Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 28 Inikah Akhirnya?

Gretha melangkah limbung menuruni tangga. Entah sudah berapa lantai yang dilewati, ketika dia jatuh terduduk di lantai. Menunduk dan menangis terisak. Tidak dihiraukannya suara debuman dan getaran gedung tempatnya berada.

Berbagai bayangan masuk dalam kepalanya. Mengacaukan pikiran dan membuat hatinya terasa begitu sakit. Dia menyeret tubuh duduk bersandar di dinding. Memegang telinga dengan kedua tangan, berusaha mengenyahkan suara yang terus bergema.

"Stop ..., please, stop! Stop! STOP!" teriaknya.

Namun, suara itu terus bergaung dalam kepala. Bayangan-bayangan acak pun ikut bermunculan seperti kaset rusak. Membuat kepalanya terasa begitu sakit.

"You're not my biological daughter (Kamu bukan anak kandungku)!"

"You took away the boy I loved (Kamu merebut lelaki yang kucintai)!"

"I hate you (Aku benci kamu)!"

"His twin brother (Saudara kembarnya)."

"I don't know which of them is your Jason, but stay from my Jason (Aku tidak tahu siapa di antara mereka yang jadi Jason-mu, tapi menjauh dari Jason-ku)!"

Isak tangis dan jeritan keluar dari bibir Gretha. Menghilang dalam suara debuman bom yang mulai menghancurkan gedung itu. Air mata mengalis deras di kedua pipinya. Berusaha menyapu debu dan darah yang ada di wajah.

"Gie? Gretha? Gretha! JENNY!"

Gretha sama sekali tidak menjawab panggilan yang terdengar. Sepertinya, tadi komunikasi sempat terputus karena tidak ada jaringan. Kini baru tersambung kembali setelah penghalang sinyal hancur terkena bom.

"I know you were there and heard my voice, Jenny. Where are you now? Please, come out! (Aku tahu kamu di sana dan mendengar suaraku, Jenny. Di mana kamu sekarang? Tolong, keluarlah!)"

"Please, Jenny! The building gonna be crumble. (Kumohon, Jenny! Gedungnya akan runtuh.)"

Gretha tidak menjawab, tapi mendengarkan. Pandangan matanya beralih dari langit-langit tempatnya berada, ke arah buku pemberian Tuan Hynde. Tangannya bergerak meraih dan membuka buku itu. Kedua matanya langsung disuguhkan dengan sebuah foto seorang wanita.

"Mama?" lirihnya dengan bayangan ingatan yang masuk.

"You've grown up and become a brave and a beautiful girl. Your brunette hair and reddish-brown eyes just like her. (Kamu sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang berani dan cantik. Rambut brunette dan mata merah kecokelatanmu mirip dengannya.)"

"Not like her, but like you (Bukan sepertinya, tapi sepertimu)."

Dia beralih pada secarik kertas yang terlipat rapi di situ. Ada perasaan ragu untuk membuka dan membaca isinya, tapi rasa penasaran jauh lebih kuat. Dia pun membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya dengan hati-hati.

To my beloved beautiful daughter, Jennifer Calistha Aubryne.

(Untuk putri cantikku tersayang, Jennifer Calistha Aubryne.)

The truth will always be painful, but every tear that comes out has meaning. Maybe now you don't understand everything that happened, but one day you will definitely understand. Parent's love is eternal, no matter what. (Kebenaran memang akan selalu menyakitkan, tapi setiap tetes air mata yang keluar memiliki makna. Mungkin sekarang kamu tidak memahami semua yang terjadi, tapi suatu saat pasti kamu akan paham. Kasih sayang orang tua itu abadi, apa pun yang terjadi.)

You're not my blood, but you grew up like me. I love seeing you grow up to be such a beautiful, brave, and kind girl. However, I also apologize for all the wounds I have left on your skin and heart. I did all of this for the sake of keeping you alive. (Aku senang melihatmu tumbuh menjadi gadis yang cantik, pemberani, dan baik hati. Namun, aku juga minta maaf atas semua luka yang kugoreskan di kulit dan hatimu. Aku melakukan semua ini demi membuatmu tetap hidup.)

Please, stop your feud with Ronnie. Don't give up, Jenny! Keep going on what you started two years ago! (Tolong, hentikan perseteruanmu dengan Ronnie. Jangan menyerah, Jenny! Lanjutkan apa yang sudah kamu mulai dua tahun lalu.)

From the father you hate, Pascal Arthur Hynde.

(Dari ayah yang kamu benci, Pascal Arthur Hynde.)

Tangan Gretha bergetar membaca surat itu. Dia benar-benar bingung sekarang. Setahunya, selama ini Tuan Hynde itu selalu memburu dan mengganggunya. Namun, kenapa isi surat itu berbanding terbalik dengan tindakannya? Apa yang sebenarnya terjadi dua tahun lalu? Kenapa dia tidak juga bisa mengingatnya?

Bum! Bum! Bum!

Terdengar suara debuman beruntun. Gretha nyaris tertimpa langit-langit yang runtuh kalau tidak membuang tubuh ke samping. Dia berusaha berdiri dan menyeimbangkan tubuh dalam getaran gedung yang semakin keras.

"Ouch!" Dia mengaduk saat jatuh terduduk karena gedung bagian bawah ambruk. "Aku harus keluar dari sini!" gumamnya.

Dia meraih buku pemberian Tuan Hynde, lalu beranjak kembali menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Tangannya mencabut alat komunikasi, kemudian membuangnya ke lantai. Dia berusaha melangkah sehati-hati mungkin.

Perutnya kembali terasa sakit dengan darah kembali mengalir keluar. Di lantai enam, dia berhenti dan menoleh ke kanan-kiri. Setelah berpikir sejenak, dia berlari ke arah salah satu ruangan. Memecahkan kaca jendela, lalu melongok sebentar.

Di bawah jendela, ada rumput yang tumbuh tinggi, lalu kolam renang kotor dengan daun kering. Dia melirik buku ti tangannya, kemudian menjatuhkannya ke arah rumput yang tinggi. Berdoa dalam hati tidak akan ada yang menemukannya. Setelah itu, dia memanjat naik ke pembatas jendela.

DUARRR!!!

BRAK! PRANGGG!

"OUCH!" Dia memekik keras saat goncangan membuatnya jertauh kembali ke lantai.

BUM! BRAKKK!

Dia merasakan tempatnya berada bergetar dengan keras. Hal itu membuatnya buru-buru bangkit sambil menahan sakit. Langit-langit kamar yang runtuh menghantam kepalanya dengan keras. Membuat pandangan matanya sedikit mengabur seiring darah yang mengalir.

Dia berjalan tertatih ke arah jendela, naik dan langsung melompat keluar. Ledakan keras di belakang memecah keheningan malam itu.

Byuuur!

Air yang dingin menyentuh kulitnya. Darahnya mewarnai air hingga menjadi merah. Rasa pening karena kehilangan banyak darah, membuatnya tidak mampu menggerakkan tubuh.

Dia memandang pantukan sinar yang jatuh membias dalam air. Kedua matanya perlahan mulai menutup seiring kesadarannya yang memudar.

* * *

Cheryl merasakan air matanya mengalir deras. Memandang gedung yang sudah benar-benar hancur dan runtuh. Dia menepis tangan Nyle yang merangkulnya.

"Gie? GIE!" jeritnya memanggil Gretha. "GRETHA! GIE! JENNY!"

"We should go (Kita harus pergi)!" Caleb memandang Nyle yang mengangguk sebagai jawaban.

"C'mon! We should go, Che. (Ayo! Kita harus pergi, Che.)" Nyle merangkul dan menarik Cheryl untuk pergi.

Sirine mobil polisi yang mendengar terdengar bersahut-sahutan. Thomas membuka pintu mobil, lalu menutupnya begitu Cheryl dan Nyle sudah masuk. Melaju menjauh dari tempat itu.

Cheryl menoleh dan menangis menatap gedung itu. Menyandarkan kepala ke bahu Nyle dan menangis di dada pemuda itu. Pikirannya terfokus pada satu orang, yaitu Gretha.

Komunikasi terakhir yang dilakukan Caleb, menjadi petunjuk kalau sahabatnya itu masih hidup. Namun, kenapa tidak juga keluar dari gebung? Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya. Kini, gedung itu sudah runtuh dan tidak tahu bagaimana nasib Gretha.

"Don't cry, Sweetie! She'll be okay. (Jangan menangis, Sayangku! Dia akan baik-baik saja.)" Mary menoleh dan mengulas senyum pada Cheryl.

Namun, Mary mengatakan hal itu hanya demi menenangkan Cheryl. Hatinya sendiri gelisah memikirkan Gretha. Dia menoleh pada suaminya yang sedang menyetir dengan pandangan lurus ke depan. Meskipun tampak tenang, dia tahu kalau Thomas pun dengan mengkhawatirkan Gretha. Saat ini, mereka hanya bisa berharap Gretha baik-baik saja.

* * *

Veronica memegang perutnya yang mengucurkan darah. Berlari tertatih menghindar dari kejaran dua pria berpakaian serba hitam. Dia tidak tahu asal kedua pria itu dari mana. Kalau saja saat keluar tadi dia tidak langsung pergi, mungkin sekarang dia sudah jadi mayat.

Tadi dia memang berpisah dari Edwin. Pemuda itu langsung pergi karena masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Tepat saat Edwin pergi, kedua pria itu muncul dan menembakinya membabi buta.

Dering ponsel mengusik perhatiannya. Dia meraih benda itu dari saku celana, lalu melihat siapa yang menelepon. Setelah itu, kembali menoleh ke belakang dan mengawasi sekitar. Berlari terburu-buru ke balik semak-semak dan duduk di sana.

"Dari mana saja kamu? Kenapa tidak pergi bersama Edwin?" Terdengar bentakan keras dari seberang sambungan.

"Maaf ...," lirihnya.

"Kamu di mana, Ronnie?"

"Aku ... entah. Ada dua pria yang mengejarku dan sekarang aku terluka," ucapnya.

"Kirim lokasimu! Aku yang akan ke sana bersama Edwin untuk menjemputmu!"

"Okay. Jenny ...."

"Dia aman." Setelah berkata seperti itu, sambungan telepon terputus.

Veronica memegang ponselnya, lalu menangis. Mengeluarkan air mata yang sejak tadi ditahannya. Tepatnya, sejak mendengar kebenaran menyakitkan dari Gretha. Dia ingin marah, tapi tidak bisa. Tuan Hynde pasti memiliki alasan menyembunyikan semua kebenaran ini, tapi tetap menyayanginya.

"Maaf ... maaf .... Tidak seharusnya aku bersikap jahat padamu, Jenny. Aku memang marah, tapi tidak pernah berniat menyakitimu. Aku memang membencimu, tapi tidak pernah ada niat untuk membuatmu terluka," lirihnya dalam tangisan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro