Who am I?
Votenya ya guys (:
.
.
.
.
.
Doy masih mondar-mandir di ruangan yang ia pikir luasnya sama dengan panti yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di sana, terdapat beberapa kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Sedangkan, ini hanya satu kamar tidur dengan segala fasilitasnya.
Ini hari kedua dirinya berada di sini. Pikirannya melayang pada ibu panti yang pasti khawatir padanya. Meski sederhana, tapi Doy merasa mendapat kasih sayang penuh selama tinggal di sana. Kini, dirinya adalah anak paling besar di panti dengan ketujuh adik. Ya, memang tak banyak anak yang tinggal di sana. Sebenarnya, rumah itu adalah rumah pribadi milik ibu panti. Namun, dengan kemurahan hatinya, beliau mengurus anak-anak terlantar seperti Doy misalnya. Meski tidak banyak. Dulu ada sekitar dua puluh anak yang satu persatu diadopsi. Dan menyisakan delapan anak. Beliau sudah cukup tua untuk mengurus anak-anak lagi.
Kini, wanita yang ia panggil ibu itu sudah cukup tua untuk melakukan banyak hal. Pernah, sekali waktu Doy mengatakan ingin berhenti sekolah dan bekerja. Namun, semua itu ditolak mentah-mentah. Doy harus tetap sekolah. Ya, setidaknya sampai tamat SMA. Bukankah itu akan membuatnya mendapatkan pekerjaan yang lebih layak?
Air matanya lolos begitu saja. Ia tak bisa terus berada di sini. Saat ini mungkin ibunya sedang kerepotan mengurus adik-adiknya. Ah, mungkin sebaiknya ia menghubungi ibunya terlebih dahulu. Sialnya, ia lupa di mana ponselnya. Ah, atau mungkin hilang? Bahkan, tas sekolahnya pun tidak ada. Bagaimana ini? Doy seketika panik. Bisa-bisanya sejak kemarin ia melupakan ponsel dan tasnya. Kalau sudah begini, ia ingin bertanya pada siapa?
Sejak sarapan tadi, tak ada orang yang bisa ia ajak bicara. Hanya beberapa pelayan yang tersenyum ramah dan menyiapkan sarapannya. Walaupun ia telat bangun dan makan pukul sembilan.
Doy tidak berani menyentuh apapun di ruangan ini. Karena, ia rasa tak berhak melakukannya. Selain itu, ia juga diajarkan untuk tidak menyentuh apapun yang bukan miliknya. Namun, akibat rasa bosan dan penasaran, Doy memutuskan untuk membuka lemari besar di sudut kamarnya. Ia berpikir kalau lemari sebesar ini takkan masuk ke rumahnya.
"Whoa..." Doy hampir tak berkedip saat melihat isi lemari itu. Ia tentu tak bodoh dan sering melihat pakaian dengan merk tersebut meski hanya di sosial media.
"Kayaknya, gue harus rela gak makan bertahun-tahun buat punya kayak ginian. Ini sebenernya rumah siapa sih? Gila banget deh. Pusing gue!"
Daripada dibuat ingin dengan isi lemari tersebut, ia memilih menutupnya kembali dan mencari hal lain yang lebih menarik. Kali ini, pandangannya tertuju pada sebuah televisi berukuran 65 inch yang tepat berada di depan tempat tidurnya.
"Ini sih bisa buat nonton bola sekampung. Kagak desak-desakan di pos ronda, mana banyak semutnya lagi," gumamnya.
"Nanti, kalo gue udah kerja dan banyak duit, mau beli kayak beginian juga buat di rumah. Pasti, ibu sama adek-adek seneng."
Doy terus berceloteh sendiri sambil mengagumi apapun yang ada di kamar yang ditempatinya. Sejak berada di sini, ia belum begitu detail melihatnya.
"Aduh, gue pengin pulang. Gak enak banget jadi orang kaya. Mandi gak pake gayung. Ini lagi si Mark bule ke mana? Ish. Nyebelin banget sih! Gak kira-kira banget masa orang kaya nyulik gue?"
Kalau saat ini ada yang melihat Doy, ia sudah pasti dianggap gila karena mengomel sendiri sambil mondar-mandir tidak jelas.
****
"Hallo, bro. How are you today? Sorry, tadi pagi gue gak tega bangunin lo."
Siapa lagi kalau bukan Mark yang mengagetkan Doy. Ah, lagi-lagi Doy tengah menangis. Setelah bosan melihat-lihat, ia kembali diam dan teringat rumah.
"Bro, are you crying?"
"Mark, bisa kagak lo ngomongnya pake bahasa aja? Ribet banget kuping gue dengernya." Doy menyela Mark di antara tangisnya.
"Iya, maaf-maaf. Lidah gue settingannya gini, sih."
Doy kembali diam dan hampir menangis lagi kalau Mark tidak tiba-tiba melompat ke sampingnya dan merebahkan tubuh berkeringatnya di tempat tidur yang ditempati Doy dengan tak tahu dirinya.
"Gak usah nangis. Ini kan rumah lo. Wajar kalo belum betah, lama-lama juga betah."
"Gue gak ngerti. Gimana mau betah, kalo gue aja gak ngerti apa-apa. Tiap gue tanya ke lo, jawabannya biar papi yang jelasin. Sedangkan, gue sendiri gak tau siapa papi lo itu. Gue mau pulang, gak boleh!" Akhirnya, Doy mengeluarkan semua keresahannya.
Lagi-lagi, Mark dengan tawa menyebalkannya. Doy sama sekali tak mendapat pencerahan meski sudah berkeluh kesah.
"Calm down, bro---"
"Gue bilang gak usah sok inggris, tanda!" potong Doy dengan nada kesal.
"Oke. Maaf. Gini deh, daripada lo penasaran, mending kita kenalan dulu. Nama gue Mark---"
"Jelas-jelas nama lo Armando, kenapa jadi Mark?" Doy memotong pembicaraan Mark lagi.
"Kan belum selesai! Entah kenapa, gue ngerasa gak nyaman aja saat orang-orang manggil gue Armand. Makanya, gue milih nama Mark aja, biar gampang."
"Se-random itu?"
Doy tak habis pikir, kenapa ada orang yang punya pemikiran seperti Mark di dunia ini? Hanya karena tak nyaman didengar, ia mengganti nama panggilan. Lalu, tidak ada alasan lain atau inspirasi lain. Sungguh aneh. Atau memang, orang kaya seaneh ini?
"Asal lo tau, papi masih manggil gue Armand. Ya, i know he shocked when i'm back from Canada and i said that i change my name," kekehnya.
"Iyalah, orang tua ngasih nama bagus-bagus main ganti gitu aja," gumam Doy.
"Hey, tenang. That just nickname. My name is Armando Keith for real. So, let's introduce yourself now. How your life selama ini?"
Doy mengembuskan napasnya kasar. Omongan Mark membuat kepalanya terasa pusing. Ya, mungkin bukan salah Mark juga bicara gado-gado. Setelah mendengar beberapa celoteh yang mengatakan kalau dirinya baru kembali dari Kanada setahun lalu, wajar kalau bahasanya tercecer begitu.
"Nama gue Doy. Udah."
"Hey, jawab betul-betul. Hanya itu?"
"Betul, betul, betul." Doy menirukan gaya kartun kembar botak yang terkenal itu.
"Please."
"Oke! Nama gue Doy, tinggal di panti asuhan Asih. By the way, Asih ibu gue. Sekolah di SMA Negeri 127. Ada lagi?"
"Did you get a hard life?" Mark menatap Doy lekat kali ini.
"Pake bahasa! Di bilangin gue males mikir. Otak gue minim kalo harus terjemahin juga! Idup gue ya berat gak berat, sih. Ya, gue penginnya cepet lulus biar bisa kerja. Sekarang, gue kayak gak ada gunanya. Ibu udah terlalu tua."
Jawaban Doy membuat Mark menangis. Kalau bertanya menangis diam-diam dengan air mata yang tiba-tiba turun di pipinya, tentu itu semua salah. Karena, Mark benar-benar menangis kencang sebelum kemudian memeluk Doy erat.
"Oh God, you get a hard life!" teriak Mark yang masih tersedu-sedu.
"Lah, yang jalanin kan gue, kok dia yang lebay sih?" gumam Doy yang agak risih karena mendapat pelukan tiba-tiba dari Mark.
"Besok pagi papi pulang, lo bisa temuin papi. Sekarang, cepet turun, kita makan malam. Jangan lama!"
Doy menggaruk tengkuknya. Jangan lama? Bukankah sedari tadi Mark yang memeluknya? Ah, sudahlah. Ia memutuskan untuk turun ke ruang makan. Dan si Mark aneh itu malah belum terlihat batang hidungnya. Tebakan Doy pasti anak itu tengah mandi dan berganti seragam. Karena, ia tahu tak sopan makan malam sebelum membersihkan diri setelah beraktifitas di luar rumah seharian.
Lanjut atau boring banget?
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomlosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro