanya. Di luar, hujan lebat. Gebintang merengek-rengek meminta mereka tidur dalam posisi ini.

"Aku tidak takut hujan," jawab Gebi serak dalam kantuk.

"Lalu kenapa kau mau tidur berimpitan seperti ini denganku?"

"Karena sejak ayahku meninggal, aku selalu tidur dengan ibuku. Saat hujan tengah malam, biasanya aku sering memeluk ibu. Ataupun sebaliknya, ibu akan memelukku. Itu menenangkan. Tapi, semenjak ibuku meninggal, aku tidak pernah suka hujan. Karena hujan membuatku  merasa sebatang kara."

Kaffi diam, ia sedikit tersentuh dengan cerita Gebi.

"Lalu, kenapa kau tidak memintaku memelukmu?" tawar Kaffi, bercanda.

"Benarkah?” Gebi memastikan. “Apa aku bisa?" Gadis itu berbalik cepat sementara Kaffi melakukan hal yang sama. Sekarang, mereka sudah tidur berhadapan.

Kaffi tertawa kecil. Tidak menyangka Gebintang akan meresponnya dengan serius. Ia mendorong guling ke wajah Gebi. "Hanya dalam mimpimu!"

“Cih. Aku juga tidak sudi kalau tiba-tiba ular pendekmu itu mematuk perutku!”

“Ular pendek?” ulang Kaffi. “Tidak diapa-apakan pun punyaku bisa langsung mematuk mulut kurang ajarmu itu!”

“Ahaha yang benar saja. Aku bahkan tidak pernah melihat ada tonjolan apa pun di sana.”

“Memang bukan tonjolan. Tapi ada gunung besar di sini.”

“Ahaha yang benar saj—“

“Diam atau kau akan tidur di ayunan kayu!”

"Traymond!!" Suara berat seseorang dan tepukan cukup keras di bahunya menginterupsi Kaffi dari lamunannya. Dia langsung mengedar ke seluruh ruangan itu. Betapa malunya Kaffi saat menyadari dia masih berada di ruangan rapat bersama staf dan jajarannya di kantor. Sial!! Berapa kali dia harus melamun hari ini?

"Ah, iya?" Tanpa menoleh kepada siapa yang menepuknya Kaffi menyahut. Beberapa orang staf terbahak ringan ke arahnya; menertawakan tingkah kikuknya. Kaffi mendongak dan mendapati Robert—pengacara senior sekaligus rekannya yang membangun sama-sama firma hukum ini.  kaffi langsung melemparkan senyum canggung.

"Maaf, Pak," pintanya malu karena ketahuan melamun di tengah-tengah rapat.

Robert menarik napas dalam. Lalu mengembuskannya kasar melihat laki-laki yang sudah dianggapnya anak sendiri ini. Ada rasa kesal muncul di hatinya. Ini bukan pertama kalinya Kaffi kedapatan sedang melamun hari ini.

"Pergi ke kamar mandi dan basuh wajahmu dengan air dingin! Dan jangan kembali sampai kau mendapatkan kembali konsentrasimu!" perintah Robert.

Rasanya, itulah ide terbaik sejauh ini. Kaffi mengangguk dan tersenyum lagi lalu mengikuti instruksi Robert. Walaupun di kantor ini posisi mereka adalah sama, tapi Kaffi tetap menghormati beliau sebagai rekan sekaligus orang yang paling tua di kantor ini.

Begitu masuk toilet, Kaffi melonggarkan dasi.

"Gebintang lagi, Gebintang lagi!!" teriaknya frustrasi. Ia hidupkan air lalu membasuh wajahnya berkali-kali.

"Sebenarnya di mana kau saat ini? Kenapa kau terus- terusan muncul seenaknya di pikiranku? Apakah kau tau, aku sangat tersiksa karena ini? Sudah dua tahun berlalu. Tidak bisakah kau berhenti menghantuiku? Apakah kau tidak lelah? Hah? Otakku saja sudah lelah memutar rekaman wajahmu setiap har. Kupingku sudah hampir tuli mengiangkan suaramu.  Tapi kenapa kau tidak bisa berhenti dan keluar dari otakku?"

Seperti orang gila Kaffi berbicara sendiri dengan pantulan wajahnya di cermin. Dia mengangkat tangan dan mengusap rambutnya kasar.

"Bodoh! Kau bahkan sedang menertawaiku sekarang!" umpat Kaffi pada bayangan Gebi yang sedang muncul di dalam ilusinya. Seakan-akan sedang menertawainya lewat pantulan cermin di depan. "Berhenti menatapku!" teriak Kaffi lagi.

***

Di suatu tempat seorang gadis sedang menatap pantulan bayangannya di sebuah jendela kaca besar di depan sebuah cofee shop. Sambil menunjuk-nunjuk bayangannya, dia terpingkal-pingkal begitu mendapati dirinya dengan rambut mengembang seperti seekor singa gurun. Tanpa dia sadari, beberapa orang kulit putih dari dalam ruangan itu juga sedang menertawakan aksinya.

Kemudian seorang pria tinggi tegap buru-buru merangkul bahunya dan menarik tangannya menjauh dari cofee shop itu. Pria itu juga tertawa begitu melihat penampilan berantakan gadis itu. Refleks, ia merapikan rambut sang gadis penuh kelembutan. Begitu merasakan cubitan pria itu di ujung hidungnya, gadis itu melotot galak dan mengumpat kecil.

"Haahaha. Ayo, Jibi." pria itu merangkul tubuh gadis yang tampak begitu mungil di dalam dekapan tubuh tingginya. "Ms Brigi akan mencincang kita kalau kita terlambat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro