Bab 29 Sosok Misterius
Cheryl duduk diam di kursi sebelah ranjang. Di atas ranjang itu sendiri terbaring Jason yang belum juga sadarkan diri. Sudah dua hari dan kondisinya belum juga membaik. Menurut keterangan dokter, Jason kehilangan banyak darah dan satu peluru yang bersarang di dada, nyaris mengenai bagian vital.
Dia menoleh ke arah sofa dan tersenyum kecil melihat Nyle tengah tidur. Hanya mereka bertiga di ruangan itu. Thomas sedang pergi memberi keterangan pada pihak kepolisian, sementara Mary sedang keluar membeli beberapa barang.
Pandangannya kembali terarah ke Jason sejenak, lalu keluar jendela. Pikirannya masih dipenuhi dengan Gretha. Apakah Gretha berhasil keluar dari gedung itu? Di mana sahabatnya itu sekarang? Bagaimana kondisinya? Tidak terasa air mata kembali mengalir di pipinya.
"Kamu tidak lelah menangis terus?"
Cheryl merasakan elusan lembut di kepalanya. Dia menoleh dan memandang Nyle. Mengulas senyum kecil, lalu menyandarkan kepalanya ke dada bisa pemuda itu.
"Aku mengkhawatirkan Gie," lirihnya.
"Me too (Aku juga)," sahut Nyle.
Tok! Tok!
Terdengar ketukan di pintu yang mengusik perhatian mereka. Keduanya pun menoleh ke pintu melihat seorang lelaki berpakaian khas dokter masuk. Kerutan di kedua sudut mata membuat mereka tahu kalau dia tengah tersenyum. Mendekat, lalu memeriksa Jason dengan cermat.
"How's he (Bagaimana kondisinya)?" tanya Nyle.
"Good, stable (Bagus, stabil)." Dokter itu menatap mereka. "I can also see that you are okay (Aku juga bisa melihat kalau kamu baik-baik saja)."
Cheryl menunduk melihat tangan kiri yang berbalut kain kasa. "It's just a small wound (Ini hanya luka kecil)."
"Is there anything you wanna talk to me about (Apakah ada yang ingin kamu bicarakan denganku)?"
Nyle tertegun saat mata biru lautan dalam itu menatapnya. Tatapan yang begitu familiar, tapi ada keraguan dalam dirinya. Dia melihat kerutan di salah satu sudut mata dokter itu. Memperhatikan gerakan kecil meraih sesuatu di saku jas, lalu menyelipkannya di bawah bantal.
"Have a good day (Semoga hari kalian menyenangkan)!"
Setelah berkata seperti itu, sang Dokter pun pergi meninggalkan ruangan itu. Nyle bergerak ke tempat yang menjadi titik dokter itu berdiri. Melihat ke bawah bantal dan tertegun menemukan secarik kertas yang terlihat rapi. Dia pun meraih kertas itu, lalu membuka dan membaca isinya.
She is safe and okay (Dia aman dan baik-baik saja).
* * *
Dua orang pemuda menatap pria yang sedang duduk di kursi membelakangi mereka dengan ekspresi berbeda. Seorang dengan ekspresi geram dan kesal, sementara satunya dengan tatapan datar dan tenang. Ruangan tempat mereka berada hening, meskipun di situ ada lima orang.
"What now (Sekarang apa)?" Salah satu pemuda itu memutuskan membuka suara.
"I want her alive. Find her wherever she is! (Aku ingin dia hidup-hidup. Temukan di mana pun dia berada!)"
"Yes, Master! (Baik, Tuan!)"
Kedua pemuda itu membungkuk sejenak, lalu keluar dari ruangan itu. Berjalan menyusuri lorong, mengabaikan sapaan dari beberapa gadis yang menyapa. Sampai di satu titik yang sepi dan tidak diawasi CCTV, salah satu pemuda menarik lengan rekannya.
Mengawasi sekitar sejenak, lalu memandang pemuda itu. "Are you sure about this (Kamu yakin soal ini)?"
"Absolutely (Tentu saja)," jawab pemuda kedua.
"If Master finds out about this, he will .... (Kalau sampai Tuan tahu soal ini, dia akan ....)"
"He won't, except you tell him (Tidak akan, kecuali kamu memberitahunya)." Pemuda kedua menyilangkan tangan di depan dada. "I promised myself that day that I will protect whoever saved my life, even if it's her. If you take his side, we become enemies. (Aku berjanji pada diriku sendiri hari itu bahwa aku akan melindungi siapa pun yang menyelamatkan nyawaku, bahkan walaupun itu dia. Kalau kamu memihak padanya, maka kita menjadi musuh.)"
Pemuda kedua menghela napas melihat sikap keras kepala sahabatnya. "You know I will always by your side (Kamu tahu aku akan selalu ada di sisimu)."
Pemuda pertama mengulas senyum dan mengangguk kecil. Mereka pun beranjak dari situ karena tidak mau mengambil risiko ketahuan. Mereka memang akan mencari keberadaan sosok yang selama ini disebut dengan julukan "Bloody Rose". Menjadi penanda kalau siapa pun dia adalah sosok yang berbahaya.
* * *
Sementara itu, di rumah sakit yang sama, tapi di lantai dan kamar yang berbeda, Edwin memandang sosok Veronica yang terbaring di ranjang. Kepalanya berdenyut nyeri memikirkan dua sosok. Tentu saja salah satunya adalah Veronica, sementara satunya lagi Jason. Setelah menyelamatkan Veronica, sosoknya seperti menghilang begitu saja.
"Hey ...." Dia mengulas senyum tatkala Veronica bergerak, lalu membuka mata.
"Dia masih belum ditemukan?" tanya Veronica.
"Belum." Edwin menjawab dengan gelengan dan senyum tipis. "Kita berharap saja kalau dia tidak terluka."
Air mata mengalir jatuh dari sudut mata Veronica. Selama dua hari ini, dia sudah cukup banyak menangis. Lebih tepatnya, setelah sadar dari obat bius sisa operasi dan tahu kalau Jason menghilang.
Edwin sebenarnya tidak tega, tapi juga bingung harus melakukan apa. Hanya mereka berdua di situ, tanpa ada orang lain. Namun, dia tahu kalau Tuan Hynde pasti mengawasi dari jauh. Tidak bisa mendekat karena justru akan membahayakan nyawanya dan Veronica. Kondisi mereka saat ini benar-benar sangat rentan.
Suara pintu yang dibuka mengusik perhatian mereka. Seorang dokter laki-laki yang masih muda masuk, lalu memberiksa kondisi Veronica. Mulai dari infus, tekanan darah, kornea mata, lidah, dan yang lainnya. Mencatat beberapa hal di bukunya, kemudian menatap mereka.
"Kondisimu membaik dengan cepat."
"Benarkah? Kapan aku boleh pulang, Dokter?" tanya Veronica pelan.
"Hm, aku lihat kondisinya dulu," jawab dokter itu.
"Kondisi apa?" tanya Edwin.
Namun, dokter itu tampak tidak berminat menjawab pertanyaan Edwin. Sibuk menulis sesuatu di buku catatannya, kemudian tampak mencoret-coret. Decakan yang terdengar membuat Edwin dan Veronica tahu kalau dia kesal karena salah menulis.
Benar saja, sang Dokter tampak merobak sebuah halaman, lalu melemparkannya ke tempat sampah. Menulis ulang, lalu merobeknya dengan hati-hati. Menyerahkan kertas itu pada Edwin yang langsung membacanya. Hanya berisi resep obat dan beberapa hal yang perlu dilakukan.
"Terima kasih," ucap Edwin.
"You're welcome (Sama-sama). Semoga kamu cepat membaik!" Dokter itu menatap Veronica sejenak, kemudian pamit pergi.
Setelah dokter itu pergi, seorang perawat masuk mengantarkan makan siang untuk Veronica. Edwin mengucapkan terima kasih, lalu bergerak ke meja tempat baki makanan diletakkan. Sibuk membuka semua penutupnya.
Saat membuang plastic wrap-nya, dia tertarik dengan kertas yang dibuang oleh dokter tadi. Hal itu karena dia membaca sebuah nama, Jenny. Dia pun mengambil kertas itu, kemudian mengurai dan membaca isinya.
Jenny will always be Jenny, so is Veronica. The point is what Jenny has and made her a fugitive? Second, who has really been hunting her all this time? Mr. Hynde or anyone else who played his part all this time? (Jenny akan selalu menjadi Jenny, begitu juga Veronica. Poinnya adalah apa yang dimiliki Jenny dan membuatnya jadi buronan? Kedua, siapa yang selama ini benar-benar memburunya? Tuan Hynde atau ada orang laun yang memainkan perannya selama ini?)
"What is it (Ada apa)?" tanya Veronica membuyarkan lamunan Edwin.
"Tidak ada." Edwin buru-buru meremas surat itu dan memasukkannya ke saku. "Ayo, makan siang dulu!"
Veronica membiarkan Edwin mengatur posisi ranjangnya. Dia duduk bersandar dan memandang pemuda yang selama ini telah banyak membantunya. Namun, dia tahu kalau Edwin adalah sosok pemuda yang baik.
"Do you miss her (Apakah kamu merindukannya)?" Veronica memandang iris biru langit Edwin.
"Who? Blue Ivy? Yeah, I miss her so much. (Siapa? Blue Ivy? Iya, aku sangat merindukannya.)" Edwin menjawab sambil menyuapkan sesendok bubur.
"What if she's still alive? Just like Jenny, who was still alive for all this time. (Bagaimana kalau dia masih hidup? Sama seperti Jenny yang masih hidup selama ini)."
"Aku tidak tahu soal itu, Ronnie, dan tidak mau memikirkannya. Aku hidup dengan mengingat janjiku padanya untuk selalu menjagamu," jawab Edwin yang membuat Veronica mengulas senyum kecil.
* * *
"The punishment for a traitor is only one and I bet you guys know what it is. (Hukuman untuk pengkhianat itu hanya satu dan aku yakin kalian tahu itu apa.)"
Dua pemuda yang sedang diam-diam menggeledah ruangan itu terkejut. Sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. Tertegun menatap pemuda yang berpakaian serba hitam dengan topeng menutupi wajah.
"Who are you (Siapa kamu)?" Salah satu dari mereka bertanya dengan sikap waspada.
"What do you guys know about the Fire Sun Organization (Apa yang kalian tahu soal Fire Sun Organization)?" Pemuda itu mendekat, lalu duduk di kursi yang ada.
"Fiacro? Why are you asking about that? (Fiacro? Kenapa kamu bertanya soal itu?)"
"Because all these problems are related to them (Karena semua masalah ini berhubungan dengan mereka)."
Kedua pemuda itu saling bertatapan sejenak, tapi tetap menjawab semua pertanyaan yang diajukan pemuda misterius itu. Entah kenapa, mereka seolah ditarik untuk memercayai sosoknya yang tenang. Mereka bisa merasakan kalau pemuda asing itu bukan sosok yang berbahaya. Terpancar dari sikap dan tatapan matanya.
"Thanks for the information, Guys! My door is open for both of you if you wish to join me. (Terima kasih atas informasinya, Guys! Pintuku terbuka untuk kalian berdua jika ingin bergabung denganku.)" Pemuda itu bangkit, lalu beranjak ke jendela.
"Wait! (Tunggu!)" Pemuda pertama mencegah langkahnya. "Who are you (Siapa kamu)?"
"A friend from the Dark Guardian. (Teman dari Dark Guardian.)"
Kedua pemuda itu membelalakkan kedua mata mereka. Terdiam memandang kepergian pemuda asing itu. Tentu saja mereka tahu soal Dark Guardian. Salah satu organisasi paling misterius, tapi juga berbahaya dan ditakuti oleh kalangan pemimpin mafia itu sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro