Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Aria

Beberapa hal tidak pernah berubah. Seperti kamu perlu makan untuk tetap hidup, tidak peduli di mana kamu tinggal sepertinya kamu tidak bisa menyangkal kebutuhan dasar seperti itu. Mungkin karena itu juga sepertinya Avery tetap lebih baik dariku tidak peduli di mana kami berada. Dia tidak memiliki kesulitan sepertiku saat menerima kenyataan baru kami. Sepertinya itu tidak mengejutkan baginya jika kita terlempar ke kehidupan lain dan ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia. Satu-satunya ekspresi kebingungan yang muncul di wajahnya adalah saat Ynez memberitahu dia bahwa aku seharusnya yang menjadi penyelamat itu.

"Aku akan membayar untuk mengetahui apa yang ada di pikiranmu sekarang," ucap Avery dengan nada menggoda.

Dia telah pulih dengan baik. Perlu dua hari baginya untuk sadar. Tiga untuk mulai bangun dari tempat tidurnya, dan empat untuk mulai berlatih sihir yang menurut Ynez kami miliki. Ynez benar tentang Avery, tapi sepertinya salah tentangku. Tidak ada sihir apa pun di dalam diriku. Lagi pula aku tidak merasakan apa pun yang berbeda sejak aku membuka mata di dunia asing ini. Kecuali tarikan yang tidak pernah mengendur. Perasaan seperti ada semacam kait yang menusuk tepat di tengah-tengah jiwaku, sebuah jangkar yang tidak dapat aku jelaskan.

"Dan dengan apa kamu akan membayar?" balasku saat aku memeriksa ketegangan dari tali busur yang aku pinjam dari Ynez.

Itu busur yang sederhana, meski dibuat dengan sangat halus. Kayu sewarna arangnya dipoles hingga hampir mengkilap, dan talinya terbuat dari serat yang kuat. Itu beberapa ukuran lebih kecil dari pada busur panah yang aku gunakan kembali ke rumah. Mengingat aku hanya menggunakan busur untuk olahraga sebelumnya, aku terkejut ketika menikmati berburu menggunakannya. Aku bukan ahli, bahkan tidak cukup untuk menyebutku hebat, tapi aku terus berlatih. Hari pertama aku mencoba memanah makhluk hidup nyata, benar-benar kekecewaan. Itu lebih sulit dari yang aku bayangkan, tapi seperti yang aku katakan, aku terus berlatih. Dan sekarang Ynez mengizinkanku untuk menyediakan makan malam kita dengan berburu.

"Aku tidak tahu, nasihat yang membantu mungkin? Kamu bisa melakukannya jika kamu berusaha dengan lebih keras, sihir tidak serumit itu," ucap Avery lembut, aku yakin dia tidak bermaksud untuk membuatku merasa buruk atau lebih rendah. Namun, tetap saja kata-katanya menusukku. Sihir itu mudah untuknya, sepertinya datang secara alami.

"Aku masih berlatih, aku tahu aku akan melakukannya pada akhirnya. Aku hanya butuh lebih banyak waktu," balasku. Itu adalah kebenaran. Ynez sepertinya tidak pernah menyerah tentang itu, keyakinannya yang tak tergoyahkan benar-benar menakutkan. Setiap hari dia terus menguntitku untuk setidaknya berlatih selama beberapa jam. Beruntung Avery mengalihkan perhatiannya, dia terus memburu Ynez untuk belajar lebih banyak. Tidak peduli ketika Ynez telah menjelaskan bahwa dia tidak memiliki jenis sihir yang sama. Bahwa dia hanya bisa mengajari kami dasar-dasarnya dan kemudian terserah kami untuk mengembangkannya.

"Mungkin kamu hanya butuh lebih banyak dorongan," ucap Avery dan aku membuat wajah mencibir. Idenya tentang dorongan adakah menyerangku sampai aku bisa membalasnya. Itu berhasil, semacam, tapi aku sedang tidak dalam mood untuk mendapatkan ruam terbakar di kulitku. Lagi pula satu-satunya cahaya yang berhasil aku panggil adalah kedipan lemah di ujung jariku saat Avery hampir memanggangku. Itu tidak benar, tentu saja. Dia tidak pernah membidik tepat ke arahku, tapi hampir.

"Mungkin lain kali. Aku harus memeriksa jerat dan melihat apakah ada semacam tupai alien di sekitar untuk makan malam kita," balasku, sudah meraih tabung berisi anak panah bersama karung kulit untuk menyimpan hewan apa pun yang berhasil aku tangkap nanti.

Aku tidak keberatan berburu tapi menyembelih, menguliti, dan mengeluarkan jeroan? Aku tidak bisa. Aku ingat mengosongkan seluruh isi perutku saat hari pertama Ynez menunjukkan padaku bagaimana membersihkan Jageon—semacam tupai, meski menurutku lebih mirip tikus, dengan ekor panjang tanpa bulu, mata manik hitam, dan gigi runcing di moncongnya, tapi mereka tinggal di pepohonan dan makan sejenis kacang. Tupai-tikus jika kamu ingin menyebutnya. Bulu hitam dengan beberapa garis putih di sana sini. Mereka cukup banyak ditemukan di hutan, meski mereka bergerak seperti setan kecil. Aku hanya pernah berhasil memanahnya sekali sejauh ini. Kebanyakan aku berburu sesuatu yang lain. Sesuatu yang bergerak dengan lebih lambat seperti Geraros, begitulah Ynez menyebutnya ketika aku membawanya pulang karena hari itu tidak ada satu jerat pun yang berhasil.

Jika kamu bertanya-tanya apa sebenarnya Geraros, sebenarnya itu semacam ular di bumi hanya memiliki banyak kaki. Jika kamu membayangkan kelabang atau kaki seribu maka kamu berada di garis yang tepat. Kecuali itu memiliki daging merah yang sejujurnya terasa seperti daging sapi. Jadi selama aku tidak membayangkan bagaimana bentuk hidup Geraros, aku bisa menelannya dengan mudah.

"Ingin aku bergabung?"

Aku menggelengkan kepalaku, aku menikmati keheningan hutan. Saat-saat damai ketika aku mengatur langkahku sesunyi mungkin. Saat fokusku hanya pada menarik busur panah, dengarkan siulan saat aku melepaskannya. Sejujurnya itu mengejutkanku, kembali ke rumah, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang. Entah hanya mengobrol gosip terbaru atau makan camilan, menonton film, cekikikan bersama. Avery lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Belajar. Merancang masa depan. Atau apa pun yang dilakukan Avery.

"Tidak perlu, aku tidak akan pergi jauh," jawabku jadi dia mengangguk dengan sederhana.

"Kalau begitu aku akan menemukan Ynez dan bertanya apa yang mungkin bisa aku bantu." Avery sudah keluar dari pondok sementara aku mengikat sepatu bot kulit ke kakiku. Sepatu hak tinggiku hanya akan menjadi bencana spektakuler di sini.

Aku tidak memeriksa apakah Avery akhirnya menemukan Ynez, tidak ingin mendapat lebih banyak pertanyaan apakah akhirnya aku lebih baik dalam memanggil sihirku. Karena jawabannya adalah tidak. Jadi aku langsung menunju hutan dengan daun merah oranye dan cokelat. Hutan yang untuk setidaknya dua minggu terakhir telah menjadi tempat amanku. Aneh bagaimana aku merasa sangat asing ketika pertama kali tiba dan sekarang sudah menjadi begitu akrab. Jariku menyentuh setiap batang pohon yang menghitam. Ynez bilang ini tidak selalu seperti ini. Pernah ada masa ketika dedaunan adalah warna hijau paling kaya dan batangnya cokelat muda hingga abu-abu. Setidaknya begitulah yang dikatakan ibu dari ibunya.

Tekstur kayu yang kasar menggores kulit telapak tanganku, aroma dari daun yang membusuk memenuhi paru-paruku. Setiap kali aku mendongak untuk melacak waktu dari pergerakan matahari aku diingatkan kembali bahwa ini bukan bumi. Dua matahari benar-benar asing, itu memberikan kesan sepasang mata yang sedang mengawasiku.

Menurut Ynez pesannya seharusnya sudah mencapai Jenderal setidaknya seminggu yang lalu. Ynez tidak pernah mendapat surat balasan darinya tapi sepertinya Ynez tidak mempermasalahkan itu. Dia sepertinya sangat yakin kalau Jenderal ini akan datang. Aku tidak memiliki kepercayaannya, tapi itu tidak masalah, lagi pula aku tidak benar-benar ingin pergi. Bukan untuk mencium Pangeran dan bukan untuk meninggalkan tempat aku dijatuhkan ke dunia ini. Karena mungkin itu satu-satunya cara bagiku dan Avery untuk pulang. Bagaimana jika jalan kembali itu ada di sini dan kami malah pergi?

Aku sampai pada jerat pertama, pada dasarnya itu mirip dengan jerat yang aku pelajari saat aku bergabung di perkemahan musim panas. Umpan tidak tersentuh sama sekali, kawat dan tali masih terikat dengan rapi, jadi aku meninggalkannya begitu saja. Aku tidak beruntung dengan jerat ke dua dan ke tiga, jerat keempat berhasil menarik seekor Jageon, tapi sepertinya sesuatu yang lebih besar telah datang lebih awal dariku dan memakan makan malamku. Meninggalkan kepala Jageon dengan moncong setelah hilang.

"Bukan hari keberuntunganku," gumamku masam saat aku menendang setengah kepala Jageon yang tersisa. Aku seharusnya memasang jerat itu kembali, mengaturnya sekali lagi untuk ditinggalkan malam ini, tapi aku menangkap semacam gerakan di ekor mataku.

Sesuatu sebesar rusa, aku yakin itu baru saja bergerak di antara pepohonan. Aku belum pernah melihat sesuatu sebesar itu sebelumnya. Ynez telah memperingatkanku untuk tidak pernah masuk terlalu dalam ke hutan, predator biasanya tidak mencari makan di pinggiran jadi aku cukup yakin apa yang aku lihat bukan sesuatu yang ganas. Melupakan jeratku yang tidak beruntung, aku menarik busur panah yang tersampir di punggungku. Aku menahannya dengan tangan kiriku saat aku meraih anak panah dari tabung.

Langkah kakiku ringan saat aku bergerak di antara pepohonan, hampir tidak bersuara. Anak panah siap terpasang, aku hanya harus menarik dan melepaskannya. Ada semacam sensasi yang membangun di bawah perutku, semacam pembakaran, dan detak jantung yang dipercepat saat aku fokus berburu. Seolah tubuhku beralih pada mode menyerang.  Aku sampai pada deretan pohon terakhir, di depan adalah semacam pembukaan di mana cahaya mesuk ke dalam. Hewan itu ada di tengah padang rumput kecil, mengunyah rumput kecokelatan saat aku mengintip melalui dua batang pohon yang cukup rapat.

Hewan itu hampir persis dengan rusa, kecuali itu memiliki ukuran yang lebih besar, dan tanduknya? Aku bersumpah hewan ini akan punah jika berada di Bumi. Tanduknya memiliki begitu banyak cabang, dengan pola rumit berwarna putih mutiara di permukaan hitam arang. Orang-orang akan membayar mahal untuk memiliki tanduk itu, hanya untuk memamerkannya. Bulunya lebih panjang dari pada rusa, hingga menyerupai surai dengan warna putih keabu-abuan. Gerakannya anggun meskipun tanduknya yang menjulang, itu membuatku terpesona selama satu detik. Mengingatkan aku pada burung merak yang sama memikatnya.

Aku menyipitkan mataku, tanganku stabil saat aku membidik tepat ke mata hewan itu. Aku menatap ke salah satu mata berwarna cokelat madu, dan itu balas menatapku. Aku punya perasaan aneh, perasaan tidak masuk akal seolah ketertarikan yang tidak dapat ditolak.

Hewan itu memiringkan kepalanya padaku, gerakan yang begitu mirip dengan pengenalan. Seolah kami telah saling mengenal begitu lama. Mata cokelat cemerlang yang dibingkai bulu mata tebal itu berkedip padaku. Aku menghembuskan napasku perlahan, tidak dapat memaksa jariku untuk melepaskan bidikan. Aku baru saja akan menurunkan busurku saat hewan itu menyentak kepalanya dan lari jauh ke dalam hutan, sedetik kemudian sesuatu yang besar dan berat menimpaku. Menjepitku ke lantai hutan dengan daun-daun yang membusuk. Aku membuka mulutku untuk berteriak hanya untuk menemukan sebuah tangan yang begitu besar menutup mulutku. Tangannya yang lain mencengkeram rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah, memaksa pipiku ke lantai hutan dengan menyakitkan.

"Apa kamu? Dan apa yang kamu lakukan di hutan kami? Berburu hewan suci milik Dewi kami?" ucapnya dengan suara serak yang begitu dalam, jika dia tidak mencoba meremukkan tulangku aku akan menghargai suara itu di kamar tidur. Sayang sekali karena sepertinya dia ingin membunuhku.

Aku yakin kalian bisa nebak siapa yang menyergap Aria :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro