Bab 14 Potongan Ingatan yang Acak
"Kamu terlihat bahagia hari ini," komentar Amanda. Senyum lega terpancar dalam kedua matanya melihat Gretha masuk kuliah kembali, setelah seharian menghilang dengan kondisi ceria.
"Ada yang membuatku senang," sahut Gretha, lalu menyuapkan siomaynya.
"Aku dan Amy akan pergi ke Batu Night Spectacular nanti malam, kamu mau ikut? Nggak berdua, sih, ada Jo, Aldo, Octa, Ricky, Anggie." Layla memandang Gretha penuh tanya.
"Hm, gimana, ya? Sepulang sekolah aku mau bertemu Jason." Gretha memasang mode berpikir. "Mungkin aku bisa mengajaknya juga."
"Ide bagus! Aku senang melihatmu dekat dengannya. Dia benar-benar baik dan menjagamu," sahut Amanda.
"Karena memang itu sudah menjadi janjinya sejak dulu," ucap Gretha sambil menunduk memandang makanan di piringnya. "Ada beberapa hal yang kulakukan setelah ini, Amy, Layla. Apa pun yang terjadi nanti, kalian tetap sahabatku. Kalau aku pergi, jangan pernah mencariku karena akulah yang akan mencari kalian."
"Jangan bicara seperti itu, Gie!" sergah Amanda.
"Memangnya kamu mau pergi ke mana?" tanya Layla.
Gretha hanya mengulas senyum kecil. Mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya kegiatan kuliah selama dia tidak masuk. Amanda dan Layla pun menceritakan semuanya dengan penuh semangat. Dalam beberapa saat saja, mereka sudah heboh hingga menarik perhatian teman-teman yang lain.
* * *
"Kamu yakin?"
"Aku yakin, Che. Tolong, jangan beri tahu siapa pun soal ini, oke? Aku percaya padamu." Gretha menjawab sambil berjalan pelan ke area parkir.
"Baik, baiklah. Hati-hati! Kalau ada apa-apa, segerag hubungi aku atau Jason!"
"Okay. Sampai nanti!"
Gretha memutus sambungan telepon, lalu membuka aplikasi taksi online. Menghela napas lega saat mendapatkan supir dengan cepat. Dia pun berlalu dari situ agar tidak bertemu dengan Amanda dan Layla. Tidak ingin mereka tahu kalau dirinya berbohong soal pergi dengan Jason. Namun, dia tetap menghubungi pemuda itu untuk memberi tahu lokasinya.
Begitu sampai dan turun setelah membayar, dia menatap bangunan di depannya. Kalau bukan karena apa yang sudah dilaluinya bersama Jason kemarin, dia tidak akan memaksakan diri untuk mengingat masa lalunya. Dia ingin agar bisa benar-benar mengingat Jason dan juga masalah yang tengah dihadapinya terkait Black Rose Organization.
Dia pun mendaftar dan oleh perawat langsung diantarkan ke ruangan. Seorang dokter perempuan yang kira-kira berumur awal tiga puluh tahunan, menyambutnya dengan ramah. Menerima berkas yang diserahkan olehperawat itu, lalu mempersilakan Gretha untuk duduk. Sejenak dia tampak membaca data diri yang tertulis dengan teliti.
"Grenasha Calistha Aubryne? Nama yang cantik dan lahir di tanggal yang cantik juga, dua belas Desember." Dokter itu meletakkan berkas di tangannya, lalu memandang Gretha. "Namaku Nadya Amelia Aprilia, panggil saja Dokter Nadya."
"Selamat siang, Dokter," sapa Gretha ramah.
"Ada keluhan apa sampai kamu datang ke sini, em ... Aku harus memanggilmu siapa?" Dokter Nadya tersenyum ramah.
"Gretha atau Gie. Hampir semua memanggilku dengan dua nama itu, kecuali untuk dosen pengajar di kampus," jawab Gretha.
"Kamu sudah kuliah? Kupikir baru lulus SMA atau mau masuk perguruan tinggi."
"Saya duduk di semester empat sekarang," sahu Gretha.
"Baiklah. Kalau begitu, apa yang bisa kubantu? Kamu ada masalah apa?"
"Semua bermula setelah saya hampir jadi korban ledakan bom teroris di kafe ...."
Gretha pun menceritakan semuanya dengan runtut, termasuk bayangan-bayangan ingatan masa lalunya. Tentang Jason, kisah cintanya, pekerjaannya, dan masalah yang menghilang bersama ingatannya yang terkubur itu. Dia juga menjelaskan kalau alasannya ingin ingatan itu kembali adalah karena masalah yang belum selesai itu.
"Baiklah, Gretha. Aku akan membantumu, semoga ini bisa membuka sedikit demi sedikit ingatanmu itu. Metode yang akan kugunakan adalah hipnoterapi dengan tujuan menarik hal yang ada dalam alam bawah sadarmu, tapi ...," Dokter Nadya berhenti sejenak, "aku tidak akan memaksa kalau kamu tidak mampu. Terkadang, ingatan yang terkubur itu adalah hal buruk dan otakmu menyimpannya untuk melindungi dirimu sendiri."
"Saya paham soal itu, Dokter."
Siang itu juga, Gretha melaksanakan hipnoterapi. Dia mematikan ponselnya agar tidak ada yang mengganggu. Ada rasa takut yang terselip untuk mengulik bayangan masa lalu itu. Namun, kalau dia bersembunyi dalam rasa takut itu, semua tidak akan menemukan jalan keluarnya. Dia akan tetap menjadi buronan yang tersesat.
* * *
Potongan Pertama
"What's your name? You have an extraordinary talent. (Siapa namamu? Kami memiliki bakat yang luar biasa.)"
"Um, my name's Jennifer Calistha Aubryne, but you may call me Jenny. (Um, namaku Jennifer Calistha Aubryne, tapi kamu boleh memanggilku Jenny.)"
"That's a beautiful name for a pretty girl like you. My name's Thomas Nicolai Kurt, but you can call me Uncle Thomas. They are my children and you can be part of the family if you join us. (Itu nama yang indah untuk gadis cantik sepertimu. Namaku Thomas Nicolai Kurt, tapi kamu bisa memanggilku Paman Thomas. Mereka adalah anak-anakku dan kamu bisa menjadi bagian dari keluarga kalau kamu mau bergabung.)"
"Um, but I'm six (Um, tapi aku masih enam tahun)."
"I know. So? (Aku tahu. Jadi?)" Jenny mengangguk sebagai jawaban dan menerima uluran tangan pria itu.
Potongan Kedua
"Is this seat taken? (Apakah kursi ini ada yang menempati?)"
Jenny yang sedang melihat buku menu pun mendongak. Memandang pemuda asing yang mengulas senyum tipis. Sejenak dia memperhatikan suasana restoran mewah itu. Kondisi memang cukup ramai dan hampir semua kursi sudah penuh.
"No (Tidak)," jawabnya.
Pemuda itu menggeser kursi sedikit, lalu duduk. Memanggil pelayan yang kebetulan lwat di dekat mereka dan meminta buku menu. Jenny pun menyebutkan pesanannya, begitu juga pemuda itu. Setelah itu, Jenny sibuk dengan ponselnya. Dia datang ke tempat itu bukan untuk bersantai, tapi menjalankan sebuah misi.
Mereka sama-sama mengucapkan terima kasih saat minuman datang. Jenny meminumnya sambil memperhatikan ke sekeliling. Berusaha menganalisis kondisi sekitar. Saat beralih memandang ke depan, barulah dia menyadari pemuda itu tengah menatapnya.
"Those eyes are too sharp for a beautiful girl like you (Kedua mata itu terlalu tajam untuk gadis cantik seperti itu)."
"You don't know me (Kamu tidak mengenalku)." Jenny membuang muka ke arah luar jendela.
"My name's Jo ... um, Jason Alexander. (Namaku Jo ... um, Jason Alexander.)"
Jenny menatap kembali pemuda itu. "Just call me Jenny (Panggil saja aku Jenny)."
Potongan Ketiga
"It's too dangerous, Jenny! (Ini terlalu berbahaya, Jenny!)"
"I did this for my parents, Che! I have promised to destroy whoever destroyed my family! (Aku melakukan ini untuk orang tuaku, Che! Aku sudah berjanji akan menghancurkan siapa pun yang sudah menghancurkan keluargaku!)"
"I know, but there must be another way. (Aku tahu, tapi pasti ada jalan lain.)"
"I never asked you to help me, Che! This is my chance to destroy them. If you don't wanna help, you can go away and save yourself! (Aku tidak pernah memintamu membantuku, Che. Ini kesempatanku untuk menghancurkan mereka. Kalau kamu tidak mau membantu, kamu bisa pergi dan menyelamatkan dirimu!)"
"JENNY!"
Potongan Keempat
"What have you done? JASON!" Jenny berlari mendekati pemuda yang terbaring bersimbah darah.
"I don't need a traitor here. So, it's better for him to die. (Aku tidak butuh pengkhianat di sini. Jadi, lebih baik dia mati.)" Pria itu tertawa dingin. "I trust you, Bloody. So, you better not break that trust or you will end up the same as him. (Aku percaya padamu, Bloody. Jadi, lebih baik kamu tidak merusak kepercayaan itu atau kamu akan berakhir seperti dia!)"
"Unfortunately (Sayangnya) ...," Jenny berdiri sambil memegang pistol, "you trust the wrong person, Sir! It wasn't him who took the disc, but me. He was trying to stop me, but he failed. I'll make sure you'll pay for everything you did in my life! (kamu memercayai orang yang salah, Tuan! Bukan dia yang mengambil disk itu, tapi aku. Dia mencoba menghalangiku, tapi gagal. Aku akan membuatmu membayar semua yang telah kamu lakukan dalam hidupku!)"
"Don't talk trash, Bloody! (Jangan bicara omong kosong, Bloody!)" Wajah pria itu mengeras.
"Remember this name? Aubryne." Jenny mengulas senyum kecil, lalu melemparkan bom asap. "Michelle Aubryne and Robert Anthony Aubryne, they are my parents."
Pria itu membelalakkan kedua matanya. "Impossible! You're their missing daughter? (Mustahil! Kau putri mereka yang menghilang?)"
"Please, enjoy while I destroy your life and your family, Mr. Hynde. (Silakan nikmati saat aku menghancurkan hidupku dan keluargamu, Tuan Hynde!)" Setelah berkata seperti itu, Jenny menghilang dalam asap putih.
Potongan Kelima
"Jason?" Air mata Jenny mengalir melihat pemuda yang kini tengah berdiri di depan pintu apartemennya. "You're supposed to be dead! I saw him kill you, but how? (Kamu seharusnya sudah mati. Aku melihatnya membunuhmu, tapi bagaimana?)"
"Everything's fake, Jenny. That's not me! (Semuanya palsu, Jenny. Itu bukan aku!)" Pemuda membalas pelukan Jenny dan mengecup dahinya.
"I ... I don't understand (Aku ... aku tidak mengerti)." Jenny memandang Jason kebingungan.
"I promise I will tell you everything, but now you have to go. Go to Los Angeles with Cheryl. I'll meet you there. (Aku janji akan memberi tahu semuanya, tapi sekarang kamu harus pergi. Pergilah ke Los Angeles bersama Cheryl. Aku akan menemuimu di sana.)"
Potongan Keenam
Mobil besar itu menabrak sedan hitam di depannya dengan keras. Membuat mobil itu terguling-guling selama beberapa saat, lalu berhenti dengan menabrak kaca sebuah toko. Menimbulkan suara keras disertai jeritan takut dari orang-orang di situ.
"Jenny?" Cheryl memanggil Jenny lirih sambil mengernyit kesakitan, lalu pingsan.
Sementara itu, Jenny perlahan membuka kedua matanya. Mengernyit merasakan sakit luas biasa di kepala. Samar-samar dia mendengar suara teriakan orang-orang dan sirine polisi. Tidak lama, merasakan tubuhnya ditarik keluar. Aroma yang familiar merasuk dalam indera penciumannya.
"Joshua ...," lirihnya, lalu jatuh tidak sadarkan diri.
BRAKKK!
* * *
Gretha membuka kedua matanya saat mendengar suara tabrakan itu. Sejenak dia memandang langit-langit ruangan, lalu mengerang kesakitan sambil memegang kepalanya. Dokter Nadya buru-buru mengambil aspirin yang memang selalu disediakan selama Gretha menjalani hipnoterapi. Dua minggu berjalan dan hasilnya cukup memuaskan, meskipun dia tidak tega harus melihat gadis itu mengerang dan menangis kesakitan.
"Sudah lebih baik?" Dokter Nadya bertanya lembut setelah Gretha lebih tenang.
Gretha mengangguk sebagai jawaban. Sesekali dia mengernyit saat merasakan rasa sakit itu datang. Duduk di atas kursi baring sambil berusaha mengatur napasnya. Dia juga berusaha menyatukan kembali potongan-potongan ingatan yang didapatkannya. Semua tidak kembali secara berurutan, tapi acak.
"Apakah kamu sudah mendapatkan jawaban yang kamu cari?" tanya Dokter Nadya.
"Sedikit banyak, sudah, sekitar sembilan puluh persen," jawab Gretha.
"Syukurlah kalau begitu. Cara selain hipnoterapi yang bisa dipakai adalah melakukan hal yang dulu sering kamu lakukan. Itu akan mempercepat prosesnya.
"Kalau soal itu, nanti aku pikirkan caranya."
Dokter Nadya mengangguk sambil tersenyum. "Ah, terakhir tadi kamu menyebut nama asing yang beru pertama kali kudengar. Siapa dia?"
"Tidak tahu." Gretha memandang Dokter Nadya dengan kening berkerut. "Aku bahkan tidak ingat sama sekali pernah kenal dengan pemuda bernama itu."
"Tidak apa-apa. Mudah-mudahan nanti seiring berjalanannya waktu, kamu sudah bisa mengingat semuanya secara utuh."
Gretha tersenyum dan beranajk turun dari tempatnya berada. "Tolong, jangan katakan pada siapa pun kalau gadis dengan nama Grenasha pernah datang ke sini. Aku tidak mau hal itu membahayakan nyawamu."
"Rahasia pasien yang utama. Jadi, jangan khawatir. Kalau ada perlu apa-apa, telepon saja aku."
"Terima kasih. Kalau begitu, aku pergi dulu."
Gretha pun pamit pulang. Dua minggu bersama membuatnya akrab dengan Dokter Nadya, sehingga bisa menggunakan bahasa yang santai. Dia keluar dari rumah sakit dan memandang ke sekeliling sejenak. Menghela napas dengan mata terpejam, lalu membukanya dengan senyuman terukir di bibir.
"Selamat datang kembali, Jenny!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro