Lembar 178 [Sembilan Episode Terakhir]
Taehyung terus memacu kudanya, menjauhi pemukiman dan menyusuri jalan setapak di atas bukit. Membiarkan matahari menjadi saksi atas pelariannya. Namun perlahan langkah kuda yang ia tunggangi melambat ketika menyadari pergerakan tangan lemah Hwagoon yang mencengkram pakaiannya semakin kuat.
"Naeuri ..." suara lirih itu menyapa pendengaran Taehyung.
Langkah kuda itu lantas berhenti. Taehyung kemudian menurunkan Hwagoon dan membaringkannya di tanah dengan bagian atas tubuh gadis itu yang ia tahan untuk tetap berada dalam dekapannya. Taehyung merasa cemas ketika melihat kelopak mata Hwagoon menutup, ditambah dengan napas gadis itu yang terdengar sangat pendek.
"Hwagoon, Park Hwagoon ... bukalah matamu."
Jemari Hwagoon bergerak dengan lemah, membimbing kedua kelopak matanya untuk terbuka dan menemukan yang paling berharga dalam hidupnya. Segaris senyum lantas membimbing air mata keluar melalui sudut mata gadis itu. Sedikit kebahagiaan singgah di sudut hatinya.
Satu tangan Taehyung menggenggam tangan Hwagoon dengan lembut. "Bertahanlah, aku akan membawamu pergi dari sini. Kita akan hidup bersama, hanya kita berdua."
Mata Hwagoon kembali terpejam untuk sesaat ketika gadis itu menggeleng pelan. Dengan suara yang lemah ia berucap, "katakan hal itu pada gadis lain."
"Apa yang kau bicarakan? Tidak ada wanita yang lebih pantas untuk mendengarkan kalimat itu. Kita ... aku berjanji akan menepati janjiku kali ini. Kita akan bersama sampai kematian itu datang. Aku akan menepati janjiku kali ini."
"Aku tidak menginginkannya. Melihat Naeuri saat ini ... aku sudah bahagia. Aku belum meminta maaf pada Naeuri."
"Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak bersalah."
"Aku ... aku sudah bersikap kasar pada Naeuri. Aku berpikiran buruk tentang Naeuri ... aku sangat bodoh ..."
Taehyung melepaskan tangan Hwagoon dan beralih merengkuh gadis itu. Merasakan napas pendek yang semakin membuat batinnya tersiksa. Dia bergumam dengan air mata yang tertahan, "jangan mengatakan apapun, biarkan aku saja yang berbicara. Biarkan aku yang meminta maaf padamu."
"Naeuri ..."
"Aku mencintaimu, Aku mencintaimu Park Hwagoon. Mari hidup bersama," sebuah ungkapan perasaan yang sangat terlambat. Namun meski begitu, sesuatu yang terlambat itu kembali memberikan kebahagiaan pada Hwagoon.
Satu tangan Hwagoon bergerak pelan ke balik punggung Taehyung. Membalas dekapan pemuda itu. Mencari tempat ternyaman baginya untuk tertidur dan meninggalkan rasa sakit yang masih menyiksanya.
Di antara ketenangan pagi itu, Taehyung kembali memperdengarkan suaranya, "jangan membenciku. Meski aku pantas untuk mendapatnya, aku mohon jangan pernah membenciku ... kali ini, aku akan benar-benar menepati janjiku."
Suara lemah Hwagoon kembali terdengar, "aku ... merasa bahagia. Aku tidak mencintai orang yang salah. Aku ... sudah bahagia. Pada akhirnya, aku ... bisa melihat ..."
Hwagoon menarik napas dalam. Taehyung yang menyadari hal itu lantas melonggarkan dekapannya. Kembali memandang wajah Hwagoon. Tangan Taehyung yang terbebas mengusap air mata di wajah pucat itu.
"Jangan bicara lagi. Bertahanlah, aku akan segera mendapatkan bantuan."
"Ada ... hal yang ingin kukatakan."
Taehyung mengurungkan niatnya untuk beranjak dari tempat itu. "Katakan hal itu nanti saat kondisimu membaik. Sekarang kita harus pergi dulu dari sini."
"Ini sudah terlalu jauh ... aku tidak bisa pergi bersama Naeuri."
"Jangan bicara seperti itu. Kita sudah pergi sejauh ini."
"Bisakah Naeuri memelukku?"
"Park Hwagoon ..."
"Aku mohon."
Mengabulkan keinginan Hwagoon, Taehyung lantas kembali merengkuh tubuh gadis itu. "Sekarang, katakan padaku apa yang ingin kau katakan. Aku akan mendengarkanmu."
"Aku bahagia ... pada akhirnya, aku bisa melihat wajah Putra Mahkota ... Lee Taehyung."
Batin Taehyung tersentak, namun bersamaan dengan itu, tangan lemah Hwagoon jatuh di atas pangkuannya. Taehyung tertegun, tak merasakan detak jantungnya untuk sepersekian detik ketika tak ia rasakan lagi napas pendek Hwagoon.
Netra itu mengerjap, membuat air mata yang sempat tertahan kemudian meluncur begitu saja melewati wajahnya. Dengan suara gemetar Taehyung berucap, "H-Hwagoon ... jawab aku. Park Hwagoon."
Perlahan Taehyung menjauhkan tubuh gadis itu dan dengan tangan yang gemetar ia memeriksa denyut nadi gadis itu. Selang beberapa detik, bersamaan dengan tangannya yang melepaskan pergelangan tangan Hwagoon, tangis itu pecah. Membimbing tangan yang gemetar untuk menangkup wajah pucat gadis itu.
"Tidak ... jangan lakukan ini. Maafkan aku ... buka matamu sekarang, aku mohon jangan seperti ini. Park Hwagoon, dengarkan aku kali ini saja ... jangan lakukan ini."
Kembali direngkuhnya tubuh gadis itu. Taehyung tak lagi bisa mengendalikan tangisnya. Membiarkan sebuah teriakan keluar sebagai pelampiasan akan kesedihannya ketika yang terkasih tak lagi bersedia menyahuti perkataannya.
Pagi itu, di bawah sinar matahari yang menghangatkan punggung Taehyung. Pemuda itu menerima kekalahan yang sesungguhnya ketika yang ia perjuangkan justru tak lagi ingin berjuang.
Park Hwagoon, gadis itu menghembuskan napas terakhirnya dalam dekapan yang terkasih. Pergi tanpa penyesalan ketika perasaannya telah tersampaikan pada pria yang selalu membuatnya duduk di halaman kala malam datang hanya untuk memandang rembulan malam yang kadang bersembunyi di balik dedaunan yang akan gugur kala musim gugur datang.
"Aku tidak akan bisa mati dengan tenang sebelum bisa melihat wajah Putra Mahkota," perkataan yang disaksikan oleh rembulan malam itu, ketika yang terkasih masih berada di tempat yang tinggi.
Hari itu sang rembulan mengabulkan keinginan gadis itu. Meski tidak dalam wujud sempurnanya, namun saat ini sang rembulan yang masih bertahan di langit ujung barat dan tersamarkan oleh cahaya yang dibawa oleh matahari, menyaksikan bagaimana harapan kecil gadis itu terwujud. Dan malam ini, rembulan malam akan menangis seorang diri.
Dalam keheningan, Taehyung bertahan. Merengkuh jasad tanpa ada tangis yang tersisa. Tatapan terluka yang tak lagi memiliki harapan telah menulikan telinganya hingga ia tak beranjak dari sana ketika suara derap kaki kuda terdengar mendekati tempatnya.
Dari kejauhan, entah bagaimana caranya, para prajurit istana berhasil menemukan keberadaan pemuda itu. Para prajurit itu segera turun dari kuda masing-masing dan langsung mengepung Taehyung dengan senjata di tangan masing-masing.
Taehyung tak memberi perlawanan, bahkan terlihat tak peduli meski para prajurit itu akan membunuhnya di sana.
Kepala prajurit berucap dengan tegas, "tangkap pengkhianat itu dan bawa ke istana!"
"Baik," jawab prajurit itu serempak dan hendak mengamankan Taehyung, namun pergerakan mereka terhenti ketika Taehyung mengangkat satu tangannya setinggi bahu.
"Aku akan pergi dengan caraku sendiri," ucap Taehyung.
Taehyung kemudian membaringkan Hwagoon dengan hati-hati. Mengusap lembut wajah gadis itu lalu bergumam, "kita akan segera bertemu, tunggulah aku di sana."
Beranjak dari tempatnya, dua orang prajurit segera menahan kedua tangannya dari belakang. Saat Itu pandangan Taehyung menemukan Hoseok yang berada tidak jauh dari tempatnya.
Taehyung lantas berbicara pada Hoseok, "tolong rawat Agassi, Hyeongnim."
Hoseok menyahut, "setelah dia tidak bernyawa, kau baru menyerahkannya padaku."
"Jangan salahpaham. Sampai detik ini, Park Hwagoon masih menjadi milikku."
Pandangan Taehyung kembali menemukan Hwagoon. Memandang gadis itu untuk kali terakhir sebelum para prajurit itu membuatnya berjalan dengan paksa. Namun sayangnya Taehyung tidak tahu bahwa dia diadili bukan karena menculik calon Putri Mahkota, melainkan membunuh Baginda Raja.
Setelah para prajurit itu membawa pergi Taehyung, Hoseok mendekati Hwagoon. Menjatuhkan satu lutut di samping jasad gadis itu, tangan Hoseok lantas mendapatkan telapak tangan gadis itu. Memandang dengan tatapan penuh sesal.
"Kau tidak akan berakhir seperti ini jika kau tidak memilih orang yang salah, Agassi."
Menunduk dalam, Hoseok lantas mengangkat tubuh Hwagoon dan berniat membawanya pergi dari sana. Namun ketika sudah berdiri dan berbalik, saat itu Shin berdiri di hadapannya. Dan itu sudah cukup membuktikan bahwa prajurit yang baru saja membawa Taehyung, bukanlah prajurit istana. Melainkan orang-orang Heo Junhoo yang memang telah mengetahui rencana Taehyung yang hendak melarikan Hwagoon dari istana. Dan nyatanya Taehyung menjadi orang bodoh yang harus dikorbankan dalam skenario Heo Junhoo yang telah disusun dengan sempurna.
Tak merasa memiliki masalah pribadi dengan Shin, Hoseok lantas melangkahkan kakinya melewati pria itu. Namun dua langkah di balik punggung Shin, langkah Hoseok terhenti ketika pria itu memberikan teguran.
"Untuk apa kau membawa jasad yang tidak lagi berguna?"
Hoseok menjawab tanpa ada niatan untuk berbalik, "sebuah jiwa tidak akan berguna tanpa raga."
"Kau terlihat menyedihkan."
"Perkataan itu lebih cocok untukmu, Tuan. Jangan menghalangi jalanku."
Hoseok kembali melangkahkan kakinya, sedangkan Shin tak memiliki keinginan untuk menghalangi jalan pemuda itu.
Hari itu, berita tentang pengkhianatan Taehyung menyebar luas dengan sangat cepat. Dan semua warga berkumpul di pinggir jalan untuk menyaksikan Taehyung yang dibawa ke istana untuk di adili.
Menaiki tandu terbuka khusus tahanan, para warga melempari Taehyung menggunakan batu-batu kecil yang berada di jalanan. Sedangkan Taehyung hanya duduk dengan tenang tanpa mempedulikan puluhan batu yang menghantam tubuhnya dan bahkan memberikan luka di wajahnya. Tak lagi bisa merasakan apapun, pemuda itu tak menunjukkan perasaan apapun dalam raut wajah datarnya.
Hwaseung yang saat itu berbaur dengan para warga, tak tahan melihat pemandangan itu. Pemuda itu berniat menyerang para prajurit yang membawa Taehyung, namun Namgil segera menahannya dari belakang.
Pandangan keduanya bertemu, dan saat itu Namgil memberikan sebuah gelengan lalu menarik tangan Hwaseung. Menjauhi keramaian dan Hwaseung langsung menepis tangan sang ayah.
"Abeoji akan diam saja? Mereka bisa membunuh anak itu?"
"Jangan berpikiran dangkal. Meski Raja mati, Putra Mahkota tidak akan begitu saja naik takhta."
Hwaseung menatap tak mengerti. "Apa maksud Abeoji?"
"Young In akan mengambil alih takhta untuk sementara waktu. Kau pikir wanita itu akan membiarkan putranya diadili?"
Hwaseung tak memikirkan hal itu sama sekali. Namgil kemudian mengajak putranya itu pergi. Sedangkan di sisi lain, si putra bungsunya yang masih berada di pemakaman keluarga kerajaan belum mengetahui keributan besar yang telah terjadi di istana.
Selesai ditulis : 22.08.2020
Dipublikasikan : 29.08.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro