Lembar 185 [Dua Episode terakhir]
Changkyun berdiri di tepi danau yang berada di teras paviliun Baginda Raja seorang diri. Cukup lama berdiri di sana hingga seseorang berpakaian serba hitam datang dari samping dan membisikkan sesuatu pada Changkyun. Pandangan keduanya kemudian bertemu dan pria asing itu memberikan anggukan singkat pada Changkyun.
"Pergilah," ucap Changkyun dan pria itu lantas menghilang dari pandangannya dalam waktu yang cepat.
Changkyun memandang kegelapan yang menyergap tempatnya sebelum kembali masuk ke paviliun. Berjalan menyusuri lorong yang kosong, saat itu Hwaseung datang dari arah berlawanan.
"Kau dari mana?" tegur Hwaseung begitu keduanya saling berhadapan.
"Bawa Baginda Raja ke paviliun Putra Mahkota."
Dahi Hwaseung mengernyit dan suara pemuda itu secara otomatis menjadi lebih pelan. "Ada apa?"
"Mereka dalam perjalanan kemari."
Netra Hwaseung melebar. "Secepat ini?"
Hwaseung lantas berbalik arah, kembali ke ruangan di mana Jungkook berada. Begitupun dengan Changkyun yang berjalan di belakang sang kakak. Hwaseung membuka pintu dan menarik perhatian Jungkook yang saat itu terduduk di lantai, tepat di ujung ruangan. Melihat kedatangan kedua pemuda itu, Jungkook lantas berdiri.
Hwaseung lantas menegur dengan suara tenangnya, "Yang Mulia, kita harus pergi dari sini."
"Ada apa?"
"Seseorang ingin bertemu di paviliun Putra Mahkota," sahut Changkyun.
"Hyeongnim?" Netra Jungkook menunjukkan sedikit antusias, namun tak ada jawaban yang datang padanya.
Jungkook lantas berjalan menuju pintu, namun ketika hendak melewati tempat Changkyun. Pemuda itu menahan bahu Jungkook dan membuat keduanya bertemu pandang.
"Lepaskan jubahmu, Yang Mulia."
Hwaseung menatap penuh tanya. "Apa yang ingin kau lakukan, Changkyun?"
"Tinggalkan jubahmu dan pergilah dari sini."
Batin Hwaseung tersentak setelah ia mengerti apa yang saat ini dipikirkan oleh Changkyun. Ingatan Hwaseung berjalan mundur, menemukan kenangan saat di mana ibunya tewas karena menggantikan posisi permaisuri saat itu. Dan sekarang Changkyun ingin melakukan hal yang sama dengan apa yang pernah ibu mereka lakukan.
Perasaan takut itu seketika menghampiri Hwaseung. Dia kemudian menarik lengan Changkyun. "Jangan macam-macam."
Changkyun menepis lembut tangan Hwaseung.
Hwaseung kembali berucap, "jangan melukai Abeoji dengan tindakanmu ini."
"Aku tidak akan berakhir seperti ibu."
Hwaseung menatap ragu. Seharusnya dalam situasi seperti ini, ayah mereka ada di sana. Namun pada akhirnya Jungkook melepas jubah Kekaisaran penguasa Joseon yang kemudian tergeletak di samping kaki Changkyun.
Kembali ke paviliun Putra Mahkota, Jungkook mendapati bahwa ia kembali tertipu oleh sang Rubah ketika tak ada seorangpun yang menunggunya di sana. Pintu di belakang Jungkook tertutup, membuat Jungkook berbalik dan memberikan tatapan menuntut pada Hwaseung.
"Kalian membohongiku?"
"Bukan membohongi, tapi menyelamatkan." Hwaseung menghentikan langkahnya pada jarak satu meter di hadapan Jungkook.
"Menyelamatkan dari apa? Apa yang terjadi?"
"Aku harap Yang Mulia tidak lupa dengan pembicaraan kita kemarin."
Jungkook tampak berpikir hingga batinnya tersentak ketika ia menemukan apa yang dimaksud oleh Hwaseung. "Maksudmu, Harabeoji akan kembali kemari?"
"Mereka sedang dalam perjalanan kemari," ujar Hwaseung dengan nada yang lebih serius.
Mendengar hal itu, Jungkook lantas tak bisa berdiam diri. Pemuda itu hendak berjalan menuju pintu keluar, namun saat itu Hwaseung menahannya.
"Jangan mengacaukan rencana adikku, Yang Mulia."
"Harabeoji datang untukku. Aku tidak akan membiarkan Changkyun berada di sana untuk menggantikanku."
"Yang Mulia terlalu lemah untuk bisa menghadapi orang selicik Heo Junhoo."
Jungkook menatap tak terima. "Apa maksudmu? Changkyun dalam bahaya!"
"Semua orang juga dalam bahaya. Tapi adikku tidak akan membiarkan dirinya berada dalam bahaya."
"Tapi bagaimana dengan Ibu Suri?"
"Sore tadi Ibu Suri pergi ke Bukchon. Jangan berpikir untuk melarikan diri dari sini dan mengacaukan semuanya, Yang Mulia. Adikku tahu apa yang harus dia lakukan."
Bahu Jungkook jatuh dengan helaan napas yang terdengar putusasa. Dan ketika malam yang semakin merenggut cahaya, saat itu Changkyun kembali memasuki ruangan yang sempat ia tinggalkan.
Berjalan mengarah ke tengah ruangan, tangan kiri Changkyun meraih jubah kebesaran Kaisar Joseon yang masih tergeletak di lantai. Membawa jubah itu di tangan kiri dan membiarkan ujung jubah menyapu lantai, Changkyun lantas menghentikan langkahnya tepat di tempat yang selalu diduduki oleh Baginda Raja.
Changkyun kemudian duduk sembari mengangkat jubah tersebut ke samping menggunakan kedua tangannya. Melakukan gerakan memutar hingga tepat saat kedua kakinya terlipat dengan sempurna di atas lantai, jubah itu berhasil menutupi punggungnya dengan sempurna. Duduk membelakangi pintu, si Rubah kini telah berubah menjadi Raja palsu namun dengan kekuasaan yang sesungguhnya.
Garis cahaya di ujung timur mulai terlihat, memberikan ancaman kepada kegelapan yang perlahan mulai melarikan diri. Di bawah kegelapan yang masih tersisa di langit, kelompok yang dipimpin oleh Heo Junhoo sampai di depan gerbang Gwanghwamun.
Tanpa menunggu perintah, dua dari empat prajurit yang berjaga di depan Gwanghwamun langsung membuka gerbang raksasa tersebut dan menarik perhatian dari prajurit yang berjaga di dalam gerbang. Sebelum para prajurit di dalam gerbang sempat menegur, mereka sudah dulu tewas oleh rekan mereka sendiri.
"Ya! Apa-apaan kalian?" tegur salah seorang prajurit yang berada di kejauhan.
Beberapa prajurit mendekat, namun langkah mereka terhenti ketika Junhoo beserta orang-orangnya melewati gerbang Gwanghwamun. Semua orang tampak terperangah sebelum sebuah suara lantang itu terdengar membelah langit yang masih tampak gelap.
"Pengkhianat Heo Junhoo menyerang, lindungi Baginda Raja!"
"Habisi semuanya!" kalimat perintah Heo Junhoo yang mengawali semuanya.
Para prajurit yang mendengar hal itu lantas berbondong-bondong menuju Gwanghwamun dengan senjata masing-masing, beberapa dari mereka pergi ke paviliun peristirahatan Baginda Raja. Namun beberapa prajurit justru berkhianat. Mereka menyerang rekan mereka sendiri dan mengepung paviliun Baginda Raja.
Sedangkan di halaman istana Gyeongbok, para prajurit berhadapan dengan para sekutu Heo Junhoo. Menjadikan pagi itu menjadi pagi yang paling mengerikan bagi istana Gyeongbok.
Shin yang sebelumnya berdiri di belakang Junhoo lantas melibatkan diri dalam pertarungan. Sedangkan Heo Junhoo tampak menyunggingkan senyumnya. Merasa puas karena sebentar lagi ia akan membayar pengkhianatan yang telah dilakukan oleh cucunya.
Dari arah belakang, para Menteri yang berpihak pada Junhoo datang dengan pedang di tangan masing-masing. Ekor mata Junhoo lantas menemukan mereka.
"Selamat atas kemenanganmu, Menteri Heo," ucap salah seorang Menteri.
Junhoo menyahut, "aku tidak ingin perayaan di awal. Sebelum aku memenggal kepala anak itu, aku belum memiliki kemenangan."
Sudut bibir Junhoo tersungging. Pria itu kemudian melangkahkan kakinya ke tengah peperangan. Bukan untuk bergabung, hanya sekedar menumpang lewat. Namun tak jarang Junhoo menggunakan pedangnya untuk melindungi diri.
Keributan yang semakin merambah ke seluruh penjuru istana itu lantas berhasil masuk ke pendengaran Jungkook. Pemuda itu segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Namun tepat setelah berhasil membuka pintu, Hwaseung telah berdiri di depan pintu.
"Mundur," gumam Hwaseung dengan nada bicara dan juga wajah yang tampak serius.
"Apa yang terjadi di luar?"
"Sesuatu yang buruk, lebih baik Yang Mulia—"
"Aku harus pergi," sahut Jungkook dengan cepat. "Harabeoji datang kemari untukku. Aku harus menemuinya."
Jungkook hendak menerobos Hwaseung, namun dengan lancangnya Hwaseung justru mendorong bahu Jungkook hingga pemuda itu mundur beberapa langkah. Hwaseung lantas masuk dan menutup pintu tanpa berbalik.
"Hyeongnim," gumam Jungkook.
"Percayakan semua pada kami. Semua akan berakhir jika Yang Mulia mati lebih dulu."
"Taehyung Hyeongnim juga ada di sana?"
"Percayakan semua pada ayah hamba. Tetaplah di sini sampai hamba memberikan izin pada Yang Mulia."
Jungkook tak bisa hanya berdiam diri ketika dengan jelas ia mendengar keributan di luar sana. Namun pada akhirnya pemuda itu menuruti nasehat Hwaseung. Tetap bertahan di tempat persembunyiannya dengan hati yang semakin gelisah di setiap waktunya.
Kegelapan mulai terkikis ketika cahaya di langit mulai tertarik dengan kekacauan di bawah sana. Junhoo bersama beberapa Menteri hendak menuju paviliun Baginda Raja dengan pengawalan Shin. Namun di tengah perjalanan, mereka di hadang oleh Taehyung dan Hoseok yang memimpin para prajurit istana.
Netra Junhoo memicing sebelum seulas senyum miring terlihat di wajahnya. Junhoo kemudian menegur, "bagaimana kabarmu, Pangeran Lee Taehyung?"
"Sangat baik untuk melihatmu, Menteri Heo Junhoo," balas Taehyung dengan suara tenangnya.
Senyum Junhoo tersungging lebih lebar. Pria itu melakukan kontak mata, memberikan isyarat perintah pada Shin yang kemudian mengangguk sebelum berjalan menghampiri Taehyung dengan pedang yang sudah berlumuran darah di tangannya.
Para prajurit yang telah bersiaga di belakang Taehyung hendak menyerang, namun Taehyung dengan tenang mengangkat tangan kirinya di samping bahu. Memberikan isyarat agar mereka menahan diri.
"Kau ingin pergi ke mana? Di sinilah musuhmu berada," teguran itu datang dari arah samping dan menghentikan langkah Shin.
Namgil menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Berjalan dengan langkah yang santai dengan sebilah pedang di tangan kiri dan juga Byeolungeom (Pedang Ungeom) yang sampai detik ini masih setia berada di punggungnya. Menghentikan langkahnya dalam jarak dua meter dari Shin, pandangan kedua pendekar pedang itu lantas saling beradu. Mengasingkan diri dari kekacauan di sekitar mereka, keduanya kembali bertemu atas dendam masa lalu yang masih berlanjut.
Namgil kemudian berujar dengan lebih serius, "urusan kita belum selesai, Jung Shin."
Setelahnya, dalam waktu bersamaan kedua pendekar pedang itu menarik pedang mereka dan menghampiri satu sama lain. Satu kali pedang mereka beradu dengan sangat keras, keduanya kemudian melompat ke atap bangunan. Shin kemudian melarikan diri, bukan untuk menghindar, melainkan mencari tempat yang lebih baik untuk menyelesaikan urusan mereka.
Dan selepas kepergian kedua pria itu, Taehyung kemudian menarik pedangnya, memberikan sebuah peringatan pada lawannya. Demikian Junhoo yang melakukan hal yang sama. Tanpa ada kata yang terucap, detik berikutnya kedua kubu saling menyerang. Para Menteri yang terdesak lantas turut terlibat dalam pertarungan. Dan saat itu, untuk kali kedua Taehyung dan Junhoo saling berhadapan.
Dari bawah, Taehyung mengangkat pedangnya yang kemudian ditahan oleh Junhoo. Membuat keduanya sempat saling beradu pandang sebelum Taehyung menepis pedang pria tua itu lebih dulu.
"Tidak akan kubiarkan siapapun menghalangi jalanku!" hardik Junhoo. "Bunuh mereka semua!"
Kemurkaan Junhoo membawa kekacauan semakin meluas. Di saat si Rubah yang masih berdiam diri di tempat sebelumnya, si Ungeom berhadapan dengan musuh besarnya di tanah lapang yang berada di tepi danau tanpa ada satupun orang yang akan mengganggu mereka.
Berhadapan dalam jarak yang tak lebih dari dua meter, Namgil lantas memberikan teguran pertamanya. "Tidakkah kau ingin hidup sebagai seorang manusia? Menjadi anjing dari orang licik itu, sepertinya kau benar-benar sudah putusasa."
"Sejak kapan pendekar pedang lebih pandai menggunakan mulutnya? Atau kau sudah lupa bagaimana cara mengayunkan pedangmu, Ungeom?"
Sudut bibir Namgil tersungging, tampak tak terprovokasi oleh ucapan lawannya. Dengan nada yang santai, Namgil lantas berucap, "kau salah sangka, aku sudah menjadi Panglima Perang sekarang."
"Gunakan pedangmu, jangan mulutmu."
Keduanya sempat terdiam hingga dalam waktu bersamaan keduanya saling menghampiri, menciptakan pertarungan yang sesungguhnya antara dua pendekar pedang. Mengabaikan apa yang saat ini terjadi di istana Gyeongbok.
Di sisi lain, Junhoo berhasil lolos dari Taehyung. Dan tekanan yang terus datang dari kelompok Junhoo membuat Taehyung kehilangan jejak pria tua itu. Taehyung mengayunkan pedangnya ke samping, menebas leher seorang prajurit yang kemudian mengotori pakaiannya dengan darah si prajurit.
Taehyung terus mengayunkan pedangnya dan terkadang menggunakan kakinya untuk menyingkirkan musuh yang menyerang. Netranya mencoba mengenali orang-orang yang berada di sekitarnya, dan satu hal yang membuat Taehyung marah. Tak lagi terlihat para Menteri yang datang bersama Junhoo.
Memberikan satu tendangan ke samping, Taehyung menginjak punggung seseorang dan kemudian melompat ke udara. Menginjak bahu beberapa orang sebagai pijakan sebelum melompat ke bawah dan mempertemukan punggungnya dengan Hoseok.
"Ketua," tegur Hoseok tanpa menurunkan kewaspadaannya.
"Paviliun Baginda Raja," ucap Taehyung dengan cepat dan segera berpisah dengan Hoseok ketika serangan kembali datang.
Keduanya mencoba mencari jalan untuk bisa sampai ke paviliun Baginda Raja dan menghentikan Junhoo. Namun saat itu kejutan kecil datang untuk Taehyung ketika Jungkook tiba-tiba muncul di balik punggungnya.
"Hyeongnim."
Ekor mata Taehyung menangkap sosok Jungkook dengan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan saat ini. Taehyung kemudian menegur, "kenapa Yang Mulai ada di sini?"
Jungkook tak sempat menjawab karena keduanya segera berpisah. Di sela ayunan pedangnya, pandangan Taehyung menangkap sosok Hwaseung. Melihat hal itu, Taehyung mencoba menemukan keberadaan Changkyun. Namun tak ia lihat bahwa si Rubah berada di sana.
Taehyung bergerak mendekati Hwaseung dan membantu pemuda itu yang hampir terkena serangan dari samping.
Taehyung segera menegur, "Hyeongnim, di mana Changkyun?"
"Dia menggantikan Baginda Raja," jawab Hwaseung dengan cepat lalu menendang salah satu musuh yang datang. "Dia berada di paviliun."
Netra Taehyung melebar. "Tidak, kenapa kau di sana?" batin Taehyung.
Taehyung kemudian kembali mengayunkan pedangnya dengan lebih brutal, mencoba membuka jalan untuk bisa sampai di tempat sang Rubah sebelum sesuatu yang buruk menimpa pemuda itu.
Sedangkan di sisi lain, pertarungan antara kedua pendekar pedang itu masih berlanjut. Keduanya sama-sama terlempar ke belakang setelah saling menendang perut satu sama lain. Tangan kanan Namgil sudah bersimbah darah karena luka baru yang terlihat di lengan kanannya, sedangkan Shin terluka di bagian bahu kiri.
Napas keduanya terdengar memberat. Penampilan yang berantakan sudah cukup membuktikan seberapa kerasnya mereka bertarung. Dalam satu tarikan napas pendek, Namgil memutuskan untuk mengakhiri pertarungan mereka dengan kembali menyarungkan pedangnya.
"Akhiri sampai di sini. Berterima kasihlah karena aku sudah mengampunimu."
Namgil berbalik, berjalan pergi. Namun teguran itu datang dari balik punggungnya dan menghentikan langkahnya.
"Melarikan diri seperti pengecut?"
Namgil berbalik. Dengan suara tenangnya ia berucap, "aku tidak akan membunuh musuh yang tidak bisa lagi menggunakan pedangnya dengan baik."
Shin tersenyum tak percaya sebelum tawa itu terdengar, namun sangat menyedihkan di telinga Namgil. Seakan-akan ia bisa merasakan keputusasaan yang saat ini dialami oleh Shin.
Shin melangkahkan kakinya, namun baru satu langkah yang ia ambil dan tubuhnya hampir limbung. Karena bukan hanya bahunya yang terluka. Melainkan kaki, perut dan juga punggung. Pria itu menggunakan pedang di tangannya untuk menyangga tubuhnya.
Namgil kemudian berucap, "kasihanilah dirimu sendiri."
Namgil hendak berbalik, namun Shin berbicara lebih dulu. "Akulah orang yang sudah membunuh Putri Yowon."
Batin Namgil tersentak oleh pengakuan itu. Perlahan tatapan yang menajam penuh amarah itu kembali pada Shin.
Shin menyunggingkan senyumnya seakan ingin menantang sang Ungeom. "Aku yang sudah membunuh istrimu ... kau ingin pergi begitu saja?"
Namgil sempat terdiam sebelum akhirnya menyelipkan pedang di tangannya pada pinggang, lalu kemudian tangan kanannya menarik Byeolungeom yang berada di balik punggungnya. Membiarkan ujung pedang sang Ungeom yang kerap di sebut sebagai pedang Dewa itu mengarah pada tanah, Namgil kehilangan belas kasih yang sempat terlihat dalam sorot matanya ketika pernyataan Shin telah berhasil mengembalikan luka yang sempat terkubur bertahun-tahun lamanya.
"Matilah di tanganku, Jung Shin," sebuah gumaman tanpa perasaan.
Angin musim semi berhembus, memberantakan perasaan si Ungeom yang sudah mulai tertata ketika kedua putranya kembali ke sisinya. Angin musim semi itu pergi seiring dengan langkahnya yang kembali menghampiri Shin. Kembali melanjutkan pertarungan hingga salah satu di antara keduanya mati. Begitulah cara bertarung seorang pendekar pedang yang sesungguhnya.
Kali ini Namgil tak memberi ampun, begitupun dengan Shin. Hingga beberapa menit kemudian pertarungan sengit itu berakhir ketika Byeolungeom di tangan Namgil mendapatkan ruang untuk memberikan luka fatal bagi musuhnya.
Tubuh Shin tersentak, membuat darah keluar dari mulutnya ketika Byeolungeom itu menembus perutnya. Sebuah luka fatal yang merenggut napasnya.
Tanpa perasaan Namgil menarik pedangnya dengan kasar, membuat tubuh Shin kehilangan keseimbangan dan jatuh berlutut di hadapannya dengan pedang menancap di tanah yang mencoba untuk mempertahankan diri.
Namgil berucap dengan tenang namun terdengar begitu dingin, "berhentilah menjadi anjing, kau harus berterima kasih karena aku telah membebaskanmu."
Shin tertawa pelan dan sempat terputus. Suara pria itu terdengar lebih lemah, "kau pikir ini sudah berakhir? Jika aku mati ... Rajamu juga akan mati bersamaku. Ingat itu baik-baik, Ungeom."
Pandangan Namgil terjatuh pada sosok Shin. Kaki sang Ungeom terangkat dan kemudian mendorong bahu Shin sedikit kasar hingga tubuh pria itu jatuh ke belakang. Merasakan penderitaan sebelum menuju kematian.
"Kau sangat menyedihkan," kalimat terakhir sang Ungeom sebelum berbalik dan meninggalkan musuh besarnya yang telah kalah oleh pedangnya.
Junhoo dan para Menteri terlibat pertarungan di halaman paviliun Baginda Raja. Namun Junhoo dengan mudah melewati pertarungan itu karena para prajurit yang berada di pihaknya membukakan jalan untuknya. Meninggalkan dua prajurit berjaga di depan pintu, Junhoo lantas memasuki paviliun Baginda Raja seorang diri.
Membuka setiap pintu yang ia lewati dengan kasar, langkah Junhoo terhenti setelah menemukan sosok yang ia cari. Dengan tatapan marah Junhoo melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu, mengusik ketenangan sang Rubah yang telah menunggu kedatangannya sejak lama.
"Bocah kurang ajar! Aku akan mengajarimu bagaimana cara berterima kasih!" hardik Junhoo, membawa langkahnya menghampiri Changkyun yang ia kira adalah Jungkook.
Dengan amarah yang tak lagi bisa dikendalikan, Junhoo mengayunkan pedangnya ke udara dan hendak menebas punggung Changkyun. Namun saat itu tangan kanan Changkyun segera meraih pedang yang tergeletak di lantai. Memutar tubuh dengan cepat dan menahan serangan Junhoo dengan wajah yang menghadapi lantai.
Netra tajam Junhoo mengerjap ketika ia menyadari bahwa pemuda itu bukanlah cucunya. "S-siapa kau?"
Changkyun perlahan mengangkat wajahnya. Menambah keterkejutan di wajah Junhoo.
"K-kau?"
Changkyun bangkit sembari menepis pedang Junhoo. Tak cukup sampai di situ, Changkyun segera menendang perut Junhoo hingga tubuh pria itu terpental ke belakang dan jatuh di lantai. Changkyun kemudian menyingkirkan jubah kebesaran Kaisar Joseon yang masih menutupi punggungnya dengan kasar lalu membuangnya ke lantai.
"Berengsek! Berani-beraninya kalian menipuku!" hardik Junhoo. Pria itu segera bangkit dengan kemarahan yang semakin besar.
Sedangkan di luar, Taehyung bersama Jungkook dan Hwaseung telah sampai di halaman paviliun Baginda Raja. Namun langkah mereka terhalang oleh para sekutu Junhoo. Taehyung memandang pintu paviliun dengan khawatir.
"Aku mohon, jangan tinggalkan aku," hanya sebatas suara hati yang menyampaikan ketakutan akan kembali ditinggalkan oleh yang terkasih.
Taehyung mendorong beberapa prajurit yang menyerangnya. Semakin putuasa ketika jalan di hadapannya tak kunjung terbuka. Melompat ke udara, Taehyung mengayunkan pedangnya untuk melukai siapapun yang berada di dekatnya.
Pedang di tangannya menghunus satu prajurit. Di tariknya kembali pedang itu, membimbing sebuah teriakan yang bahkan tak mampu ditangkap oleh pendengaran sang Rubah.
"Kim Changkyun!"
Changkyun melangkahkan kakinya mendekati Junhoo, membiarkan pedang di tangannya terbebas untuk melukai siapapun tanpa menyisakan sedikitpun pengampunan. Dan tampaknya Junhoo memilih lawan yang salah.
Raja tanpa takhta. Seseorang yang berkuasa meski tanpa memiliki takhta sekalipun. Dialah orang yang akan menjadi Raja terburuk dalam sejarah jika takdir benar-benar mengizinkannya untuk menjadi seorang Raja.
Terangkat ke udara, pedang di tangan Changkyun menemui mangsanya. Junhoo berhasil menahan tebasan pedang Changkyun, namun hal itu tak memberikan pengaruh apapun bagi Changkyun.
Kaki kiri Changkyun bergerak lebih cepat dari dugaan Junhoo. Menendang kaki pria tua itu hingga membuat satu lutut pria tua mengarah ke lantai. Tak memberikan kesempatan, sebelum lutut Junhoo jatuh ke lantai, Changkyun menggunakan lututnya untuk memberikan pukulan keras pada dagu Junhoo yang kemudian mendongak dengan paksa. Changkyun kemudian menggunakan gagang pedangnya untuk memukul kepala Junhoo dari samping dan membuat pria itu terlempar ke samping.
Napas Junhoo naik-turun, menahan amarah dan juga rasa sakit yang diberikan oleh Changkyun. Pria tua itu berucap penuh penekanan, "keparat, kau! Tidak akan kuampuni kau!"
Junhoo hendak bangkit, namun saat itu justru teriakan kesakitan keluar dari mulut pria itu ketika Changkyun menginjak kakinya dengan cukup keras. Junhoo berbalik, dan saat itu Changkyun menancapkan pedangnya pada paha pria tua itu lalu kemudian memandang dengan raut wajah datar yang tak menunjukkan perasaan apapun.
"K-kau!"
"Kau ingin mati?" suara berat Changkyun terdengar untuk kali pertama.
Junhoo menatap marah, namun tak lagi bisa bergerak ketika Changkyun berhasil mengunci pergerakannya.
"Akan kukabulkan."
Netra Junhoo membulat. "Argh!!!" teriakan itu keluar tepat saat Changkyun menarik pedang dari pahanya.
Changkyun kemudian mendorong bahu Junhoo menggunakan kakinya hingga pria itu berbaring dengan paksa. Satu lutut Changkyun jatuh ke lantai, bersamaan dengan itu pedang di tangannya terangkat tinggi ke udara dan kemudian menembus dada Junhoo. Menyentak tubuh pria itu yang kemudian terbatuk hingga menyemburkan darah yang kemudian mengotori area leher si Rubah.
"K-kau ..." suara serak Junhoo terputus.
Changkyun semakin menekan pedangnya, membuat wajahnya kembali terkena darah yang keluar dari mulut Junhoo.
"Kim Changkyun, itulah nama orang yang sudah membunuhmu," ucap si Rubah, memberikan ucapan selamat tinggal kepada Junhoo yang kemudian menghembuskan napas terakhirnya ketika ia menarik pedangnya dengan kasar.
Changkyun kembali berdiri. Memandang Junhoo dengan tatapan yang sama, pemuda itu kemudian menarik pakaian Junhoo menggunakan tangan kirinya dan menyeret jasad pria tua itu meninggalkan ruangan itu. Membiarkan darah mengotori lantai yang ia lewati.
Membuka pintu paviliun, Changkyun menyaksikan peperangan yang masih berlangsung. Melangkahkan kakinya keluar, Changkyun berhenti di ujung tangga dan langsung melemparkan jasad Junhoo ke bawah tangga. Menarik perhatian dari beberapa orang termasuk Hwaseung dan juga Taehyung.
Para Menteri yang melihat hal itu tak bisa mengendalikan keterkejutan mereka.
Hwaseung kemudian mengambil alih, "jatuhkan pedang kalian! Heo Junhoo telah terbunuh!"
Perlahan pergerakan semua orang terhenti. Para Menteri saling bertukar pandang.
Hwaseung kembali berucap, "ketua kalian sudah terbunuh, menyerahlah dengan baik-baik!"
Tak mendapatkan pilihan lain, di mulai dari para Menteri. Semua sekutu Junhoo menjatuhkan pedang mereka dan kemudian berlutut di bawah ancaman para prajurit istana yang masih berada di kubu Jungkook.
Tatapan dingin Changkyun lantas bertemu dengan tatapan khawatir Taehyung. Dan tanpa si Rubah ketahui bahwa saat ini sang tuan tengah meneteskan air mata untuknya.
Secara bertahap kekacauan itu mulai berhenti ketika kabar kematian Junhoo menyebar.
Perhatian Taehyung teralihkan oleh kedatangan Jungkook. Saat itu Taehyung hendak menjatuhkan lututnya sebagai penghormatan untuk sang Raja, namun Jungkook segera menahan kedua lengan pemuda itu.
Di luar dugaan, Jungkook melepaskan tangan Taehyung dan kemudian berlutut di hadapan sang kakak. Membuat semua orang terperangah, kecuali Changkyun yang masih bertahan dengan wajah datarnya.
Taehyung menegur dengan suara yang terdengar sedikit gemetar, "a-apa, apa yang sedang kau lakukan?"
"Tugasku sudah selesai, waktunya Hyeongnim menepati janji Hyeongnim."
"Apa maksudmu?"
Jungkook mendongak. Memberikan seulas senyum dan lantas berucap, "aku sudah menjaga tempat Hyeongnim dengan baik. Sekarang, aku ingin mengembalikannya pada Hyeongnim ... jadilah Raja seperti keinginan ayahanda, Hyeongnim."
Tatapan Taehyung gemetar. Namun saat itu perhatiannya teralihkan oleh pergerakan Hwaseung yang tiba-tiba menjatuhkan satu lututnya. Memberikan hormat layaknya seorang prajurit.
Hwaseung kemudian berucap dengan lantang, "hidup Baginda Raja Lee Taehyung!"
Semua prajurit sontak mengikuti Hwaseung. Menjatuhkan satu lutut mereka dan menyerukan kemenangan pada Raja mereka.
"Hidup Joseon, hidup Baginda Raja Lee Taehyung ..." suara yang terdengar saling bersahutan berhasil menghancurkan pertahanan Taehyung. Pemuda itu menangis dalam keterdiamannya.
Sedangkan di atap salah satu bangunan yang berada di sana, si Ungeom menyaksikan bagaimana Taehyung mendapatkan kemenangannya hingga perlahan pandangannya menemukan sosok putra bungsunya yang masih berdiri dengan tegap. Tak beberapa lama kemudian, Changkyun turut menjatuhkan satu lututnya. Menunduk dalam dan turut merayakan kemenangan bagi tuannya.
Namgil tersenyum. Membawa pandangannya menemukan langit cerah pagi itu. Mengunci lisannya, si Ungeom membiarkan hatinya untuk menyerukan kemenangan pagi itu.
"Kau melihatnya, Yowon? Putra-putra kita. Jangan mengatakan bahwa aku tidak bertanggung jawab. Beristirahatlah dengan tenang sekarang."
Selesai ditulis : 31.08.2020
Dipublikasikan : 31.08.2020
Bagaimana? Berhenti di sini atau masih mau lanjut🤭🤭🤭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro