Lembar 157
Kegelapan yang kembali merengkuh Joseon, menumpuk luka pada hati sang Rubah di atas rasa sakit yang terus menyiksa tubuhnya yang tak lagi mampu menunjukkan bahu tegapnya. Di balik jeruji, terduduk di atas tumpukan jerami tipis. Bahu tegapnya kini hanya mampu menunduk, manghadap tanah tanpa perlawanan.
Bercak kemerahan yang memenuhi punggungnya setidaknya cukup membuktikan seberapa keras tubuhnya saat ini untuk tetap bertahan. Tak cukup sampai di situ. Wajah dinginnya yang telah memucat dengan luka di beberapa bagian yang sepertinya tak akan hilang dalam waktu beberapa hari. Namun untuk apa ada harapan bahwa luka itu akan sembuh, jika pada kenyataannya di hari selanjutnya ia akan menemui akhir dari kisahnya. Menutup semua harapan dengan sebuah keyakinan bahwa ia akan menemukan Tuannya setelah kematian.
Si Rubah menyerah bukannya tak mampu melawan. Dia bisa saja melarikan diri dan membunuh siapapun yang menghalangi jalannya lalu berakhir dengan menjalani kisah yang di jalani oleh ayahnya. Hidup dalam pengasingan sebagai seorang pengkhianat. Namun dia lebih memilih untuk menyerah ketika ia yang terlampau lelah untuk kembali memulai harapan baru yang justru akan membuatnya semakin terjatuh lebih dalam lagi.
Hanya darah tanpa airmata yang kini mewakilkan betapa besar penderitaan yang telah ia alami setelah sang Tuan membuangnya. Napas yang terdengar begitu pendek seakan belum cukup membuat orang-orang bersimpati padanya. Justru sebaliknya, semua orang seakan tengah berpesta dengan kabar eksekusinya yang akan di lakukan pada esok hari di hadapan rakyat Joseon.
Di belahan lain Joseon, di bawah sinar rembulan yang telah terbelah oleh kegelapan. Udara dingin yang menyegel sebuah jiwa dalam angan tak tergapai seiring dengan tatapan teduhnya yang kembali di pertemukan dengan rembulan dingin yang kala itu tengah berduka.
Terhitung tiga malam, Taehyung selalu terduduk di tengah halaman seorang diri setiap kali menjelang tengah malam hanya untuk melihat sang rembulan yang semakin terkikis di setiap malamnya. Perasaan asing yang tiba-tiba datang dan menganggunya di setiap kelopak matanya akan menutup lah alasan keberadaannya di sana. Menaruh perhatiannya pada rembulan yang seakan tengah memberikan pengaduan yang tak pernah ia mengerti sedikitpun.
Dari balik pintu yang terbuka, Hwaseung yang sudah dua hari menetap di sana kembali memperhatikan sang Tuan Muda yang tampak di rundung pilu di balik ketenangan wajahnya.
"Sejak aku datang, dia selalu duduk di situ. Apa lehernya tidak sakit?"
Namgil yang saat itu berbaring di tengah ruangan dengan melipat kedua tangannya di bawah kepala pun menyahut, "sakit atau tidak, apa urusanmu? Lagi pula itu lehernya, bukan lehermu." terdengar begitu acuh meski pada kenyataannya ia memahami apa yang kini di rasakan oleh putra angkatnya.
Hwaseung menoleh, memberikan tatapan sinisnya kepada sang ayah. "Tidak bisakah Abeoji menggunakan mulut Abeoji untuk mengatakan hal yang lebih berguna lagi?" hardiknya yang kemudian melanjutkan dengan sebuah gerutuan, "aku heran, kenapa juga ibu mau menikah dengan orang seperti Abeoji."
"Jika bukan aku yang menjadi ayahmu, orang lain pun tidak akan sudi menjadi ayahmu." jawaban yang masih terdengar sangat acuh dengan pandangan yang tetap mengarah pada langit-langit ruangan.
Hwaseung mendengus dan bangkit, berjalan keluar dengan membawa gerutuan singkatnya. "Kenapa aku harus memiliki ayah sepertinya?"
Menapakkan kakinya di halaman, Hwaseung datang mendekati Taehyung dan seketika menarik perhatian dari sang Tuan Muda yang sejenak meninggalkan sang rembulan yang terus memperhatikannya dalam keterdiaman yang abadi.
"Kau tidak ingin masuk?" Hwaseung lantas menempatkan diri duduk di samping Taehyung dan melakukan kontak mata dengan Bangsawan muda misterius yang kini semakin bertambah misterius tersebut.
"Apa kehadiranku telah mengusik Hyeongnim?"
"Bicara apa kau ini? Bahkan kau hanya diam saja, kenapa aku harus merasa terusik?"
Seulas senyum tipis yang begitu terpaksa sempat terlihat di salah satu sudut bibir Taehyung dengan begitu singkat.
"Ada apa? Kau memiliki masalah?"
Taehyung memutus kontak mata secara sepihak dan lantas memberi jawaban, "sepertinya tidak ada."
"Sepertinya? Itu artinya kau sedang bimbang."
Sudut bibir Taehyung terangkat dengan begitu lembut, sedangkan Hwaseung turut memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Katakan saja, aku tidak akan mencoba untuk mengingatnya." pembawaan acuh yang sepertinya telah di turunkan dari sifat sang ayah.
"Apa yang harus aku katakan? Aku tidak memiliki sesuatu untuk di katakan pada Hyeongnim."
"Naif," tatapan sinis Hwaseung terjatuh pada wajah Taehyung yang benar-benar terlihat sangat tenang meski Hwaseung tahu bahwa itu hanyalah sebuah pengalihan dari sesuatu yang kini terjadi pada hatinya, "kau menyesali kepergian Agassi?"
Kembali terangkatnya kedua sudut bibir dengan lebih lebar, Taehyung memberikan jeda hingga mulutnya bersedia untuk memberikan sebuah jawaban. "Jika seandainya aku mampu mengerti penyesalan dari rembulan di atas sana, mungkin aku akan mengerti apa yang saat ini ku sesali."
Hwaseung menghembuskan napasnya dengan pelan. Diam-diam dia mencuri pandang pada rembulan yang tengah mengawasi mereka hingga sebuah gumaman keluar dari mulutnya. "Sepertinya bulanmu sedang menangis."
Sebuah kalimat meluncur dengan begitu mudah dan membimbing tatapan teduh milik Taehyung kembali jatuh pada wajah Hwaseung yang kemudian turut menjatuhkan pandangannya.
"Aku hanya asal bicara. Lagi pula bagaimana bulan bisa menangis? Dia kan bukan manusia."
"Ada begitu banyak kata-kata yang tidak mampu di jelaskan ketika kita tidak mencoba untuk memahaminya."
"Eih... Aku tahu, aku tahu... Hanya kau yang bisa memahaminya. Terlalu rumit bicara denganmu, tapi tidak lebih rumit dari pada memahami hati seorang wanita."
Senyum di wajah Taehyung terangkat sedikit lebar, menutupi kegundahan yang kini menyergap jiwanya.
"Berapa hari Hyeongnim akan menetap?"
"Kenapa?"
"Tidak, hanya saja... Aku pikir Hwajung Nu-i akan mencari Hyeongnim."
"Dia tidak akan mencariku jika aku berpamitan."
"Bagaimana bisa seperti itu?"
"Kau tahu? Ketika seseorang mengucapkan kalimat perpisahan, mereka tidaklah memutus sebuah ikatan, melainkan membuat ikatan baru yang akan membawa mereka bertemu kembali. Namun jika seseorang pergi tanpa mengucapkan apapun sebagai salam perpisahan, maka ikatan itu akan terputus sampai di situ. Dan bahkan sampai matipun mereka belum tentu bisa kembali bersama."
"Hyeongnim sedang mencoba untuk menakutiku?"
Dahi Hwaseung mengernyit, "bagaimana bisa?"
Taehyung tersenyum. "Aku tidak mengatakan apapun sebagai kalimat perpisahan kepada Agassi,"
Hwaseung sedikit tersentak, namun tidak dengan Taehyung yang justru membawa seulas senyum di bibirnya untuk kembali lagi bertemu dengan sang rembulan yang masih mencoba merebut hatinya yang kini tengah terluka.
"Bukankah itu berarti, tidak akan ada lagi pertemuan di antara kami. Sungguh?"
Lewat tengah malam, Jungkook diam-diam meninggalkan paviliunnya. Menerobos para penjaga yang lengah begitupun dengan Kasim Cha yang telah kehilangan kesadarannya. Melangkah dengan terburu-buru namun tetap berhati-hati, sosoknya menyusup dalam kegelapan dengan satu tujuan, yaitu untuk bertemu dengan Changkyun.
Tubuhnya merapat pada tembok ketika beberapa prajurit melewati jalan yang akan ia tuju, dan setelah para prajurit itu menyingkir. Dengan gerakan yang cepat ia kembali menyusup di dalam kegelapan hingga cukup jauh ia berjalan dan mengantarkannya ke tempat di mana terakhir kali ia melihat Changkyun.
"Putra Mahkota." sebuah teguran yang membuat Jungkook terlonjak ketika ia sampai di depan gerbang Pengadilan istana. Dia segera menoleh dan mendapati Kasim Seo yang memang tak pernah kembali ke paviliunnya.
"Apa yang sedang Putra Mahkota lakukan di sini?"
"Changkyun, bagaimana keadaannya? Apa kau sudah melihatnya?"
Kasim Seo mengangguk namun dengan wajah yang di penuhi oleh sesal.
"Aku harus melihatnya."
"Tunggu sebentar Putra Mahkota." sergah Kasim Seo.
"Mohon jangan melakukan apa yang tidak seharusnya Putra Mahkota lakukan."
"Aku hanya ingin melihat keadaannya."
Jungkook lantas berjalan mendahului Kasim Seo yang kemudian mengikutinya, dan kedatangannya di sana sempat mengejutkan kedua penjaga yang berjaga di luar penjara yang telah mengurung Changkyun. Namun mereka segera menundukkan kepala sebelum menyingkir setelah Kasim Seo yang berjalan di belakang Jungkook memberi mereka sebuah isyarat.
Tanpa ragu Jungkook menjatuhkan kedua lututnya di tanah dengan kedua tangan yang memegang sel kayu yang telah mengurung Changkyun. Menatap miris ke arah sosok yang tampak terluka dengan cukup parah. Jungkook merasa suaranya tercekat.
"C-Changkyun... Kim Changkyun, kau mendengarku?" panggilnya dengan pelan dan suara lembut yang sarat akan kekhawatiran itu pada akhirnya tertangkap oleh pendengaran Changkyun.
Perlahan wajah itu terangkat, namun hanya sebatas hingga ia yang bisa menangkap sosok Putra Mahkota yang kini menangisi keadaannya dalam diam. Tak ingin jika Putra Mahkota yang naif itu melihat luka di wajahnya.
"Changkyun... Kau tidak apa-apa? Kau tidak boleh seperti ini, ini bukan salahmu. Ada kesalahpahaman di sini, kau tidak boleh menyerah seperti ini."
Changkyun perlahan menunjukkan pergerakan, namun bukannya mendekati Jungkook. Si Rubah justru bergerak dengan lemah untuk memunggungi Jungkook dan tanpa sadar telah membuat keterkejutan di wajah Jungkook ketika sang Putra Mahkota itu justru melihat bercak kemerahan di punggungnya.
Netra Jungkook membulat, dan hal itu semakin mempermudah airmatanya untuk terjatuh. Merasa sangat putus-asa, terlebih melihat sikap Changkyun yang seperti berusaha untuk mengabaikannya.
"Maaf... Aku minta maaf." berujar dengan putus-asa. Perlahan isakan itu mulai membuat sedikit guncangan pada bahu sang Putra Mahkota. Menyatakan penyesalannya yang mendalam akan nasib buruk yang menimpa si Rubah.
Semakin lama isakan itu semakin terdengar, membimbing wajah yang basah oleh airmata itu menghadap tanah di bawahnya dengan mulut yang kerap melontarkan kata maaf.
"Ini salahku, maafkan aku... Harusnya aku tidak memintamu kembali, harusnya aku membiarkanmu pergi. Maafkan aku Changkyun... Aku mohon maafkan aku, maafkan aku..."
Tak mampu menunjukkan rasa simpati. Airmata si Rubah mengalir membasahi wajah pucat penuh lukanya. Bukannya berusaha untuk menyembuhkan, melainkan semakin menambah rasa perih yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya seiring suara tangis Jungkook yang mengusik pendengarannya.
Selesai di tulis : 17.02.2020
Di publikasikan : 18.02.2020
Soundtrack baru, emosi baru😭😭😭
Jujur saya sudah menangis terlebih dulu ketika pertama kali memutar lagunya Kim Yeonjin Ft Lee Boram : Song Of Rain.
Mungkin saya yang terlalu lemah😂😂😂
Satu lagi, si Rubah nya mau di kembaliin gelar Bangsawannya atau di biarkan seperti ini. Mohon di respon karna ini akan segera masuk proses pengetikan hari ini😉😉😉
Behind The Scene!
Kantor Kecamatan, Hanyang. Joseon
"Kakek, bisakah dahulukan punyaku?" sebuah permintaan yang entah terucap untuk yang ke berapa kalinya dari mulut Taehyung pada Heo Junhoo, si petugas Kecamatan yang terkesan menganggap sepele urusannya.
"Tunggulah antriannya dan kembali ke tempat dudukmu."
"Tapi aku sudah berbulan-bulan menunggu. Ini benar-benar situasi yang sangat mendesak."
"Kau kira hanya kau saja yang sibuk? Aku pun juga sangat sibuk. Jika kau tidak sabar, ya sudah pergi saja."
Taehyung menghela lembut napasnya dan beralih pada Cenayang Min Ok yang duduk di sebelah Junhoo, melakukan kebiasaannya setiap hari yang menengguk arak setiap waktunya.
"Nenek, bisakah kau berhenti minum dan bantu aku."
Cenayang Min Ok terkekeh dengan begitu sinis, membuat Hoseok yang duduk di sampingnya memegangi tengkuk yang tiba-tiba meremang.
"Buru-buru sekali, aku bahkan belum puas memandangi wajahmu yang rupawan itu." kembali tertawa, Taehyung bergidik ngeri dan beralih pada Hoseok yang seketika memasang wajah dinginnya.
"Hyeongnim, bisakah-"
"Sejak awal aku sudah memperingatkan Ketua," potong Hoseok, "jika saat ini Ketua menyesal, maka itu berada di luar tanggung jawabku."
Putus-asa, Taehyung lantas bergeser ke hadapan Shin yang bahkan lebih mengerikan dari pada Hoseok.
"Paman-"
"Kau hanya akan datang sebagai petaka, mundur atau aku yang akan mengakhirimu di sini." tanpa di duga, Shin berdiri dan menarik keluar pedangnya. Hoseok yang melihat hal itupun segera berdiri dan menahan Shin dengan panik.
"Jika dia mati, penulis akan segera mengakhiri cerita." bisik Hoseok dengan penuh penekanan dan sempat membuat Shin terkejut. Pendekar pedang itupun menurunkan pedangnya dan kembali duduk di tempatnya.
Menghela napas beratnya. Semakin putus-asa, dia kembali menghadap Heo Junhoo.
"Kakek... Ayolah... Aku akan memberimu diskon nantinya."
"Aku sedang sibuk."
"Sibuk apanya?" suara Taehyung tiba-tiba meninggi, "bahkan tidak ada yang mengantri di sini."
Junhoo mengambil kertas yang tergeletak di atas meja dan membacanya. "Heo Youngbin menggugat cerai Lee Jeon,"
"Bagus!" seru Shin yang kemudian berlalu begitu saja.
"Kim Hwaseung menggugat cerai Shin Hwajung, Lee Jeon mendaftarkan Kim Changkyun sebagai Bangsawan Joseon, Lee Jungkook mendaftarkan pernikahannya dengan Park Hwagoon dan masih banyak lagi." Junhoo menaruh kembali kertas di atas meja dan memandang Taehyung dengan tatapan yang malas, "sudah puas?"
"Tapi mereka semua belum datang kemari, tidak bisakah mengurus milikku sebentar saja."
Junhoo menatap jengah dan mengambil selembar kertas di balik mejanya lalu kembali membacanya tanpa minat.
"Kim Taehyung si Kambing Liar, lahir di Seorabol."
"Bukan... Aku Lee Taehyung dan aku tidak lahir di Seorabol." sanggah Taehyung.
"Tapi di sini tertulis bahwa kau lahir di Seorabol."
"Itu salah pengetikan, aku lahir dan besar di Hanyang. Aku Putra Mahkota Lee Taehyung."
Senyum Junhoo tersungging. "Putra Mahkota katamu?"
"Kakek..." sebuah teguran dari arah belakang yang seketika membuat senyum Junhoo melebar.
"Aigoo... Siapa ini? Cucuku dan cucu menantuku."
Taehyung bertemu pandang dengan Hwagoon dan Jungkook yang baru saja datang, namun Hwagoon terkesan mengacuhkannya.
"Eoh! Hyeongnim ada di sini?" tegur Jungkook, "lama tidak melihat Hyeongnim, bagaimana kabar Hyeongnim?"
"Baik." acuh Taehyung yang kembali menjatuhkan pandangannya pada Junhoo, "kakek, aku mohon tolong dahulukan milikku."
Satu pukulan di kepala berhasil mengejutkan Taehyung, dia segera menoleh dan mendapati sang ayah angkat berdiri di belakangnya.
"Apa yang sedang kau lakukan di tempat seperti ini?"
"Aku ingin mengganti nama dan mengembalikan gelar Kebangsawananku."
"Sudah dapat?"
"Kakek ini tidak mau memberikannya."
Namgil menatap kesal ke arah Junhoo yang tampak biasa saja. "Ya! Tua bangka, kau sengaja melakukan ini? Menahan putraku berbulan-bulan di tempat ini."
"Bicara apa kau ini? Aku tidak pernah memaksa anak ini untuk tetap di sini. Dia sendiri yang memutuskan untuk menunggu." acuh Junhoo.
"Tua bangka keparat. Lihat saja nanti, aku akan membakar rumahmu."
Junhoo tertawa sinis.
"Aku tidak terima ini!" perhatian keduanya teralihkan oleh suara ringan milik seorang wanita.
Tampak keterkejutan di wajah Namgil ketika melihat Hwajung dan juga Hwaseung. Melupakan Taehyung, ia pun bergegas menghampiri putranya yang duduk berdampingan dengan calon menantunya.
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
"Ya! Siapa kau? Jangan ikut campur." tegur Guru Dong Il yang menjadi Hakim utama hari itu, sedangkan di sampingnya terdapat Guru Kiseung selaku Hakim ke dua dan Guru Heojoon sebagai Hakim ke tiga dalam sidang perceraian Hwaseung dan juga Hwajung.
"Aku ayahnya!"
"Eoh! Maaf. Silahkan lanjutkan."
Namgil kembali menatap putranya, "ada apa ini?"
Hwajung menyahut tak terima, "dia ingin menggugatku."
Namgil tertegun. "Memangnya kalian sudah menikah?"
Hwaseung mengambil tindakan. "Kami hanya bertunangan."
"Lalu kenapa kalian harus bercerai!" bentak Namgil.
"Ya! Ya! Bicara baik-baik." tegur Guru Heojoon.
"Aku tidak bisa lagi meneruskannya, itulah sebabnya berpisah akan lebih baik." jawab Hwaseung yang menghindari kontak mata dengan Hwajung.
"Bajingan! Aku sudah menemanimu kemanapun kau pergi, dan sekarang kau mencampakanku dengan alasan yang konyol."
"Apa masalahnya?" Namgil menyahut.
"Ini adalah tugas Negara, aku tidak bisa menolaknya."
"Dan tugas Negara lebih penting dari pada pengabdianku?" ucap Hwajung tak terima.
Guru Dong Il menengahi, "aku pikir tugas Negara jauh lebih penting dari pada wanita. Kau harus bisa menjadi wanita yang lebih pengertian lagi, Agassi."
"Kalian para lelaki, sama saja!"
Namgil menggaruk kepalanya, tampak begitu frustasi. Dia pun kembali menghampiri Taehyung yang masih berdebat dengan Junhoo. Tanpa berucap apapun, ia segera mengangkat tubuh Taehyung. Menaruh pemuda itu di bahunya dan bergegas meninggalkan keributan yang terjadi di tempat itu.
"Abeoji, urusanku belum selesai." protes Taehyung.
"Apa yang sedang kau urus bersama orang-orang sakit jiwa di sana. Membuang-buang waktu saja."
"Bagaimana dengan namaku?"
"Tanpa kau mengganti nama sekalipun, aku akan mengantarkanmu ke istana. Berhenti bertindak bodoh, kau kira sudah berapa lama kau menghilang."
Taehyung menghela napas pasrahnya seiring dengan selembar kertas yang terjatuh dari tangannya dan kemudian tertiup angin.
Sekian, kilas balik tentang menghilangnya Kim Taehyung selama ini. Dan kalian sudah tahukan kemana dia selama ini, dan ini pulalah yang menjadi alasan kenapa dia belum juga kembali menjadi Lee Taehyung.
😌😌😌 Mohon di pahami, penulis pun juga masih berusaha merampungkan kisah Lee Taehyung dengan sempurna meski ada begitu banyak Scene yang terpaksa harus di hilangkan untuk memenuhi keinginan beberapa orang.
Saya berusaha memahami apa yang kalian inginkan, dan kalian berusaha menerima hasil dari perkejaan saya. Saya rasa itu adalah hal yang cukup adil🙏🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro