Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TMRC - Dua Belas (Mr Lawyer Vs Ms Journalist (II)

Gebi mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tidak berani menatap Kaffi di sebelahnya yang sedang menyetir dengan tampang tidak bisa ditebak. Wajah Kaffi sedikit memerah. Tangan kirinya, memegang setir sementara tangan kanannya memijat pelipisnya dengan sikut yang menyangga pada pintu mobil.

"Jadi, seperti itu kelakuanmu?" cecar Kaffi memecah keheningan.

Gebi menoleh takut-takut dan mendapati Kaffi dengan ekspresi dinginnya. "Maksudmu?"

"Kau penipu!" tuduh kaffi dengan suara yang masih tenang namun penuh penekanan.

"Penipu?" ulang Gebi tidak yakin.

"Ya. Menipuku! Pura-pura tidak mendengarku, dan bilang kalau lagi rapat dengan pimpinan redaksi. Kaupikir aku tidak melihat kelakuanmu? Hah? Aku sudah menunggumu bahkan sejak kau keluar dari hotel tadi!"

"Kau menguntitku?"

"Jangan alihkan pembicaraan, Gebintang!" Kali ini, nada suara Kaffi sudah meninggi.

"Baiklah, Baiklah. Aku memang berbohong soal itu. Tapi, aku hanya mau makan dengan teman-temanku dan berniat akan cepat pulang setelah itu," terang Gebi sejujur-jujurnya.

Kaffi mengalihkan tatapannya pada Gebi. "Jelaskan padaku, kenapa kau biarkan temanmu menciummu tadi?" tuntutnya.

“Apa? Mencium? Jangan menagada-ada!”

“Aku melihatnya!”

Gebi menggigit bibirnya resah, ia terlihat berpikir keras mencari-cari apa yang dimaksud Kaffi. "Siapa yang mencium siapa, Kaff? Aku tidak mengerti. Sungguh!"

“Kalian... Bisik-bisik lalu berciuman!”

“Kau gila, ya?”

"Jangan berlagak lugu, Gebintang. Aku lihat laki-laki itu merangkul dan menciummu. Oh Tuhan, apa kau sudah gila? Jangan lupa kau itu wanita bersuami! Bagaimana jika keluargaku melihat kelakuanmu itu? Tolong, berpikirlah sebelum berbuat sesuatu. Tingkahmu itu benar-benar tidak termaafkan!"

Gebi diam dan masih berpikir, kemudian seperti mendapat sebuah ilham wajahnya tiba-tiba berubah cerah.

"Ya, Tuhan, Kaff. Dia tidak menciumku! Kau hanya melihatnya dari angle yang salah. Zero itu temanku sejak kuliah. Dia menyukai Putri. Kau ingat wanita yang duduk di depanku tadi? Zero memintaku untuk jadi cupid cintanya pada Putri. Tidak perlu salah paham."

Kaffi terlihat memijat dahinya yang berdenyut. "Jangan besar kepala!  Siapa yang salah paham dengan wanita Idiot sepertimu?" elaknya. Kali ini nada suaranya sudah mulai menurun. Wajahnya melunak.

Gebi menghembuskan napasnya lega. Sebenarnya dia marah karena Kaffi menuduh hal buruk yang tidak mungkin dilakukan wanita terhormat sepertinya. Tapi, kali ini, dimaafkan. Karena sikap dia yang mengabaikan telepon pun ikut andil menambah rasa curiga Kaffi. Hari ini, Gebi tidak akan bertengkar. Lagi pula, Kaffi sangat menyeramkan saat marah. Benar-benar menakutkan.

"Kau cemburu?” todong Gebi, menggoda.

“Kalaupun iya, memangnya kenapa? Kenapa bertanya seolah-olah aku tidak legal untuk cemburu? Kau itu siapa? Istriku, bukan? Apa di kepalamu, aku hanya teman les?”

Benar juga. Mencintai atau belum mencintai, saat ini, mereka pasangan menikah. Masalah selingkuh adalah hal yang wajar dikhawatirkan.

“Apa kau mencintaiku?" goda Gebi lagi. Kaffi langsung memasang wajah murka dan kesempatan itu digunakan Gebi untuk menyentuh pipi Kaffi dengan seringai nakal.
"Kau dengar, Sayang? Tidak perlu cemburu karrna aku tidak mungkin berseling—" Gebi terdiam begitu tangan usilnya mendarat di pipi Kaffi. Dirasakannya suhu tubuh lelaki itu sangat panas. Tangannya berpindah ke dahi Kaffi, merabanya dengan punggung tangan. Turun ke leher, suhunya masih sama.

"Singkirkan tanganmu, Bodoh! Kau mengganggu konsentrasi menyetirku!"

"Kau demam, Kaff. Badanmu panas sekali" Gebi khawatir. Sementara Kaffi tidak menjawab dia masih fokus menyetir. "Cepat hentikan mobilnya!"

Kaffi menoleh. "Untuk apa? Kau berminat mendorongnya?"

"Sudahlah. Pindah ke belakang dan tidurlah. Biar aku yang akan menyetir."

"Aku tidak punya cita-cita mati di jalanan."

"Jangan meremehkanku. Bodoh! Aku sudah punya SIM sejak aku kuliah. Kau lupa? Aku sudah berulang kali jadi supir Mami dan Kiffa."

Kaffi terlihat berpikir sebentar kemudian menepikan mobil. Dia enuruti Gebi dengan berpindah ke kursi belakang mobil. Gebi mematikan AC mobil dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya lalu melemparkannya pada Kaffi.

"Apa ini?" tanya Kaffi.

“Baju perang,” sahut Gebi, kesal. "Itu syalku, Pakailah sebagai sebagai selimut."

"Aku belum berminat memindahkan kuman-kumanmu ke tubuhku.”

Rahang Gebi mengeras. ”Jangan keras kepala!" bentak Gebi, galak. Roman andalanya saat marah—yang biasanya Kaffi takuti—kini berhasil membuat laki-laki itu tak berkutik. Syal resmi berpindah ke tubuh Kaffi.

Sepanjang perjalanan, Kaffi sempat tertidur. Gebintang sempat singgah di sebuah Apotek. Membeli beberapa obat. Sesampainya di rumah, Gebi bantu memapah Kaffi masuk ke dalam kamar. Tubuh Kaffi semakin panas. Badannya ikut lemas.

"Ganti bajumu aku akan membuatkan bubur seafood untukmu. Setelah makan, minum obatnya dan tidur."

Kaffi mengangguk patuh.

***

Setelah satu jam di dapur, Gebi membawa nampan besar berisi bubur seafood, air mineral, dan segelas hot chocolate. Diliriknya Kaffi yang sudah meringkuk di tempat tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuh.

"Kaff," panggil Gebi lembut sambil menepuk pipi Kaffi.”

"Hmm."

"Bangunlah, Kau harus mengisi perutmu dan minum obatnya."

Dengan malas, Kaffi bangun dan duduk dengan badan bersandar di kepala ranjang. Gebi mengambil mangkuk berisi bubur kemudian menyendoki bubur dan meniupnya.

"Kau berencana mencampurkan air liurmu dengan bubur itu?" protes kaffi.

"Lihat dirimu. Sedang sakit pun mulutmu minta dibakar! Apa aku harus menumpahkan bubur panas ini ke wajahmu? Kau berminat memakai masker bubur panas?"

"Sudahlah. Jangan mengoceh, cepat suapkan untukku!"

Gebi hanya bisa mendengkus kesal. Tapi tangannya dengan telaten menyuapi Kaffi tanpa protes. Setelah itu, dia membuka obat dan menyodorkan air mineral kepada Kaffi. Setelah meminum sedikit coklat panasnya, Kaffi kembali berbaring. Gebi menaikkan selimut, tutupi tubuh Kaffi yang terlihat menggigil. Dia berencana akan mandi karena tubuhnya gerah.

"Mau ke mana?" tanya Kaffi, lemah.

"Mandi"

"Jangan pergi, temani aku di sini."

Gebi sampai mengorek telinganya dengan ujung jari kelingkingnya, "Apa kau bilang?"

"Kepalaku sakit. Maukah kau mengelus kepalaku sampai aku tertidur?" mohonnya dengan nada lemah.

Gebi baru akan berteriak, "Elus kepalamu? Aku lebih tertarik untuk membenturkan kepalamu ke dinding daripada harus mengelusnya!" Tapi, kemudian mengurungkan niat brutalnya itu karena dilihatnya wajah Kaffi benar-benar kesakitan.

"Tunggu sebentar aku mandi dulu, hanya 5 menit."

****

Sesuai janjinya, saat ini, Gebi sedang mengelus kepala Kaffi yang sedang berada di atas pahanya. Sejujurnya, Gebi sangat tergoda untuk menjambak rambut itu habis-habisan sampai otaknya keluar melalui pori-pori kulit kepala. Tapi dia hanya menelan keinginan dan dorongan frontalnya itu bulat-bulat.

Kaffi yang tadinya dalam posisi miring, kemudian mengubah posisi tidurnya dengan berbalik terlentang menghadap Gebi. Ditariknya tangan tangan Gebi untuk memijat pelipis. Dan Gebi melakukannya dalam diam sambil terus memperhatikan wajah tidur Kaffi.

"Jangan memandangku seperti itu, Bodoh!” protes Kaffi, serak. “Kau pikir aku tidak melihatmu?"

"Kalau aku tidak melihatmu, bagaimana bisa aku memijit kepalamu, Tolol? Lagi pula, apa kau pikir aku sudi melihat wajah tidurmu yang seperti babi ini?"

“Kuberitahu, aku tetap sadar meskipun sedang tidur. Kau tidak akan bisa mencuri ciumanku diam-diam seperti adegan film.”

“Cuih. Lebih baik aku mencium ketek satpam. Daripada bibirmu.”

"Berisik! Kepalaku sakit!"

Belum sempat membalas perkataan Kaffi, keinginan Gebi diinterupsi suara dering ponsel. Gebi mencari-cari ponselnya yang masih berada di dalam tas ransel. Detelah menemukan ponselnya, Gebi memeriksa nomor yang tertera di riwayat panggilan.
Kaffi juga ikut bangun. "Siapa?" tanyanya menyelidik

"Putri"

Ponsel Gebi kembali berbunyi, Gebi baru saja mau membuka pintu dan berniat mau menelepon di taman, ketika Kaffi mencegahnya, "Kenapa harus menjauh saat mengangkat telepon? Rahasia apa yang akan kalian bicarakan? Angkat saja di sini!"

"Kau kan sedang tidur, aku tidak mau mengganggumu"

"Aku bilang angkat di sini!"

Kepala Gebi tergeleng. Lagi-lagi dia harus mengalah karena lawannya sedang terbaring lemah. Kalau saja pria itu sehat saat ini, Gebi yakin meneriaki Kaffi sampai jantungnya menciut karena bertindak posesif dan tidak masuk akal.

"Ya, Put? Tidak, aku belum tidur. Kau di mana? Ada apa menelponku? Benarkah? Kalian mau ke sana? Aaaah sudah lama sekali kita tidak pergi ke tempat itu? Mungkin terakhir kalinya saat kita masih tingkat 2, yah.”

Sialan. Ini benar-benar tidak nyaman. Diawasi saat sedang menelepon. Kalau sudah sembuh, Kaffi akan diberi pelajaran tentang bagaimana menghargai privasi pasangannya. 

Walau terganggu. Gebi berusaha terus merespons Putri, “Ya, Tuhan kaupikir ini jam berapa? Sebenarnya aku boleh saja ikut dengan kalian tapi." Gebi melirik Kaffi yang sejak tadi mengawasinya dari atas ranjang, Dia memiringkan tubuhnya sedikit memunggungi Kaffi lalu berbisik pelan, "Aku sedang sakit. Kau tahu? Diare berkepanjangan." Kaffi sialan! ”Aku bahkan memikirkan ide soal memakai pampers.”

Dengan tangannya, Kaffi memberi kode pada Gebi untuk mematikan hubungan teleponnya. Beruntung, Putri juga akan mengakhiri percakapan. Tak lupa, dia mengucapkan cepat sembuh. Dan berjanji akan mengulang agenda pergi bersama lain kali saat kondisi Gebi sudah fit.

“Berikan ponselmu!” pinta Kaffi.

"Apa? Sekarang aku butuh izinmu untuk menggunakan ponselku sendiri? Hah?" 

"Apa kau tidak berpikir kesalahan yang kau buat? Apa temanmu itu tidak tahu aturan? Kenapa menelepon wanita bersuami malam-malam begini?"

Tangan Gebi terkepal. “Yang tidak tahu aturan itu kau! Pernah dengar yang namanya privasi? Dan lagi, berhenti berkata buruk tentang temanku.”

"Berhenti memberiku kultum. Cepat ke sini!" perintah Kaffi memberi kode agar Gebi menepati sisi sebelahnya.

"Apa lagi?" suara Gebi meninggi. “Apa aku harus menyusuimu sampai kau tertidur?"

"Cih yang benar saja. Susu apa yang harus kuminum dari seonggok dada rata dan tidak berdaya itu?”

"Ya. Terserah kau saja, awas kalau suatu saat kau memintanya.”

"Hanya dalam mimpimu," sahut Kaffi sambil memegang kepalanya yang berdenyut. Gebi tidak menghiraukan Kaffi, dia naik ke ranjang dan berbaring membelakangi pria itu.

"Hei. Berani-beraninya kau tidur memunggungiku? Apa ini sopan santun pada suamimu yang sedang sakit?"

Gebi berbalik. "Demi Tuhan, Kaff, apa lagi kali ini, hah? Tubuhmu sedang lemah. Jangan buat otakku dipenuhi rencana mencopot testismu dan menyumpalnya ke mulutmu agar kau diam!"

Kaffi meremang. "Tidak bisakah kau sedikit lembut padaku? Aku sedang sakit, "keluhnya dengan wajah memelas.

“Kadang-kadang aku berpikir ingin melihatmu sekarat saja. Sampai napasmu tinggal 16 kali. Supaya kau berhenti mengoceh!” Karena kasihan mendapati Kaffi kesakitan, Gebi akhirnya mengalah. "Baiklah aku harus apa?"

"Elus punggungku, ya? Biasanya setiap sakit, Mami selalu melakukannya untukku. Tapi, kau tahu, sekarang kita tidak lagi di rumah Mami. Dan kau—“

"Sudahlah. Hentikan demonstrasi omong kosongmu itu," potong Gebi. "Cepat berbaring dasar manja!!"

Kaffi tersenyum dan menaikan bajunya lalu tidur membelakangi Gebi dengan punggung telanjang. Gebi menahan amarahnya yang rasanya hampir meledak. Tapi akhirnya dia mengalah. Menurut Gebi, lebih baik dia melakukan yang diperintahkan Kaffi agar pria itu cepat tertidur dan berhenti mengoceh.

***

Gebi tertidur di meja pantry kantornya. Dia benar-benar mengantuk karena tidak tidur sepanjang malam mengurusi Kaffi. Entah mengelus punggung, kepala, memijat kaki, sampai membersihkan muntah Kaffi di lantai. Belum lagi pagi-pagi buta dia mendapatkan telepon urgent untuk meliput pembunuhan geng motor. Dan dilanjutkan dengan berkeliling mencari asinan buah yang diinginkan Kaffi. Juga, membuatkan sarapan yang bahkan tidak disentuh Kaffi sedikit pun.

Benar-benar menyebalkan!

Belum sempat beristirahat lagi, Gebi sudah ditelepon Pak Beni—Pemimpin Redaksi—untuk mengurus beberapa hal di kantor sekaligus melakukan putting to bed pada beritanya. Akhirnya, dengan berat hati Gebi terpaksa menelepon mertuanya. Untung saja Kiffarah dan Emerald berbaik hati untuk menjaga Kaffi.

Gebi kaget ketika merasakan sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Dia mendapati Putri sudah berdiri di depannya dengan berkacak pinggang dan tangan kanan memegang minuman kaleng.

"Apa?" Mata Gebi kembali tertutup.

"Mau sampai kapan kau tidur? Sudah dua jam kau tidur di sini."

"Sebentar lagi." Gebi membalik wajahnya menghadap ke tempat lain. Putri malah berpindah ke sisi kiri dan menarik kursi lalu duduk di sebelah Gebi. Mengamati wajah tidur Gebi. Merasa diperhatikan begitu intens, Gebi membuka matanya berat.

"Apa? Sekarang kau mengagumi wajah tidurku? Hah?"

Putri mengabaikan candaan Gebi. "Bagaimana bisa kau menikah dengan pengacara itu?" selidiknya. Putri benar-benar tidak tahan untuk bertanya. Sejak kemarin dia hampir mati karena penasaran

"Kau membangunkanku cuma untuk menanyakan itu?"

"Kau sudah janji untuk cerita padaku. Cepat cerita!"

"Nanti saja. Aku lapar! Kalau kau berbaik hati membelikanku makanan di depan kantor, aku akan mempertimbangkan untuk cerita.”

"Baiklah tunggu sebentar." Putri langsung buru-buru keluar.

Gebi melonjak kaget. Tidak biasanya sahabatnya mau disuruh-suruh.  Dia tersenyum licik lalu merogoh ponsel di sakunya dan menelfon Putri.

"Ada apa?"

"Hei, Put. Sekalian belikan aku Moroccan Mint Tea di kafe depan, ya?"

"Baik."

Telepon ditutup. Gebi kembai melongo. "Apa ini? Apa dia salah makan? Atau kerasukan Malaikat? Haha. Suatu keajaiban!" pekik Gebi, ceria. Rasa ngantuknya hilang entah ke mana. Berganti perasaan senang karena berhasil memperbudak sahabatnya.

***

"Jadi, bagaimana bisa kau mengenalnya?" selidik Putri di sela-sela kesibukannya mengunyah. Gebi cuek dan masih berkonsentrasi penuh dengan makanan.

"Gebintang!" teriak Putri, kesal tak digubris.

"Kau ini. Setidaknya biarkan aku menghabiskan makananku dulu!"

"Cerita, atau aku buang makananmu!" ancam Putri,

Gebi melirik sekilas dia tau sahabatnya ini tidak pernah basa-basi dalam hal ancam- mengancam.

"Baiklah, baiklah."

Tubuh Putri dicondongkan ke depan dekati Gebi. Gerak-geriknya seperti akan menyelidiki seorang kriminal. "Lalu?" mulainya

"Lalu apa?"

"Ya. Itu"

"Itu apa?" sahut Gebi, santai.

"Apa bagaimana?"

"Yah, seperti itu."

Putri membalas gemas, "Seperti itu bagaimana?"

"Begitulah"

"Begitulah apa?"

"Seperti yang kau lihat."

"Aku lihat apa?"

"Apa pun yang kemarin."

"Iya. Kemarin itu kenapa? Kau dan dia—bagaimana bisa sampai begitu?”

"Kenapa banyak sekali pertanyaanmuuuuu!"

Pletaaaaak.

Gebi memegang rahangnya yang digeplak Putri. Telinganya memerah. Gebi menyengir lebar sambil mengangkat kedua jarinya membentuk tanda 'peace'. Jangan lupa bahwa budaya kekerasan memang dianut dengan baik oleh Putri. Sangat baik malah. Gebi harus rela punggungnya menjadi sasaran tinju Putri. Juga, rambutnya rontok dibabat habis oleh tangan kurang ajar sahabatnya itu. 

Tapi, berteman bertahun-tahun dengan Putri, membuat Gebi terjangkit 101% kekerasan yang dianut. Baik kekerasan verbal maupun non verbal. Sehingga biasanya, Putri juga mengalami cidera yang sama saat bercanda dengan Gebi. Bahkan mungkin lebih parah. Mengingat penampakan Gebi yang sedikit barbar dan tidak beradab. Sementara Putri yang feminim. Tapi, sekali lagi itu hanya penampilan luar. Bagaimanapun, Putri pernah mematahkan jari kelingking Gebi saat mereka berebut makanan.

"Wanita jalang!!" maki Gebi. ini juga merupakan salah satu dari sekian candaan tidak beradab mereka.

Putri mengerling jahat. Sudah membuka jurus bersiap-siap melayangkan tinjunya.

"Baiklah. Baiklah. Aku cerita," potong Gebi, cepat. Sekarang, Putri kembali duduk dengan elegan dan memperbaiki rambutnya.

"Agh." Gebi mengelus rahangnya yang terasa panas. Sang sahabat akhirnya terbahak melihat bekas lukisan tangannya di sepanjang pipi dan rahang Gebi.

"Jadi, bagaimana kau bisa menjadi istri Traymond Kaffiar itu?"

"Kau ingat orang yang menabrak ibuku?"

"Ya."

"Mereka adalah orangtua Kaffi."

"Jadi, orang yang mengangkatmu sebagai anak angkat itu adalah orangtua Kaffi?" Suara Putri meninggi.

Gebi mengangguk.

"Bukankah kau sudah tinggal di rumah orangtua angkatmu sejak beberapa bulan lalu?"

Anggukan lagi.

"KALIAN BAHKAN SUDAH TINGGAL SERUMAH SEBELUM MENIKAH???" Putri histeris.

Gebi memundurkan badannya saat kepala Putri sudah maju mendekat ke arahnya. “Pelankan sedikit suaramu, Bodoh! Mulutmu bisa robek!"

"KAU JALANG! TERKUTUK! KAU MENJEBAK DIA AGAR MENIDURIMU SUPAYA DIA MENIKAHIMU, KAN?" tuduh Putri, enteng.

Kali ini Gebi tidak tahan untuk menjambak rambut Putri secara membabi buta. Lalu mendorongnya kasar hingga Putri terpental ke belakang dan memegang kepalanya yang pusing.

"Agh. Kepalakuuuu," ringis Putri, memperbaiki rambutnya.

"Kaupikir aku semurahan itu? Kepalamu itu harus kubenturkan ke dinding supaya berpikir normal," omel Gebi tapi tidak berhenti menyuapi makanan ke mulutnya.

"Ya. Aku tahu kau tidak seperti itu! Hanya saja. Aku tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia menikahimu? Apa yang dia lihat darimu dibanding wanita-wanita cantik yang mengelilinginya?"

"Entahlah. Dia mau menikahiku. Jadi, aku turuti saja"

"Bukannya kau menyukai seseorang sejak dulu? Dan selalu bermimpi akan menikah dengannya? Setahuku, Kaffi juga bukan tipemu. Kenapa kau menikah dengannya?"

"Aku juga tidak tahu, Put. Tiba-tiba saja aku menerimanya tanpa berpikir. Mungkin karena ... keluarganya? Atau, entahlah."
Gebi mengambil air mineral dan meneguknya sampai habis lalu membersihkan bibirnya dengan tisu. Dia memandang risih ke arah Putri yang sedang tersenyum penuh arti.

"Apa lagi? Kau mulai jatuh cinta padaku sekarang? Kenapa melihatku seperti melihat pujaan hatimu?"

"Jadiii...." Mata Putri berkedip centil. "Bagaimana?"

"Bagaimana apa?"

"Bagaimana rasanya?"

"Biasa saja."

"Ha. Ha. Ha.” Putri terpingkal-pingkal melihat wajah sahabatnya yang memerah. "Apa punyanya besar? Apa dia hebat di ranjang? Apa dia melakukannya dengan pelan-pelan? Apa itu sakit?"

"Jiwamu yang sakit!"

"Ha. Ha. Akhirnya perawan yang kau bangga-banggakan itu jatuh juga ke orang lain. Padahal selama ini, kau menjaganya dari mantan-mantanmu. Save the best for the last, katamu. Dan, kau menjunjung tinggi keperawananmu untuk seseorang yang sudah kaucintai bertahun-tahun. Yang bahkan tidak pernah melirikmu sampai saat ini," ledek Putri berapi-api.

Gebi memicingkan mata. Tangannya sudah terkepal. Putri yang sudah hafal dengan reaksi Gebi, segera menjaga jarak. Sebagai bentuk antisipasi, Putri memundurkan kursinya ke belakang menjauh dari Gebi. Takut kalau-kalau kaki Gebi tiba-tiba saja mendarat di wajahnya.

"Tapi, tidak apa. Kau memberikannya pada orang yang tepat. Setidaknya dia menikahimu. Walaupun mungkin, perasaanmu tidak begitu mendalam. Kupikir itu lebih baik. Bagaimanapun, aku senang, kau mendapatkan suami kaya dan terkenal. Tampan juga," puji Putri, tulus.

Gebi tersenyum hambar. Dia tidak menceritakan keadaan sebenarnya antara dia dan Kaffi karena menurutnya itu adalah masalah rumah tangga.

"Dengar, aku harap kau tidak mengumumkan pada semua orang di kantor ini tentang suamiku. Kauingat? Aku tidak mau mereka heboh mewawancaraiku."

"Tenang saja, kau tahu aku hebat dalam menyimpan rahasia."

"Yang benar saja. Terakhir kali kau membacakan diaryku, rahasia terbesarku, pada orang-orang."

"Ha. Ha. Kau masih ingat juga? Lagi pula, aku tidak membacakannya pada siapa pun. Hanya ke orang yang selalu kautulis namanya di diarymu itu. Dan paling tidak, aku sudah membantumu untuk menyampaikan isi hatimu." Putri tertawa renyah.

"Ya. Gara-gara itu aku hampir mati karena malu!"

"Ha. Ha. Dia bahkan sudah tau rencana besarmu untuk menyerahkan keperawanan yang kausanjung-sanjungkan itu padanya! Hahaha!"

Gebi meremas-remas tisu di tangannya lalu detik selanjutnya tisu itu berpindah ke dalam mulut Putri. Dia kabur meninggalkan sahabatnya yang sudah terbatuk-batuk dan memaki.


***

Ponsel Gebi berbunyi ketika dia baru saja duduk di toilet dan berniat membuka games.

"Ya, Kaff??”

"Kau di mana?"

"Toilet."

Terdengar geraman di sana. “Jangan bercanda! Di mana?”

“Menurutmu aku sedang tamasya?!” bentak Gebi, “Tentu saja di kantor!”

"Tidak bisakah kau pulang saja? Temani aku? Aku tidak tahan dengan Kiffarah. Dia mengoceh dari tadi. Kepalaku makin pusing, Kurasa sebentar lagi aku akan diopname."

Mau tak mau Gebi terbahak. Rasakan itu! Saudara kembarmu yang jahat melebihi nenek sihir.

“Aku harus melapor ke Pak Beni. Kalau dapat izin, kita langsung ke dokter."

Usai menyelesaikan kegitannya di toilet, Gebi menemui sang boss di ruang redaksi. Pak Beni langsung memberikan kode agar Gebi duduk di kursi depan meja kerjanya.

"Ada apa, Pak?"

Pak Beni meneguk kopinya. "Kautahu tentang perusahaan Prixma Group yang baru membeli kapal pesiar beberapa bulan lalu?"

Gebi mengingat-ingat.

"Jadi, kapal itu sudah melakukan uji coba beberapa bulan lalu di Bali. Dan sebentar lagi, mereka akan melakukan peresmian kapalnya sekaligus pelayaran perdana selama beberapa hari."

Gebi mengangguk antusias.

"Kita mendapatkan undangan untuk meliput."
Pak Beni keluarkan sebuah amplop maron gelap. Wajah Gebi serta merta merona bahagia. Sepertinya, urusan meliput peresmian kapal itu akan diserahkan padanya.

"Aku dan istriku yang akan pergi ke sana dan meliput sendiri."

"Apa? Kau dan istrimu yang meliput?” tanya Gebi, sangsi. “Bukankah istrimu sedang hamil besar? Untuk apa dia ke sana?" komentarnya, penuh cercaan. Bayangan memakai bikini dan berlari-lari di pemandian jacuzi di kapal pesiar itu langsung hilang tiba-tiba dari kepala.

Beberapa detik selanjutnya, Gebi baru sadar akan kesalahannya. Dia menggigit lidah. Pak Beni sudah menatapnya dengan tatapan tidak senang.

"Oh. M-maksudku...," Gebi memutar otaknya mencari alasan yang tepat. “Kautahu? Kapal itu sangat penuh. Istrimu pasti sangat tersiksa kalau harus berdesak-desakan dengan penumpang lain. Kasihan bayinya.  Dia akan sangat kerepotan. Dan lagi. bagaimana jika dia melahirkan di atas kapal itu?"

"Kaupikir kapal pesiar itu seperti kapal penumpang yang harus berdesakan? Semua penumpang di sana adalah orang-orang penting di negara ini! Mulai dari pejabat, pengusaha, artis-artis, dan para kaum sosialita. Kadi, kekacauan yang biasa kaulihat di kapal komersil lainnya, tidak akan terjadi di sana. Paham?"

"Sial!! Dasar gendut serakah!" maki Gebi dalam hati.

Ditatapnya pria gemuk dan botak di hadapannya ini dengan roman murka. Gebi tidak habis pikir, boss-nya itu hanya mau turun tangan setiap ada peliputan event-event besar seperti peresmian kapal pesiar ini. Bahkan, beberapa tahun lalu, dia dan istrinya sendiri yang meliput peluncuran pesawat baru. Padahal, Gebi mati-matian berusaha agar mendapatkan peliputan itu. Namun, Gebi ditolak mentah-mentah. Memang sudah nasibnya Gebi, baru akan dihubungi menyangkut liputan pembunuhan, sunatan masal, tawuran, dan kejadian-kejadian mengerikan lainnya.

"Lalu, untuk apa aku di sini!?" Gebi mulai tak bersahabat.

"Oh, yah. Aku sampai lupa. Kau akan kuberi tugas untuk meng-interview direktur dari perusahaan Prixma Group itu. Itu akan mengisi rubrik Leader Opinion untuk pekan depan. Isu sentralnya, ya, seperti biasa soal kesuksesan kapal pesiar dan sebagainya. Kau pasti sudah mengerti aturannya."

"Baik."

"Aku sudah menghubungi perusahaan mereka sejak dua minggu lalu dan membuat janji dengan beliau untuk melakukan interview. Lusa, kau akan ke sana."

"Tapi, kenapa harus aku? Aku tidak terbiasa ditugasi mewawancarai seorang pengusaha—Yang masih hidup. Karena tugasku tidak jauh-jauh dari melihat mayat. Korban cidera parah, gedung bekas target pengeboman, kebakaran, korban begal, curanmor, dan hal mengerikan.” Gebi mendumel dalam hati.

"Sudahlah. Dia tidak seperti yang kau bayangkan. Masih muda, tampan. Kudengar, dia sangat ramah. Tidak ada bedanya wawancara pejabat dan pengusaha. Itu sama saja. Jadi, lakukan seperti biasa. Aku mengandalkanmu.”

"Baiklah."

***


"Bagaimana bisa sembuh kalau tidak makan? Jangan kekanakan! Cepat buka mulutmu atau aku akan membukanya dengan garpu ini!"

Sayup-sayup, Gebi dengar bentakan seorang wanita dari arah kamar ketika dia baru sampai di rumah. Gebi terbahak mengetahui siapa pemilik suara itu. Dia menuju taman kemudian naik ke tangga menuju kamar.

Gebi tidak bisa menyembunyikan tawanya saat mendapati kiffarah sedang meremas rahang kaffi dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang sesendok bubur.

Mata Kaffi berbinar saat melihat Gebi berdiri di depan pintu. Seolah-olah Gebi adalah seorang malaikat penolong saat itu.

"Oh. Kau sudah pulang?" Kiffarah turun dari ranjang. Dengan kasar, meletakkan mangkuk bubur itu ke nakas.

"Ada apa?"

Yang ditanya berdecak. "Suamimu ini sangat manja! Tidak mau makan seharian. Padahal, sudah kupaksa. Aku hampir gila mengurusnya!”

Gebi memicing. "Kenapa tidak makan?"

“Astaga. Aku tidak bisa menelan apa pun! Harus berapa kali aku bilang, jangan perlakukan aku seperti anak kecil!”

“Hah, yang benar saja?” cibir Kiffarah. “Kau bahkan menyuruh Mami menepuk pantatmu sepanjang hari! Kalau aku tidak datang, kau pasti minta digendong! Sini, kuinjak kepalamu!”

“Injak saja,” sambung Gebi. Tidak ada hal lebih menyenangkan selain melihat Kaffi ditindas kembarannya sendiri.

"Sekarang kalian bersekutu untuk menyiksaku?"

Gebi mendekat ke tepi ranjang kemudian menyentuh dahi Kaffi. "Kau masih panas. Apa kepalamu masih pusing?"

Kaffi mengangguk.

"Lihat dirimu. Itu karena Mami terlalu memanjakanmu!" Lagi-lagi Kiffarah mencemooh.

"Sudahlah, Kiffa. Jangan menceramahiku. Aku pusing!" Kaffi memegang kepalanya dan berbaring. Gebi memberi kode pada Kiffarah, bahwa dia yang akan merawat Kaffi. Wanita itu mengangguk paham.

"Ya, sudah aku pulang. Jangan merepotkan istrimu. Kau ingat?"

Setelah Kiffa pergi, Gebi mengambil bubur di atas meja kemudian duduk disamping Kaff.

"Ayo bangun. Kau harus makan."

"Aku tidak bisa, perutku mual."

"Itu karena perutmu belum terisi apa-apa. Ayo cepat bangun biar aku suapi. Makanlah biar sedikit. Ya?”

Entah ada jin apa yang masuk ke dalam tubuh Kaffi, bujukan Gebi berhasil membuatnya menurut. Lelaki itu duduk. Dibantu oleh ganjalan bantal dari Gebi.

"Mami ke mana?" Gebi mulai menyuapi.

"Entahlah. Begitu bangun, wanita gila itu sudah di sini. Bisa-bisanya kau meninggalkanku begitu saja.”

"Dini hari aku disuruh meliput. Ada pembunuhan anggota geng motor. Aku harus cepat meliput untuk headline koran pagi tadi."

"Lalu, kenapa kau lama sekali? Aku hampir gila di sini. Dia tidak bisa mengurus orang sakit."

"Seharusnya aku tidak buru-buru pulang dan biarkan kau diurus lebih lama oleh Kiffa."

Kaffi mendengkus kesal. Kemudian dia menatap Gebi yang sedang mengaduk buburnya. Amati wajah lelah istrinya dengan intens.

"Hei?" panggil Kaffi.

Gebi mendongak. "Hm?"

"Sepertinya kau harus keluar dari tempat kerjamu."

"Apa?"

"Aku rasa sudah waktunya kau berhenti kerja."

"Tapi, kenapa?" tanya Gebi, gusar. "Aku menyukai pekerjaanku. Apa kau malu punya istri seorang wartawan koran harian?"

"Bukan begitu. Hanya saja, pekerjaanmu terlalu berisiko. Waktu kerjamu juga tidak menentu." Kaffi sangat hati-hati menyampaikan. "Kadang, kau meliput pagi-pagi buta. Bahkan korbankan waktu tidurmu.  Keluar tengah malam untuk meliput kejadian-kejadian berbahaya. Aku tidak suka rutinitasmu. Dan juga tidak tenang, kalau orang terdekatku harus menghadang bahaya setiap saat.”

Gebi masih tertunduk memelintir sendok.

"Sebenarnya aku tidak mau memberi pilihan. Tapi..., tahu, kan, sekarang kau seorang istri? Kita sudah menikah. Akan ada pilihan yang harus kita prioritaskan, bukan? Oke. Aku mungkin terdengar egois. Tapi, sebagai suami, aku benar-benar tidak cocok dengan rutinitasmu. Aku kurang suka aktivitas berbahayamu.

“Jadi, bisakah kau berhenti bekerja? Diam di rumah, atau cari kerja baru yang tidak menuntutmu menjadi burung malam. Kalaupun ada yang harus meninggalkan tempat tidur malam hari, karena pekerjaan, lebih baik aku saja. Jangan kau.”

Gebi diam. Selama berapa bulan berumah tangga, ini pertama kalinya mereka bicara serius. Gebi berusaha mencerna makna di balik pernyataan Kaffi barusan. Apakah itu maksudnya Kaffi khawatir padanya? Atau Kaffi ingin seluruh waktu Gebi untuknya? Atau bisa jadi, Kaffi memang malu dengan profesi istrinya dan Meminta Gebi diam di rumah supaya tidak ada yang tahu bahwa istri pengacara yang sedang naik saat ini hanya seorang wartawan koran?

"Apakah kau merasa waktuku kurang untukmu? Kau memintaku memprioritaskan pernikahan ini?" tanya Gebi hati-hati

Sekarang giliran Kaffi yang diam. Sejujurnya Kaffi bingung dengan situasi ini. Dia tidak pernah mau membuat pernikahan ini menjadi rumit dengan melibatkan perasaan emosional ke dalamnya. Karena dasarnya, Kaffi tidak suka hubungan yang bersifat serakah dengan perasaan saling menguasai satu sama lain.

Sejak jauh-jauh hari, Kaffi menyugesti dirinya agar tidak bertindak di luar jalur yang sudah dia patokan sendiri. Kaffi ingin pernikahan ini berjalan sekasual mungkin. Tidak perlu ada rasa yang terlalu dalam. Tidak perlu ada aturan. Tidak usah saling mencampuri urusan pribadi.

Berkaca pada klien-kliennya selama ini, Kaffi tahu bahwa pernikahan yang terlalu mendalam ujungnya akan ke mana.
Pernikahan bisa hancur karena manusia menikah kehilangan hak atas hidupnya sendiri. Mau A, berbelok ke B, karena harus berkompromi dengan pasangan. Mau C, tidak jadi karena pasangan tidak menyukai.

Daripada menjadi single, Kaffi lebih menyukai pernikahan. Hanya saja, dia tidak sepakat jika garis-garis hak hidupnya ditebas.

Tapi, beberapa bulan menjalani, keadaan sepertinya mematahkan prinsip Kaffi. Sekarang, Kaffi merasa lebih mendominasi pernikahan ini. Andaikan pilihan tadi disampaikan Gebintang, Kaffi rasa dia langsung kabur saat itu juga. Tapi kenapa, dia menyodorkan pilihan ini pada Gebi?

Kaffi masih tidak tahu harus menjawab apa. Dia bingung dan takut secara bersamaan. Dia tidak mau memberikan jawaban yang bisa membuat Gebi merasa seakan-akan dibutuhkan karena itu sama saja memberi izin pada Gebi, untuk menguasai setengah hidupnya. Kaffi tidak mau itu terjadi karena hal itulah yang paling dihindari dari pernikahan ini.

"Kau keberatan?" setelah memutar otak akhirnya Kaffi hanya mampu menjawab itu.

"Entahlah aku akan memikirkannya dulu," jawab Gebi, lirih.

Hening.

Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Hei, Bi?" Kaffi tercekat

"Hm?"

"Sepertinya aku..." Tidak dilanjutkan.

Jantung Gebi berdetak hebat. dia tidak berani menatap Kaffi yang begitu dekat dengannya saat ini.

"Bagaimana ini? Bagaimana jika dia bilang mencintaiku? Kenapa harus secepat ini? Padahal aku belum punya perasaan apa-apa padanya?" batin Gebi. Wajahnya terangkat takut-takut menatap Kaffi yang memerah. "Ya, Tuhan. Bagaimana bisa dia segugup ini padaku? Tenang, Gebintang. Kau harus tenang. Jangan panik. Jangan rusakan suasana!"

Deg.. Deg.. Deg

Jantung Gebi berdisko dengan kurang ajarnya.

"Bi, aku..."

"Apa sih, Kaff? Apa susahnya bilang cinta? Bilang saja! Walaupun geli, aku tidak akan menertawaimu!"

"Aku...." Kaffi menelan ludah berkali-kali.

"Iya, Kaff?" Gebi berani menatap Kaffi sampai ke manik mata suaminya itu. Napas Kaffi tinggal satu-satu.

"Aku....”

''Iya, Kaff. Kau kenapa?"

Kaffi mencengkram kedua pundak Gebi dengan kuat. Menunduk dalam hingga kepalanya nyaris menyentuh dada Gebi. Wanita itu sudah menegang hebat. Dia sampai harus menahan napas rasakan suasana paling mendebarkan di dalam hidupnya.

"Ak-aku mau—"

"Iya, Kaff ? Mau apa? Cepat katakan!?”

"Aku. Mau. Munt—“ bunyi hwek panjang. Disertai rasa hangat yang merambati dada Gebi.

Gebintang mematung seolah-olah merasakan dirinya disengat jutaan volt listrik. Tubuhnya menegang, pikirannya menerawang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar. Dia tidak berani menatap ke bawah dan tidak sanggup melihat bencana apa yang terjadi pada bagian dada, perut, hingga pahanya.

Setelah itu, Kaffi berlari tanpa aba-aba. Terseok-seok ke kamar mandi dan meninggalkan jejak berharga kepada Gebi. Gebi sendiri masih mematung dengan kaki yang menyilang sementara tangannya meremas kuat sprei hingga nyaris robek.

Sesuatu yang menyengat di indra penciumannya langsung membawa Gebi kembali ke alam sadar. Perlahan tapi pasti, rasa hangat di bagian paha, perut, dan dadanya mulai terasa. Gebi mengumpulkan kekuatan jiwa dan jasadnya, rohani dan jasmaninya. Persiapkan mental terbaiknya untuk sekAdar mengecek bencana dahsyat yang terjadi di bawah sana. Perlahan-lahan, matanya mulai turun, pasti, slowmo, tanpa tekanan, dan....

"TRAYMOND KAFFIAR, CINA NISTA, IBLIS TERKUTUUUK! BERSIHKAN MUNTAHMU, BRENGSEEEEEEK!” 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro