Damarion Ogilvie Yuwandana
Vote dulu yeorobun (;
.
.
.
.
.
Kali ini, Doy ikut sarapan bersama Mark yang hendak berangkat sekolah. Ia jadi ingat kalau dirinya sudah bolos beberapa hari. Suatu hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Kenapa ngelamun?" tanya Mark yang menyadari perubahan wajah Doy. Pemuda itu tampak tak bersemangat makan karena hanya mengaduk-aduk nasi goreng di hadapannya sampai berantakan.
"Gue udah bolos sekolah beberapa hari. Ibu pasti kecewa gue jadi anak bandel."
"Besok lo bisa mulai sekolah, kok. Nanti, biar papi aja deh yang jelasin."
Perkataan yang paling muak Doy dengar selama ia berada di tempat ini. Ia jadi penasaran, sosok papi yang dibicarakan Mark itu.
"Habis makan, lo boleh jalan-jalan di rumah ini sambil nunggu papi nyampe. Gue berangkat sekolah dulu. Dadah, Doy. Jangan rindu, berat. Biar aku saja."
Doy berdecih pelan mendengar perkataan 'keju' Mark. Bisa-bisanya pemuda itu berkata begitu.
Menuruti perkataan Mark, Doy akhirnya memutuskan untuk berkeliling rumah bak istana ini. Rasanya seperti di negara lain, alam lain atau kembali ke zaman kerajaan. Doy tak berhenti berdecak kagum. Beberapa asisten rumah tangga yang menyaksikan itu hanya terkekeh melihat tingkah Doy yang tampak menggemaskan.
Kini, Doy berdiri di lorong panjang yang baru hari ini ia ketahui. Beberapa kali ia meyakinkan dirinya sendiri kalau semua ini nyata dan masih hidup juga berdiri di bumi. Lagi pula, kalau ia sudah mati, harusnya ia bertemu malaikat. Bukan makhluk menyebalkan seperti Mark.
Masih dalam mode mengagumi, ia mendapatai seseorang menepuk pundaknya. Sontak, ia memutar tubuhnya cepat sampai hampir jatuh.
Ia nyaris tak bisa berkedip saat melihat orang yang berdiri tegap dihadapannya. Pria paruh baya dengan beberapa orang di belakangnya. Mungkin pengawal atau semacamnya karena tubuhnya tinggi dan wajahnya cukup menyeramkan.
"M-maaf, Tuan. Saya---"
Pria paruh baya itu sudah membawa Doy ke pelukannya sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya.
"Akhirnya, setelah tujuh belas tahun. Papi bisa melihat kamu lagi. Damar, Papi kangen banget sama kamu."
Doy mengernyit mendengar ucapan pria itu. Damar? Siapa Damar? Namanya jelas-jelas Doy.
"Maaf, Tuan. Nama saya Doy. Bukan Damar."
"Saya tahu, ini kan?" tanya pria itu sambil mengacungkan sebuah gantungan dengan tulisan nama Doy.
"Bagaimana itu bisa ada pada anda?" Doy berpikir sejenak dan ia ingat kalau tasnya hilang. Gantungan itu berada di tasnya. Ya, selalu menggantung di tas miliknya meski beberapa kali ganti. Ia ingat, kalau ibunya yang memberikan itu padanya.
"Gantungan itu khusus Papi pesankan ketika kamu lahir, dan dulu, Mamimu yang menggantungkannya di stroller milikmu."
"Tapi---"
"Papi tau, ibu angkatmu itu baik dan tak menghilangkan identitasmu. Ah, kamu tau Papi ini sudah tua. Papi lelah kalau harus berdiri dan berbicara di sini. Sebaiknya kita masuk."
Selain menurut, tak ada lagi pilihan untuk Doy. Ia berjalan mengikuti pria paruh baya beserta pengawalnya itu.
"Duduk. Jangan terlalu tegang begitu. Ini kan rumahmu."
Pria itu menyerahkan sebuah kotak dan mengisyaratkan Doy untuk membukanya. Dengan ragu, Doy membuka kotak tersebut dan ia setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bayi di foto itu memang dirinya. Bukti lain menunjukkan kalau gantungan miliknya sama persis dengan yang terdapat di foto yang kini tengah dipegangnya.
"B-bagaimana bisa?" tanya Doy.
"Nah, sekarang kamu percaya kan kalau kamu anak Papi? Kalau begitu, biar Papi jelaskan singkatnya. Nama Papimu yang tampan ini Mahardika Yuwandana."
Doy hanya terkekeh mendengar ucapan pria yang cukup narsis itu. Memang tak berbeda dengan Mark. Ah, tunggu. Ia jadi ingat Mark. Jadi, ini papi yang pemuda itu maksud? Artinya, ia dan Mark bersaudara? Tapi mengapa tidak mirip? Ia jadi sangsi kalau ia memang anak pria di depannya. Mungkin saja salah orang.
"Kenapa melamun? Papi belum selesai. Lanjut, namamu Damarion Ogilvie Yuwandana, itulah kenapa gantungannya berinisial Doy. Mendiang Mamimu bernama Indira Yuwandana. Sayangnya, beliau sudah pergi. Saat itu, Papi harus kehilangan kalian berdua."
Air muka pria bernama Mahardika itu berubah drastis saat menceritakan hal itu. Bahkan, air matanya tak bisa dibendung lagi. Doy yang semula hanya diam, kini ikut menangis juga. Ia masih tak menyangka kalau hidupnya sedrama ini.
"Jangan pernah pergi lagi, nak. Sudah cukup Papi kehilangan kamu selama ini."
Mahardika membawa Doy yang masih menangis itu ke pelukannya.
"Ah, sudah jangan menangis. Mulai besok, kamu mulai sekolah, ya."
Setelah mengusap air mata di pipi Doy, Mahardika memberi kode pada orang yang merupakan asisten pribadinya untuk memberikan dokumen yang sedari tadi dibawanya.
"Ini dokumen kepindahanmu. Mulai besok, kamu akan bersekolah di sekolah yang sama dengan Mark."
Doy hanya diam. Bagaimana bisa namanya sudah tertera di sekolah baru? Sejak kapan semua ini diurus?
"Damar."
"Ah, iya, Tuan."
"Kenapa tuan? Panggil Papi, anak nakal." Mahardika mencubit gemas pipi Doy.
"B-baiklah. Tapi, saya kurang nyaman dengan nama Damar. Kalau boleh, saya ingin tetap dipanggil Doy."
"Ah, ide bagus. Kamu tetap pakai nama itu kalau nyaman. Satu lagi, jangan saya-anda. Kamu pikir kita ini siapa?"
"T-terima kasih, Tu, eh Papi."
Doy tersenyum di pelukan Mahardika. Namun, tak bertahan lama, ia kembali teringat pada ibu dan adik-adiknya. Tangisnya kembali pecah.
"Kenapa kamu nangis lagi? Cengeng banget deh!"
"Sa, em Doy kangen ibu. Kalau Doy di sini, nanti ibu gimana? Ibu sudah tua---"
"Hey, memang selama setahun ini siapa yang menghidupi panti tempatmu tinggal itu kalau bukan Papi ganteng ini?" potong Mahardika dengan percaya dirinya.
"Tapi,"
"Nah!" Mahardika menyerahkan sebuah gadget pada Doy. Di layar tampak panti yang selama ini Doy tempati. "Kamu bisa memantau mereka dari sini."
"Ibu tau kalau Doy di sini?"
"Tentu saja tidak. Ini rahasia."
"Tapi nanti ibu khawatir."
Mahardika menyerah karena wajah Doy tampak sangat memelas. Ia menyuruh asistennya untuk menghubungi ibu panti.
"Bicaralah. Katakan kalau kamu bersama orang tua kandungmu, tapi jangan katakan identitas asli. Katakan, jangan khawatir tentang hidupmu dan kalian semua," kata Mahardika sambil menyerahkan ponselnya pada Doy.
Pemuda itu mengangguk sebelum akhirnya bicara dengan ibunya yang selama beberapa hari ini ia rindukan.
"Papi, tapi nanti Doy boleh kan pergi ke panti?"
"Boleh, tapi ada syaratnya. Kamu harus diantar sopir dan jangan pernah mengatakan tentang keluarga kita. Paham?"
Doy hanya mengangguk.
****
"Gimana papi? Asyik, kan orangnya?" tanya Mark yang tiba-tiba masuk ke kamar Doy.
Sepertinya, masuk ke kamar Doy tanpa permisi akan menjadi hobi baru Mark.
"Mark! Ngagetin aja! Asyik kok, tapi narsis banget ya. Mirip lo banget," kekeh Doy.
"He's our papi, bro."
"Lo tau semua, Mark?"
Anggukan kepala Mark membuat Doy bingung. Entah, apa yang harus ia lakukan pada Mark. Ia sungguh berhutang banyak pada pemuda dihadapannya ini.
"Hey. Don't think too much. Papi gak pernah sembunyiin apapun dari gue sejak dulu dan itu yang membuat gue bersyukur sampai hari ini. Asal lo tau, hidup di rumah segede ini sendirian bosen banget. Tiap hari gue berdoa semoga lo cepet balik. Akhirnya, Tuhan mengabulkan doa gue yang udah bertahun-tahun ini."
"Mark, lo ini jadi orang emang diciptain buat bikin orang kesel ya?" tanya Doy dengan mata yang berkaca-kaca.
Mark hanya mengernyit. Tidak paham dengan apa yang dikatakan Doy.
"Lo udah bikin gue terharu tau gak!" Doy memukul pelan dada Mark sebelum membawa tubuh Mark ke pelukannya.
Dengan tawa keras, Mark membalas pelukan Doy. Satu yang harus Mark catat tentang Doy, pemuda itu sangat cengeng. Tak jarang dirinya melihat Doy menangis.
Next aku bakal throwback ke masa di mana Doy hilang. Jangan pada kabur, ya.
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomlosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro