Lembar 167
Menyambut senja di ujung barat. Kedua Bangsawan muda itu duduk berdampingan di atas rumput. Mengarahkan pandangan mereka pada permukaan danau. Membiarkan hening menyergap sesaat ketika tangis sang Rubah tak lagi menyisakan apapun yang mampu tertangkap oleh pandangan.
Taehyung lantas membuka pembicaraan di antara keduanya dengan menolehkan wajahnya. "Kau tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku melihatmu."
Changkyun menunduk. Merasa tak mampu untuk membalas teguran yang di berikan oleh Taehyung.
Garis senyum lantas tercipta di wajah Taehyung. "Aku turut bahagia atas kabar yang kudengar sore ini tentangmu ... Saudaraku."
Pandangan Changkyun terangkat dan di pertemukan dengan tatapan teduh yang selalu ia cari. Saat itu kembali di dapatinya seulas senyum yang masih sama seperti dulu. Namun pandangan itu segera menunduk kembali tatkala lisannya berusaha menyampaikan sesuatu.
"Hamba bersalah. Hamba tidak pantas mendapatkan pengampunan dari Naeuri."
"Aku tidak menginginkan hal itu keluar dari mulutmu ... angkatlah wajahmu dan lihatlah aku."
Changkyun berdiam diri. Merasa telah melakukan dosa besar kepada tuannya ketika ia sempat berniat membunuh Hwagoon.
"Kim Changkyun ... jika kau tidak tahu, akan kuberi tahukan padamu ... hanya untukmu, aku bersedia datang sebagai Lee Taehyung."
Pandangan Changkyun segera terangkat. Mempertemukan kembali pandangan keduanya. Lisannya lantas berucap, "apa maksud Naeuri?"
"Aku bukanlah Lee Taehyung. Aku kembali sebagai Kim Taehyung, Ketua Kelompok Pedagang."
"Naeuri?"
"Aku kembali bukan untuk menetap, melainkan hanya untuk bersinggah."
"Kenapa, kenapa Naeuri melakukan hal itu?"
"Aku datang, hanya untuk membawa Hwagoon Agassi pulang." Taehyung memalingkan wajahnya. Sekilas memandang langit dengan tawa pelan yang terdengar putusasa.
Dia kembali berucap, "begitulah takdir ... aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai bertemu dengannya. Aku pikir semua sudah berakhir hari itu, tapi hari itulah aku bertemu dengannya."
"Jika begitu, kenapa Naeuri membiarkan Agassi pergi ke Istana?"
Menyisakan garis senyum tipis, Taehyung kembali memandang Changkyun. "Aku sudah salahpaham. Aku pikir dia bisa mendapatkan keadilan jika dia pergi ke istana."
"Keadilan tentang kematian ayah Agassi?"
"Kau tahu?"
"Putra Mahkota memberi tahu hamba."
Taehyung sejenak menjatuhkan pandangannya. Merasa berdosa terhadap Jungkook. Dia bergumam, "dia bertambah dewasa, tapi dia masih saja cengeng."
"Jika Naeuri ingin pergi, izinkan hamba untuk ikut dengan Naeuri."
Taehyung kembali memandang. "Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?"
"Jika hamba mampu."
"Kau tahu? Sekarang kastamu bahkan lebih tinggi di bandingkan denganku ..."
Netra Changkyun melebar. Menunjukkan reaksi keterkejutannya.
"Kau adalah seorang Pangeran, sedangkan aku —"
"Naeuri bisa kembali tinggal di istana."
Taehyung menggeleng. "Sejak aku meninggalkan Bukchon hari itu, aku memutuskan untuk tidak akan pernah kembali ke istana lagi."
"Naeuri ..."
"Mulai sekarang, berhenti memanggilku 'Naeuri' ... jika kau bersedia, aku lebih suka jika kau memanggilku dengan sebutan 'Hyeongnim'."
Pandangan Changkyun berpaling. Tampak kebingungan di wajahnya hingga sebuah tangan memegang bahunya dan kembali menarik perhatiannya.
Taehyung kembali tersenyum. "Sudah lama, aku menantikan pertemuan ini ... aku minta maaf karena harus mengabaikanmu pagi tadi."
"Naeuri tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu."
"Hyeongnim. Aku ingin kau memanggilku dengan sebutan itu ... dengan begitu, aku merasa telah menjadi orang yang istimewa untukmu."
Changkyun sempat terdiam sebelum kembali berucap. "Izinkan aku pergi denganmu, Hyeongnim."
Taehyung menarik tangannya. "Rahasiakan pertemuan kita hari ini."
Changkyun mengangguk dan pandangan Taehyung pun kembali terjatuh pada permukaan danau.
"Apa yang akan Hyeongnim lakukan setelah ini?"
Tanpa memandang sang lawan bicara. Taehyung berucap, "membawa Agassi pergi dari sini, bagaimanapun caranya."
"Aku ingin membantu, jika aku bisa melakukannya."
Taehyung kembali memandang. "Kau ingin membantuku?"
Changkyun mengangguk.
"Jika begitu, bantulah aku untuk menjaga Putra Mahkota."
Changkyun menatap bingung. "Apa maksud Hyeongnim?"
"Tetap berada di samping Putra Mahkota, apapun yang akan kulakukan setelah ini."
"H-hyeong, Hyeongnim?"
"Tetaplah tinggal di sini bersama Putra Mahkota, Kim Changkyun. Itulah keinginan kakakmu ini ..."
Langit menggelap. Menuntun Taehyung menyusuri jalanan gelap seorang diri setelah meninggalkan Changkyun di tepi danau. Dia tahu bahwa Changkyun kecewa. Namun ia tidak bisa membawa siapapun pergi bersamanya ketika ia bahkan tak yakin dengan apa yang akan ia dapatkan setelah hari ini.
Langkah tenang itu terhenti ketika seorang Dayang menghalangi langkahnya. Dayang itu berucap, "Ketua Kelompok Pedagang?"
"Benar, ada keperluan apa?"
"Permaisuri menginginkan pertemuan dengan Ketua Kim."
Batin Taehyung tersentak. Satu hal yang ia lupakan. Sebuah fakta bahwa ibunya tidak akan tinggal diam setelah mengetahui kabar kepulangannya, dan tentu saja ia belum memiliki persiapan untuk pertemuan dengan ibunya.
Dia berucap dengan tenang, "sampaikan maafku pada beliau. Aku tidak bisa —"
"Apakah kau memiliki kepentingan yang mendesak, Ketua Kim?" teguran itu datang dan menghentikan ucapan Taehyung.
Dari arah samping, Young In datang. Mata Taehyung yang sempat menutup ketika suara lembut itu menyapa pendengaran perlahan terbuka. Menemukan sepasang kaki yang berjalan mendekat ke arahnya.
Tak berniat untuk melihat wajah wanita yang telah melahirkannya. Taehyung memilih untuk tidak mengangkat pandangannya, meski telah berdiri berhadapan dengan Young In.
"Terimalah salam hamba —"
"Kau menolak pertemuan denganku?" pertanyaan yang kembali menghentikan ucapan Taehyung.
"Katakan alasan yang bisa aku terima. Setelah itu, aku akan mengizinkamu untuk pergi."
"Rakyat kecil seperti hamba, tidaklah pantas untuk menghadap, Mama."
"Itu bukankah alasan yang bisa kuterima, karena aku memiliki alasan yang lebih kuat untuk menemuimu."
Taehyung tak menjawab. Pandangannya menangkap pergerakan Young In yang datang mendekat.
Young In kemudian berucap dengan suara yang lebih pelan, "jika kau merasa yakin pada dirimu. Kau tidak akan menghindari pertemuan dengan siapapun ... izinkan aku menunjukkan padamu jalan yang benar, Putraku."
Young In berbalik dan berjalan pergi. Membimbing pandangan Taehyung untuk terangkat sebelum langkahnya yang tergerak dengan berat mengikuti langkah wanita yang tak bisa ia panggil dengan sebutan 'Ibu' itu.
Bersembunyi dari kegelapan malam. Malam itu, Taehyung berdiri di tengah ruangan. Di hadapkan langsung dengan wanita pilihan Raja. Tak banyak yang bisa di lakukan oleh Taehyung. Bahkan ketika Young In sudah berdiri di hadapannya pun, yang ia lakukan tak lebih dari sekedar berdiam diri.
Tangan kanan Young In terangkat. Bergerak dengan hati-hati dan membawa jemarinya menyentuh wajah putra yang selalu ia rindukan. Telapak tangan hangat itu seutuhnya menyentuh rahang tegas Taehyung.
"Angkat wajahmu."
Tanpa ada keraguan, Taehyung mengangkat wajahnya. Mencoba menguasai perasaannya yang tidak karuan ketika di pertemukan dengan tatapan sendu milik sang ibu.
"Kau masih ingin menyangkal di hadapan wanita yang sudah melahirkanmu?"
"Mama sudah salahpaham. Mohon, segera hentikan kesalahpahaman ini."
Young In menggeleng pelan dengan air mata yang perlahan menuruni wajahnya. Dia lantas berucap, "kau bisa membohongi siapapun. Siapapun itu ... ayahmu, saudaramu dan bahkan dunia. Kau bisa membohongi mereka ... tapi ketahuilah bahwa seorang ibu tidak akan pernah salah dalam mengenali anak yang pernah ia lahirkan."
Hati Taehyung hancur melihat air mata yang terus berjatuhan di wajah sang ibu. Sudut hatinya bergetar. Dia tidak bisa menyangkal, namun juga tak di izinkan untuk membuat sebuah pengakuan.
"Sekarang katakan ... katakan pada ibumu, siapa kau sebenarnya. Katakan ..."
Taehyung berpaling. Mencoba menghindari perasaan yang membuatnya menjadi semakin lemah dari waktu ke waktu. Detik itu dia tahu, bahwa tidak seharusnya dia kembali ke istana.
Satu tangan Young In yang terbebas lantas memegang kerah pakaian yang di kenakan oleh Taehyung dan perlahan menggenggamnya dengan lembut.
"Kau tahu? Berapa lama waktu yang di habiskan oleh ibumu ini untuk berdoa, agar putranya segera kembali dalam keadaan yang sehat ... kau tahu? Setiap ketidakberdayaan ini membuat ibumu sangat membenci dunia ... apa kau tahu —"
"Jangan di lanjutkan," sergah Taehyung tanpa berani memandang Young In. "Mohon, jangan membuat hamba berada dalam keadaan yang sulit."
"Tidak ada penghargaan yang lebih berarti bagi seorang ibu, di bandingkan dengan putranya yang bersedia mengakuinya sebagai ibu yang telah melahirkannya."
Taehyung memandang dengan air mata yang tetahan di pelupuk. Kedua tangannya mendapatkan tangan Young In yang kemudian ia turunkan secara perlahan. Membuatnya mendapatkan gelengan pelan dari Young In.
Terlepas genggaman tangan itu, hancurlah sudah benteng yang telah ia buat ketika ia di hadapkan dengan wanita yang telah melahirkannya. Kedua lutut Taehyung menyentuh lantai, di susul oleh keningnya yang ia tempatnya tepat di hadapan kaki Young In.
Dia menyerah, dia kalah. Pada nyatanya ambisinya tidaklah lebih kuat dari pada harapan seorang ibu yang selalu menyebutnya di setiap doa yang ia panjatkan kepada Dewa dan para leluhur.
Lee Taehyung. Menangis dalam sujudnya ketika ia memohon pengasihan kepada wanita yang telah melahirkannya. Menangis sebagai akhir dari pelariannya dan membawa sang ibu datang untuk merengkuhnya bersama ribuan luka yang tersimpan dalam ketenangannya.
Young In terduduk. Mengusap dengan lembut surai sang putra yang bersedia untuk kembali padanya. Meski hingga akhir, lisan itu menolak untuk mengakui kekalahannya. Namun semua ambisi akan segera lenyap ketika seseorang kembali dalam rengkuhan seorang ibu.
Selesai di tulis : 13.05.2020
Di publikasikan : 13.05.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro