8 - Aria
Sebelum ini aku tidak pernah merasa memiliki tubuh yang terlalu kecil atau terlalu lemah. Aku tidak pernah mempertimbangkan untuk membesarkan otot atau berlatih seni bela diri. Aku tidak pernah merasa terancam dengan cara yang seperti itu, betapa hal-hal bisa sangat berubah di tempat baru ini. Apa yang tidak akan aku berikan untuk beberapa tips gulat sederhana? Akan sangat menyenangkan jika aku bisa melempar beban yang ada di atasku sekarang.
Sayangnya satu-satunya hal yang dapat aku lakukan hanya menjaga pernapasanku. Tarik napas dalam-dalam saat penyerangku menekan lututnya lebih keras. Aku merasakan cengkeraman di rambutku mengerat, rasakan kukunya yang tumpul menggores kulit kepalaku saat jarinya mengepalkan rambutku. Aku menghitung detik, menghitung berapa lama waktu yang dia butuhkan sebelum memutuskan untuk membunuhku. Jangan salah sangka, karena aku tidak menyerah. Aku tidak dijatuhkan ke dunia asing ini hanya untuk mati. Sial, tentu saja aku akan berjuang, aku hanya menunggu waktu di mana dia harus mengendurkan pegangannya untuk memberikan pukulan maut.
Itu terjadi tepat di saat aku mulai merasakan mati rasa pada lenganku yang tertekuk pada sudut yang tidak nyaman. Itu terjadi begitu cepat, aku bahkan tidak sempat berpikir. Aku merasakan jari-jari di rambutku mengendur, perhatikan perubahan berat tumpuan lututnya di punggungku, itu adalah pergeseran yang kecil. Hampir tidak berarti, tapi aku punya efek kejutan yang pasti tidak dia duga.
Aku menggunakan seluruh kekuatanku saat aku mengayunkan kepalaku ke belakang. Gunakan lenganku sebagai pengungkit saat aku mendorong tubuhku naik dan berdiri. Aku mendengar suara gedebuk yang memuaskan saat tengkorakku menghantamnya. Kemungkinan terhubung dengan hidung atau rahangnya. Itu membuatku sedikit pusing tapi tidak ada istirahat untuk mereka yang ingin bertahan hidup. Aku berputar di tumitku, menelan keterkejutanku pada sosoknya yang menjulang di atasku, serta otot pahatan yang dibungkus kulit biru tengah malam. Tidak heran dia begitu berat saat menimpaku.
Tanpa memberinya kesempatan untuk mendapatkan kembali pikirannya, aku mengangkat lututku tepat ke selangkangannya. Klise seperti itu, karena apa lagi yang bisa aku pikirkan? Aku tidak memikirkan konsekuensi, aku bahkan tidak berpikir itu akan berhasil, oke? Kamu mengerti? Dia bukan manusia, jadi siapa yang benar-benar tahu anatominya? Siapa yang tahu kalau dia diperlengkapi seperti pria manusia normal mana pun?
Bagaimana pun juga itu berhasil. Saat tempurung lututku memukul bolanya, dia membungkuk. Dia meringkuk ke depan, raut wajahnya tertekuk dengan menyakitkan. Tetap saja itu tidak dapat menghilangkan sudut wajahnya yang menawan. Apakah aku sudah memberi tahu kalian kalau penyerangku sebenarnya sangat seksi? Seperti benar-benar seksi? Itu masih berkulit biru tentu saja, tapi ternyata biru bisa menjadi sangat seksi. Siapa yang menyangka ya?
"Valoc! Aku akan membuatmu membayar untuk itu!"
Dia menggeram beberapa kata yang tidak aku mengerti dengan marah. Kemungkinan umpatan dalam bahasanya. Itu bagus, karena itu akhirnya menyadarkan diriku yang melamun untuk mulai melarikan diri. Tidak ada pria yang menikmati tendangan ke bola, tidak peduli apakah itu pria manusia atau bukan. Aku mendapatkan pelajaran itu dengan baik.
Satu. Dua. Mungkin tiga langkah. Sejauh itu yang berhasil aku dapatkan sebelum penyerangku kembali menerjangku. Kali ini aku tidak jatuh tanpa perlawanan. Aku menggunakan berat tubuhku sebagai pemberat. Aku membanting tubuhku ke kanan, membawa kami berdua ke lantai hutan dan jatuh pada daun serta batang pohon yang membusuk. Aku menggunakan kakiku untuk menendang perutnya. Sedikit merasa puas saat mendengar 'offtt' ringan darinya. Aku tidak bertarung dengan anggun, tidak terkoordinasi sama sekali saat aku menggunakan lengan dan kakiku untuk terhubung sebanyak mungkin dengan beberapa pon otot keras yang membangun tubuh penyerangku.
"Hentikan!" Lebih terdengar jengkel dari pada kesakitan, "Hentikan atau aku akan mematahkan setiap tulangmu."
Ancamannya bergema ke dalam otakku, itu membuatku ragu dan memperlambat seranganku untuk sedetik. Satu detik yang begitu singkat, tapi itu memberinya kesempatan untuk memutarku kembali di bawah tubuhnya. Dia menjulang di atasku. Pahanya yang keras menjepit pinggangku yang kecil sementara salah satu tangannya menyematkan tanganku di atas kepala. Posisi itu saja akan membuatku malu di beberapa kesempatan, tapi saat ini satu-satunya yang aku pikirkan adalah dia bisa saja membunuhku.
Karena itu satu-satunya alasan kenapa jantungku berdetak sangat cepat, benar? Itu tidak ada kaitannya dengan betapa dekat wajah kami. Tidak ada kaitannya dengan pemikiran bodoh di mana aku hanya harus sedikit mengangkat kepalaku untuk mengetahui apakah bibirnya akan terasa halus seperti yang aku pikirkan. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan betapa matanya yang sewarna api terlihat begitu menarik dari sudut pandangku saat ini. Tentunya juga bukan karena gerakan ringan bulu mata pucat yang mengipasi tulang pipinya yang tajam setiap kali dia berkedip. Tidak mungkin karena semua itu.
"Apa kamu?"
Dia mengucapkan setiap kata dengan suara serak, dengan wajah yang hampir tidak dapat ditembus. Aku tidak bisa mulai menebak apa yang sebenarnya terjadi di balik mata oranye itu. Apakah dia bahkan berpikir hal yang sama denganku, jika itu hanya satu detik?
Perlu beberapa saat bagiku untuk memaksa otak dan lidahku kembali bekerja. Suaraku terdengar mencicit saat meninggalkan bibirku. "Manusia."
Dia mengerutkan dahinya, jelas merasa asing dengan kata itu, tapi jika itu masalahnya dia tidak ingin menunjukkannya padaku. Dia hanya meneruskan interogasinya yang tidak nyaman. Sayang sekali karena jelas tidak akan ada percakapan yang beradab sekarang, ingat? Aku telah menendang bolanya, kurasa tidak ada jalan kembali dari itu.
"Dan apa yang kamu lakukan di sini?" geramnya di wajahku. Aku pikir dia tidak akan dapat berbicara tanpa menggeram. Dengan suara serak dan rendah itu, sepertinya semua yang keluar dari bibirnya terdengar seperti geraman.
"Di sini seperti di Choria? Atau di sini seperti di hutan ini? Karena sejujurnya aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan."
Aku tidak bisa menahan kekeh ironis yang meluncur begitu saja di antara gigiku. Apa yang harus aku katakan tentang pertanyaan itu? Bahwa aku terdampar? Bahwa aku tidak pernah ingin di sini sama sekali? Aku tidak berpikir satu pun jawaban akan mengeluarkan aku dari masalah.
"Apa kamu pikir ini adalah lelucon?" desisnya tajam, matanya memelototiku dengan panas. Saat itu perhatianku menyimpang pada bekas luka yang melintasi matanya, betapa beruntung dia karena itu tidak memotong matanya. Jelas siapa pun pria pemarah ini, dia adalah seseorang yang terbiasa dengan pertarungan. Mustahil sebaliknya mengingat tubuh yang mendefinisikan otot serta bekas luka yang begitu jelas.
Aku menelan dengan gugup. "Tidak. Bagaimana bisa aku? Kamu menjepitku ke lantai hutan. Mengancam untuk membunuhku. Bagaimana mungkin aku bisa berpikir ini adalah semacam lelucon? Tolong, aku benar-benar tidak bermaksud jahat. Jika kamu tidak menyerangku di tempat pertama, aku tidak akan pernah menyerangmu. Aku bersumpah."
"Tidak berniat jahat? Kamu berharap aku akan percaya itu?"
Aku menggerakkan sedikit bahuku, tanda yang aku anggap secara universal untuk kata 'entahlah' sepertinya tidak demikian karena penyerangku mencengkeram pergelangan tanganku lebih erat.
"Apa yang aku lakukan untuk membuatmu berpikir hal kecil dan rapuh sepertiku bisa menyebabkan banyak kerusakan? Bahwa aku adalah hal jahat?" ucapku tidak percaya, karena jika ada di antara kami jelas dia lebih cocok untuk menjadi serigala jahat besar. Bukan aku.
"Kamu berburu Flameking, tidak kurang. Hanya yang memiliki niat jahat yang memburu mereka."
"Aku bahkan tidak tahu apa itu Flameking! Dengar, aku tidak berasal dari sekitar sini."
Dia hanya menatapku seolah mengatakan itu sudah jelas. Tentu saja aku tidak berasal dari sekitar. Dengan kulit pucat dan tubuh kecilku. Tidak akan ada keraguan.
"Kamu baru saja mencoba membidiknya dengan anak panahmu. Aku melihat semuanya."
Aku menggeleng dengan keras, menyangkal setiap tuduhannya. "Jika kamu lakukan, maka kamu akan melihat kalau aku baru saja menurunkan busurku."
"Hanya karena dia lari."
"Dia lari karena kamu mengejutkannya! Tapi bahkan jika itu tidak lari, aku tidak akan melepaskan anak panahku. Aku tidak mau. Dengar, aku perlu mendapat buruan untuk dibawa pulang. Aku tidak beruntung dengan semua jeratku jadi aku harus berburu sesuatu. Jika aku tahu hewan itu adalah semacam satwa yang dilestarikan, atau hampir punah. Aku tidak akan memburunya."
Astaga ini mulai melelahkan. Apakah kami benar-benar harus melakukan semua percakapan ini dalam posisi ini? Dengan dia berada di atasku dan aku berbaring di atas tanah lembab yang busuk?
"Aku tidak mempercayaimu. Orang membayar mahal untuk darah Flameking. Satu-satunya hal yang tidak aku pahami adalah kenapa hewan itu berada begitu dekat dengan tepi hutan, dan bagaimana kamu bisa berada begitu dekat tanpa mengejutkannya."
Aku baru saja membuka mulutku untuk menjawabnya. Bertekad untuk membuatnya terus bicara karena jika akhirnya dia bisa melihat fakta di mana aku tidak bersalah. Dia akhirnya akan melepaskan aku. Harapan itu pupus begitu saja saat seberkas cahaya melesat dan langsung menghantam bahu kanan penyerangku. Dia tersentak, lebih terkejut dari pada kesakitan meskipun bagian dari rompi kulit yang terkena serangan itu menghitam seolah hangus terbakar. Saat dia melihat ke arah serangan itu dia menggeram. Persis seperti binatang yang tidak sabar untuk mencabik-cabik mangsa terbarunya.
"Sihir macam apa yang kamu mainkan?" bentaknya, hebatnya dia masih tidak melepaskan aku saat kegelapan bangkit di punggungnya. Itu seperti gelombang kegelapan yang siap menelan apa pun yang dia lintasi.
Perlu sedetik bagiku untuk menyadari bahwa dia mengendalikan kegelapan itu. Saat gelombang itu terpecah menjadi selusin jari yang bergerak langsung ke arah pepohonan tempat tembakan cahaya sebelumnya datang. Aku berhasil mengangkat kepalaku, memiringkannya sedemikian rupa sehingga aku bisa melihat sekilas rambut cokelat Avery yang ditampar angin saat dia berbalik. Lari dari jari kegelapan yang mengejarnya. Darahku berubah menjadi dingin saat menyaksikan Avery berjuang dengan perisai cahaya yang sekarat. Menahan jari-jari kegelapan yang mencoba meraihnya.
Entah bagaimana pemandangan itu mengembalikan kekuatan dan perjuanganku yang sebelumnya surut. Aku tidak tahu bagaimana aku memanggilnya, bahkan jika itu masih lebih lemah dari pada cahaya yang dipanggil Avery, itu masih membuatku takjub.
Jariku mengepal, aku berkonsentrasi, fokus untuk memanggil cahaya seperti yang diajarkan Ynez. Itu melecut seperti cambuk energi. Kilatan cahaya yang begitu singkat, tapi itu cukup untuk memotong kegelapan yang mengajar Avery. Memberinya waktu singkat untuk membebaskan diri.
"Lari!" teriakku dan aku senang karena Avery tidak berhenti untuk memikirkannya. Dia pergi menghilang di antara pepohonan tidak pernah membuang waktu yang berharga untuk melihat ke belakang, dan aku harap dia berhasil pergi. Jauh.
Perasaan lega apa pun yang aku rasakan dari pelarian Avery, itu surut dengan cepat saat aku melihat kembali pada penahanku. Aku tidak melihat serangan itu datang, tidak pernah tahu kekerasan seperti itu. Saat tinju yang terkepal memukul rahangku, sedikit terlalu ke atas sehingga menghantam sudut bibirku. Aku merasakan karat saat menjilat bibirku, menyadari itu telah robek, dan ohh ... itu benar-benar menyakitkan.
Penyerangku tidak memberiku waktu untuk pulih dari pengalaman kekerasan pertamaku. Dia merenggutku seperti sekarung kentang, melemparkanku ke atas bahunya seolah aku tidak memiliki bobot. Aku menjilat bibirku sekali lagi. Itu masih berdarah jadi aku meludahkannya, mengernyit pada tunas yang tumbuh di tempat darahku baru saja jatuh.
Itu aneh. Sayang sekali aku tidak punya waktu untuk memikirkannya. Karena penculikku segera membawaku pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro