Lembar 142
Lewat tengah hari, rombongan yang membawa Hwagoon menyusuri jalan setapak di tengah hutan. Sedangkan Hwagoon, gadis itu masih berdiam diri di dalam tandu ketika tak ada hal yang bisa ia lakukan saat ini selain hanya menunggu hingga orang-orang asing itu membawanya ke tempat yang di agung-agungkan oleh seluruh rakyat Joseon. Tempat di mana ia akan mengetahui alasan kematian Ayahnya, namun akankah harapan itu terwujud ketika bahkan dia sendiri tidak tahu bagaimana kehidupan di dalam Istana.
Perjalanan panjang yang begitu tenang, nyatanya harus terusik ketika segerombol orang tak di kenal tiba-tiba mengepung mereka. Di mana orang-orang tersebut mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi sebagian wajah mereka menggunakan kain.
Hal itu sontak memancing kepanikan para Prajurit, dan tentu saja Hwagoon sedikit terkejut ketika tandu tiba-tiba berhenti dan hampir membuatnya terjatuh. Para Prajurit pun menarik pedang mereka, guna melindungi calon Putri Mahkota Negeri mereka.
"Siapa kalian? Berani-beraninya kalian menghalangi jalan kami!" ujar si Kepala Prajurit dengan suara yang lantang dan tegas.
Perlahan Hwagoon merasakan bahwa tandunya di turunkan, dia pun membuka pintu tandu. Berinisiatif untuk melihat keributan yang terjadi di luar.
"Sebaiknya Nona tetap berada di dalam." ujar salah satu Prajurit, namun gadis itu sekilas mengangkat tangannya sebagai sebuah bentuk dari penolakannya.
Hwagoon lantas keluar dari tandu dan mengedarkan pandangannya kepada beberapa orang berpakaian hitam yang menghadang jalan mereka.
"Tinggalkan gadis itu dan segera pergi dari sini!" ujar salah satu dari Kelompok yang menghadang jalan mereka.
"Cih, mimpumu terlalu tinggi." cibir si Kepala Prajurit yang kemudian mengarahkan ekor matanya pada bawahannya dan berujar dengan lantang, "lindungi Nona!"
"Ye." jawab para Prajurit secara bersamaan.
Saat itu pula kedua Kelompok tersebut saling beradu pedang, dan Hwagoon yang melihat hal itu tentunya tak bisa tinggal diam. Dia segera merampas pedang salah satu Prajurit dan langsung mengayunkannya ke arah lawannya.
Memutuskan untuk melibatkan diri dalam pertarungan ketika mereka yang telah kalah jumlah dari awal. Hwagoon sempat mengumpat dalam hati karna pakaian yang ia kenakan membuatnya kesulitan untuk bergerak, hingga ekor matanya menyadari sebuah serangan yang datang dari arah belakang.
Dia berbalik dengan cepat dan berhasil menggunakan pedangnya tepat waktu untuk menahan serangan yang hampir menebasnya dari arah belakang. Saat itu, dia bisa melihat tatapan tajam milik pria yang kini beradu pedang dengannya, dan pria tersebut tidak lain adalah Shin. Orang yang di kirim khusus untuk menghabisi nyawanya.
Shin menepis pedang Hwagoon dan kembali menyerangnya, namun Hwagoon berhasil menangkis seranganya. Namun Shin justru melakukan serangan beruntun kepada Hwagoon hingga gadis itu terus melangkah mundur sembari menangkis serangan yang terus menyudutkannya.
Dari cara bertarungnya, Hwagoon bisa mengetahui bahwa lawannya kali ini bukanlah orang sembarangan seperti lawan-lawan sebelumnya. Dan naasnya dia justru tak sengaja menginjak roknya sendiri dan hal itu membuatnya terjatuh ke arah belakang, dan bisa ia lihat dengan jelas, sebilah pedang yang hendak menebas tubuhnya.
Dalam waktu singkat, dia hanya berpikir bahwa dia akan mati sesaat lagi. Namun seseorang tiba-tiba menahan pinggangnya dan menahan serangan Shin dengan pedang yang berada di tangan kanannya.
Baik Hwagoon maupun Shin sama-sama terkejut ketika Hoseok lah yang tiba-tiba datang dan menjadi menyelamatkan bagi gadis tersebut.
Pandangan Hoseok yang sebelumnya terjatuh pada Hwagoon, dengan cepat mengarah pada Shin. Dan saat itu pula Hoseok menggunakan kaki kananya untuk menendang perut Shin dengan kasar sehingga pria itu sempat mundur beberapa langkah.
Hwagoon lantas berdiri dan membuat Hoseok menarik kembali tangannya.
"Orabeoni."
"Tetap di sini!" Hoseok lantas meninggalkan Hwagoon dan menggantikan gadis itu untuk menghadapi Shin.
Hoseok berdiri berhadapan dengan Shin. Kedua Pendekar Pedang dengan level yang sudah berbeda di pertemukan dalam keadaan yang tak semestinya. Tatapan tajam keduanya saling bertemu, namun terlihat keraguan dalam sorot mata Shin di saat tatapan Hoseok terlihat begitu dingin.
"Lawanmu adalah aku." ujar Hoseok.
"Aku tidak akan segan padamu, bocah!"
Keduanya kemudian mengangkat pedang mereka dalam waktu yang bersamaan dan sama-sama menghantamkannya hingga menciptakan suara yang memekakkan telinga sebelum pertarungan yang sebenarnya benar-benar di mulai.
Meninggalkan Hwagoon yang tengah membantu para Prajurit, kedua Pendekar Pedang tersebut saling beradu pedang dengan cukup sengit. Mengingat bahwa keduanya sama-sama si ahli pedang, jadi tidak heran jika mereka terlihat berambisi untuk menang.
Namun berbeda dengan saat melawan Hwagoon yang hanya menggunakan pedangnya, kali ini Shin lebih dominan menyerang menggunakan fisik. Dia kerap menggunakan kakinya untuk menyerang Hoseok, dan tak memungkiri bahwa Hoseok sempat terlempar beberapa kali. Hingga dia yang berhasil menghentikan pergerakan Shin dengan menaruh ujung pedang miliknya pada leher Shin.
"Bawa anak buahmu pergi dari sini, Tuan!" ujar Hoseok, pelan namun dengan sedikit penekanan.
Tanpa di duga, saat itu Shin justru mengenggam ujung pedang milik Hoseok yang tentu saja membuat pemuda itu sempat terkejut dengan mata yang membulat.
"Tidak ada negosiasi dalam pertarungan." ujar Shin yang segera mengangkat pedangnya, dan dalam sekejap mata, ujung pedang tersebut telah menyentuh dada Hoseok yang tampak tercengang di saat Shin masih memegang ujung pedang miliknya.
"Kau yang membunuh, atau kau yang terbunuh. Ingat itu baik-baik!"
Keduanya di kejutkan oleh sebilah pedang yang tiba-tiba melesat dari kejauhan dan sempat melukai tangan Shin sebelum menancap ke tanah. Pandangan keduanya secara refleks terjatuh pada pedang tersebut sebelum mengarah ke tempat di mana pedang tersebut berasal.
Keduanya menunjukkan keterkejutan yang sama ketika melihat sosok Namgil yang berjalan mendekat dengan langkah yang terlihat begitu santai, namun perhatian Hoseok dengan cepat teralihkan ketika Shin tiba-tiba melarikan diri.
Pendekar Pedang itu bersiul, memberi isyarat agar seluruh anak buahnya yang tersisa segera melarikan diri. Dan hanya dalam hitungan detik, Kelompok berpakaian hitam tersebut menghilang dari sana dan hanya menyisakan beberapa orang yang terkapar di tanah.
"Apa yang kau pikirkan sehingga bermain-main dengan orang seperti itu?" sinis Namgil ketika menjangkau tempat Hoseok yang sekilas menundukkan kepalanya.
Dia mencabut pedangnya dan kembali menyarungkannya sebelum menaruh perhatiannya pada pemuda di hadapannya.
"Atas bantuannya, aku ucapkan terima kasih banyak kepada Paman."
"Kenapa kau bisa ada di sini?"
Sebelum Hoseok mampu menjawab pertanyaannya, pandangannya lebih dulu terjatuh ke arah beberapa Prajurit yang membuat raut wajahnya terlihat begitu serius. Dan rahangnya semakin mengeras ketika ia melihat sosok Hwagoon yang tengah membantu para Prajurit tersebut.
Menyadari terdapat sesuatu yang salah di sana, dia pun segera pergi meninggalkan Hoseok untuk menghampiri Hwagoon. Segera setelah ia menjangkau tempat Hwagoon, dia menarik lengan gadis itu hingga ia berbalik dan menghadapnya dengan raut wajah yang terlihat terkejut.
"Ahjussi."
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" ucap Namgil penuh selidik dengan sorot mata yang tiba-tiba menajam, dan beruntung bahwa tidak ada satupun Prajurit di sana yang mengenalnya.
"Aku..." pandangan Hwagoon terjatuh ke samping, merasa tak mampu menatap lawan bicaranya di saat hanya ada kesedihan ketika ia mengungkit kembali kisahnya.
Dia kembali berucap, "aku akan pergi ke Istana."
Sontak hal itu memancing keterkejutan serta kemarahan Namgil, Pendekar Pedang itu lantas kembali menarik Hwagoon agar gadis itu melihatnya.
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Ketua Kim sendiri yang menyuruh Agassi untuk pergi." sahut Hoseok yang kemudian menengahi keduanya, dan tentu saja Namgil tak bisa mempercayai hal itu.
Hwagoon lantas menarik tangannya hingga terlepas dari cengkraman Namgil yang tampak masih belum bisa menerima apa yang baru saja di katakan oleh Hoseok.
"Kau bilang apa?"
"Ketua Kim, mengirim Agassi ke Istana untuk di persunting oleh Putra Mahkota."
Mata Namgil sempat mengerjap beberapa kali sebelum senyuman tak percaya itu terlihat di salah satu sudut bibirnya.
"Menikah? Apa dia sudah tidak waras?" gumamnya.
Senyuman itu lantas menghilang dan tergantikan oleh raut wajah yang menampakkan sebuah kemarahan. Dia kemudian kembali menarik lengan Hwagoon.
"Lupakan tentang pernikahan dan kita pulang sekarang!"
Namgil hendak menyeret Hwagoon untuk membawanya kembali, namun saat itu Hoseok justru menghunuskan pedangnya ke leher seseorang yang ia panggil dengan sebutan Paman tersebut. Hal itu sontak membuat Hwagoon dan Namgil sama-sama terkejut.
"Kau ingin bertingkah di hadapanku?" gumam Namgil dengan nada bicara yang terdengar serius.
"Ini adalah perintah dari Ketua. Bagaimana pun caranya, Agassi harus sampai di Istana dengan selamat."
"Cih, berhenti bermain-main! Kau kira Istana adalah tempat untuk bersenang-senang? Turunkan pedangmu!"
Hoseok tak berkutik, namun saat itu Hwagoon lah yang menarik tangannya dengan paksa hingga Namgil melepaskannya dengan tatapan tajam yang kemudian menghujaminya.
"Aku akan tetap pergi." ujar Hwagoon, meski raut wajahnya tak menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin melakukannya.
"Kenapa?"
"Lebih dari keinginan Ketua, aku memiliki keinginan yang lebih besar untuk datang ke sana."
"Kau sudah gila!" raut wajah Namgil tiba-tiba menjadi datar, dan saat itu pula Hoseok menurunkan pedangnya.
"Aku menginginkan sebuah keadilan."
"Keadilan apa yang kau maksud?"
"Keadilan untuk Ayahku."
Hoseok dan Namgil sama-sama terkejut akan apa yang baru saja di katakan oleh Hwagoon, namun dengan cepat Hoseok berhasil menguasai keterkejutannya.
"Siapa, yang mengatakan hal itu padamu?"
"Ketua, dia mengatakan semuanya padaku."
Namgil mengalihkan pandangannya, tampak sudah tak mampu berkata-kata lagi. Tidak habis pikir, kenapa Taehyung mengatakan hal itu kepada Hwagoon.
Tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, dia lantas pergi meninggalkan mereka dan berniat membuat perhitungan dengan Taehyung tanpa mengetahui tatapan Hwagoon yang di penuhi penyesalan ketika gadis itu melihat kepergiannya.
"Agassi baik-baik saja?" tegur Hoseok yang menarik perhatian Hwagoon yang kemudian memberikan anggukan ringan.
Hoseok lantas menjatuhkan pandangannya kepada seluruh Prajurit dan berujar, "kita lanjutkan perjalanan!"
"Ye." jawab mereka serempak.
Hwagoon pun kembali ke dalam tandu dan melanjutkan perjalanan dengan beberapa Prajurit yang masih tersisa, dengan Hoseok yang berjalan tepat di samping tandu guna berjaga-jaga jika kembali terjadi penyerangan. Hingga perjalanan panjang itu berakhir ketika mereka sampai di Istana Gyeongbok dengan selamat.
Namgil sampai di Kediaman Kelompok Pedagang, dan tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera naik ke teras dan mendobrak pintu kamar Taehyung dengan kemarahan yang meluap.
"Kau sudah tidak waras!" bentaknya, namun ia bungkam setelah tak mendapati Taehyung berada di sana.
Dia pun keluar dan bergegas menuju kamar Hwagoon, melakukan hal yang sama namun tanpa bentakan dan kembali keluar ketika tak menemukan siapapun di sana. Tapi sepertinya keributan kecil yang ia lakukan tampaknya telah menarik perhatian seseorang. Salah satu pekerja dengan takut-takut menghampiri.
"Tuan Kim."
Namgil berbalik, masih dengan raut wajah yang menampakkan kemarahan dan berhasil menakuti pekerja tersebut.
"Tuan Kim baru saja kembali?"
"Di mana Taehyung?"
"Sejak pagi tadi aku tidak melihat Tuan Muda. Tapi terakhir kali aku melihatnya, dia pergi ke Perpustakaan."
Tanpa berucap apapun, Namgil meninggalkan si pekerja yang menatap kepergiannya dengan wajah yang terlihat khawatir, karna tak biasanya dia semarah itu.
Tak butuh waktu lama, dia segera mendobrak pintu Perpustakaan dan berjalan masuk. Namun sayangnya suara keras penuh kemarahan tersebut tak mampu menarik perhatian pemuda yang sudah lama terduduk di lantai dengan tatapan kosong yang menatap lurus ke depan.
Langkah Namgil terhenti tepat di ujung lorong di mana Taehyung berada, dan kekacauan di sana sempat membuat Namgil terkejut. Namum kemarahannya yang lebih besar tak mampu membuatnya merasa iba terhadap pemuda yang seperti tak lagi memiliki semangat hidup tersebut.
Dia lantas segera berjalan menghampiri Taehyung yang bahkan tak peduli dengan siapapun yang datang menghampirinya, hingga dia menarik kerah pakaian yang di kenakan oleh pemuda itu dan memaksanya untuk berdiri sebelum punggungnya menabrak dinding di belakangnya. Saat itulah tatapan keduanya bertemu.
"Apa yang sedang kau pikirkan? Kau sudah kehilangan kewarasanmu!" gumam Namgil penuh penekanan, namun hati yang tengah terluka membuat Taehyung tak bersedia untuk memberikan respon terhadap tuntutan sang Ayah angkat.
Taehyung meraih tangan Namgil dan hendak menurunkannya, namun tiba-tiba saja Namgil menjatuhkan pedangnya dan menggunakan tangannya sebelum menghantamkan kepalan tangannya pada sang putra angkat yang sempat terpental ke samping.
Dia yang sudah di kuasai oleh kemarahan pun kembali menarik Taehyung, dan kali ini menggunakan kedua tangannya untuk mencengkram kerah pakaian Taehyung.
Dia berucap dengan lantang dan sarat akan kemarahan, "di mana otakmu? Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan saat ini! Sebenarnya apa yang kau pikirkan, Kim Taehyung!"
"Jika Abeoji tahu, kenapa Abeoji tidak berusaha membawanya kembali?" ujar Taehyung dengan suara yang terdengar begitu lemah seakan ia tak memiliki daya untuk memberi perlawanan. Dan pertanyaan itu sempat membuat Namgil bungkam.
"Kau pikir, dia bisa hidup dengan baik di tempat itu?" suara Namgil merendah, namun tidak dengan cengkramannya yang justru semakin kuat.
"Kenapa tidak? Istana memiliki segalanya."
"Kau sudah gelap mata... Apa kau tahu, alasan kenapa Putra Mahkota di turunkan dari tahtanya?"
Netra sayu Taehyung melebar, menunjukkan keterkejutan akan perkataan Namgil. Apa itu berarti Namgil mengetahui identitasnya yang sebenarnya. Namun dia tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan dan berusaha untuk tetap menjadi seorang Kim Taehyung.
"Apa maksud Abeoji?"
"Kau tidak tahu jika Putra Mahkota sebelumnya di turunkan dari tahtanya?"
Taehyung menggeleng pelan penuh dengan keraguan, dan dari apa yang di ucapkan oleh Namgil. Dia berasumsi bahwa Namgil tidak tahu identitasnya yang sesungguhnya sebelum menjadi Kim Taehyung.
Namgil menjatuhkan pandangannya dan perlahan melepaskan cengkramannya pada Taehyung. Dia menghembuskan napas beratnya dan kembali mempertemukan pandangan keduanya.
Dia berucap, "sebuah konspirasi."
Kedua tangan Taehyung tiba-tiba mengepal dan tampak sedikit gemetar. Batinnya terguncang setelah mendengar dua kata yang keluar dari mulut sang Ayah angkat.
"S-siapa, yang merencanakan hal seperti itu dan apa alasannya?"
"Klan Heo berada di balik semua itu,"
Satu lagi pukulan keras bagi Taehyung, jika sudah menyangkut Klan Heo, itu berarti nama Jungkook juga tidak akan bisa lepas dalam kasus ini. Dan kebenaran itu ia dapatkan setelah sang Ayah kembali berbicara.
"Menteri Perdagangan Heo Junhoo, Ketua Klan Heo. Dia sengaja membuat Putra Mahkota sakit keras dan membuat beberapa Menteri menyetujui petisi untuk menurunkan Putra Mahkota dari tahtanya waktu itu."
Pandangan Taehyung terjatuh lalu bergumam, "bagaimana bisa dia melakukan hal itu? Dia bisa membunuh seseorang, tapi bagaimana caranya membuat seseorang sakit keras?"
"Cenayang. Dia memiliki seorang Cenayang yang menguasai sihir ilmu hitam untuk bisa membuat seseorang menderita penyakit yang tidak ada obatnya."
"Lalu?"
"Semua itu mereka lakukan hanya agar Pangeran Lee Jungkook naik tahta, dan bukan hanya itu... Mereka bahkan hampir membunuh Rubah kecil milik Putra Mahkota."
Kalimat terakhir yang benar-benar membuat batinnya terguncang dengan mata yang tiba-tiba membulat sempurna. Apakah Ayah angkatnya baru saja membicarakan tentang Rubahnya? Rubah kecilnya? Kik Changkyun?
Berusaha menguasai keterkejutannya, perlahan ia menegakkan kepalanya dan kembali mempertemukan pandangan keduanya.
"Apa yang terjadi padanya setelahnya?"
"Wanita biadap itu melakukan hal yang sama dengan apa yang pernah ia lakukan terhadap Putra Mahkota."
"Bukan itu," tatapan Taehyung terlihat gemetar, "bagaimana nasibnya setelahnya."
"Putra Mahkota tewas dan Rubahnya terselamatkan."
Taehyung mengatup rapatkan mulutnya yang sedikit gemetar ketika perlahan kesedihannya berubah menjadi kemarahan.
"Sekarang pikirkan bagaimana caramu untuk menyelamatkan Agassi jika Klan Heo menolak anak itu."
"Aku, akan bertanggung jawab sepenuhnya. Apapun yang akan terjadi setelah ini."
Namgil merasa prihatin setelah kemarahannya mereda dan setelah ia mengatakan kebenaran akan kisah dari putra angkatnya sendiri.
"Jangan pernah menyesali apa yang sudah kau perbuat! Karna itu adalah sikap dari seorang pecundang." Namgil lantas meninggalkan sang putra angkat.
Dan setelah terdengar suara pintu yang tertutup, tubuhnya segera melorot ke bawah dengan raut wajah yang masih terlihat begitu terguncang setelah mendengarkan fakta tentang dirinya sendiri dari sang Ayah angkat.
Dia tewas dan Rubahnya terluka. Seakan kepergian Hwagoon masih belum cukup, kenyataan itu datang dan semakin melukainya. Namun penyesalan yang sempat membelenggunya perlahan menumbuhkan sebuah kemarahan di saat ia tahu siapa dalang di balik nasib buruk yang selalu menimpanya.
Perlahan, tatapan sayu itu menajam. Menunjukkan sebuah kemarahan terhadap satu nama yang sebelumnya di ucapkan oleh sang Ayah angkat.
Dia bergumam dengan penuh penekanan dan sarat akan kemarahan, "Heo Junhoo. Bahkan sampai kau mati sekalipun, tidak akan pernah ada pengampunan untukmu!"
Selesai di tulis : 07.12.2019
Di publikasikan : 07.12.2019
Spoiler : Kim Taehyung mau bakar Kediamannya Menteri Perdagangan😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro