2.1 ; Hei! Kenapa Kau Melempari Rumah Orang dengan Benih Morning Glory?
DERU mesin mobil perlahan berhenti setelah perjalanan satu setengah jam dari Pelabuhan Utama Busan, mobil Hyundai Trajet berwarna biru metalik itu terparkir rapi di depan gerbang berwarna biru azure yang Taehyung yakini adalah kediaman keluarga Kimㅡjangan salah paham, mereka hanya berbagi marga (Taehyung juga berharapnya mereka ternyata keluarga yang terpisah seperti di sinetron rutin di salah satu saluran televisi).
"Hello, earth to Taehyung."
Pemuda itu tidak menggubrisnya, masih sibuk memandangi lingkungan sekitarnya, sampai Kiana berdehem sengaja kemudian menyeteluk, "Di depanmu itu bonsai kakak ku. Kalau aku di posisimu, aku akan jauh-jauh dari tanaman kurus itu."
Taehyung mengembalikan kesadarannya setelah terdiam cukup lama, tanpa sadar ia terlalu sibuk mengagumi arsitektur bergaya Mediteranian khas Santorini yang beratap biru dengan bunga kertas rambat di tembok putihnya. Untung saja secara tidak secara sengaja menendang pohon bonsai kecil yang sepertinya lupa diambil setelah berjemur lama di depan gerbang utama rumah pemimpin klan Biru.
"Hampir saja," lontarnya lega, bergeser dua langkah untuk menghindari pohon kurus kesayangan pemilik rumah dan juga amukan yang mungkin datang setelahnya. "Kakakmu sepertinya suka sekali dengan tanaman ya, bunganya terawat baik," lanjutnya.
Menanggapi itu, Kiana tertawa menyetujui. Kedua tangannya sedikit gemetaran menggendong pot tanaman bonsai yang cukup besar itu, kesulitan untuk membuka gerbang dan pada akhirnya meminta tolong kepada Taehyung dengan tudingan matanya.
"Terimakasih. Kalau boleh kubilang ... Namjoon jatuh cinta," timpalnya santai. "Aku tidak bisa menyalahkannya sih, kebanyakan dari calonnya hanya mengejar uang dan status saja."
Manggut-manggut mengerti, Taehyung menyetujui dalam diam, menutup kembali gerbang biru itu perlahan kemudian mengekori si Pemilik Rumah yang sudah berjalan di depan. Benar kata Kiana, siapa sih yang tidak mau jadi pasangan pemimpin klan Biru? Kaya, punya jabatan dan Taehyung yakin punya lesung pipi pulaㅡkarena Kiana memilikinya juga di pipi sebelah kananㅡdalam kata lain; husbandable.
Kalau ia terlahir jadi perempuan di klan Biru reinkarnasi berikutnya, Taehyung pun akan mengejar-ngejar si Sulung keluarga Kim.
Sayang sekali urusannya masih terlalu jauh dari kata selesai untuk mengharapkan reinkarnasi sebagai orang yang beruntung, mungkin adanya Taehyung diubah jadi tanaman bonsai yang pemuda itu abaikan berjemur di depan gerbang rumah sampai malam.
Sambil menunggu pintu dibuka, Taehyung memperhatikan sekitarnya dengan seksama, halaman depannya tidak terlalu besar tapi ada banyak bunga berwarna biru yang cantik di petak-petak tanah kecilnya.
"Kau menanamnya sendiri?"
Kiana menoleh, balik bertanya membalas pertanyaan rancu Taehyung, "Bunga biru itu?"
Pemuda itu mengangguk, "Ya. Bunganya cantik sekali," ungkapnya.
"Bukan, itu para anggota kelompok pemberontakㅡgerilya katanya." Kiana menjawab kalem, membunyikan bel pintu setelah menaruh pot bonsai yang tadi dibawanya ke tempat yang seharusnya.
"Gerilya?" ulang Taehyung memastikan.
"Ya, guerilla gardening; dimana sekelompok orang melempari halaman kosong yang bukan lahan hak miliknya sebagai bentuk protes. Familiar?" Taehyung menggeleng, ini pertama kalinya ia mendengar jenis protes seperti itu, selama ini ia hanya tahu kalau protes di Geoje berarti baku hantam atau membuat kekacauan.
"Apa protes klan Biru memang sebermanfaat ini?"
"Tidak juga, awalnya mereka melempari batu tapi aku beri saran saja lempari dengan seed bomb, siapa yang mengira mereka benar-benar melakukannya. Mungkin kau benar, ini protes yang cukup bermanfaat selama tidak ada yang melempar benih kantong semar di halamanku."
Taehyung tidak membalas lagi, sedikit kagum bercampur ngeri bagaimana Kiana bisa membicarakan hal seperti itu dengan begitu gamblang tanpa ekspresi takut atau gelisah sekalipun.
Saat ia dengar kalau Kota Camar adalah kota yang berisi para manusia apatis, ini jelas level masa bodoh yang tidak ia ekspektasikan. Itu baru satu orang, bagaimana dengan yang lain?
Percakapan mereka selesai begitu pintu kayu mahoni itu dibuka perlahan, detail ukirannya cantik dengan motif flora yang terlihat estetik dan warna kayu yang hangat. Baru lima menit Taehyung berada disini tapi rasanya ia bisa merasakan perhatian detail yang keluarga ini tanamkan di tempat tinggalnyaㅡbegitu teliti dan hati-hati.
"Ini," Kiana menaruh sepasang sendal rumah di lantai, "Tamu-tamu itu suka sekali masuk rumah dengan sepatu kotor mereka, lalu berlagak seperti tinggal disini sejak tahun empat-lima. Tolong ganti sepatumu ya."
Taehyung menurut, mengganti sepatu lama yang sudah ia tambal berkali-kali dengan sendal rumah yang berbulu dan nyaman. Begitu ia menginjakkan kaki di selasar tamu dalam, rumah itu tidak seperti apa yang ada di bayangannyaㅡjauh dari apa yang ia percayai.
Justru terbalik dari kesan pamer yang norak; ruangan itu terasa nyaman seperti rumah milik keluarga yang normal dan bahagia, aksen kayu dan warna tone tanah yang mendominasi dalam pemilihan cat dinding dan furniture membuatnya hidup apalagi ketika disandingkan dengan lukisan yang memenuhi hampir satu tembok sebagai poin utama.
Ia dipersilahkan duduk di ruang tamu, sementara Kiana pergi entah kemana untuk mengambil sesuatu.
Matanya menyelidik penuh kerlingan penasaran, lukisan itu menarik. Pada pandang pertama, ia tampak seperti campuran warna-warna cerah dan bentuk abstrak yang fantasis namun perlahan tampak jelas guratannya menjadi sebuah akar dan batang pohon yang banyak.
"Cantik bukan? Itu lukisan kesukaan saudaraku," sahut Kiana sambil membawa nampan berisi perlengkapan minum tehㅡporselin asli dengan hiasan bunga lilac yang merambat di ukiran perak. Cantik sekali, dan sekali lagi Taehyung dibuat terpesona dengan perhatian yang pemilik rumah ini berikan kepada kepunyaan mereka.
Taehyung menerima cangkir itu hati-hati, bergumam terimakasih pelan sebelum berceletuk, "Rumahmu ... berbeda."
Kening Si Pemilik Rumah berkerut, "Berbeda bagaimana?" tanyanya.
"Kukira rumahmu dipenuhi warna biru dengan lantai karpet biru, wallpaper biru, perabotan dan makanan biru. Kau tahu, seperti banjir Pepsi," balasnya sedikit malu karena terdengar naif.
Kiana meresponnya dengan senyuman geli, balas menuding Taehyung dengan tatapan 'Aku-Tahu'.
"Begitulah bagaimana mereka memberitakannya setiap hari, memang ada tapi hanya segelintir. Rumah-rumah kami sama seperti pada umumnya, media saja yang memberi MSG berlebihanㅡmungkin mereka bakal menjulukiku Smurfette sebentar lagi," guraunya sambil mengambil duduk di kursi seberang pemuda itu.
Taehyung tertawa tertohok, sejujurnya ia juga pernah berpikir kalau orang-orang klan Biru perangainya akan terlihat kurang lebih mirip dengan para Smurf yang biru-biru.
"Kiana! Kok tidak bilang-bilang sudah sampai?"
Gadis berambut cokelat legam itu berjalan dengan antusias menghampiri keduanya. Pakaiannya bukan tampak seperti pakaian rumah, melainkan coat lab, matanya biru dan Taehyung rasa ia memang ditakdirkan lahir di klan Biru. "Ini Agatha, sahabatku," kenalnya.
Taehyung menunduk hormat, begitu pula Agatha. Setelah itu, ketiganya duduk bersamaan dalam diam.
"Psst, Kiana," panggil Agatha setengah berbisik. "Aku tidak tahu seleramu berubah begini semenjak ditinggalㅡ"
"Agatha, perkenalkan." Kiana menginterupsi, tidak membiarkan gadis itu menyelesaikan kalimatnya. "Pemuda yang duduk di depanmu itu namanya Taehyung, dia ini ... cukup terkenal."
"Taehyung, Kim Taehyung?" tanyanya terlihat terkejut setelah memperhatikan pemuda itu dari atas sampai bawah sekali lagi, "Buronan yang katanya licik, kejam, dan jelek itu?!"
Taehyung tersedak. Tak habis pikir dengan para petugas yang memiliki rabun luar biasa parah atau kemampuan imajinasi yang luar biasa buruk. Wajah seperti ini? Yang benar saja! Taehyung memang tidak suka bersombong ria tentang wajahnya tapi image yang diberi para petugas itu sudah sungguh keterlaluan!
"Pantas saja tidak tertangkap, kalau wajahnya setampan ini mungkin sudah taken duluan sebagai model di Paris," kata Agatha mengangguk-angguk sambil memperhatikan pemuda itu untuk yang kesekian kali dengan seksama, "Tampan sih tapi bukan tipeku."
"Tidak ada yang bertanya, Agatha," cibir Kiana, membuat sahabatnya itu merajuk dengan mata mendelik, "Siapa tahu Taehyung kenal seseorangㅡkau harus membuka pilihanmu, Kiana. Ini sudah tiga tahun."
Mendengar itu, Taehyung bisa merasakan suasana yang berbeda. Agatha tidak berbicara lagi, membungkam bibirnya seperti pertapa. Kiana juga hanya tersenyum pelik, menyesap teh miliknya habis kemudian bangkit dari kursinya, "Sampaikan salamku pada Tante Han ya. Maaf aku tidak bisa menghadiri acara kemarin, akan aku kirim karangan bunga untuk grand opening butiknya besok. Nanti kita bicara lagi ya?" tuturnya yang dibalas anggukan dari lawan bicaranya.
"Istirahatlah dulu, kau pasti lelah. Biar aku yang antar Taehyung ke kamarnya," ujar Agatha perhatian sambil memeluk perempuan itu erat.
Kiana berpamitan lebih dulu, masuk meninggalkan keduanya setelah mengucapkan selamat malam. Taehyung tidak bisa melakukan apapun, ia baru mengenal Kiana, akan aneh kalau tiba-tiba ia memberikan kata penyemangat atau menunjukkan afeksi yang biasa ia berikan kepada teman-temannya yang sedang sedih.
Salah bergerak, bisa-bisa berakhir masa bebasnya.
Sepeninggal Kiana, ia sedikit kebingungan harus bagaimana selanjutnya. Beruntung Agatha cukup baik untuk mencairkan suasana dengan membuka pembicaraan lebih dulu, "Jadi ... " mulainya ceria, "Apa kau kenal seseorang yang masih single?"
***
Loteng itu terasa nyaman, tidak seperti di film 'Putri Bersepatu Kaca' yang dipenuhi binatang pengerat berbicara dan pintar berkerja-kalau itu adanya di Gedung Parlemen.
Haha, bercanda. Taehyung hanya asal berpikir saja.
Agatha tidak mengajaknya berkeliling lama-lama, memberitahu dengan singkat dimana letaknya dapur, pintu ke patio dan ruangan yang harus dia hindari-karena itu milik pemimpin klan Biru yang belum tahu ada buronan di dalam rumahnya.
Perempuan itu juga ramah, memberitahunya untuk bergabung makan malam bersama pukul delapan dan membuatnya tidak merasa seperti akan mati seperti tawanan di rumah ini.
Kamar itu tidak terasa seperti loteng. Ruangannya cukup untuk seorang diri, ukurannya kurang lebih sama seperti flat lama Taehyung di Geoje. Pemandangannya langsung mengarah ke laut, begitu luas dan biru seperti perasaannya yang mulai membiru.
Menghela napas lelah, Taehyung membaringkan tubuhnya yang kelelahan dengan nyaman di kasur single bed berselimut tebal itu. Ia pikir, ia telah menerima terlalu banyak dari yang ia berikan. Menghancurkan sistem terdengar seperti omong kosong, rencana pun tidak bisa dimuat di kepala Taehyung yang mampat. Kalau begini terus, bagaimana ia akan membalas mereka yang sudah membantunya?
Memori kejadian dua hari yang lalu masih terekam jelas di dalam pikirannya. Bagaimana gunting yang biasa ia pakai membuka paket itu berubah menjadi salah satu bukti kekerasan yang berlumuran darah karena dendam yang tidak seharusnya ia biarkan tumbuh.
Sekarang Taehyung berada di zona asing, dengan orang-orang asing dan jati diri yang semakin lama semakin asingㅡia bahkan tidak tahu kemana perginya Kim Taehyung yang masabodoh dan penuh semangat.
"Sebaiknya aku mandi, bisa jadi sinting aku kalau terlalu lama berpikir," gumamnya bermonolog sambil mengacak rambutnya acak.
Seperti yang ayahnya selalu bilang; tidak ada cara untuk menyelesaikan untaian benang kusut kecuali mengambil waktu untuk membuka ikatannya atau memotongnya langsung dengan gunting.
Taehyung akan selalu memilih untuk memotong talinya dengan gunting. Namun, untuk kali ini, ia menyulitkan dirinya sendiri dengan memilih untuk membuka untaian benang kusut itu satu persatu.
***
Pukul setengah delapan. Taehyung turun dari loteng untuk bergabung bersama untuk makan malam, walaupun terkesan tidak tahu maluㅡtawaran makanan tidak boleh ditolak, karena kata ibunya, itu berarti menolak rezeki.
Pemuda itu berjalan dengan bahu yang turun sambil perlahan mendekati ruang duduk. Pandangannya refleks mencuri pandang ke arah lukisan besar yang ceritanya terngiang di dalam benaknya sampai sekarang.
Kiana bilang, lukisan itu berasal dari guratan kuas seorang pria bernama Van Gogh. Pria yang dulu sempat dibilang sinting karena memotong telinganya sendiri tetapi terlupakan pada fakta bahwa ia adalah salah satu pelukis brilian sepanjang sejarah.
Ia terdiam, terpesona untuk yang kesekian kalinya dengan lukisan akar pohon itu. Apalagi setelah ia mendengar cerita yang membelakanginya, rasanya Taehyung terpesona seratus kali lipat dengan lukisan itu.
Sayangnya, presensi mencekam dari bagian belakang punggungnya membuyarkan total pikirannya. Nada suaranya yang berat dan serius membuat tubuhnya total membatu di tempat, Taehyung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Seharusnya ia tidak turun lebih awal, jeez, seharusnya ia tidak turun sama sekali.
"Kau ... Kim Taehyung?"
Ia menolehkan wajahnya untuk bersitatap dengan netra yang terlihat bingung, marah bercampur keterkejutan. Matilah Taehyung! Itu pasti kakak Kiana, pemimpin klan Biru yang masuk majalah sebagai orang paling berpengaruh di KoreaㅡKim Namjoon. [•]
TO BE CONTINUED
Welcome our new clan!
Terimakasih yang masih nunggu dan membaca buku ini, adios! Sampai ketemu lagi nanti!
With Regards,
Lili.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro