Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Di Depan Gerbang

Tatapan aneh didapatkan Garnish saat tangannya terulur menyodorkan kotak bento ke depan Ali yang kebetulan sedang berada tepat di pintu kelas. Garnish menarik napas dan mengembuskannya perlahan, gadis itu tak pernah menduga bahwa ia akan mengalami hal seperti yang biasanya para penggemar Vivian lakukan, tidak berani untuk menyerahkan langsung makanan ini pada orang tujuannya, Gavin.

"Buat gue?" tanya Ali tak mengerti.

Garnish menggeleng lelah. "Kasih sama Gavin, ya, tolong." Jeda sebentar hingga gadis itu kembali menambahkan saat melihat kemungkinan timbulnya salah paham. "Ini pesanan dia."

"Oh, oke."

Setelah mengucapkan terima kasih, Garnish berpaling. Tak menuju kelas, ia memilih menikmati waktu sendiri dan pergi ke area lapangan basket di depan gedung utama. Saat dalam perjalanan menuju kelas pemuda itu, netranya sempat melihat keberadaan tukang es krim di depan gerbang, dan benar saja penjual es krim itu masih di sana sekarang. Garnish merasa harus mendinginkan dirinya terlebih dahulu.

"Es krim matcha-nya satu, Pak, ada?"

"Ada, Mbak."

Dua tumpuk scop es krim berwarna hijau yang tampak lembut di atas cone cokelat gelap itu dilapisi tisu sampai ke tangan Garnish. Gadis itu segera melahapnya, tak rela jika satu tetes saja mencair dan menetes jatuh ke bumi.

Sedangkan pria penjual es krim itu terus saja berbicara. Menanyakan berbagai hal pada Garnish. Garnish sendiri hanya tersenyum menanggapi, dia tahu karakter bapak-bapak senang mengobrol, tapi dia bukan seseorang yang bisa cepat akrab dengan orang asing. Gadis itu kadang bingung ingin menyahut apa.

"Anak saya juga kuliah," cerita penjual es krim itu berganti topik dari persoalan harga buah yang naik akhir-akhir ini.

"Oh ya, di sini juga, Pak?"

"Bukan, di sini mah mahal," sahutnya diiringi tawa. "Buat orang kaya aja, kayak Mbak."

"Bu-bukan Pak, saya bisa kuliah di sini juga karena beasiswa, kok."

"Berarti pinter dong, ya."

Garnish tak menjawab, sebelah tangannya yang tak memegang es krim jadi terangkat menyelipkan anak rambut yang lolos dari gelungan ke belakang telinga. Ia segera menghabiskan es krimnya dan melahap cone cokelat itu sekaligus.

"Mbak, kira-kira temannya pada suka minum jamu enggak, ya? Istri saya jualan jamu, kalau mau nanti saya suruh ke sini."

"Tapi ... kayaknya jarang deh, Pak, anak muda yang minum jamu."

"Lah, kenapa? Padahal bagus loh, jamu itu punya banyak manfaat, buat bau badan, buat kesehatan juga."

Saat mendengar kata kesehatan yang disebutkan penjual es krim itu, Garnish tiba-tiba teringat dengan rencananya membuat ramuan. Bisa dikatakan jamu termasuk obat juga, apalagi fakta bahwa minuman tradisional itu terbuat dari bahan-bahan alami yang jarang menimbulkan efek samping, sepertinya sangat aman dan tidak beresiko untuk dikonsumsi.

"Ada enggak, Pak, jamu yang bisa buat nyembuhin panu?" tanya Garnish.

"Saya sih, kurang tahu, Mbak. Tapi kayaknya sih, ada."

"Oh ya? Istri bapak jual?"

"Semuanya lengkap di istri saya."

Segaris senyuman terbit di wajah gadis itu. Ia seolah mendapat pencerahan hari ini. "Saya ... boleh enggak ya minta nomor teleponnya bapak atau istri bapak?" Ia lalu mengeluarkan ponsel dari saku blazer berwarna cokelat yang kini membalut tubuhnya. "Soalnya saya ada penelitian tentang panu, saya mau belajar buat jamunya," lanjut gadis itu beralasan.

Jika tidak begitu, Garnish takut si bapak salah mengira kalau dia ingin membuka usaha jamu yang beresiko menjadi saingan istrinya. Bisa gawat kalau begitu, bisa-bisa mereka tidak mau mengajarkan Garnish caranya. Padahal agar bisa membuat ramuan untuk Gavin, tentu Garnish tak bisa memberinya satu dua botol saja, tapi harus rutin, dan pasti akan jauh lebih bermakna saat ia bisa membuatkannya sendiri.

"Gitu, Mbak? Saya enggak ada telepon," sahut bapak itu yang membuat Garnish mendesah kecewa. "Tapi kalau Mbak mau, nanti ke rumah saya aja, deket kok dari kampus ini."

Mata gadis itu kembali berbinar. "Serius boleh, Pak?"

"Iya boleh lah." Bapak itu menunjuk ke arah jalan depan. "Tuh, nanti ikutin aja jalan ini, belok kanan, ada rumah kontrakan warna biru, nomor tiga itu rumah saya."

"Oke, Pak, nanti abis pulang kuliah saya ke sana."

Garnish berbalik dengan senyum lebar. Namun, ia malah mendapati Gavin yang berada tepat di depan gerbang, hendak keluar. Padahal gerbang itu hanya terbuka sedikit, sehingga keduanya terdiam cukup lama. Tak ada yang bergeser untuk mempersilakan salah satunya lewat lebih dulu.

Beberapa menit berselang, pemuda itu berdeham, lantas mundur selangkah. Garnish yang mengerti langsung mengangguk lemah, ia berlalu dari sana tanpa obrolan ringan dan sapaan hangat seperti biasa. Gadis itu melirik arlojinya, masih ada sepuluh menit sebelum final test dimulai hari ini, ia memilih menengok perlahan. Menatap punggung Gavin yang tampak berlarian kecil di balik gerbang, entah menuju ke mana.

"Apa dia kabur?" tanya Garnish pada diri sendiri. "Enggak mungkin, sih, dia kayaknya semangat banget buat ujian beberapa hari lalu."

***

Suasana kelas tampak berbeda di hari pertama ujian akhir. Beberapa mahasiswi tampak sibuk berpikir keras, seperti Vivian yang berkali-kali menutup matanya, berharap selintas jawaban dapat terlihat di pandangannya yang kini menggelap. Sedangkan Garnish di sampingnya terlihat lebih santai, gadis itu percaya diri bisa menyelesaikan semua esai. Setelah mengurangi orderan seperti yang disarankan Vivian, dia punya waktu luang untuk beristirahat dan belajar lebih banyak.

"Udah belum?" bisik Garnish saat Vivian tanpa sengaja menengok kepadanya.

Vivian menengok sekilas ke arah dosen pengawas yang terkantuk-kantuk di depan ruangan sebelum akhirnya berani menyahut, "Satu soal lagi, nomor lima apa, ya?"

Garnish mengecek jawabannya sebentar lalu kembali menengok. "Yang waktu itu gue tanya ke Rama," bisiknya tak langsung menyebutkan jawaban, melainkan mengingatkan Vivian pada momen saat mereka membahas materi itu.

Wajah Vivian berubah cerah, ia mengangkat ibu jari pertanda terima kasih karena mendapat pencerahan. Segera menuliskan kata demi kata yang kini bermunculan begitu saja. Vivian tak mungkin lupa bagaimana serunya debat kusir antara Rama dan Garnish yang membahas masalah pergantian kurikulum sekolah hari itu. Keduanya sama-sama punya argumen kuat, bahkan mendapatkan pujian dari dosen pengampu mata kuliah itu.

"Udah, nih, ayo kita kumpul," ajak Vivian pada akhirnya.

Setelah mengumpulkan lembar jawabannya, mereka bergegas keluar kelas. Sebelum final test dimulai tadi, Garnish memang sudah meminta Vivian untuk menemaninya ke rumah si tukang es krim dan menemui istrinya. Sebab meski pria itu tampak baik dan bersahaja, Garnish tetap tak mengenalnya dengan dekat, maka gadis itu mencoba bersikap waspada dengan tidak pergi sendirian.

Sesuai apa yang dikatakan pria itu, mereka menemukan rumah kontrakan berwarna biru di ujung jalan. Tepat ketika seorang wanita yang membawa jamu gendong membuka kunci rumahnya, baru saja pulang dari berjualan.

"Permisi, Bu," sapa Garnish.

"Iya, cari siapa, Mbak?"

"Ibu ini Bu Asih?" tanyanya sembari mengingat-ingat nama perempuan yang tadi disebutkan oleh si penjual es krim. "Istrinya bapak yang jual es krim itu, ya?"

Wanita itu mengangguk. Tampak jelas keterkejutan di wajahnya, mungkin karena selama ini belum pernah ada yang mencarinya seperti ini.

"Jadi gini, Bu, saya mau beli jamu buat ... obat panu."

Wanita itu masih terdiam, mencoba mencerna kata demi kata yang diucapkan Garnish.

"Tapi saya mau coba bantu Ibu buat juga, kata si bapak boleh, Bu. Ibu mau, enggak ajarin saya?" Garnish mengungkapkan keinginannya dengan semangat yang menggebu. "Buat tugas kuliah, Bu," lanjut gadis itu yang lagi-lagi terpaksa berbohong karena ia takut ibu penjual jamu itu akan menolak. "Iya, kan, Vi?" Garnish menyenggol tubuh Vivian, mencari dukungan.

"Eh? Iya, buat mata kuliah Budaya Daerah," sahut sahabatnya itu membenarkan.

Keduanya menunggu respon dengan harap-harap cemas. Tapi untungnya kemungkinan terburuk hanya terjadi di benak gadis itu, alih-alih menggeleng sebagai tanda tidak setuju, wanita itu malah tersenyum cerah.

"Boleh, ayo masuk," ajaknya yang langsung menularkan kegembiraan pada dua gadis itu. "Jarang-jarang loh ada anak muda yang mau belajar gini, senang ibu."

[To Be Continue]

A/N

Mumpung ada sinyal, aku update dua bab sekaligus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro