Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Obrolan di Sudut Kantin

Garnish memutar bola matanya saat tangan kekar seorang pemuda menghalangi jalan yang hendak ia lalui menuju kantin. Ia berjingkit sedikit, lalu berdecih pelan saat melihat keberadaan Vivian di dalam sana. Sedang pemuda di depannya hanya menyeringai penuh arti. Tanpa malu menyerahkan paper bag berwarna cokelat di tangan satunya.

"Belum nyerah juga?" tanya Garnish seraya menelengkan kepala.

"Buat laki-laki gentle, enggak ada kata menyerah sebelum dapat iya dari pujaan hati."

"Laki-laki gentle mana yang enggak berani ngasih hadiah gini secara langsung?"

Pemuda itu kembali menyengir. "Suatu saat nanti, deh, pesonanya Vivian terlalu silau, Nish."

"Halah, alasan. Minggir, deh, gue mau lewat."

"Ini terima dulu."

"Kayak biasa, dong. Lo beli kue gue, baru gue mau."

"Materialistis, deh, Bu Guru."

"Terserah," kata Garnish sembari menepis tangan pemuda itu.

"Eh, eh, Nish, iya gue beli tiga."

"Nah, gitu dong."

Garnish membuka wadah kuenya, mempersilakan pemuda itu memilih sendiri. Lantas mengambil paper bag yang tadi disodorkan dan masuk ke area kantin. Ia segara menghampiri Vivian yang tampak fokus di meja ujung. Wajah manis gadis itu tertutup monitor laptop, dengan tangan yang tak henti mengetik keyboard. Garnish duduk diiringi napas berat, diletakkannya kue yang tadi ia bawa dengan rapi di meja.

"Dikejar deadline, Vi?"

Mata Vivian melirik sebentar, lalu kembali fokus lagi. "Iya, flashdisk gue hilang, padahal nanti siang presentasi."

"Wah, gawat juga, tuh. Mau dibantu?"

"Enggak apa, bentar lagi selesai, kok. Tinggal copas bahan makalah ke PPT aja."

Garnish mengangguk-angguk paham. Ia kembali meraih paper bag yang tadi dibawa, menyodorkannya lebih dekat ke arah Sherlin.

"Ini dari penggemar lo."

"Apaan?"

Tanpa disuruh, Garnish membuka paper bag itu dan memperlihatkan isinya. "Martabak manis rasa keju!"

"Ih, enggak suka keju. Lo makan aja, deh."

"Oke siap, Yang Mulia Ratu."

Garnish melahap satu demi satu potongan martabak keju itu. Mendadak suasana hatinya membaik. Ia suka kue, membuat atau pun memakannya. Bagi gadis itu rasa manis dari makanan bisa membuat suram menghilang.

"Ah, akhirnya selesai juga!" seru Vivian sembari merentangkan tangannya, merilekskan bagian tubuh yang terasa kaku.

Gadis itu beralih meraih sendok kecil dalam gelas kopinya, menyemili marshmallow yang terlihat lembut. Lalu ia terlonjak ketika teringat sesuatu. Vivian bergerak cepat, meraih tote bag yang tergeletak di ujung meja, mengeluarkan selembar kertas warna merah hati yang berhias pita hitam.

Pandangan Garnish teralihkan, terkagum sejenak saat menatap kertas bergambar bunga mawar dengan ilustrasi pasangan yang bergandengan tangan. Dari dua nama yang sekilas terlihat bersanding di kertas sana, Garnish bisa menebak benda apa itu. Namun, hal yang kemudian diucapkan Vivian tetap membuat matanya terbelalak.

"Ini dari Tina sama Lingga."

"Demi apa? Secepat ini?" Garnish langsung menyambar undangan itu, menelisiknya dengan pandangan tajam.

"Udah gue duga lo bakal kayak gitu."

Garnish tertawa. "Enggak sabar ketemu Tina sambil bilang gini, siapa ya yang pas semester satu paling semangat bilang .... " Gadis itu berdeham tiga kali, mencoba menyamakan suaranya dengan teman sekelasnya itu. "Aku mau pakai toga dulu sebelum pakai gaun pernikahan."

"Ya kali, semester lima emang masa rawan enggak, sih?" tanya Vivian diiringi tawa renyah. "Kakak tingkat kita tahun lalu juga banyak yang nikah pas kayak gini, kayak udah musim aja gitu."

"Bener juga, sih."

Garnish jadi teringat pada grup wa kelas dua belas yang jadi hidup kembali akhir-akhir ini. Selalu begitu jika ada yang menyebar surat undangan. Semakin ke sini, dia semakin sadar bahwa undangan pesta ulang tahun yang kerap ia dapatkan di umur belasan sudah tergantikan dengan undangan perkawinan.

"Temen gue bahkan udah ada yang punya anak, loh, Nish."

"Terus lo kapan?" goda Garnish.

"Dua tahun lagi juga gue jadi ibu."

"Serius?"

"Anaknya langsung dua puluh."

"Parah!"

"Iya, kan, jadi Bu Guru."

"Ah, Vivian!"

Keduanya tertawa serempak.

"Lo sendiri gimana? Gak ada kepikiran gitu tentang hal-hal kayak gini?"

"Kalo gue, sih, jangankan itu, kayaknya laki-laki takut sama gue, deh."

"Kalo gitu sama, dong. Banyak juga yang takut sama gue. Buktinya mereka selalu minta bantuan lo buat macam-macam."

"Tapi, kan, lo tinggal tunjuk aja Vi, nanti juga mereka ngantre."

"Kalo yang ngantre kayak oppa di drama Korea, sih, mau gue Nish."

Garnish berdecak, seharusnya para pemuda yang tiap hari mencegatnya agar memberikan makanan dan berbagai hadiah pada Vivian itu mendengar ocehan gadis ini sekarang. Agar mereka bisa sadar diri atau mengambil jalur ekstrem dengan memermak wajahnya agar terlihat seperti idol Korea yang membuat Vivian tak mengedipkan mata.

"Tapi tahu enggak, sih, Nish, daripada mikirin soal masa depan yang itu, makin ke sini, gue makin merasa ini dunia gue."

Garnish mengangkat alisnya tak mengerti. Vivian tersenyum melihat hal itu.

"Biar pun tugas banyak, tiap hari urus revisian RPP, coba-coba metode, semuanya tetap terasa manis," ungkap gadis itu. "Kayaknya ini gara-gara observasi ke SD kemaren, deh, gue seneng bisa berdiri di hadapan anak-anak, main game bareng, dan ngelakuin apa yang selama ini cuma kita dengar teorinya."

Garnish tersenyum singkat. Semester kemarin mereka memang diberi tugas untuk berangkat ke sekolah dasar dan melakukan observasi, hanya saja saat itu mendadak salah satu gurunya tidak bisa masuk. Akhirnya agar kelas tidak ribut, kepala sekolah malah menyuruh kelompok Garnish dan Vivian untuk mengajar.

Beruntungnya, hari itu anak-anak sudah menyelesaikan pembelajaran temanya, sehingga Vivian dengan sigap menawarkan pengayaan dalam bentuk game. Membuat para siswa senang, bahkan sebagian menangis karena tak mau Vivian dan rombongannya pulang di akhir sesi.

Jika mengingat hal itu, Garnish percaya bahwa Vivian benar-benar menemukan hidupnya dalam jurusan ini. Berbeda dengan dirinya sendiri. Jika mahasiswa kebanyakan mulai merasa salah jurusan di semester ini, Garnish merasa sudah tersesat sejak awal.

"Kira-kira, nanti kita bisa ngajar di sekolah yang sama enggak, ya? Pasti seru, deh."

"Iya, kelak Vivian akan jadi guru idola anak-anak."

Senyuman gadis itu mengembang lebar. Ia benar-benar berharap apa yang dikatakan Garnish akan jadi nyata.

"Oh ya, ngomong-ngomong, nanti lo datang, kan, ke acaranya Tina?"

"Pasti, dong, makan gratis."

"Kalo gitu pas banget, kita ke pameran yuk sepulang kuliah."

"Pameran?"

"Iya katanya ada bazar gitu di jalan depan kampus."

"Malam?"

"Sore juga udah buka, kok."

Garnish menggumam, menimbang-nimbang tawaran itu. Sebab dia tak boleh pulang terlalu larut agar bisa segera membuat kue untuk dijual besok. Vivian yang mengetahui hal itu segera meraih tangan Vivian, menggenggamnya dan menampilkan wajah penuh harap.

"Bisa, dong, biar kita bisa beli hadiah buat pernikahannya Tina."

"Gitu, ya?"

"Iya, katanya juga ada bazar alat-alat kue, loh.

Garnish tersenyum miring, kalau sudah begitu, mau tak mau dia harus setuju. "Oke, deh," jawab gadis itu yang diiringi sorakan senang dari Vivian.

[To Be Continue]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro