Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 - Jenderal Crux

Kehadiran Ynez seperti duri yang merayap, menggaruk kulit Jenderal Crux dengan tidak nyaman. Dia hampir bisa merasakan tatapan Ynez di punggungnya seperti sentuhan fisik. Dia juga tidak melewatkan kesadaran dari semua orang di sana, bahkan Ryker yang biasanya meninggalkan orang-orang sendirian dengan urusan mereka menatapnya penasaran. Pertanyaan sunyi yang tak terucapkan itu hampir membuat Crux kehilangan pegangan pada kendali tipis yang ia coba pertahankan.

Satu-satunya orang yang sepertinya berusaha mengurangi ketegangan di sekitar mereka hanya gadis itu. Aria. Sementara Vidarr suka menyeduh masalah, gadis itu entah bagaimana berbakat untuk meredamnya.

"Jadi kamu pernah tinggal di Torndane? Seperti apa itu?"

Suara penasaran Aria yang bertanya pada Ynez terbawa ke telinga Jenderal. Gadis itu telah banyak bertanya, tidak pernah kehabisan kata-kata untuk setiap orang. Dia telah bertanya pada Karhu tentang sihir uniknya. Telah menggoda Vidarr tentang penaklukkan kamar tidurnya tanpa malu. Tertarik pada setiap cerita yang ingin Haakon bagikan pada semua orang. Aria sepertinya ingin tahu tentang semua orang. Bahkan dia bertanya dan membantu Ryker menghaluskan batang kayu Alk untuk membuat busur baru. Satu-satunya orang yang tidak Aria ajak bicara adalah dirinya, dan itu menggangunya.

"Itu indah, sejauh yang aku ingat," jawab Ynez dengan netral. "Aku sudah tidak melihat tempat itu selama lima belas tahun. Aku tidak yakin berapa banyak perubahan yang sudah terjadi."

"Apakah kamu tidak merindukannya? Maksudku itu tempat kamu tumbuh besar bukan?" ucap Aria, dan Crux dapat mendengar kepedulian nyata di dalamnya. Sementara beberapa orang hanya bertanya untuk mengisi keheningan, Aria sepertinya bertanya karena dia benar-benar peduli. Crux tidak akan terkejut jika orang-orang mulai merasakan hal yang sama untuknya. Peduli padanya. 

"Aku memutuskan untuk memberikan hidupku pada Dewi. Aku pergi untuk melayani Choris sendiri di kuilnya. Aku tidak menyesal dan itu sepadan karena kamu ada di sini sekarang."

Keheningan setelahnya membuat Crux menoleh ke belakang. Menangkap Aria yang menundukkan kepala sementara rona merah yang tidak dapat dijelaskan menyebar ke lehernya. Posturnya berubah dari santai menjadi tidak nyaman dalam hitungan detik. Seolah dia ingin lari dan bersembunyi.

"Bagaimana jika aku tidak seperti yang dikatakan ramalan? Bagaimana jika aku gagal?" ucap Aria sangat pelan, Crux tidak akan mendengar kata-kata itu sama sekali jika dia tidak secara aktif menguping pembicaraan mereka.

"Kamu tidak akan," jawab Ynez dengan keyakinan mutlak, dan Crux sebenarnya mengerti apa yang dirasakan Aria saat ini. Dia sebenarnya pernah berada di posisi itu.

"Kita akan berhenti untuk hari ini," ucap Crux cukup keras untuk didengar semua orang. Fala dan Rani belum sepenuhnya tenggelam di ujung cakrawala dan mereka masih satu hari berjalan kaki untuk mencapai desa terdekat.

"Tapi kita masih berada di hutan, bukankah itu tidak aman?" ucap gadis yang menjadi cetakan sempurna dari Aria. Crux ingat bahwa gadis itu adalah saudara kembarnya, dan dia masih tidak bisa memahaminya. Bagaimana dua orang terlihat persis sama? Itu masih membuatnya bergidik setiap kali melihat mereka berdampingan. Seolah sihir yang sangat aneh sedang bermain di depan matanya.

"Tidak pernah aman di Choria," ucap Crux kasar sebelum dia pergi untuk mengintai di sekitar.

Tidak ada yang menanyainya. Selama dia menjadi Jenderal dan memimpin kelompok kecilnya dalam misi, tidak ada yang menentangnya. Tidak ada kecuali ketika pamannya sesekali mempertanyakan kewarasannya, tapi meski demikian tidak ada yang ragu untuk menceburkan diri ke dalam pertarungan bersamanya. Itu sebenarnya menganggu, memiliki tanggung jawab semacam itu sama sekali tidak menyenangkan. Memiliki jenis kepercayaan seperti itu sangat melelahkan, dan berisiko untuk mengecewakan mereka semua. Kamu tidak bisa mengecewakan seseorang jika tidak ada yang menaruh harapan padamu.

Udara akan segera menjadi dingin dan sebaiknya mereka membangun api unggun sebelum itu, yang terbaik adalah menjaga semua orang tetap hangat. Dia mengintai di antara pepohonan, mengumpulkan ranting sambil sesekali mengamati lingkungannya. Tidak ada pergerakan yang mencurigakan, dan udara dipenuhi dengan aroma tanah lembab dan kompos yang membusuk, tapi tidak ada jenis aroma daging busuk. Itu bagus. Itu mungkin adalah tempat terbaik yang bisa mereka gunakan untuk bermalam. Tanah lapang di antara pepohonan jauh lebih aman dari pada apa yang ada di ujung hutan.

Mereka seharusnya tetap aman dalam jarak ini, kecuali ingatan tentang desa yang dihancurkan membuatnya gelisah. Souless telah keluar jauh dari sarang mereka, dan tidak ada yang tahu apa yang akhirnya menggerakkan monster itu. Beberapa tahun yang lalu mereka hampir tidak pernah melihat Souless jauh dari reruntuhan tapi akhir-akhir ini berbeda. Apakah itu karena mereka merasakan perubahan? Apakah mereka bisa merasakan seseorang yang akhirnya benar-benar menghancurkan mereka? Apakah mereka datang untuknya?

Suara derak dari ranting yang patah membuatnya berbalik dalam satu detik yang singkat. Bayangan bangkit di sekelilingnya saat dia mencabut kapak yang terikat di pinggangnya. Crux siap untuk yang terburuk tapi dia tidak siap saat sosok ramping Aria muncul dari balik pohon terdekat.

"Aku sengaja membuat suara agar tidak mengejutkanmu." Crux menatap gadis itu, siapa yang seharusnya menjadi Yang Cerah. Aria mengangkat tangannya dalam pose penyerahan diri, membiarkan telapak tangannya ke depan saat dia melangkah lebih jauh.

"Bisakah kamu menyimpannya kembali?" Aria mengedik pada tangannya yang masih memegang kapak dalam posisi awal untuk ayunan cepat. Crux mendengus dan menyimpan kembali kapaknya.

"Kamu tidak seharusnya menyelinap di sekitarku, aku bisa saja membunuhmu tanpa sengaja."

"Aku tidak menyelinap, aku membuat suara bukan?" jawabnya dan Crux tidak ingin berdebat.

"Apa yang kamu inginkan?" Crux mengabaikan kehadirannya di sana, memilih untuk mengumpulkan lebih banyak kayu di lengannya.

Gadis itu membuntutinya, membungkuk untuk mengambil ranting yang lebih kecil saat dia kembali bicara, "Dengar, aku tidak ingin menjadi sulit atau apa, tapi aku pikir kita sepakat kalau kita baik-baik saja ya? Jadi bisakah kamu sedikit mengurangi cemberut itu? Semua orang sepertinya sangat tegang dan aku hanya tidak merasa nyaman dengan itu. Aku juga tidak suka kamu membentak Avery. Ini baru untuknya. Untuk kami. Hutan dan petualangan ini bukan bagaimana kami hidup sebelumnya."

"Aku tidak membentaknya."

"Ya, kamu lakukan saat dia bertanya apakah aman untuk bermalam di hutan. Kamu praktis berteriak padanya." Dia diam, menegakkan tubuhnya yang kecil untuk menyesuaikan tumpukan ranting yang terus bertambah di pelukannya. "Apakah ini aman?"

"Kamu masih hidup bukan?" ucap Crux dan satu-satunya jawaban yang dia dapatkan adalah dengusan yang tidak disembunyikan.

Crux baru saja lega, berpikir gadis itu akhirnya menyerah dan akan meninggalkannya sendirian ketika suaranya kembali memecahkan keheningan.

"Apakah kamu baik-baik saja?" ucap Aria, hanya berupa bisikan. Itu diucapkan dengan perhatian sedemikian rupa, begitu halus dan lembut. Itu diucapkan seolah-olah dia benar-benar mengerti apa yang sebenarnya dirasakan Crux.

Itu membuat Crux membeku, untuk detik yang aneh itu dia ingin berteriak atau jatuh berlutut dan tidak pernah berdiri lagi. Untuk apa dia tetap di sini? Apa yang sebenarnya dia lakukan di tempat ini? Dia terus memburu monster-monster ini, kenapa dia masih terus melakukannya ketika dia tahu itu tidak akan memperbaiki apa yang telah terjadi di masa lalu.

"Aku mengerti beberapa orang tidak mudah untuk membicarakan rasa sakit mereka. Kebanyakan saudaraku seperti itu, tapi kadang-kadang kamu perlu mengeluarkannya. Itu tidak akan memperbaiki apa pun, bahkan terkadang itu hanya membuat hal-hal lebih buruk, tapi setidaknya kamu sudah mengeluarkan itu. Setidaknya seseorang tahu sehingga rasa sakit itu menjadi nyata. Membuatnya menjadi nyata berarti ada cara untuk menyembuhkannya.

"Aku di sini kalau-kalau kamu tidak punya seseorang untuk mendengarkan. Bukan karena aku akan mengerti kamu, aku tidak akan berbohong dengan berjanji aku akan memahami apa yang sebenarnya terjadi di kepalamu. Hanya saja itu mungkin akan lebih mudah karena aku bukan siapa-siapa. Hanya orang asing dan kamu tidak harus peduli dengan apa yang aku pikirkan. Aku tidak bisa menyakitimu dengan pendapatku seperti bagaimana jika pendapat orang yang kamu pedulikan akan menyakitimu."

Crux menegakkan tubuhnya, menjatuhkan tumpukan kayu yang telah ia kumpulkan. Sesuatu yang tajam tepat berada di ujung lidahnya. Dia siap untuk melemparkan seluruh kemarahan gelap yang selama ini dia seduh di dalam dirinya. Tidak pernah keluar. Terus menerus ditimbun hingga menjadi gunung kemarahan, kekecewaan, dan rasa bersalah yang beracun. Dia siap mengeluarkan semua itu pada gadis ini yang berpikir dia akan bisa mengambilnya. Hanya saja ketika Crux berbalik untuk menghadapi gadis itu, untuk menatap ke matanya, dia merasa kalah. Dia tidak siap untuk eskpresi netral tanpa penghakiman yang dia temukan. Itu juga bukan belas kasihan atau pengertian. Itu hanya wajah asing yang menunggunya, untuk mencoba memahami tapi tidak menjanjikannya.

Itu bukan wajah kekecewaan Ynez, bukan wajah pengertian Haakon, itu juga bukan wajah yang menghakimi dari setiap orang yang tahu ceritanya. Entah bagaimana itu berbeda. Apakah mungkin itu karena gadis ini adalah Yang Cerah? Apakah itu karena sebagian dari dirinya benar-benar adalah sesuatu yang diberkati Choris sendiri?

"Atau kamu juga bisa tidak mengatakan apa-apa jika itu yang membuatmu merasa lebih baik," ucap Aria, tidak menekannya. Hanya menawarkan uluran tangan padanya, meninggalkan pilihan itu tepat padanya. Terserah dia.

"Apakah kamu membiarkan orang tahu rasa sakitmu?" ucap Crux, dia mengernyit pada suara seraknya sendiri. Pada kerentanan yang begitu gamblang di sana.

"Setiap saat. Selalu. Itu membuatku terus berjalan, aku tidak pandai berpura-pura. Aku juga tidak selalu jujur tapi aku suka membuat apa yang aku rasakan jelas."

Crux mengangguk, dan kali ini menatapnya jauh lebih mudah. "Apakah itu membuatmu merasa lebih baik?"

"Tidak selalu, terkadang itu membuatku dalam posisi yang tidak nyaman. Seperti saat aku menolak bantuan ayahku untuk masuk ke universitas yang aku inginkan. Itu membuatnya kesal, tapi setidaknya aku menyuarakan keinginanku. Membuatnya didengar dan akhirnya membuat pemikiran itu menjadi nyata. Aku tahu itu tidak sebanding dengan apa pun masalahmu ini, tapi intinya itu bekerja dengan baik untukku. Jadi kamu mungkin bisa mencobanya juga."

"Aku membunuh dua orang yang seharusnya aku lindungi. Dua orang yang sangat berarti." Crux menghembuskan napas dengan terengah-engah saat kata-kata itu robek. Itu berdarah dan menjijikan, dia tidak pernah ingin mengakuinya. Tidak pernah menyuarakannya dengan keras dan itu melemahkan lututnya saat rasa sakit yang tidak terlihat mencekiknya.

Gadis itu benar. Rasa sakit itu menjadi nyata tapi apakah ada cara untuk menyembuhkannya sekarang? Apakah ada yang berbeda detik ini dengan beberapa saat yang lalu? Rasanya sama saja.

"Membunuh mereka dalam artian yang sebenarnya atau itu sebuah kecelakaan?"

Crux masih memegang tatapannya, dia ingin tahu, ingin melihat apa yang akhirnya mengubah mata cokelat hangat itu menjadi dingin. Apa yang akhirnya membuatnya mengambil langkah mundur dan membuktikan gadis itu salah. Dia ingin gadis itu salah sehingga dia bisa dengan tenang membenarkan keputusannya selama ini. Bahwa mengunci dirinya dari semua orang selama ini tidak sia-sia.

"Kamu ingin cerita lengkapnya?" ucap Crux serak, kekagumannya pada gadis itu semakin mengganggu.

"Ini bukan tentang aku," ucap Aria dan dia menyelipkan ikal cokelat yang tersapu ke wajahnya, mendorongnya ke belakang agar tidak menggangu pandangannya. "Tapi, aku memang penasaran."

Crux menggelengkan kepalanya, membungkuk sekali lagi untuk mengumpulkan batang kayu yang telah ia jatuhkan. Diam-diam mempertimbangkan untuk membuat lebih banyak rasa sakit itu menjadi nyata, diam-diam berharap gadis yang berdiri beberapa langkah darinya bisa menyembuhkannya secara ajaib. Kenapa tidak? Itu tidak sepenuhnya konyol, karena jika ramalan itu benar, maka gadis ini dipilih oleh Dewi sendiri. Dia harus punya cukup keajaiban bukan?

"Aku seharusnya menjaga ibu dan putraku. Aku tidak lagi muda tapi aku pasti masih sombong dan berpuas diri saat itu. Aku baru saja pulang dari layanan pertamaku untuk Pangeran Jedrek, pasukanku baru saja kembali setelah menghapus setiap Souless dari salah satu desa yang mereka serang." Crux terdiam lagi, ingatannya kabur hari itu dan itu yang paling membuatnya sakit. Dia bahkan tidak bisa mengingatnya dengan benar.

Aria tidak mendorong dan Crux ingin meninggalkan cerita itu begitu saja, biarkan jumbainya tetap berantakan.

"Aku hanya ingat pergi bersama prajurit lain. Kami berakhir di rumah penginapan. Aku ingat minum dan aku ingat temanku menawarkan flameblood padaku, teman yang mati juga hari itu tapi aku rasa aku tidak menyesali kematiannya. Aku mengambil kertas tipis dengan setetes darah Flameking, bahkan membayarnya dengan koin perak yang aku hasilkan. Aku mengambil dua dari tangannya meletakkannya di lidahku sebelum menekannya ke langit-langit mulutku untuk larut."

Itu membuat Crux berhenti lagi, apa yang terjadi setelahnya lebih kabur. Hampir tidak ada ingatan yang tersisa, tidak ada yang bisa dikeruk dari sumur gelap itu.

"Apakah itu membuatmu kehilangan pikiran? Itukah yang membuatmu membunuh mereka?" ucap Aria lebih berhati-hati seolah dia tahu bahwa dia baru saja menari di ujung mata pisau.

"Itu memang membuatku tinggi, tapi itu tidak membuatku membunuh siapa pun. Aku hanya ingat samar-samar tentang perasaan hangat di perutku. Itu membuatku ingin menari. Itu melarutkan setiap rasa takut dan sepertinya tidak akan ada hal yang bisa menghentikan atau menghancurkanku saat itu. Aku hanya mengambil dua tetes, dan itu jauh lebih kuat dari yang bisa aku mimpikan. Sombong dan puas. Aku bangun di pagi harinya, menemukan diriku tergeletak di depan penginapan, beberapa tubuh lain di sekitarku mengerang dengan rasa sakit kepala yang sama denganku. Sementara satu tubuh tetap diam. Mati karena overdosis."

Selama itu Aria diam, dan Crux masih mengamati wajahnya. Itu terlihat lebih sedih. Lebih cekung entah bagaimana saat setiap kata keluar tapi matanya ... itu masih hangat.

"Kamu masih ingin mendengar sisanya?"

"Toh tidak ada salahnya," jawab Aria jadi Crux melanjutkan meski dia tidak lagi berharap rasa sakitnya bisa hilang. Setelah dia merobek lukanya dan membiarkan rasa sakit itu menjadi nyata, dia ingin mengeluarkan semuanya. Biarkan itu membusuk di luar dan biarkan gagak mencabik-cabiknya karena mungkin dia pantas untuk semua itu.

"Kemudian Ynez menemukanku di sana dan memberi tahuku apa yang terjadi. Aku masih tidak bisa mengingat hari itu dengan jernih. Terjadi serangan di desa lain malam itu. Tempat ibu dan pamanku tinggal. Pamanku tidak berada di rumah karena itu giliran shiftnya setelah aku, dan Ynez belum kembali karena ada terlalu banyak yang harus disembuhkan atau dibunuh, tergantung bagaimana kamu melihatnya. Aku seharusnya menjaga mereka, ibu dan putraku, tapi aku tidak di sana. Mereka mati, atau aku berharap mereka mati. Aku tidak bisa membayangkan alternatif lainnya."

"Itu mengerikan."

Yah itu akan merangkum semuanya, pikir Crux muram.

"Jadi sekarang aku menganggap setiap orang yang aku janjikan perlindungan dengan serius. Aku tidak lagi sombong dan berpuas diri. Aku belajar pelajaranku, dan aku telah diminta untuk membawamu dengan aman sampai ke Torndane, sampai ke Pangeran, dan itulah yang akan aku lakukan. Jadi ketika aku memerintahkanmu untuk membuatmu aman, kamu akan melakukannya. Dan hal pertama dari perintah itu, kamu tidak menyelinap padaku lagi."

Dia berani mengangkat alisnya, apa yang Crux pelajari dari pertukaran dengan saudarinya bahwa itu adalah ekspresi tantangan yang meremehkan.

"Aku tidak menyelinap padamu," jawab Aria sebelum mereka berjalan bersama kembali ke tenda yang setengah didirikan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro