Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 - Aria

"Bolehkah aku melihatnya lagi?" ucap Karhu, matanya sudah menyimpang ke pergelangan tanganku.

Aku menyingkap lengan gaun sederhana yang aku pakai, membalik pergelangan tanganku ke atas sehingga Karhu bisa melihat tinta hitam di kulitku. "Ini tato, bukan tanda dari Dewi, bahkan ini bukan pola yang aku pilih. Ini adalah sebuah kesalahan."

Karhu memalingkan wajahnya padaku, matanya yang ekspresif sama sekali tidak kehilangan kilau antusias di dalamnya. Tidak peduli apa pun yang aku katakan, dia percaya bahwa Dewi sendiri yang mengirimku.

"Bagaimana jika itu bukan sebuah kesalahan? Itu hanya apa yang dimaksudkan Dewi untuk terjadi. Kamu menanggung tandanya dan kemudian kamu berada di sini. Apakah itu begitu sulit untuk dipercaya?"

"Dari mana aku berasal sihir adalah mitos, itu hanya sebuah cerita, begitu juga dengan kutukan dan ramalan. Maaf Karhu, aku hanya tidak ingin membuat kalian atau siapa pun menjadi terlalu berharap. Aku tidak ingin merusak sesuatu untuk siapa pun."

Melihat harapan di mata Ynez sebelumnya telah membebaniku, dan sekarang ada lima lagi yang sepertinya berharap padaku untuk melakukan keajaiban di dunia ini. Aku tidak menginginkan itu, tapi aku tidak melihat ada pilihan lain. Mungkin itu masalahku. Aku tidak pernah ingin menanggung beban harapan seseorang. Alasan sederhana kenapa aku tidak pernah berusahalah terlalu keras, tidak seperti Avery yang sepertinya berusaha memenuhi standar setiap orang. Papa, kakek, teman-teman kami. Apakah salah jika aku tidak ingin menanggung beban seperti itu? Hanya ingin menjadi diriku seperti apa adanya. Apakah itu membuatku egois?

"Tapi hanya itu yang kami miliki sekarang. Harapan," ucap Karhu, dan kata-kata itu datang darinya membuatku memejamkan mata. Jiwaku ingin menangis. Tidak ada seorang pun yang pantas merasa seperti itu.

Karhu mungkin hanya satu tahun lebih tua dariku, jika dia adalah anak laki-laki di Bumi, satu-satunya kekhawatiran yang harus dia miliki adalah tentang kelas dan gadis-gadis yang dia kejar.

"Aku juga melihat kalian memiliki tekad pantang menyerah dan usaha tanpa henti. Salah satunya harus cukup."

Dia tersenyum. Aku membalas senyum itu, bersyukur Karhu berada dalam rombongan ini. Lebih mudah berbicaranya dengannya, mungkin karena perbedaan usia kami yang tidak terlalu jauh. Dia tidak seperti Vidarr yang menggoda di setiap kesempatan. Tidak juga seperti Ryker yang murung dan pendiam atau Haakon yang menatap seolah dia tahu sesuatu yang aku tidak. Terutama tidak seperti Jenderal Crux yang aku tidak bisa jelaskan telah menarik perhatianku tanpa dapat disangkal.

"Jadi kita akan pergi ke Ynez dan kemudian ke Torndane?" ucapku mengikuti Karhu, lip membantunya merobohkan tenda tempatku bermalam sebelumnya.

"Itulah rencananya," jawabnya tanpa melihatku karena dia fokus menguraikan tali yang kusut sementara aku menggulung kain tenda.

"Berapa lama yang kita butuhkan untuk sampai di sana?" tanyaku, mereka telah memberitahuku garis besar dari perjalanan itu tapi aku tidak benar-benar memahaminya.

"Paling cepat satu minggu jika kita berkendara tanpa henti, dua jika kita memiliki badai di jalan. Jangan khawatir bagaimanapun kamu akan aman, dan itu yang terpenting."

Aku tidak melihat alasan untuk khawatir dengan badai yang dia katakan. Selama aku berada di sini aku belum melihat hujan sekali pun, langit mungkin berada dalam cahaya suram selamanya tapi hujan adalah hal yang sama sekali lain.

Aku selesai melipat kain dan Karhu menyerahkan tas kulit di mana aku bisa menyimpannya. Dia memasukkan tali temali setelah itu dan mengikat mereka dengan aman bersama barang mereka yang lain. Mereka tidak punya banyak. Hanya satu pasang tenda lain, beberapa tas yang berisi kantin minuman dan makanan. Lalu banyak senjata yang Ryker hitung dengan serius.

"Aku tidak khawatir," jawabku dan itu bohong. Aku takut. Ketakutan sejak aku bangun di dunia ini dengan Avery yang tidak sadar di sisiku.

"Bagus, karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku mengenal Jenderal Crux sejak aku masih sangat muda, dan jika ada orang yang bisa melacak tanah ini tanpa mati. Itu dia."

Aku mengangguk, senang pada tepukan sederhana Karhu yang menenangkan di bahuku saat dia lewat. Aku memikirkan kata-katanya dan tidak sulit untuk mempercayainya. Tanpa diminta mataku mencari Jenderal yang dimaksud. Melacak gerakannya saat dia mengikat setiap senjata mematikan ke tubuhnya. Tidak ingin memikirkan seberapa kuat dia untuk mampu membawa semua baban itu dengan mudah. Juga tidak ingin memikirkan tubuhnya yang diikat dengan otot adalah mesin pembunuh itu sendiri.

Memaksakan mataku untuk mengalihkan pandangan darinya, aku membantu membawa tas paling kecil di antara tumpukan, tapi Karhu mengambilnya dariku sebelum aku bisa memprotes.

"Tidak ingin membebanimu, ini akan menjadi perjalanan yang cukup panjang dan sebelum kita mencapai salah satu desa terdekat kita tidak akan memiliki tunggangan. Tidak perlu melahkan dirimu sendiri."

"Itu tidak akan membuatku lelah," ucapku tapi Karhu mengabaikan protesku, sudah membawa tas itu di bahunya. "Aku ingin membantu."

Entah mereka tidak mempercayaiku dengan persediaan mereka atau mereka benar-benar peduli dan hanya ingin membuatku senyaman mungkin, aku tidak tahu. Namun, tidak ada dari mereka yang membiarkan diriku dibebani. Aku berdiri di sana, sama sekali tidak berguna saat kelimanya mengikat setiap senjata ke tubuh mereka. Tabung anak panahku ada di sana, tapi busurnya telah jatuh saat Jenderal menyerangku. Aku berharap masih memilikinya, tapi aku tutup mulut.

Ketika aku yakin tidak akan ada yang memintaku untuk membantu, aku memutuskan untuk membuat diriku sendiri berguna. Aku pergi ke tumpukan batu yang malam sebelumnya digunakan sebagai api unggun. Aku membongkarnya, menyebarkan abunya dan memastikan tidak ada bara yang tersisa.

"Ingin benar-benar menjadi berguna?"

Aku mendongak dari tempatku berjongkok, terkejut saat menemukan Ryker berdiri di atasku. Menawarkan tangannya untuk membantuku berdiri.

Mengambil tangannya yang terulur, aku membiarkan dia menarikku berdiri. Aku menawarkan senyum yang dia abaikan sekali lagi. Di antara mereka semua Ryker sepertinya akan menjadi yang paling sulit didekati. Itu membuatku penasaran dengan ceritanya, tapi aku tidak cukup bodoh untuk berani menanyakannya sekarang.

"Aku tidak ingin menjadi beban."

Dia mengamatiku, sepertinya menilai apakah dia bisa mempercayaiku. Aku tidak yakin apa yang dia lihat pada akhirnya tapi dia mengangguk.

"Kamu bisa membantu mengisi air untuk perjalanan kita, ayo," ucapnya, memberiku isyarat untuk mengikuti. Dia tidak menunggu, tidak melihat apakah aku akan mengikutinya.

"Aku belum menemukan sungai di sekitar sini sejak aku menjelajah. Itu bukan waktu yang lama dan aku tidak pernah pergi lebih jauh dari tepi hutan jadi mungkin itu tidak berarti apa-apa," ucapku sudah mengoceh ketika keheningan mengikuti langkah kaki kami. "Atau ada sumber mata air lain? Apakah kamu terbiasa dengan hutan ini? Dan apakah—"

"Apakah kamu selalu begitu banyak bicara?"

Aku mengangkat bahu, tidak tersinggung dengan pertanyaannya. Atau bagaimana caranya memotong kata-kataku. "Aku tidak nyaman ketika berada di sekitar seseorang dan hanya diam. Maaf jika itu mengganggumu."

Dia tidak mengatakan apa-apa, mendorong ranting yang menghalangi jalan kami dan terus maju. Tidak butuh waktu lama sampai aku mendengar suara aliran air. Beberapa saat kemudian kami sampai pada aliran kecil dari sungai, arusnya tidak deras dan tidak cukup dalam tapi itu benar-benar jernih.

"Isi hingga penuh, kita harus segera kembali." Ryker menyerahkan beberapa kantung kulit padaku, dan kemudian mengisi miliknya sendiri.

Airnya terasa sejuk di kulitku, terlalu dingin bahkan tapi aku tetap menyempatkan diri untuk membasuh wajah dan sebagian kulit lenganku setelah aku selesai mengisi botol kulit.

"Airnya sangat dingin, tapi sulit untuk tidak tergoda untuk masuk ke dalamnya," ucapku sambil mengumpulkan setiap kantung yang telah aku isi. Ryker mengulurkan tangannya, menawarkan untuk membantuku membawanya tapi aku menggeleng. "Aku bisa melakukannya."

Sekali lagi dia tidak mengatakan apa-apa tapi membiarkanku membawa bebanku sendiri. 

"Ayo, sebaiknya tidak menyia-nyiakan cahaya yang masih tersisa," ucap Ryker dan seperti sebelumnya, dia tidak menunggu atau melihat apakah aku akan mengikuti.

Aku berjalan di belakangnya, mengamati punggungnya yang lebar dan busur yang dia ikat di sana. Sedikit iri karena aku kehilangan busur Ynez. Setidaknya aku bersenjata saat itu, meski aku tidak yakin bisa membunuh sesuatu selain hewan buruan kecil.

"Kamu bagus dengan busur?" tanyaku hanya untuk memecahkan keheningan sekali lagi. Jika aku akan melakukan perjalanan setidaknya satu minggu bersama orang-orang ini maka lebih baik jika kami saling membiasakan diri satu sama lain.

"Lebih baik dari kebanyakan orang," jawabnya dan ada kebanggaan yang mendasari kata-kata itu.

"Maukah kamu berlatih bersama? Aku tidak buruk tapi sebelum ini aku hanya pernah memanah untuk olahraga bukan berburu. Aku baik dengan sasaran tapi terkadang tidak cukup cepat untuk memanah sesuatu yang dapat bergerak dengan sangat cepat. Jageon masih menjadi tantangan untukku."

Satu-satunya balasan yang aku dapatkan adalah dengusan, Ryker bukan orang yang paling ramah tapi aku baik-baik saja dengan itu karena sepertinya dari semua orang hanya dia yang mengerti bahwa aku perlu melakukan sesuatu. Bahwa aku tidak bisa hanya diam dan duduk-duduk saat orang lain melakukan pekerjaan.

"Aku akan mengambilnya dari sini," ucap Karhu begitu aku mendekati perkemahan, sudah mengambil seluruh kantung kulit dari tanganku.

Papa selalu mengatakan kalau memutar bola matamu pada seseorang itu tidak sopan, tapi aku tidak bisa menahannya. "Itu tidak akan membunuhku, tahu."

"Aku tahu, tapi itu juga tidak akan membunuhmu jika kamu membiarkan aku mengambilnya," balas Karhu dan percuma saja melakukan perdebatan untuk hal sepele seperti itu jadi aku mengalah untuknya.

Ketika aku mendongak aku menemukan Jenderal Crux sedang melihat ke arahku. Aku memenuhi tatapannya, menahannya, menunggu dia menyerah dan mengalihkan pandangan. Sejak percakapan kami malam sebelumnya kami tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku tidak bisa mengatakan apa yang begitu berbeda tentangnya. Namun berada di sekitarnya membuat kulitku terasa seperti tertusuk, seperti ada aliran listrik yang berderak setiap kali dia dekat. Aku tidak bisa menyebutkan apa itu tapi aku juga tidak berpikir kalau aku bisa menolak tarikannya.

Detik lain lewat di antara kami, dan seperti orang keras kepala tidak ada dari kami yang memutuskan tatapan. Aku menahan napasku, menyipitkan mata sehingga jelas ketika aku melemparkan tantangan diam itu. Dia tetap teguh sampai kemudian kepalanya miring, matanya melesat ke belakangku dan sedetik kemudian aku mendengar suara Avery yang meneriakkan namaku.

"Aria!" Avery menabrakku, lengannya membungkusku dalam pelukan saat aku berbalik. Wajahnya terbenam di leherku sebelum akhirnya dia menarik diri untuk benar-benar melihatku. "Katakan padaku kamu baik-baik saja!"

Aku mengangguk, sudut bibirku sudah terangkat untuk membentuk senyum yang menenangkan. "Aku baik-baik saja, dan kamu?"

Dia mengangguk, matanya yang jeli memperhatikan setiap inci wajahku dan aku bersumpah bisa melihat matanya berubah menjadi gelap saat melacak memar di rahangku. "Apa yang sudah mereka lakukan padamu?"

Aku tidak sempat menjawab pertanyaan itu karena tiba-tiba semua orang diliputi keheningan saat Ynez muncul di belakang Avery.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro