THE LOST SISTER #1
T H E L O S T S I S T E R
Genre : Mysteri - Investigation.
Update Setiap Hari.
***
"Maksudmu, murid bernama Annalise portman itu menghilang?"
Jake Flinch – seorang detektif di bawah departemen kepolisian kota New York – baru saja tiba di sebuah arena kemah paling tersohor di kota dengan julukan The Big Apple itu beberapa waktu lalu setelah menerima laporan orang hilang dari seorang wanita bertubuh tambun bernama Margareth. Bersama rekannya yang juga seorang detektif, Bennedict Allen, keduanya ditugaskan untuk terjun secara langsung oleh pimpinan mereka.
First High School adalah sebuah sekolah swasta terbaik yang dikenal dengan segudang prestasi muridnya di bidang akademik maupun non akademik. Jika diingat-ingat lagi, First High School tidak memberikan celah sedikitpun bagi sekolah lain untuk menyaingi mereka karena reputasi dan jejak rekam mereka yang luar biasa. Tidak ada skandal dan hampir semua murid menjalankan aturan dengan disiplin.
Namun, hilangnya Annalise, menjadi kasus pertama dimana akhirnya First High School mungkin mulai kehilangan kewaspadaan.
Margareth – wanita dengan rambut cokelat terang yang ikal – berdiri sembari menyilang kedua tangannya di dada. Sesekali ia menggigit bibirnya yang dipoles lipstik berwarna oranye terang, serasi dengan pakaiannya yang juga berwarna senada. "Kami bersiap untuk kembali ke sekolah, tapi Annalise tidak ada dimana – mana," katanya khawatir. Garis-garis halus di sekitar wajahnya mengerut, sorot cemas dan bingung tampil dengan jelas di wajahnya yang sudah tak lagi muda. Mata cokelatnya lantas menatap Jake gugup, setengah ketakutan. "Lokasi kemah ini cukup dekat dengan hutan yang luas, aku khawatir jika Annalise bertemu hewan buas."
Bennedict membuka suaranya, menyela Jake yang tampak sibuk dengan buku catatan kecil dan pena di tangannya. "Apakah kau memiliki foto gadis itu? Jadi kami bisa melihat atau memastikan jika kami menemukannya di dalam hutan?"
Margareth mengernyitkan keningnya, tampak mengingat – ingat. Sebelum pada akhirnya wanita itu menjentikkan jarinya di udara dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas jinjingnya hanya dalam beberapa detik saja. "Aku sempat berfoto dengannya dan murid lain saat kami tiba di sini,' ucapnya. "Ini, gadis dengan pita merah di rambut pirangnya yang panjang."
Selagi Margareth menunjuk – nunjuk layar ponselnya, mengarahkan telunjuknya pada potret Annalise di sudut gambar pada Bennedict dan Jake, seorang wanita lain tiba- tiba datang dan menghampiri mereka.
Jake sedikit terusik saat akhirnya wanita itu berhenti tepat di depan mereka dan berkata, "Permisi, Nyonya." Lalu tangannya yang kurus mengangkat kartu identitasnya sebagai pers dan melanjutkan. "Aku Juliet. Kau pasti pernah mendengar soal surat kabar bernama The New York Times, bukan? Aku datang ke sini untuk mewawancaraimu terkait hilangnya salah satu murid di arena kemah ini."
Belum sempat Margareth berkata – kata, Jake sudah lebih dahulu memasang badan, menghalangi wanita bertubuh gempal itu dari Juliet dan melipat kedua tangannya di dada. Mata cokelat milik Jake mengawasi Juliet dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan sinis. "Media dilarang masuk dan ikut campur."
"Aku kemari untuk mencari kebenaran bukan untuk mendahului pekerjaan polisi. Jadi, kau tidak perlu khawatir," timpal Juliet tak kalah sengit.
Pria bertubuh tegap itu mendengus geli dan menyeringai tipis, lalu mengangkat kepalanya dengan angkuh. "Aku baru saja berkata 'kau sebaiknya pergi sebelum meninggalkan masalah'. Jadi, kau tidak perlu repot – repot datang ke tempat ini dan carilah berita lain di kota."
Juliet tertawa hambar, sama sekali tidak terlihat gentar. "Koranku tidak pernah menerbitkan berita bohong. Kami perlu meluruskan kesimpang siuran rumor hilangnya salah satu murid dari saksi mata," tandasnya dengan gaya bicara yang terkesan menantang. "Sebaiknya kau tidak menghalangi pekerjaanku."
"Sudah, sudah," pungkas Bennedict tiba – tiba. Membuat Jake dan Juliet langsung menoleh ke sumber suara itu. Bennedict kemudian tersenyum kecil pada Margareth sembari mengangkat buku catatannya. "Kami akan memeriksa area kemah ini terlebih dahulu. Aku akan menghubungimu melalui nomor yang kau tulis di sini dalam waktu dekat, pastikan bahwa ponselmu dalam keadaan aktif."
Wanita dengan blus oranye dan rok plisket lebar berwarna hitam itu lantas menganggukkan kepalanya dengan patuh dan berujar, "Ya. Baiklah, Detektif."
Saat Margareth pergi, menghampiri beberapa muridnya yang sudah bersiap untuk naik ke mobil sekolah, Bennedict langsung melihat Jake dan Juliet bergantian. Ia bersedekap dan menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Apa kalian adalah anak – anak? Kalian bahkan membuat keributan di depan saksi, di lokasi kejadian perkara, pikir kalian kita sedang bermain – main?"
Jake mendengus lagi dan menunjuk Juliet yang berdiri di sebelahnya dengan kesal. "Katakan padanya bahwa kita tidak membutuhkan media sekarang. Dia tidak mendengar perkataanku, jadi kupikir dia mungkin bodoh atau tuli."
Alih – alih menutup mulut, mengalah, membiarkan Jake begitu saja, Juliet justru mengibaskan rambutnya ke arah Jake sehingga pria itu sontak menurunkan tangannya dan keduanya saling mendelik sinis di sana. "Katakan padanya bahwa aku di sini untuk menemukan kebenaran, jadi pria berkepala batu ini tidak perlu menghalangi langkahku."
Pria berusia 28 tahun itu menoleh cepat, memandangi Juliet tak percaya. Ia menghela napas pendek dan menggelengkan kepala. "Kau bicara santai pada rekanku seolah – olah dia akan berpihak padamu. Apa kau sudah tidak waras sehingga begitu berani di depan polisi, hm?"
Tawa mencemooh dari Juliet pun terdengar di sana. Ia ikut berkacak pinggang dan mengalahkan pandangannya pada Bennedict. "Kau sudah menerima uangku, bukan? Apa kau sekarang akan berpura – pura tidak tahu dan diam saja seperti patung?"
"Ada apa ini?" Manik cokelat Jake melihat Juliet, lalu ke Bennedict bergantian. "Kau tidak bersekongkol dengan media, 'kan, Ben?"
"Ayolah, apa hobimu memang menakuti semua orang?" sela Juliet.
Namun Jake sama sekali tidak menggubrisnya. Pria dengan otot – ototnya yang keluar menyembul dari kemeja pendeknya itu pun berjalan menghampiri Bennedict. Membuat pria berkulit kecokelatan dengan buku catatan di tangannya itu mundur beberapa langkah ke belakang, sebelum akhirnya ia berseru, "Baiklah, baiklah!" demi membuat Jake berhenti menatapnya setajam itu. Mereka berhadapan dan Bennedict mulai menjelaskan, "Juliet dan aku adalah seorang kawan lama, aku hanya membantunya mendapatkan berita dan Juliet dapat membantu kita karena dia sudah sering bergabung dalam sebuah penyelidikan kepolisian."
"Ini bukan soal pertemanan kalian. Dia membayarmu dengan upah yang besar, bukan?"
Bennedict mendesah. "Ah, tidak begitu. Jangan salah paham dulu. Juliet tidak bermaksud jahat."
"Juliet juliet juliet!" Jake memekik dengan kesal. "Setiap kali aku mendengar namanya disebut, aku seperti berada di negeri dongeng dan seolah – olah akan mati bersamanya."
"Hanya Romeo yang akan mati bersamaku," potong Juliet sinis. "Aku juga tidak sudi jika kau yang jadi Romeo nya."
Jake tampak menyeka wajahnya dengan frustrasi. Ia menghela napas panjang dan mulai menghampiri Juliet, membalikkan tubuhnya dan mencoba mendorongnya menjauh dari area perkemahan. Juliet juga tidak mudah menyerah, beberapa kali ia berusaha menahan diri meski kekuatan Jake tentu lebih besar darinya. Hingga akhirnya Juliet sampai di perbatasan area kemah dan Jake melepaskan tangannya dari punggung Juliet. "Pergilah, kau akan mendengar perkembangan beritanya secapatnya," titah Jake.
Bennedict yang sedaritadi hanya bisa diam dan mengikuti keduanya pun tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku tidak mau. Aku akan tetap di sini," katanya bersikukuh.
Juliet hendak berjalan melawan arus, mencoba mendesak masuk kembali, tetapi Jake mendorongnya dengan keras sampai tubuh Juliet akhirnya limbung ke tanah. Ia merasakan bokongnya berdenyut nyeri sebelum benar – benar berdiri. Namun, sesuatu akhirnya berhasil menarik perhatian gadis dengan rambut pirangnya itu.
"Ada sesuatu di sini," kata Juliet saat meraba tanah di bawah pantatnya. Dan setelah merasa yakin bahwa ada sesuatu, ia pun mulai menggali tanah dengan kedua tangannya sendiri sementara Jake dan Bennedict hanya diam menunggu. Mata birunya yang terang sontak terbuka lebar saat ia akhirnya menemukan sebuah buku di sana. Juliet pun menariknya keluar, menyapu permukaan halaman buku yang ditutupi tanah dan mulai membaca, "Di sini tertulis bahwa buku ini milik ... Anna ... Annalise Portman. Annalise Portman?!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro