9. The Scientist
DEVISAR, 26 JULI 2070
15.10
“Apa kau bercanda?” Soni tersentak sampai-sampai hampir menyemburkan seteguk teh yang hendak ditelannya.
“Aku tidak diprogram memiliki selera humor, Dr. Soni.”
“Tunggu.” Soni mengambil secarik kertas dan pulpen. “Jika yang kau katakan benar. Maka Profesor dan Tretan tidak akan bertemu. Kau lihat ini.” Ia menunjukkan garis waktu yang digambarnya.
Dua garis dengan panjang berbeda, menggambarkan masing-masing semesta. Garis lebih pendek tergores di atas, mewakili Bumi, tempat ketiga temannya terdampar. Dua ujung tanda panah yang melengkung dari garis panjang di bawahnya mendarat pada garis itu, dengan jarak. Satu tanda panah yang mendarat di depan, menunjukkan waktu keberadaan Tretan, 15 Agustus 2043. Di belakangnya, ujung tanda panah menunjukkan keberadaan Ken dan Luna, 17 Agustus 2043. Kedua tanda panah itu terpusat pada ujung garis panjang di bawahnya yang menunjukkan keberadaan Soni dan Lucy di Bhumi.
“Profesor Ken dan Luna tiba dua hari setelah Dr. Tretan tiba di tempat itu. Itu artinya mereka ada di masa depan Dr. Tretan. Mereka akan bertemu di masa depan.”
“Maksudmu, masa lalu?” Soni terkekeh.
"Secara--"
“Ssstttt!” Soni melambaikan telunjuknya. “Aku mengerti. Aku hanya bercanda, Sist!” Ia menyeruput tehnya. “Baiklah, tapi bagaimana dengan kemungkinan Tretan kembali ke sini dengan Luna R277, lalu Profesor dan Luna sibuk mencarinya di waktu yang salah? Eh, tunggu ....” Soni terdiam sejenak, tangannya menyentuh dagu, berpikir. “Kenapa tidak ada yang berpikir soal ini sebelumnya? Profesor dan Luna tidak mestinya menjemput Tretan. Anak itu bisa kembali ke sini dengan mobil waktunya!” serunya histeris. “Boom!” Kelima jarinya menyentuh kening sejenak sebelum dengan lembut menjauhkannya, seolah terpental dari kening. “Aku benar-benar jenius!”
“Dengan asumsi Dr. Tretan selamat, tentu bisa.”
Soni mendesah, pemikiran jeniusnya dipatahkan. “Ah, ya. Kau benar, Nona. Kita tidak tahu apa yang dihadapi anak kecil itu setelah mendarat." Soni terdiam sejenak. "Hei, kita harus memberi tahu posisi mereka. Apa kau punya cara menghubungi mereka?"
"Tidak."
"Ketus sekali," gumam Soni jengkel. "Kalau begitu, kurasa aku harus memberi tahu yang lain soal ini.” Soni hendak melangkah ke luar. Namun, pintu di depannya tak kunjung terbuka ketika ia telah berdiri tepat di hadapannya. Kepalanya teleng, melirik Lucy. “Kau harus bukakan pintu ini, Nona. Aku perlu memanggil bantuan.”
“Aku takut apa yang kau lakukan itu berbahaya, Dr. Soni. Mereka akan baik-baik saja.”
***
DENPASAR, 16 AGUSTUS 2043
09.50
Cahaya matahari bersinar di balik tirai keemasan. Tretan mengangkat kelopak matanya perlahan. Sebelah tangan bersandar di atas dadanya. Matanya mengerjap, ia mengangkat kedua tangannya. Namun, tangan di atas dadanya bergeming. Matanya mendelik menatapi kedua tangannya dan sebuah tangan di dada itu bergantian.
Dalam sekejap, tangannya refleks mengangkat dan melempar tangan yang bukan miliknya itu hingga menabrak tembok di sisi lain kasur. Tretan berteriak, turun dari kasur, kemudian beringsut ke sudut ruangan.
“Hantu! Hantu! Tolong!” teriaknya gemetar sambil menutup mata kuat-kuat.
Tangan yang dilemparnya tadi bergerak menyibak selimut dan memunculkan sesosok laki-laki di baliknya.
“Apa yang kau lakukan? Berisik pagi-pagi?” Mark berteriak, kesal.
Tretan membuka cepat matanya setelah mendengar suara yang familier itu.
“Apa yang kau lakukan di kasurku?” katanya setengah berteriak. “Eh, kamarku ....” Tretan memandangi sekeliling. “Astaga. Aku masih di sini,” bisiknya.
“Apa otakmu sudah kembali pada posisinya?” Mark bangkit dari kasur, bertelanjang dada. Meraih pemukul baseball di kolong kasur sebelum mendekat ke arah Tretan.
“Hei, hei, tunggu. Apa yang akan kau lakukan?” Tretan merentangkan tangannya ke depan.
Mark semakin dekat, tangannya mengayunkan tongkat baseball, mengambil ancang-ancang.
“AKU BAIK-BAIK SAJA! BERHENTILAH!” teriak Tretan hingga tenggorokkan serak.
Mark berhenti di tempatnya, memperhatikan Tretan dari ujung ke ujung, lalu tertegun. “Baiklah.” Ia berbalik dan membelakangi Tretan, lalu dengan cepat kembali memutar badan ke arah laki-laki itu. “Kau harus berhenti berteriak seperti gadis manis, Koko,” ujarnya sembari mengacungkan tongkat baseball dan mengedipkan sebelah mata.
Mark melirik jam alarm di nakas sebelah kasur. Dirinya tertegun, ia terdiam, matanya membulat, memproses keadaan.
“Sial! Aku lupa mengatur alarm!” Ia bergegas mencuci wajah dan menggosok gigi, lalu mengenakan kaus seadanya.
“Kau mau ke mana?”
Mark melemparkan kaus ke arah Tretan. “Pakai baju ini!”
Baju hitam itu tepat mendarat di genggaman Tretan. Dirinya bergidik saat baru menyadari bahwa ia telah bertelanjang dada sejak tadi. “Hei, di mana bajuku? Apa yang kau lakukan denganku?”
“Tenanglah, kau tidak seksi bagiku.” Mark mengedipkan sebelah mata dengan gelagat genit sebelum beranjak ke dapur.
Tretan dengan cepat membalut badannya dengan kaus pemberian Mark, lalu meraih leather jacket-nya yang tergeletak di lantai. Ia terdiam, memandang jaketnya dan kasur secara bergantian, lalu bergidik geli sebelum menyusul lelaki berambut hitam itu ke dapur.
“Kau bilang, kau menemukanku di gang sebelah tempatmu bekerja, bukan?”
Mark mengangguk, mengoles selai kacang pada roti sebelum menyumpalnya pada mulut Tretan. “Makanlah dulu, Koko. Dan jangan banyak bicara, kau tersedak nanti.”
***
Mobil melaju dengan cepat di atas aspal. Bermanuver zig-zag melewati keramaian sebelum bannya berdecit keras dan berhenti di depan sebuah gedung tinggi bercat merah putih. Orang-orang dengan jas lab lalu-lalang.
“Oasis. Inventing Our Dream World. ” Manik biru Tretan menyapu seluruh pahatan huruf di tengah air mancur depan tangga menuju gedung. Kepalanya bergerak ke atas lalu kembali lagi ke bawah, ia menelan ludah. “Kau bekerja di sini?”
Mark mengangguk. “Kau pingsan di gang sebelah sana.” Lelaki itu menunjuk gang di seberang jalan, cukup jauh hingga membuat Tretan memicingkan matanya.
“Kau yakin?”
Mark menepuk pundak Tretan dua kali. “Sampai jumpa, Ko. Senang bertemu denganmu.” Ia bergegas menaiki tangga.
Tretan mengalihkan pandangannya dari gang, memandangi Mark yang semakin jauh di atas. Ia terdiam, berpikir. Netra birunya kembali melirik gang di seberang. Tangannya mengepal sebelum bibirnya mencebik.
“Tunggu, Mark!” Ia berlari menyusul lelaki itu. “Jadi kau juga seorang ilmuwan?” ucap Tretan membuat Mark berhenti, meneleng ke arahnya dengan dahi berkerut, Tretan mengejang sedikit. “Eh, kakakku juga seorang ilmuwan di tempatku,” jelasnya gelagapan.
Mark melanjutkan langkahnya, berjalan cepat, setengah berlari.
“Aku sangat tertarik dengan sains dan penemuan-penemuan. Boleh aku ikut denganmu?”
Mereka berhenti di depan lift. Mark menekan tombol panah ke atas. “Ah, tentu. Kebetulan aku memang butuh seorang asisten.”
Tretan mengangkat kepalan tangannya ke udara sebelum menariknya ke bawah. “Yes!” serunya berbisik. Perasaan bahagia membuncah di dadanya. Mempelajari ilmu dari tempat ini tentu akan sangat berguna baginya. Ia tidak berada di masa lalu semestanya, tidak masalah baginya melakukan apa pun, karena tidak akan ada perubahan yang berarti bagi masa depan yang dikenalnya.
Ting! Pintu lift terbuka. Mark masuk diikuti Tretan dengan cengiran bahagia di wajahnya. Membuat teman lelakinya menggeleng pelan.
“Jadi, apa kau pernah membantu kakakmu di laboratoriumnya?”
“Ya, tentu. Dulu, akulah yang membantunya mengerjakan penelitian untuk gelar profesornya,” ucapnya penuh kebanggaan.
Mark terkekeh. “Apa yang diciptakannya untuk itu?”
“Hmm ...." Tretan melirik ke kanan, mengingat. "Benda pembaca pikiran.”
“Wow, itu gila!”
“Tentu, kau bisa mendengarkan apa yang orang lain pikirkan melalui wireless earbuds di telingamu yang gelombangnya terhubung dengan mesin itu."
"Itu penemuan hebat! Apa namanya?" tanya Mark penasaran. "Aku tidak pernah mendengar soal penemuan itu."
Tretan dengan susah payah tetap terlihat tenang. Tentu saja Mark tidak akan tahu. "Yah, sayangnya, seminggu setelah kakakku mendapat gelar profesornya, dia menarik penemuan itu.” Tretan berdecak. “Aku bahkan belum sempat mencobanya.”
“Memangnya, pikiran siapa yang membuatmu penasaran? Apa seorang gadis?” Mark mengedikkan sebelah alisnya, menggoda laki-laki bersurai keemasan itu.
Tretan memegangi kepalanya, panik. “Hei, kau bisa baca pikiranku, ya?”
Keduanya terkekeh.
Ting! Pintu lift membuka di depan mereka.
"Kita sampai!"
***
Makasi sudah klik bintang ^^
🤙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro