Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Sebuah Mantra

Umpatan demi umpatan hanya bisa Garnish teriakkan dalam hati. Ibunya ada di rumah, jadi tak mungkin dia bisa leluasa mengekspresikan kekesalannya saat ini. Gadis itu makin dibuat geram saat memasuki kamar dan mendapati dongeng The Princess and The Frog yang ia pinjam dari perpustakaan kemarin. Garnish sadar bahwa ia punya kesamaan dengan Putri Tiana, tapi ia lupa bahwa Tiana juga adalah nama tengahnya. Bahkan fakta bahwa dirinya sendiri juga mengejek Gavin dengan sebutan kodok saat mendengar cegukan pemuda itu.

Gadis itu mendengus, berbaring di kasur sembari menatap gemas langit-langit kamarnya. Pertanyaan konyol hilir mudik dalam benaknya. Apa iya dirinya sekarang sedang dikutuk? Atau jangan-jangan kehidupan yang Garnish jalani sekarang tidak nyata? Ia hanya hidup di dunia paralel dari dongeng itu.

"Gila!" teriaknya tertahan.

Kepalanya spontan menggeleng. Satu-satunya kesamaannya dengan Putri Tiana adalah hobi memasak, tapi Garnish lebih spesifik karena menyukai pastri. Untuk fisik, memang mungkin cukup mirip dengan visualisasi Tiana dalam dongeng, tapi Garnish berani bertaruh bahwa Putri Tiana pasti tiga tingkat lebih cantik dari pada dirinya.

Gadis itu meraih guling sembari mencoba mengatur napas. Ia menolak berbagai persepsi, meyakinkan diri sendiri bahwa yang terjadi hanya kebetulan. Lagi pula, Garnish merasa sudah dewasa, maka ia harus berpikir sesuai logika. Tapi tetap saja, ia tak suka diolok-olok dengan si Gavin yang jelek, meskipun Garnish juga merasa dirinya tak sempurna. Ia tetap tak mau dipasangkan dengan si Pangeran Kodok.

Di antara kekalutannya, gadis itu teringat sesuatu. Ia beralih merogoh saku blazer yang masih melekat di tubuh, lantas menemukan fortune cookie yang terbungkus rapi di sana. Suasana hatinya sedikit membaik ketika melihat warna ungu muda bercorak hijau daun yang menghiasi kue itu. Tanpa pikir panjang, Garnish membuka cangkangnya. Matanya berbinar saat menemukan robekan selembar kertas, bak menemukan mutiara dalam sebuah cangkang tiram.

Kau bukan putri tidur, tak perlu menunggu pangeran. Bangunlah, wujudkan mimpimu sendiri.

Garnish kehilangan kata. Barisan kalimat yang tertulis di sana seolah menjelma jadi rekaman suara yang terngiang-ngiang di kepalanya. Bagai sebuah mantra, berhasil mengusik ambisi gadis itu yang sudah tertidur sejak lama.

Tangan Garnish mengepal kuat, merangkum kembali mimpi-mimpinya yang tersepai. Gadis itu tak mengerti mengapa bisa jadi sesemangat itu hanya karena beberapa kalimat yang baru ia baca. Tapi kejadian yang baru saja dialaminya membuat Garnish sadar, tak ada kebetulan di dunia ini.

Segalanya telah direncanakan Tuhan. Bisa jadi pertemuannya dengan Gavin, buku dongeng, dan hal lainnya adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh benang merah. Gadis itu membenarkan pikirannya sendiri, dia bukan putri tidur yang cantik seperti Aurora, jika dia Tiana, maka dia harus menggapai mimpinya sendiri. Pengeran tidak perlu ada dalam daftar keinginannya. Bahkan, Tiana sendiri adalah pahlawan bagi pangerannya. Meski tak punya rencana untuk ke depannya, gadis itu tak masalah. Setidaknya dia harus mengumpulkan niat terlebih dahulu.

"Bangun!" seru Garnish sepenuh hati. Tubuhnya bangkit dengan semangat dan senyum mengembang.

Hingga bunyi kenop pintu yang dibuka diiringi longokan kepala sang ibu yang tiba-tiba terlihat membuat perhatian gadis itu teralihkan.

"Nish, bantu ibu anterin pesanan kue, ya," ucap wanita yang mirip sekali dengan gadis itu. Wajahnya terlihat cerah saat menyampaikan berita yang memberi efek berbeda bagi Garnish. "Tadi Bu Fina pesen seratus kue lapis buat acara di kos-kosannya."

Senyum Garnish pudar, berganti seringai hambar. Ia memang sedang bersemangat tadi, tapi gadis itu tak berniat untuk memulai aktivitasnya sekarang juga. Apalagi jam dinding yang menempel di atas meja belajar itu seakan mengejek Garnish sembari menunjuk angka setengah tujuh. Tapi senyuman sang ibu mampu membuat Garnish tak berkutik, alih-alih menganggukan kepala pelan.

"Ya udah, ganti baju dulu," pesan ibunya seraya menutup pintu.

Helaan napas lolos dari mulutnya. Tanpa membuang banyak waktu lagi Garnish bangkit meraih handuk, bergegas pergi ke kamar mandi. Membersihkan diri dan memakai kaos santai bergambar donat, lengkap dengan celana balon motif polkadot. Tak masalah meski tidak serasi. Ia bahkan tak mematut diri di cermin, sebab indekos yang hendak ia datangi berada tak jauh dari rumah. Hanya satu kelokan, Garnish akan tiba di tujuan. Maka gadis itu tak merasa perlu berpakaian rapi. Ia kenal dengan Bu Fani yang ramah, tak seperti tetangga-tetangga lain yang akan mengomentari pakaiannya.

"Bu, aku berangkat, ya. Ini kuenya kubawa," pamitnya seraya bersenandung melewati pintu.

Garnish masih melangkah ringan dengan penerangan flashlight dari ponselnya. Hingga cahaya gemerlapan dari lampu-lampu tumblr yang terpasang di depan indekos membuat gadis itu tersentak. Garnish mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, tak tahu harus menyembunyikan wajahnya di mana saat menyaksikan pemandangan tak terduga yang tersaji di depan sana.

Garnish lupa! Indekos milik Bu Fani adalah indekos putra. Parahnya lagi, mereka sekarang sedang berkumpul di beranda, menanti kue yang sedang berada dalam genggamannya. Sedangkan penampakan Garnish sekarang tak ubahnya badut ulang tahun. Daripada dibuat malu lebih lama lagi, Garnish memilih memantapkan hati. Melangkah maju meski dihujani tatapan aneh para penghuni indekos itu.

"I-ini ... pe-pesanannya Bu Fani."

"O-oh, iya, nanti disampein kalo udah diterima," jawab salah satu pemuda yang duduk paling depan.

Gadis itu mengangguk pelan, ia hampir berbalik dan pulang dengan tenang andai saja tak ada suara horor yang tiba-tiba memanggil nyaring.

"Tiana!"

Saat Garnish berbalik, ia mendapati Gavin yang tengah tersenyum lebar.
"Kok kita ketemu lagi?"

Lagi-lagi kesialan menghampirinya, kepala Garnish menggeleng-geleng spontan. Hatinya turut bertanya, mengapa benang merah yang mengikat ia dan Gavin seolah sangat kuat hingga mereka selalu berada dalam lingkaran yang sama. Gadis itu hendak pergi, tapi melihat para pemuda lain yang tak lagi menjadikannya pusat perhatian, Garnish memilih untuk menjawab pertanyaan Gavin.

"Gue cuma nganterin kue."

"Lo jualan kue terus, ya? Gue pikir cuma pas di kampus."

"Iyalah, ini bisnis gue."

"Wah, keren dong si Tiana."

"Nama gue Garnish!" seru Garnish mengoreksi.

"Oh iya, soalnya kita belum kenalan, sih."

"Sudah, deh, gue mau pulang."

"Eh, berani sendiri? Udah malam, loh."

Gavin terlihat menghampiri meja, meraih jaket kulit berwarna hitam yang selalu ia pakai ke mana-mana dan dengan santainya menghampiri Garnish.

"Gue anter," kata pemuda yang tengah berusaha tersenyum seperti malaikat tapi terlihat seperti jin Aladin di mata Garnish.

"Ih, apaan?"

"Udah, ayo."

"Enggak mau! Lo ada niat jahat, ya?"

"Enggak lah, ya udah gue enggak nganter." Baru saja gadis itu bernapas lega, Gavin kembali melanjutkan, "tapi gue ikut."

Tanpa menjawab, Garnish memilih berpaling. Tak peduli meski Gavin mengekor di belakangnya, berusaha menyamakan posisi dengan Garnish yang melangkah cepat. Gadis itu waspada, menyiapkan suara teriakan, agar ia bisa mengambil langkah lebih cepat jika pemuda itu melakukan pergerakan aneh.

"Tian--eh? Gar, gue mau tanya dong."

"Apaan, sih? Kok, Gar? Nish! panggil gue Nish."

"Iya, Nish! Gue mau tanya."

"Apa?" Nada suara Garnish jelas sekali terdengar malas.

"Kue lo ... bisa nyembuhin muka gue enggak, ya, kira-kira?"

Untuk yang kesekian kalinya, Garnish merasa Gavin adalah orang yang aneh. Bahkan gadis itu yakin bahwa suara para jangkrik yang menemani perjalanan mereka malam ini adalah bentuk tertawaan atas pertanyaannya itu.

"Sebenarnya, kalau lo tanya alasan gue ngintai Vivian hari itu, salah satunya adalah karena dongeng yang dibilang Ali," lanjut Gavin karena tak mendapat jawaban.

"Ali?"

"Iya, cowok yang ketemu sama kita di bazar hari itu." Gavin memilin bibirnya ke dalam. "Dia dari dulu suka ngomongin soal dongeng Pengeran Kodok. Jadi, gue pikir gue harus cari seorang putri buat nyembuhin kutukan ini, siapa tahu aja, kan?"

"Ya ampun Vin, siapa sih yang bakal percaya hal begitu di zaman sekarang?"

"Ada, Nish, orang putus asa kayak gue."

Jawaban itu sukses membuat mulut Garnish bungkam. Setitik perasaan bersalah perlahan menetes di hatinya. Ia merasa ejekan dan tingkahnya pada Gavin memang keterlaluan. Garnish tersadar, tak semua orang sepesimis dirinya. Masih ada orang-orang yang dipenuhi optimisme dan harapan. Tidak ada salahnya punya jiwa anak-anak dengan mempercayai dongeng.

Gavin menghentikan langkahnya. Membuat Garnish turut berlaku demikian. Mereka berdiri berhadap-hadapan. "Sampai akhirnya gue ketemu lo, Nish. Sepertinya yang bisa mutusin kutukannya bukan Vivian, tapi lo."

Garnish tersentak, hatinya kembali merangkai berbagai pertanyaan. Apakah ini artinya Gavin akan meminta bantuannya layaknya Tiana?
Tapi, di dongeng itu, untuk memutuskan kutukannya, maka Garnish harus ...

Gadis itu menggeleng, tak mau membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

[To Be Continue]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro