2.2 : Apa Kau Mencium Bau Terbakar? Itu Global Warming dan Pasta Carbonara
"Begini ya, Tuan Kim." Namjoon berkata dengan nada tegas, membuat Taehyung refleks menoleh, hampir saja akan menyahut jikalau pemuda itu tidak buru-buru melanjutkan kalimatnya dengan lawan di seberang sana. "Tentang limbah pabrik JJ Corp. Apa saya harus menjelaskan ulang apa bahayanya kepada doktorat korporasi ternama? Katakan saja kepada Presdir Jeon untuk mengurusi urusannya sendiri, saya yakin beliau jauh lebih mengerti cara mengakali ini dibandingkan saya."
Telepon itu ditutup sepihak, meninggalkan Namjoon yang berusaha menetralkan nafasnya sebelum mencabut paksa sambungan telepon yang sejak satu jam yang lalu tak berhenti berdering. "Shrimp head," gumamnya pelan sambil mengusak wajahnya.
Taehyung juga bingung mau bagaimana. Ia mulai lelah menunggu, namun mengganggu pemuda itu jelas akan membuatnya semakin lelah hidup. Tuan Kim si Doktorat saja dimarahi begitu, apalagi Kim Taehyung si Buronan Nyasar di rumahnya?
"Kudengar kau melarikan diri?"
"Ya? BㅡBukan melarikan diri sih sebenarnya."
"Kabur?" sarkas Namjoon dengan senyum sopan di wajahnya, membuat pemuda berstatus buronan nasional itu meneguk salivanya gugup. Dalam hati ingin sekali mengoreksi maksudnyaㅡkomplain karena justru konotasi katanya terdengar lebih buruk dari sebelumnyaㅡnamun ia urungkan karena tahu kalau pemuda itu menyindirnya keras, bukan tanpa tujuan.
Adik dan kakak sama saja, pikir Taehyung mendesau riuh dalam benak. Sama-sama suka membuatnya bungkam karena tertohok.
Setelah pertemuan yang tidak diinginkan oleh siapapun di Ruang Keluarga itu terjadi, Kim Taehyung kembali duduk sopan dengan kedua paha menempel sambil memegangi tangannya yang keringat dingin.
Percakapan mereka juga belum kunjung usai karena selalu diinterupsi. Dahinya sedari tadi berkerut, terlihat begitu frustasi ㅡ walaupun kalah risau bila disandingkan dengan Taehyung yang sudah hampir delapan puluh persen mirip dengan ayam yang ingin bertelur.
Kalau mau dijelaskan lebih detail, rasanya adalah lalat yang terperangkap di sarang laba-laba yang lapar. Tinggal hap! Lalu, kadaluarsalah sudah kehidupan bebas seorang Kim Taehyung yang menyedihkan.
"Kau belum menyentuh minumanmu, Taehyung?"
Namjoon bertanya tiba-tiba, matanya yang berbentuk begitu lancip dan tegas seperti mata naga itu bersitatap dengan netra gugup Taehyung yang langsung mencari fokus visual lain dalan sekejap.
Wah, lantai kayunya bagus ya ㅡ jadi ingat cokelat GoldKing.
Tak kunjung mendapat jawaban, pemuda dengan gaya rambut pirang yang dibelah dua itu berdehem pelan sambil membenarkan kacamatanya, "Lupakan saja. Kalau kau tidak suka, tidak perlu diminum," lontarnya dengan nada santai namun membuat Taehyung lagi-lagi merasa seperti kelinci di kandang serigala, "Jadi, bagaimana kalau kau jelaskan alasanmu sekarang? Karena, setahuku kau masih buronan dengan hadiah sepuluh ribu won di selebaran Kota," sudutnya serius menyelidik.
Wow, jumlah cukup sedikit untuk orang yang katanya buronan nasional ya. Itu yang sempat terlintas di pikiran Taehyung, sebelum otaknya langsung balas menampar karena konsentrasinya yang mulai tak karuan.
"Jadi ... " Taehyung mengambil napas dalam-dalam, sedikit lelah menceritakan perjalanannya secara detail terus menerus, "Dua malam yang lalu, cecunguk Klan Merah itu menuduhku dengan tuduhan palsu ㅡ "
"Aku tidak peduli soal itu, ceritakan saja bagaimana kau bisa kemari."
"O-Okay, saat tertahan di imigrasi pelabuhan, adikmu membantuku dan menawarkan tumpangan, karena itu ㅡ tada! Aku disini, haha," jelasnya singkat karena memang kejadiannya sesederhana itu.
Namun, Namjoon di lain sisi, terlihat berpikir dua kali dengan satu alis yang naik tertarik. Lagi-lagi membuat Taehyung sedikit menyesali kebiasannya menambahkan sound effect di dalam percakapan yang bisa saja membuatnya terlihat seperti pembohong di mata si Tertua dari Kim bersaudara. "Sungguh! Itu sungguh yang terjadi," yakinnya yang malah membuatnya terdengar lebih mencurigakan.
"No, I'm not buying that," sergahnya skeptis sambil menyesap kembali latte hangatnya perlahan-lahan. Rahangnya mengencang, terlihat tidak senang dengan alasan Taehyung yang tidak cukup bisa dipercaya.
"Baiklah," ungkapnya serius, "Akasanku datang kemari bukan karena keinginanku, itu semua karena aku ingin menggulingkan sistem klan setelah para manusia setengah iblis itu menuduhku sembarangan. Sayangnya, aku bertemu dengan Kiana ㅡ yang ternyata adalah adikmu ㅡ dan dia bilang akan membantuku, lalu dia memberiku tumpangan dan ㅡ "
"Kau bilang apa tadi?" interupsi Namjoon yang keruh wajahnya tidak terlihat seperti tampang acuh yang ia tampilkan tadi, malah sekarang matanya memicing lebih tajam dengan dahi yang berkerut sangar.
Oh, no. Taehyung, kau harus ingat sedang berbicara dengan Ketua Klan Biru, bodoh. Tentu saja dia akan marah.
"Itu .... "
"Namjoon. Dia tamuku."
Pintu itu terbuka, bersamaan dengan Kiana yang memasang ekspresi muka yang tak jauh berbeda masamnya dengan pemuda tertua di ruangan itu. Aura keduanya semakin tidak mengenakan, sungguh, rasanya napas Taehyung tercekat karena berada di antara dua elemen naga yang saling bertarung dengan tatapan sinis.
"Oh, ya? Kalau begitu lebih baik kau bilang padanya untuk tidak berkeliaran seperti pemilik rumah ini bukan, Dik? Aku hampir melaporkannya begitu melihat wajahnya sore ini," sindirnya ringan, kembali terlihat santai seperti pertama kali Taehyung datang ke ruangan ini.
"Kita sudah membicarakan ini, Namjoon. Kau urus saja permasalahan klan kesayanganmu ini, jangan mencampuri urusanku."
"Oh! Beda cerita kalau kau membawa dia ke rumah ini. Aku pemimpin Klan Biru, Kiana. You know it better than anyone else, I have a reputation to keep. Bagaimana bisa aku diam saja kalau ada buronan besar disini?"
"Reputation bullshit, aku tahu apa yang aku lakukan, Namjoon."
"Psst, Taehyung." Agatha menyembul dari balik pintu, memanggil namanya di tengah pertengkaran kedua bersaudara Kim yang membuat Taehyung bingung sendiri harus bagaimana. "Cepat kemari!" bisiknya gemas sembari tangannya melambai menyuruhnya keluar dari sana.
Lantas, dengan langkah yang hati-hati, Kim yang malang mengeluarkan diri dari konflik yang memanas di ruangan kerja itu. Pada akhirnya menghela napas lega sekaligus merasa semakin bersalah karena memantik pertikaian yang tidak seharusnya pernah terjadi jikalau ia tidak datang kesini.
Sial, lagi-lagi karena dia semua orang jadi repot.
***
"Hei, apa makanannya kurang enak?"
Taehyung tersentak, sontak menggeleng menanggapi pertanyaan Agatha yang duduk di hadapannya dengan tatapan bingung.
"Ini enak ... " jawab Taehyung pelan, namun tidak terdengar sepenuh hati.
Agatha mendengus kecil, "Lebih baik tidak usah menjawab kalau yang keluar cuma bualan," celetuknya ringan sambil melanjutkan acara memutar garpu di spaghetti-nya.
Setelah itu hening kembali menguasai ruangan makan yang cukup besar itu. Perlahan-lahan rasa bersalah mulai menguasainya lagi, seharusnya ia tidak duduk manis disini dan memanjakan indera perasanya dengan hidangan barat yang baru pertama kali dengar namanya itu.
Apalagi karena dialah Namjoon dan Kiana masih belum selesai bertengkar di ruangan sana.
"Kau masih memikirkan Kiana dan Kak Namjoon?" Agatha bertanya santai, "Mereka memang tidak pernah akur setelah Kak Namjoon diangkat sebagai pemimpin Klan Biru. Itu biasa," jelasnya meyakinkan yang dibalas helaan nafas panjang dari Taehyung.
Entahlah. Taehyung juga tidak tahu kenapa dia merasa begitu gelisah, mungkin karena fakta bahwa ia, seorang buronan nasional ada di rumah pemimpin klan Biru? Dia bahkan diajak kesini ㅡ ini bukan kesalahannya 'kan? Semua ini hanyalah sebuah kebetulan yang ia sendiri tidak tahu bagaimana bisa terjadi.
Tetapi, dalam dirinya, Taehyung merutuki kenaifannya; seharusnya ia tetap kekeuh tinggal di motel murah, seharusnya ia tolak saja tawaran Kiana ㅡ langsung berlari kabur sekuat tenaga kalau bisa.
Agatha yang melihat pemuda itu hanya mengaduk-aduk pasta di piringnya ikut perlahan kehilangan nafsu makannya, sedikit bisa merasakan kalau Taehyung merasa bersalah karena Kim bersaudara itu belum datang ke meja makan sama sekali.
"Kau tahu, Taehyung," ungkapnya tiba-tiba buka suara, "Terkadang kau hanya perlu tidak peduli sesekali, menjalani hidupmu dengan baik tanpa memperhatikan apa yang sedang terjadi di sekitarmu ... "
Gadis itu tertawa renyah, "Kurasa itu yang membuat klan Biru hidup sampai saat ini. You do you. Bahkan orang tuaku juga begitu," gumamnya dengan nada yang semakin memelan di bagian akhir.
Taehyung menatap balik, memperhatikan untaian kalimat yang keluar dari belah bibir Agatha dengan seksama.
"Yah, aku tidak bisa meyakinkanmu kalau kehadiranmu disini tidak membuat situasi menjadi agak tidak terkendali tapi tidak ada yang bisa dilakukan sekarang selain menunggu. Toh, kalau kita menengahi adanya kita yang kena semprot ㅡ apalagi kau, mungkin Kak Namjoon langsung berubah pikiran dan melaporkanmu ke otoritas," jelasnya acuh sembari mengambil tegukan pertama dari mojito miliknya.
Terdiam, Taehyung tidak bisa mengelak. Apa yang dikatakan Agatha benar, tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu dan ia tidak mau mengambil risiko lain saat konsekuensinya mulai berlipat ganda.
Tapi, kalau bisa begitu, lebih baik ia menyerahkan diri sejak awal saja.
"Lalu, apakah ini yang Klan Biru selalu lakukan?" tanyanya balik.
"Sampai kapan kita hanya perlu duduk pasrah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya padahal kita tahu bisa melakukan sesuatu," Taehyung sedikit demi sedikit mulai mengumpulkan keberaniannya, "Maksudku, aku ada disini bukan karena aku diam saja. Aku bergerak walaupun arahnya tidak jelas. Bukankah itu yang paling penting?" tuturnya bingung yang membuat Agatha terdiam sejenak sebelum membalas sedetik kemudian.
"Then do something," tantangnya.
Pemuda itu menatap heran ke arah Agatha, "Maaf?" ulangnya.
"Lakukan sesuatu, Kim Taehyung." Agatha membalas dengan nada yang sedikit terdengar meledek, "Kau yang bilang sendiri, untuk apa menunggu padahal kita bisa melakukan sesuatu ㅡ kalau begitu lakukan, masuk ke ruangan Namjoon dan lakukan sesuatu. Siram mereka dengan air atau berlututlah minta maaf supaya mereka berhenti akur kembali."
Taehyung gelagapan, tidak mengira akan dibalas seperti ini. "Aku .... "
Agatha tertawa kecil, kali ini Taehyung yakin meledeknya.
"Maaf, aku tidak bermaksud meledekmu," ia lanjut tersenyum geli, "Aku hanya merasa kau benar-benar lucu, Taehyung. Ada alasan kenapa klan Biru memilih untuk diam dan mengabaikan yang lainnya ㅡ itu karena mereka takut," jelasnya sambil mengelap sudut bibirnya dengan serbet.
"Klan Merah itu seperti iblis dengan halo di kepalanya, kau pasti tahu karena sudah bertemu salah satunya. Mereka bisa menghancurkan hidupmu hanya karena alasan bosan, bukankah itu yang kau rasakan saat bertemu Kak Namjoon?" tanyanya retorik, "Merasa dia bisa memenjarakanmu dalam hitungan detik."
Taehyung terdiam, tangannya mengepal sampai kukunya memutih karena merasa harga dirinya dihina. Tetapi, sekuat apapun ia menyangkalnya, Agatha benar ㅡ dia takut. Luar biasa takut kalau Namjoon akan memenjarakannya dan semua yang ia lakukan sampai titik ini sia-sia meskipun sudah berceramah tentang selalu maju pantang mundur.
Takut kalau ia akan mengecewakan dirinya lagi karena tidak pernah sukses dalam apapun yang ia geluti selama hidupnya.
Sialan sekali penghuni rumah ini, selalu saja membuat Taehyung menyesali esksitensinya di dunia ini.
"Aku ... "
Belum sempat Taehyung mengatakan satu kalimat utuh dengan sempurna, suara pintu yang dibanting keras dan keruh wajah Kiana yang terlihat merah padam mengalihkan perhatian keduanya.
Apa yang telah terjadi?
"Aku tahu kau orang yang cepat memahami situasi, Taehyung," Agatha berujar kalem kemudian bangkit dari kursinya dan melenggang pergi. Meninggalkan Taehyung yang duduk di lain sisi meja, masih diam sambil menatap kosong ke arah piringnya dengan napas yang memburu.
Dia takut dengan apa yang ia mungkin hadapi di Daratan Utama, dia bahkan baru sampai di kota tepian tapi sudah ditentang sedemikian rupa, namun rasanya ia ingin terus melakukan sesuatu, ingin terus maju dan merubah semua ini. Mungkin karena adrenalinnya merasa terpacu setelah mendengar celetukan Agatha yang merendahkannya, mungkin.
Namun, satu hal yang ia pelajari saat ini adalah meskipun dorongan yang begitu kuat dari harga dirinya yang terinjak-injak, Taehyung tidak ingin ambil risiko. Setidaknya untuk hari ini saja, ia ingin tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya dalam dua hari terberat selama hidupnya.
Bukankah karena itu Klan Biru masih bisa bertahan sampai sekarang? Ia hanya perlu menunggu dan menunggu sampai semesta menunjukkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
***
Tok! Tok! Tok!
Pintu mahoni itu diketuk tiga kali, begitu pula jantungnya yang rasanya dipompa tiga kali lebih cepat juga.
Taehyung berdiri di depannya, tangannya meremat kain celananya gugup dengan hati yang sudah bersiap dengan skenario yang paling buruk. Mungkin dia akan dibogem mentah-mentah sampai sempoyongan begitu pintu itu terbuka atau buruknya langsung dipenjara saat itu juga bahkan sebelum bisa melihat pemuda itu sama sekali.
Ia tidak tahu tapi tekadnya sudah bulat dan Taehyung tidak mau hidup dalam ketakutan lagi ㅡ walaupun beberapa jam yang lalu, ia baru saja akan menganut filosofi hidup Klan Biru seutuhnya. Namun, tak sampai bulat satu menit, pintu itu dibuka, menampilkan Namjoon dalam sweater rajut berwarna teal dengan kacamata bacanya menatap Taehyung dengan sebelah alis terangkat ㅡ sepertinya pemuda itu baru selesai mandi karena rambutnya yang masih agak basah.
"Ada apa?" tanyanya cepat.
"Anu ... " Taehyung terlalu gugup, tangannya berkeringat dingin dan matanya mulai tidak fokus. Dia tidak mengira pemuda itu akan menghiraukannya normal, membuat seluruh jurus menghilang dan adegan Bruce Lee-nya terlupakan dalam sekejap mata. Lalu, sekarang apa?
"Halo? Apa aku sedang berbicara dengan pohon kaktus?" tanyanya lagi, kali ini dengan sarkasme di ujungnya
Menghela nafas perlahan, akhirnya Taehyung menjawab seperti yang sudah ia latih di kamarnya tadi. "Aku ingin bicara dua ㅡ maksudku, empat mata denganmu," balasnya berusaha terdengar tegas dibalik kegugupannya.
Pemuda itu membuka pintu ruangan kerjanya lebih lebar, mempersilahkan Taehyung masuk dengan tudingan matanya sebelum menutup pintunya dan mendudukkan dirinya di kursi kerjanya.
"Ini yang kedua kalinya kau masuk ke ruang kerjaku, Taehyung. Aku harap ini penting kalau sampai bisa menahan panggilan laporanku," tuturnya penuh arti, kali ini mengambil sebotol whisky dari lemari es kecil yang ditanam ke rak buku setinggi kurang lebih dua meter.
Pandangannya lantas beralih ke arah Taehyung yang masih berdiri kaku di tengah ruangan, "Go on, then. Mari dengarkan apa yang Tuan Buronan ingin bicarakan sekarang."
Hawa dingin menusuk-nusuk punggung Tuan Buronan yang malang, membuat nyalinya yang tadi sudah yakin sedikit menciut karena mata Kim Namjoon benar-benar menelisik garang seperti singa yang sedang menunggu menerkam antelop malang dengan ekor mengibas gembira.
"Maafkan aku," sesalnya merasa bersalah.
Dahi Namjoon dibuat berkerut, "Untuk?"
"Kalian pasti bertengkar karena aku," jawabnya sambil menunduk.
Senyap, tidak ada jawaban; hanya suara jam dinding yang bergerak detiknya dan tegukan pertama whisky Namjoon yang terdengar di ruangan itu. "Well," akhirnya pemuda itu buka suara. "Frankly speaking, Taehyung. Tidak juga, maksudku, kau memang menjadi topik pembicaraan tapi tujuanmu yang irasional, ceroboh dan salah diperhitungkan itu lebih ... menarik," ungkapnya santai dengan nada menghina paling tidak berekspresi yang pernah Taehyung dengar ㅡ kesannya, seperti memang pilihannya sebodoh itu sejak awal dimulai.
"Hei, Kecambah. Kau mau menggulingkan sistem?"
"Kau bisa kembali malam ini juga. Klan Merah tidak sebaik aku yang masih mengizinkanmu kembali ke Geoje, kau pasti langsung habis disantap manusia haus kekuasaan sebelum menyentuh orang berpangkat di zona mereka. Kau tahu itu," lanjutnya persuasif.
Bibirnya kelu, dalam hati ingin berkata lain namun tanpa itu semua orang yang membantunya akan kecewa; Daniel, Kiana, mungkin juga dirinya akan kecewa karena menyerah begitu mudahnya.
Oleh karena itu, Taehyung menjawab 'ya' dengan yakin. Tidak lagi menatap lantai kayu yang dipijaknya, sendal rumah, atau objek lain yang mengalihkan perhatiannya dari kedua mata naga Namjoon yang mengintimidasinya sejak awal datang kemari.
"Ya, dan aku punya nama, tolong jangan panggil aku dengan sebutan Kecambah ㅡ aku tidak suka taoge," katanya yakin yang dibalas tawa paling lebar ㅡ dan mungkin tulus ㅡ dari Namjoon saat itu juga.
"Akan kuingat itu, Taehyung," ujarnya mengangguk lantas mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya. Sebuah persegi panjang, kertas surat berwarna kuning pudar. Namjoon bangkit dari kursinya, kemudian memberikan surat itu ke telapak tangan Taehyung.
"Ini, milikmu, dari Paman Renoir," ujarnya dengan suara yang pelan dan lebih terasa sendu, "Maaf aku baru memberikannya kepadamu hari ini."
Taehyung mematung di tempat, matanya membelalak seraya jemarinya meremat erat-erat surat yang ada di tangannya. Renoir ... Renoir Kim? Ayahnya yang ia kira hilang?
"Kau ... Siapa kau sebenarnya, Namjoon?" [•]
TO BE CONTINUED
After countless revision, y'all ㅡ I guess this is the decent one i've made so far about this chapter. Maafkan aku kalau belum bisa sesuai ekspektasi ya, semuanya. Adios!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro