Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lembar 145

    Satu hari terlampaui, siang itu Namgil menyusuri kediaman mendiang Ketua Park untuk mencari keberadaan Taehyung yang tak terlihat sejak semalam. Hal itu setidaknya telah menimbulkan kekhawatiran di sudut hati sang Ayah angkat.

    Berjalan ke halaman samping dan memutar ke halaman belakang, pada akhirnya Namgil menemukan Taehyung yang tengah duduk di teras belakang dengan tangan yang memegang pedang. Jika di perhatikan kembali, sepertinya Taehyung tengah mempertajam pedang miliknya dan hal itu terlihat asing di mata Namgil.

    Namgil lantas mendekati Taehyung dan mendudukkan diri tidak jauh dari tempat di mana Taehyung duduk, dan hal itu sempat menarik perhatian Taehyung. Namun Bangsawan muda itu memilih untuk mengacuhkan sang Ayah angkat dan memilih untuk kembali mengasah pedang yang bahkan jarang ia gunakan.

    "Mengasahnya tanpa menggunakannya, apa bedanya dengan membiarkannya berkarat?" perkataan acuh yang Namgil lontarkan untuk sekedar melunturkan suasana tak nyaman yang tercipta di antara keduanya.

    "Aku tidak akan mengambil nyawa seseorang menggunakan pedang berkarat."

    Sudut bibir Namgil tersungging. Pria paruh baya itu masih tetap tidak mengerti bagaimana jalan pikiran pemuda di hadapannya tersebut.

    "Kau sudah memutuskan untuk menggunakan pedangmu dengan baik setelah kau kehilangan Agassi, benar-benar menggelikan." sebuah cibiran yang terabaikan.

    Pandangan Namgil teralihkan oleh kehadiran Hoseok di sana dan hal itu perlu di tanyakan. "Eoh, Hoseok? Kapan kau datang?" Namgil sengaja berucap dengan lantang guna menarik perhatian Taehyung.

    Taehyung pun pada akhirnya mengangkat wajahnya dan menemukan Hoseok yang berjalan ke arahnya. Hanya dalam hitungan detik hingga ia bisa melihat Hoseok benar-benar berdiri di hadapannya.

    "Kenapa Hyeongnim kembali?"

    "Aku kembali untuk menitipkan pesan dari Baginda Raja yang telah di titipkan pada Agassi."

    Berbeda dengan Namgil yang sempat menunjukkan reaksi terkejut, Taehyung justru tetap bersikap tenang seakan-akan ia tidak terkejut akan hal itu.

    "Katakanlah!"

    "Baginda Raja mengundang Ketua untuk minum teh di dalam Istana."

    Namgil mengarahkan tatapan penuh keraguannya pada Taehyung yang tampak tengah mempertimbangkan sesuatu.

    "Jika kau pergi, kau mungkin bisa bernegosiasi dengan Baginda Raja untuk membawa Agassi pergi."

    "Aku menolak." Taehyung mengembalikan pandangannya pada Hoseok.

    "Kau menyia-nyiakan kesempatan baikmu." Namgil kembali menyahut.

    "Aku tidak memiliki urusan untuk di gunakan sebagai alasan atas pertemuan ini."

    "Tulislah penolakanmu itu ke dalam selembar kertas jika kau tidak ingin sesuatu terjadi pada Hoseok."

    Taehyung manyarungkan pendangnya dan beranjak berdiri. "Ikutlah denganku, Hyeongnim."

    Tanpa sepatah kata yang ia tujukan kepada sang Ayah, Taehyung pergi begitu saja bersama dengan Hoseok yang menyusul di belakangnya. Membuat sudut bibir sang Ayah sekilas tersungging.

    Namgil bergumam dengan senyum tak percayanya, "apa yang akan ia lalukan dengan pedangnya?"

    Meninggalkan sang Ayah, Taehyung membawa Hoseok memasuki perpustakaan pribadi milik Ketua Park. Dia duduk di belakang meja dan mengambil kertas kosong yang kemudian ia taruh di atas meja.

    "Duduklah."

    Hoseok lantas duduk berseberangan dengan Taehyung, melihat si Bangsawan muda di hadapannya menodai kertas kosong di hadapannya dengan ujung kuas yang sebelumnya telah di basahi oleh tinta hitam hingga terbentuklah huruf-huruf yang begitu rapi. Namun Hoseok segera mengalihkan pandangannya pada wajah Taehyung karna apa yang kini tengah di tulis oleh Taehyung, bukanlah haknya untuk mengetahui hal itu.

    "Bagaimana perjalananmu?" sembari terus menuangkan isi pikirannya ke dalam selembar kertas, Taehyung memulai perbincangan ringan di antara keduanya.

    "Agassi, sampai di Istana dengan selamat meski sempat mengalami gangguan."

    "Gangguan seperti apa yang Hyeongnim maksud?"

    "Rombongan yang membawa Agassi di serang oleh Kelompok tak di kenal saat dalam perjalanan."

    Pergerakan Taehyung tiba-tiba terhenti dan membiarkan kuas di tangannya merusak satu kata yang baru ingin ia buat. Wajahnya tak menunjukkan reaksi apapun, namun tidak dengan batinnya.

    Taehyung kemudian meremat kertas di hadapannya dan membuangnya ke belakang sebelum ia mengambil kertas yang baru. Namun saat itu dia justru menaruh kuas di tangannya dan menjatuhkan perhatiannya kepada Hoseok.

    "Apa yang di inginkan oleh Kelompok itu? Apa mereka adalah perampok?"

    "Aku rasa bukan... Mereka memiliki tujuan lain selain harta benda, tapi entah apa itu."

    Taehyung sejenak terdiam, larut akan pikirannya sendiri, di mana tak akan ada satu orang pun yang mampu mengerti apa yang kini tengah ia pikirkan.

    "Seperti yang ku katakan sebelumnya, Istana bukanlah tempat di mana Agassi bisa tinggal."

    "Bagaimana keadaan Agassi?" memilih untuk menghindar dari tuntutan Hoseok, Taehyung mengalihkan arah pembicaraan mereka.

    "Agassi sudah bertemu dengan Baginda Raja dan sekarang tinggal di Paviliun Selir Youngbin."

    Pandangan yang sempat teralihkan itu dengan cepat kembali pada Hoseok, namun sayangnya tak ada yang bisa mengerti akan tatapan dingin dari wajah tenang seorang Kim Taehyung.

    "Selir Youngbin katamu?"

    "Ya, yang bertanggung jawab atas calon Putri Mahkota adalah Selir Youngbin dan itulah kenapa Agassi di bawa ke sana."

    Tangan kanan Taehyung yang berada di atas meja perlahan mengepal kuat meski tak ada perubahan dari raut wajahnya. Dari semua orang di Istana, kenapa Hwagoon bisa jatuh ke tangan Klan Heo. Salah satu Klan terkuat di Istana yang telah melakukan kudeta akan tahtanya di masa lampau.

    "Mungkin perkataan Tuan Kim ada benarnya." celetuk Hoseok.

    "Apa maksudmu?"

    "Mungkin jika Ketua meminta langsung kepada Baginda Raja untuk melepaskan Agassi, Baginda Raja akan memikirkannya kembali."

    "Kau pikir semua akan semudah itu?"

    Hoseok terdiam, tak memiliki jawaban untuk menyanggah perkataan Taehyung.

    "Bolehkah aku meminta sesuatu pada Hyeongnim?"

    "Jika itu memungkinkan, aku akan memberikan apa yang Ketua minta."

    "Jagalah Agassi... Apapun yang terjadi di dalam Istana, pastikan bahwa Agassi tetap berada di tempat yang aman... Pastikan Hyeongnim selalu berada di sisi Agassi sampai Agassi di nobatkan sebagai Putri Mahkota."

    "Ketua!" nada bicara Hoseok sedikit meninggi, berusaha menentang keputusan Taehyung yang benar-benar melepaskan Hwagoon.

    "Tidak ada yang bisa di perbaiki lagi, tidak ada yang bisa di selamatkan lagi... Istana telah menjamin kesejahteraan bagi Kelompok Pedagang."

    "Dengan mengorbankan Agassi?" sanggah Hoseok.

    "Tidak ada yang di korbankan, setiap wanita yang menuju dewasa di haruskan untuk menikah... Dan betapa beruntungnya Agassi bisa di persunting oleh Bangsawan tertinggi di Negeri ini."

    "Ketua sudah melakukan kesalahan besar."

    "Aku akan merenungkannya."

    Membuang muka, Hoseok tak lagi memiliki sanggahan atas sikap keras kepala Taehyung. Tidak bisakah Bangsawan muda itu merasakan kekhawatirannya.

    Dan semua harus menjadi sia-sia. Sore itu, Hoseok kembali menempuh perjalanan ke Istana dengan membawa sebuah surat yang di titipkan Taehyung untuk Baginda Raja. Dan di hari yang sama pula, surat itu jatuh ke tangan Lee Jeon setelah ia berhasil melihat bagaimana rupa wajah Rajanya sendiri.

    Malam itu, Hoseok menghadap Baginda Raja dan memberikan surat di tangannya kepada Kasim Hong yang langsung menyampaikannya kepada Lee Jeon yang duduk di tempat yang lebih tinggi dari tempatnya duduk saat ini.

    "Yang Mulia..." Kasim Hong mengodorkan sebuah surat ke hadapan Lee Jeon yang langsung mengambilnya. Namun bukannya segera membuka surat tersebut, Lee Jeon justru menjatuhkan pandangannya pada Hoseok.

    "Jika tidak keberatan, sebutkanlah namamu, anak muda."

    "Nama Hamba Jung Hoseok, hamba di utus oleh Ketua Kim untuk memastikan bahwa Hwagoon Agassi dalam keadaan yang baik."

    "Jung Hoseok? Lalu, di mana Ketua Kim? Kenapa kau justru datang kemari seorang diri?"

    "Ketua menolak untuk pergi dan sebagai gantinya, beliau menitipkan surat itu kepada hamba untuk di serahkan langsung kepada Yang Mulia."

    Lee Jeon sekilas mengamati sebuah surat di tangannya dan bergumam, "sepertinya dia adalah orang yang sangat sulit."

    "Jika Yang Mulia mengizinkan, hamba sendiri yang akan menjemputku Ketua Kim." sahut Kasim Hong.

    "Tidak perlu... Dia sudah memutuskan untuk tidak pergi, dan aku harus menghormati keputusannya."

    Lee Jeon mengembalikan pandangannya pada Hoseok. "Jika itu adalah perintah dari Tuanmu, maka lakukanlah tugasmu dengan baik, Jung Hoseok."

    "Ye, Yang Mulia... Hamba akan berusaha semampu hamba."

    "Kau boleh pergi sekarang."

    Atas perintah dari Lee Jeon, Hoseok pun meninggalkan Paviliun Baginda Raja. Dan setelahnya ruangan itu kembali menjadi hening ketika hanya tersisa dua orang yang berada di dalam ruangan tersebut.

    "Yang Mulia, tidak ingin membuka surat itu?" tegur Kasim Hong setelah Lee Jeon hanya berdiam diri dengan perhatian yang tertuju pada sebuah surat di tangannya.

    "Aku ingin, tapi entah kenapa hatiku begitu ragu."

    "Mungkinkah itu karna bukanlah Ketua Park Seonghwa yang mengirim surat tersebut?"

    "Entahlah... Tapi karna Ketua Kim itu sudah menulisnya, maka aku harus membacanya." Lee Jeon lantas membuka amplop dengan bentuk memanjang tersebut dan menarik keluar sebuah kertas yang terlipat dengan rapi dari dalam amplop.

    Menaruh amplop kosong di atas meja, Lee Jeon menggunakan kedua tangannya untuk membuka lipatan kertas di hadapannya dan seketika sebuah tulisan yang terangkai dengan begitu rapi menyapa penglihatannya. Menegaskan bahwa si penulis bukanlah orang sembarangan, atau dalam arti lain bahwa orang yang telah menulis surat tersebut merupakan seorang Bangsawan yang memiliki kemampuan Kaligrafi yang mengagumkan.

    Seulas senyum tipis terlihat menghiasi wajah Lee Jeon, entah kapan terkahir kali ia melihat tulisan secantik itu di saat ia yang bahkan belum membaca satu kata pun dari surat tersebut.

    "Adakah masalah dengan suratnya, Yang Mulia?"

    "Tidak ada, hanya saja... Sudah lama sekali aku tidak mendapati tulisan sebagus ini... Sepertinya pemimpin Kelompok Pedagang kali ini bukanlah orang sembarangan." Lee Jeon kemudian membaca bait pertama dalam surat tersebut lalu beralih ke bait-bait selanjutnya.

    "Sebelumnya, izinkan hamba untuk memberi salam kepada Yang Mulia... Semoga Yang Mulia selalu di berikan kesehatan dan panjang umur." baris pertama yang merupakan sebuah kata sambutan, Lee Jeon beralih ke baris kedua.

    "Atas kelancangan hamba ini, mungkin hamba pantas mendapatkan hukuman mati... Tapi hamba hanya ingin memperjelas keadaan... Jika Yang Mulia memberikan hamba sebuah perintah, maka hamba akan melakukannya meskipun nyawa sebagai taruhannya... Namun Yang Mulia lebih memilih untuk memberikan undangan kepada hamba, maka dari itu hamba berhak untuk menolak undangan tersebut... Melalui surat ini, hamba menyampaikan penolakan hamba terhadap undangan Yang Mulia."

    Sudut bibir Lee Jeon terangkat, merasa Ketua Kim yang menulis surat tersebut benar-benar orang yang berbeda dan tentunya merupakan seseorang yang pandai bermain dengan kata-kata namun dengan pemilihan kata yang sopan. Dia kembali melanjutkan.

    "Hamba dengar bahwa Yang Mulia sudah bertemu dengan Agassi, dan hamba yakin bahwa Agassi telah memberitahukan tentang keadaan kami tiga tahun yang lalu... Tidak berniat menutupi fakta itu dari Yang Mulia, hamba mengirimkan surat ini sebagai ganti untuk penolakan hamba atas undangan Yang Mulia... Melalui surat ini, hamba akan menyampaikan keinginan kecil hamba dan juga mendiang Ketua Park."

    Rahang Lee Jeon perlahan mengeras dengan garis senyum yang menghilang dari wajahnya ketika suasana tiba-tiba menjadi lebih serius.

    "Tiga tahun yang lalu, Ketua Park pergi ke Istana untuk memenuhi undangan dari Yang Mulia... Namun beliau justru tewas dalam perjalanan pulang, hamba tidak ingin menuduh siapapun dalam hal ini. Namun hamba tidak bisa menutup mata untuk berpura-pura tidak pernah terjadi apapun di sini... Tiga tahun yang lalu, Yang Mulia telah merencanakan pernikahan Agassi bersama Putra Mahkota. Mungkin ini terdengar lancang, namun seseorang telah merencakan pembunuhan Ketua Park untuk menggagalkan rencana yang telah Yang Mulia susun bersama Ketua Park tiga tahun yang lalu."

    Kedua netra Lee Jeon sontak membulat, menatap tak percaya ke arah supucuk surat di tangannya.

    "Yang Mulia, adakah masalah dengan isi suratnya?"

    "Tidak mungkin, bagaimana bisa seperti ini?" tak memberi kepastian pada Kasim Hong, Lee Jeon dengan terburu-buru kembali menyimak surat dari Taehyung.

    "Dan setelah tiga tahun berlalu, Yang Mulia tetap bersikeras untuk memboyong Agassi ke dalam Istana... Terlepas dari semua fakta yang hamba ketahui, bukankah hamba hanya akan mendapatkam hukuman mati jika sampai hamba melarikan Agassi sekali lagi seperti tiga tahun yang lalu? Hamba tidak bisa lagi melawan kehendak Yang Mulia dan untuk itu hamba mengirimkan Agassi untuk di persunting oleh Putra Mahkota... Hamba hanya meminta satu hal dari Yang Mulia, dari semua fakta yang telah Yang Mulia ketahui melalui surat ini, hamba berharap bahwa Yang Mulia mampu memberikan tempat yang aman bagi Agassi. Karna jika sampai sesuatu yang buruk terjadi kepada Agassi... Maka dengan terpaksa, hamba akan mengambil Agassi kembali."

    Kedua tangan Lee Jeon sedikit gemetar, merasa tak mampu untuk menerima kenyataan yang terjadi kepada sahabat lamanya.

    "Yang Mulia... Apakah kiranya yang telah di katakan oleh Ketua Kim? Mohon jangan membuat hamba khawatir."

    Tak bisa menjelaskan melalui kata-kata, Lee Jeon pun memberikan surat tersebut kepada Kasim Hong agar pria tua itu mencari tahu sendiri tentang hal apakah yang membuatnya terlihat begitu terguncang. Dan reaksi yang sama di tunjukkan oleh Kasim Hong ketika ia membaca sampai akhir surat dari Taehyung.

    "Ini tidak benar Yang Mulia... Ini pasti kesalahan."

    "Ya, ini kesalahan... Ini kesalahan dan akulah sumber dari semua kesalahan itu." gumam Lee Jeon yang terdengar putus-asa.

    "Tidak, Yang Mulia. Mohon agar Yang Mulia tidak memikirkan hal seperti itu."

     "Apa yang sudah ku lakukan? Seonghwa Hyeongnim... Aku telah melakukan dosa besar kepadanya."

    "Yang Mulia... Mohon jangan seperti ini."

   Menekan rasa putus-asa yang kini menguasai hatinya, Lee Jeon pun menjatuhkan pandangannya kepada Kasim Hong dengan tatapan tegas yang menuntut. Dia lantas berujar, "tidak bisa di tunda lagi! Umumkan bahwa pernikahan Putra Mahkota di percepat dan akan di adakan dua minggu lagi!"

    Kasim Hong sempat terkejut, namun ia tak memiliki daya untuk menyanggah keinginan Rajanya sendiri. Dia pun tunduk akan perintah sang Raja, "Ye, Yang Mulia."

Selesai di tulis : 21.12.2019
Di publikasikan : 30.12.2019

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro