IV
Everybody wants you
Everybody wonders what it would be like to love you
╰─── * • * 。 • ˚ ˚ ˛ * 。° 。 • ˚ • * ───╯
Pagi datang dan aktivitas sarapan dimulai seperti biasa. Meski begitu, Yeosang berusaha menghindari kontak mata antara dirinya dan San karena setiap kali ia berusaha melihat pria itu yang terbesit di pikirannya adalah ciuman semalam. Ciuman singkat yang membuat Yeosang semakin sulit memejamkan mata ketika ia kembali ke tempat tidur.
"Kau ingin susu lagi?'' Tawar San sambil mengangkat teko berisi susu.
Yeosang menggeleng, ia mengunyah roti gandum dalam diam sambil menundukkan kepala, hal itu mengundang pertanyaan dari San.
"Apakah aku membuat kesalahan?''
Yeosang kembali menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, tatap aku.''
Butuh waktu sampai akhirnya Yeosang mendongak dan keduanya bertemu pandang untuk pertama kalinya hari itu. San menatap Yeosang seksama, mencoba mencari-cari alasan mengapa Sang Pangeran enggan memandangnya, tapi yang San dapati adalah kedua pipi Yeosang bersemu kemerahan dan bulu mata lentiknya yang mengerjap.
"Sesuatu terjadi semalam? Kau terlihat kurang tidur.''
Yeosang memang kelihatan kurang tidur tapi San hanya berdalih karena sejujurnya ia hampir mengucapkan 'kau terlihat indah'
"Hanya mimpi buruk.'' Yeosang membuang muka, pipinya menggembung karena mencoba menghabiskan roti gandum dalam sekali telan lalu menyesap susu di gelas hingga tandas.
''Kenapa tidak membangunkanku?''
''Mimpinya tidak akan hilang meski kau terbangun, San.''
''Siapa tahu aku bisa membantu.''
''Seperti apa?''
San mengangkat bahu, "Entahlah, memelukmu hingga tertidur mungkin.''
Yeosang terkekeh, ''Aku bukan anak kecil dan aku baik-baik saja, terima kasih atas tawarannya.''
''Baiklah, aku akan bekerja sekarang. Kau tahu di mana harus menemukanku.'' San melangkah pergi, tapi kemudian ia berhenti di ambang pintu dan berbalik untuk menatap Yeosang, ''Tentang perkataanku tadi, tawaran itu masih berlaku sampai malam ini.''
*****
Sementara San bekerja di ruangannya, Yeosang berada di dalam rumah untuk bersih-bersih, membaca buku, dan melakukan apa saja untuk menjernihkan pikiran dari tawaran yang San berikan. Pria itu gila, pikir Yeosang. Bagaimana bisa San mengatakan hal seperti itu dengan santai? Mungkinkah semalam San tersadar ketika Yeosang menciumnya sehingga ia balik menggoda Yeosang? Atau malah San tidak tahu apa-apa dan hanya sekedar bersikap baik? Yeosang kebingungan sendiri, ia menyudahi kegiatan berhalusinasinya dan memutuskan untuk menghampiri San yang sedang bekerja.
"Hai.''
San menoleh lalu menghentikan pekerjaannya, "Hai.''
"Aku hanya ingin melihat-lihat, kuharap hal itu tidak akan mengganggu.''
''Silahkan.''
Lihat-lihat yang Yeosang maksud adalah memandangi San yang sedang bekerja. Pria itu sedang mengamplas sebuah meja, pergerakan tangannya sungguh mulus tetapi tegas di saat yang bersamaan sehingga membuat pembuluh darahnya terlihat menonjol.
Satu kata, seksi.
''Siapa yang memesan meja itu?''
''Song Mingi, seorang penjahit di kota, ia berkata bahwa anak perempuannya butuh meja baru untuk belajar. Kau mau mencobanya?" San menawarkan karena merasa terus diperhatikan oleh Yeosang.
Sang Pangeran mengerjap, ''Aku rasa aku tidak bisa melakukannya.''
''Kau tidak akan tahu sebelum mencoba.''
Yeosang menurut dan mengambil amplas yang San ulurkan padanya. Perlahan, Yeosang mulai mengamplas permukaan meja sambil mengingat-ingat bagaimana San melakukannya tadi.
Apakah ini benar? Yeosang bertanya-tanya dalam hati. Ia belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, bahkan ini adalah kali pertama Yeosang memegang amplas. Ternyata teksturnya kasar, bagaimana bisa San bekerja dengan benda ini untuk waktu yang lama?
"Bukan seperti itu cara melakukannya.''
Yeosang menoleh, ''Salah ya?"'
San mengangguk, "Kemari, biar kutunjukkan cara melakukannya dengan benar.''
Yeosang sudah siap untuk menyerahkan amplas di genggamannya tapi kemudian San meraih lengan Yeosang dan perlahan-lahan mulai menunjukkan cara mengamplas dengan benar. Posisi mereka sangat dekat, San seperti memeluk Yeosang dari belakang ditambah lengan kekarnya kini menggenggam pergelangan tangan Yeosang dengan erat namun tetap lembut. Kepala San nyaris bertumpu pada pundak Yeosang, membuat napasnya menggelitik tengkuk Sang Pangeran dan membuatnya salah tingkah.
"Kau harus melakukannya seperti ini.''
''B-benarkah?''
"Ya, jangan terlalu terburu-buru. Kau mengerti sekarang?''
Yeosang berusaha keras untuk tetap terlihat tenang lalu mengangguk, ''Ya, terima kasih, San.''
San melepaskan genggaman tangannya, memberi jarak antara dirinya dan Yeosang sehingga Sang Pangeran dapat pergi dari sana. Dan Yeosang melakukannya lagi ketika ia berbalik lalu masuk ke dalam rumah, ia enggan menatap mata San. Tapi satu hal yang San tangkap adalah kedua pipi Yeosang yang bersemu kemerahan sama seperti ketika mereka sarapan tadi.
*****
Tidak banyak yang Yeosang katakan setelah kejadian San mengajarinya cara menggunakan amplas. Ia kembali ke ruang tengah, pura-pura membaca buku walau sebenarnya pikiran Yeosang tertuju pada lengan kekar dan napas hangat San di tengkuknya. Hal ini tidak seharusnya terjadi, bagaimanapun juga Yeosang tidak boleh jatuh cinta pada orang biasa seperti San. Apa yang dikatakan kerajaan bila Yeosang ketahuan menaruh hati pada seorang tukang kayu? Tidak hanya untuknya tapi hal itu juga bisa berdampak buruk untuk San.
Yeosang menggeleng-gelengkan kepala, ia tidak ingin memikirkannya lebih jauh. Dirinya baru saja jatuh cinta dan Yeosang tidak siap jika harus dihadapkan dengan kenyataan pahit. Maka dari itu Yeosang memilih memejamkan mata, ia benar-benar butuh tidur sekarang.
*****
Malam ini hujan turun. Awalnya hanya berupa rintik-rintik tapi lama kelamaan bertambah deras. Meski begitu, Yeosang menyukainya. Ia selalu suka hawa dingin dan semerbak bau rumput yang datang bersamaan dengan tetesan air hujan. Dipandanginya titik-titik air yang mengalir di kaca jendela, sesekali tersenyum ketika ujung jari telunjuknya mengikuti pola aliran air hujan itu.
"Kau mau keluar?''
Yeosang menoleh, mengernyitkan dahi pada tawaran San yang terdengar tidak masuk akal. "Keluar?"
"Ya, kau tampak sangat menikmati air hujan yang mengalir di kaca jendela itu, jadi kenapa tidak keluar dan menyentuh hujan secara langsung?''
''Tapi kita belum makan malam.''
"Makan malam bisa menunggu.''
Yeosang terlihat ragu, "Bagaimana jika nanti ada seseorang yang melihatku?''
San mendekat lalu mengulurkan tangannya, ''Ayo ambil resiko, kali ini saja.''
Jika tadi Yeosang sempat ragu, tapi tidak pada detik ini. Ia dengan cepat meraih tangan San untuk digenggam dan keduanya melangkah keluar dari rumah.
''Jarang sekali seseorang akan lewat pada malam hari, lagipula ini sedang hujan. Kau tidak perlu khawatir.'' San berbisik.
Yeosang menurut, ia menggenggam erat-erat tangan San. Lalu keduanya berdiri di halaman, di tengah-tengah hujan. Senyum lebar menghiasi wajah keduanya, terutama Yeosang. Ia ingin berteriak tapi takut seseorang akan mendengarnya sehingga ia memilih untuk mendongak, merasakan air hujan membasahi wajah dan rambutnya. Yeosang merasa begitu bebas, ia melompat-lompat dan mengundang gelak tawa dari San. Tak mau kalah, San juga melakukan hal yang sama. Ditariknya pinggang Yeosang sehingga mereka saling berhimpitan. San merengkuh pinggang Sang Pangeran. Kedua pipi Yeosang memerah samar, San menyukainya.
''Kita berdua di bawah hujan.'' Bisik Yeosang.
San mengangguk, matanya memandang Yeosang begitu dalam, seperti menyusuri sampai ke relung hatinya. Tapi kemudian, San melepaskan rengkuhannya, membuat Yeosang bertanya-tanya.
"Aku tidak ingin kau sakit jadi ayo kita sudahi saja.''
Yeosang terdiam, membiarkan dirinya ditarik San untuk kembali masuk ke dalam rumah. Mereka tidak berbicara. Yeosang berdiri di ruang tengah sementara San masuk ke dalam kamar untuk mengambil handuk. Rasanya asing, seperti patah hati tapi tidak sedalam itu. Namun yang jelas Yeosang tidak menyukainya. Apakah salah jika ia mengharapkan keduanya melakukan sesuatu yang lebih? Yeosang tenggelam dalam pikirannya, juga rasa dingin yang perlahan menjalar dari bajunya yang basah. Hingga sebuah tangan meraih dagunya, membuat Yeosang bertemu pandang dengan si Tukang Kayu.
''Tutup matamu.'' Titah San.
Sang Pangeran menurut, ia menutup mata, menunggu hal besar terjadi. Dan harapannya terkabul. San menciumnya di bibir.
Ciuman itu terlalu mendadak dan membuat Yeosang limbung, tapi lengan kokoh San dengan cepat menahan tubuhnya tanpa melepaskan kontak bibir mereka. Sejenak, Yeosang melupakan dirinya yang basah, tergantikan dengan rasa ingin mencumbu San lebih dalam sampai ia kehabisan napas. Dengan inisiatifnya sendiri, Yeosang mendorong tubuh San ke atas sofa, ujung kakinya menyenggol meja dan menimbulkan suara berderit yang tak keduanya pedulikan. San terduduk di sofa sementara Yeosang berada di atasnya, mengacak rambutnya yang basah sementara lidahnya meminta akses lebih untuk saling mengeksplorasi mulut satu sama lain.
Sofa tidak cukup, pikir San. Ia melepaskan ciuman mereka, menatap wajah Yeosang yang sayu dengan napas terputus-putus.
"Aku rasa aku jatuh cinta padamu. Izinkan aku untuk membawamu lebih jauh, Yeosang.''
Sang Pangeran termangu, tak pernah ia dengar pengakuan setulus itu sebelumnya. Yeosang menganggukkan kepala, matanya sedikit berair karena terharu dan ia pikir itu konyol. Tapi San berpikir sebaliknya, ia mencondongkan wajah untuk mempertemukan hidung mereka lalu mengusaknya perlahan sebelum mengangkat tubuh Yeosang ke dalam kamar.
*****
A/N :
Aku sepanjang menulis chapter ini :
Ga sanggup bray, Choi San kurang ajar banget sopannya kshshegeiwiejej 😤
Terima kasih sudah mau baca ❤
-yeosha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro