Lembar 102
Hamparan langit senja yang tengah bersiap menjatuhkann Joseon kembali dalam kegelapan, angin sore yang menyapu rerumputan dan menerpa wajah tegas Kim Nam Gil yang kini berdiri tepat di hadapan gundukan makam yang selalu menjadi tempatnya untuk pulang meski hanya untuk beberapa waktu hingga langit gelap yang kemudian mendorong langkahnya untuk pergi menjauh.
"Entah ini benar atau tidak, aku tidak akan mundur dari jalan ini." Sebuah monolog yang kembali terdengar, mengantarkan Joseon yang semakin meredup.
"Tanpa harus ku katakan sekalipun, kau juga sudah tahu apa yang sudah ku lakukan. Aku hanya bersinggah, bukannya berhenti. Aku akan membawa anak itu pergi selama yang ku bisa, tapi ku pastikan bahwa kakak mu tidak akan selamat dari ku."
Sebuah pernyataan yang tak seharusnya ia ucapkan kepada makam wanita yang selalu mengisi hatinya di setiap detiknya, namun entah perasaan buruk apa yang kini menghampiri hatinya dan membuatnya menjadi tidak tenang.
"Jika aku beruntung, kali ini bisa saja aku bertemu dengan Rubah milik Putra Mahkota di tengah perjalanan. Jaga dirimu baik-baik, Yeowon-a."
Langkah itu bergerak memutar, berbalik membelakangi makam sebelum akhirnya melangkahkan kakinya pergi. Menembus kegelapan malam yang hanya bisa menampakkan siluet hitam nya yang menuruni bukit.
Rembulan yang perlahan mulai naik ke atas, hawa dingin yang terasa lebih dingin dari sebelumnya. Dia menyembunyikan siluet hitam nya dengan merapatkan diri ke tembok ketika beberapa prajurit melintas di sekitar nya, berhati-hati namun tetap dengan pembawaan yang begitu tenang.
Dia menerobos penjagaan Istana Gyeongbok sekali lagi di malam tak bertuan yang entah akan membawanya sampai sejauh mana, ketika sang putra angkat yang dengan penuh kesabaran menunggu kedatangan nya dalam ruang kosong yang begitu hening yang hanya mampu membuatnya terjaga sepanjang malam dengan beberapa tumpukan buku yang berada di sisi meja kecil yang selalu di hadapnya.
Cukup menyulitkan karna entah apa yang tengah terjadi di sana, karna penjagaan Istana Gyeongbok malam itu sedikit menyulitkan nya hingga akhirnya dia yang harus berakhir bersembunyi di atas pohon dan menunggu hingga keadaan menjadi lebih tenang karna mungkin saja dia datang terlalu sore. Saat di mana para prajurit akan menyisir setiap sudut Istana untuk memastikan keamanan para penghuni Istana Gyeongbok.
Hingga pendengaran nya menangkap suara yang saling bersahutan dengan sangat pelan tepat di belakang tembok yang terdapat di belakang pohon yang menjadi tempat persembunyian nya, dia pun berpindah posisi agar lebih dekat dengan suara tersebut dan mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
"Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi buruk." Keluh salah seorang dari ke empat prajurit yang tampak beristirahat dari patroli atau hanya sekedar berhenti untuk menghabiskan waktu.
"Siapa yang perduli dengan mimpi mu." Acuh yang lain nya.
"Bagaimana dengan anak Ungeom itu?" Sahut salah satu dari mereka dan membuat sorot mata Namgil menajam ketika mereka menyebutkan kata 'Anak Ungeom' yang tidak lain di gunakan untuk menyebut nama Changkyun.
"Aku dengar dia sakit parah."
"Parah atau tidak, apa urusan kita. Lagi pula aku lebih senang jika dia segera menemui ajal nya."
"Ya! Berhati-hatilah jika ingin berbicara."
Satu detik saja tak ada teguran, Namgil pasti sudah menebas kepala para prajurit tersebut, namun niatnya berhasil tergagalkan dan para parjurit tersebut yang kemudian memutuskan untuk pergi. Meninggalkan nya dalam pemikiran yang begitu sulit untuk ia pahami sendiri.
Si Rubah yang sakit keras, itukah yang membuat perasaan nya tidak tenang. Mungkinkah masih ada ikatan batin di antara keduanya. Namun sayang nya, perlu sedikit lebih banyak waktu baginya untuk bisa menemukan keberadaan si Rubah karna para prajurit sebelumnya tak membicarakan keberadaan Changkyun saat ini. Meski dia tahu seluk-beluk tentang Istana, namun begitu beresiko jika ia harus mengecek di setiap bangunan.
Dia kemudian turun dari atas pohon dengan pikiran yang hanya tertuju pada Paviliun Putra Mahkota, meski Putra Mahkota yang sekarang berasal dari Klan Heo namun tidak menutup kemungkinan bahwa Changkyun masih berada di sana. Dia hendak melangkah pergi sebelum sebuah teguran yang kemudian datang padanya.
"Seongsucheong kah?"
Dia berbalik setelah mendengarkan suara serak dari seorang pria tua yang tidak lain adalah Guru Dong Il, dan hal itu yang membuat Namgil benar-benar berdiri menghadap Guru Besar Gwansanggam tersebut dengan kedua tangan yang saling bertahutan di belakang tubuhnya.
"Sepertinya tempat ini benar-benar istimewa bagi kalian berdua." Ujar Guru Dong Il sembari melangkahkan kakinya mendekati Namgil.
"Tidak baik orang tua seperti mu keluyuran malam-malam begini, terlebih lagi dengan mengucapkan omong kosong semacam itu." Acuh Namgil sembari sekilas mengalihkan pandangan, dan perkataan nya tersebut berhasil membuat senyum Guru Dong Il tersungging.
"Oleh sebab itu aku pergi keluar, tidak ada yang perduli dengan pria tua seperti ku." Balas Guru Dong Il tak kalah santai dari cara Namgil berbicara kepada nya, dia kemudian menghentikan langkahnya beberapa langkah di depan Namgil dengan seulas senyum yang sedikit melebar.
"Lama tidak bertemu. bagaimana kabar mu, Tuan Ungeom?"
Sebuah sapaan yang harusnya membuat nya tersanjung justru hanya mampu membuatnya menatap Guru Besar Gwansanggam tersebut tanpa ekspresi yang sanggup di mengerti.
"Aigoo.... Mau di apakan pun, anak dan ayah memang sama saja." Keluh Guru Dong Il yang sekilas mengalihkan pandangan nya.
"Berjalan hingga sejauh ini, mungkihkah ada sesuatu yang Tuan cari?" Pertanyaan santai namun penuh selidik di tujukan pada sosok di hadapan nya yang terlihat begitu acuh.
"Sepertinya kau sudah terlalu lama hidup, hingga kau mengatakan omong kosong seperti itu." Balas Namgil dengan malas meski sebenarnya hatinya begitu tidak tenang, dan jawaban itu pula yang justru membuat Guru Dong Il sempat tertawa ringan.
"Sudah berjalan hingga sejauh ini, aku rasa bukanlah hal sulit bagi Tuan untuk bisa sampai di Gwansanggam."
Guru Dong Il kemudian berjalan ke arah Namgil dan tepat saat hampir berpapasan, dia menghentikan langkahnya. "Paviliun selatan Gwansanggam, jika Tuan Ungeom tidak keberatan. Aku mengundang Tuan untuk menemui ku di sana." Ujar Guru Dong Il dengan nada bicara yang lebih serius di bandingkan sebelumnya ketika tak ada lagi senyum yang menghiasi sudut bibir nya.
Dia kemudian berjalan meninggalkan Namgil yang kemudian memutar langkah nya dan melihat punggung nya yang pergi menjauh sebelum akhirnya menghilang dalam kegelapan.
"Gwansanggam kah?" Gumamnya dan sejenak memperhatikan bangunan di sekitar nya, dia baru sadar bahwa saat ini dia tengah berada di halaman Seongsucheong. Pantas saja Guru Dong Il menyebutkan nama Seongsucehong saat menegurnya sebelumnya, tapi apa yang di lakukan Guru Besar Gwansanggam tersebut di Seongsucheong?.
Dia kemudian kembali menjatuhkan pandangan nya ke arah jalan yang sebelumnya di tuju oleh Guru Dong Il, namun siluet kecil yang berjalan di teras Seonsucheong berhasil menarik perhatian nya. Matanya memicing ketika melihat seorang Dayang yang tampak berjalan dengan hati-hati dan memasuki Seongsucheong, sedikit merasa heran karna tempat itu sudah kehilangan fungsinya selama bertahun-tahun.
Namun, tak ingin mencampuri urusan orang lain di saat ia sendiri tengah memiliki urusan yang lebih penting, dia segera melangkahkan kakinya meninggalkan halaman Seongsucheong.
Pangeran Yang Tersembunyi Joseon
Mendekati Pavilun Selatan Gwansanggam, Kim Namgil mengarahkan pandangan nya ke setiap sudut yang begitu gelap dan tak menunjukkan adanya kehidupan di sana. Namun sebuah pergerakan yang berasal dari kegelapan berhasil mengusik pendengaran nya dan membuat tatapan nya menajam seiring dengan tangan kirinya yang sedikit mendorong keluar pedang nya.
"Tuan Ungeom terlalu berlebihan." Suara pria tua itu yang kembali menyapa pendengaran nya dan membuatnya menurunkan kewaspadaan nya, diapun berbalik ke arah datang nya suara dan melihat Guru Dong Il keluar dari samping sebuah bangunan di dekat nya.
"Aku sudah menduga bahwa Tuan Ungeom akan memenuhi undangan ku, oleh sebab itu aku menunggu di sini."
"Hal yang paling membuat ku muak bertemu dengan orang tua seperti mu, adalah karna mereka terlalu banyak mengucapkan omong kosong." Sarkas Namgil dan membuat Guru Dong Il tertawa ringan sembari kembali melangkahkan kakinya.
Dia kemudian berhenti tepat di hadapan Namgil dan sedikit mendongak mengingat tubuh tinggi nan tegap itu membuat tubuhnya terlihat mengecil. Tanpa menghilangkan seulas senyum yang tertahan di sudut bibir nya, dia kembali berujar.
"Ikutilah orang tua ini jika Tuan Ungeom ingin melihat sesuatu yang seharusnya Tuan Ungeom lihat."
"Aku bisa saja memotong lidah mu sekarang!"
Sebuah ancaman yang membuat Guru Dong Il menarik sudut bibirnya lebih lebar dan kemudian mendahului langkah Namgil yang pada akhirnya mengikuti di belakang nya.
Hanya berselang beberapa waktu dan Guru Dong Il membimbing langkah Namgil untuk memasuki salah satu bangunan di Paviliun Selatan Gwansanggam.
"Mohon, Tuan Ungeom menutup pintu nya."
Tanpa ada protes, Namgil pun menutup pintu dari dalam dan berbalik untuk menyusul langkah Guru Dong Il yang kemudian menghentkan langkah nya di dekat sosok yang terbaring di depan sana, yang secara refleks membuat matanya memicing.
Hingga langkah itu kemudian terhenti sejajar dengan Guru Dong Il ketika pandangan nya terjatuh pada sosok Changkyun. Di perhatikan nya sosok pemuda tersebut yang seakan membawanya kembali ke dalam masa lalu.
"Anak ini, mungkinkah?"
"Benar, Tuan Ungeom tidak mungkin melupakan putra Tuan sendiri." Guru Dong Il menyahuti dan membuat tatapan tak percaya Namgil jatuh padanya.
"Kim Changkyun?"
"Benar, dialah Rubah milik Putra Mahkota sebelumnya."
Namgil menjatuhkan pandangan nya pada Changkyun, terdapat rasa tak percaya dalam tatapan tajam nya yang sedikit bergetar ketika mendapati putra kecil nya yang sudah tumbuh dewasa tanpa pengawasan nya. Namun ada hal lain yang membuat hati Namgil begitu miris ketika melihat kondisi putra nya yang terlihat menyedihkan, wajah pucat dengan pipi yang terlihat begitu tirus. Mungkinkah sakitnya benar-benar parah?.
"Apa yang terjadi padanya?" Sebuah pertanyaan yang akhirnya menunjukkan kekhawatiran nya.
"Beberapa hari yang lalu, seorang Dayang menemukannya tak sadarkan diri di halaman Seongsucheong. Dia sempat tertidur selama tiga hari dan terbangun, tapi pagi tadi dia kembali tidur hingga sekarang."
Mata Namgil membulat ketika mendengar penuturan dari Guru Dong Il, diapun perlahan menjatuhkan kedua lututnya tepat di samping Changkyun dan menaruh Pedang nya di sisi nya. Dia kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya, memposisikan wajah nya berada di atas wajah sang putra dengan satu tangan yang menyangga tubuh nya dan tangan yang lain nya menangkup wajah putra nya yang terasa begitu dingin dan hal itu mengingatkan nya akan kondisi Taehyung dua tahun yang lalu.
"Kenapa bisa begini?" Gumamnya dengan tatapan yang tiba-tiba gemetar dan telah meruntuhkan kekejaman nya.
"Cangkyung-a, Kim Changkyun. Bangunlah! Abeoji datang untuk menemui mu." Gumamnya yang sarat akan kerinduan seorang ayah terhadap putra kecil nya, hingga sorot mata itu kembali menajam dengan kemarahan yang tertahan.
"Bagaimana bisa seperti ini?" Suara tegas yang menunjukkan sebuah kemarahan.
"Tidak ada yang bisa ku jelaskan kepada Tuan Ungeom, tapi sebelum ini. Mendiang Pangeran Taehyung mengalami hal yang sama sebelum turun tahta."
Namgil tampak tersentak dengan penuturan Guru Dong Il, bukan karna dia mengatakan bahwa Changkyun mengalami hal yang sama dengan yang pernah di alami oleh Taehyung. Namun karna Guru Dong Il mengira bahwa Taehyung sudah mati, diapun kembali menarik tubuhnya dan duduk dengan tegap tanpa mengalihkan perhatian nya dari wajah putra nya.
"Aku dengar dua tahun yang lalu Pangeran pergi dari Istana, dari mana kau tahu jika dia sudah mati?" Ujarnya dengan pembawaan yang begitu tenang dan sedikit kaku seperti biasa.
"Pada saat Beliau meninggalkan Istana, Beliau dalam kondisi sakit keras. Dan setelah kepergian Beliau, bintang Beliau tiba-tiba menghilang. Berbeda dengan dengan bintang Pangeran Hwaseung yang hanya meredup, bintang Pangeran Taehyung benar-benar menghilang seutuh nya dan itu hanya bisa terjadi ketika sang pemilik bintang telah tiada.
Tangan Namgil perlahan terkepal kuat, mungkin bagus jika semua orang menganggap bahwa Taehyung sudah masti, karna dia tidak perlu lagi menyembunyikan keberadaan anak itu. Namun ada hal yang sedikit mengganggu nya.
"Maksud mu Hwaseung masih berada di Hanyang?"
"Entah dia berada di Hanyang atau tidak, yang pasti Pangeran Hwaseung masih berada dalam keadaan yang baik-baik saja hingga kini. Terlepas dari itu semua, kenapa Tuan Ungeom tidak mencarinya sendiri?"
Namgil mengarahkan ekor matanya ke tempat Guru Dong Il berdiri sebelum akhirnya menjatuhkan pandangan nya ke depan.
"Apapun yang ku lakukan, bukanlah hak mu untuk ikut campur."
"Aku mengerti dan aku meminta maaf atas kelancangan dari orang tua ini."
Tak ingin memperdulikan perkataan Guru Dong il, Namgil kembali menjatuhkan pandangan nya pada Changkyun. Di raihnya telapak tangan kurrus yang terasa begitu dingin dan kecil dalam genggaman, menatapnya dengan penuh kasih sayang seorang ayah di saat rahang nya yang terlihat mengeras menahan kemarahan nya terhadap sesuatu.
"Maafkan Abeoji karna baru sekarang bisa menemui mu, Changkyun-a." Batin nya dan perlahan genggaman tangan nya tersebut terbalas dengan begitu lemah di saat mata sang Rubah yang masih menutup rapat.
Selesai di tulis : 30.06.2019
Di publikasikan : 06.07.2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro