Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Escape II

Tretan berlari hingga kakinya pegal. Membelah trotoar sepi, hendak menuju ke rumah tempat Luna dan kakaknya berada. Matanya fokus memandang ke depan, kakinya tak sedikit pun memelan meski lemas sudah dirasa. Ia biarkan ketakutan menyetir langkahnya. Pergi menjauh dari gedung merah-putih yang sulit dipercaya. Oasis bukanlah jawaban yang tepat buat berlindung. Bahkan Mark yang ia percayai mungkin sedang terlibat dalam suatu rencana entah apa pun itu.

Sesekali Tretan berhenti untuk menarik napas sebelum kembali berlari, berkejaran dengan waktu.

Pastikan kau tidak terlambat.” Ucapan Mark tak berhenti berputar di kepalanya bagai kaset rusak yang terus memberi makan ketakutan dalam diri. Kalimat tersebut seakan mengundang pikiran-pikiran negatif dari segala penjuru untuk singgah ke kepalanya.

Tidak akan ia biarkan apa pun terjadi pada Luna dan sang kakak. Tidak ada yang boleh menyakiti mereka, atau monster dalam diri Tretan akan terbangun.

Di sela-sela kegiatan berlarinya, lelaki berambut keemasan itu beberapa kali mencoba menghentikan taksi, tapi tak ada yang mau berhenti. Matanya terus menerawang jalan sembari pikirannya mencari jalan keluar untuk tiba di rumah Nenek Bel lebih cepat. Tentu saja tidak mungkin baginya berlari dari Denpasar menuju Kuta.

Beberapa kali ia berusaha meperingatkan Luna dan sang kakak melalui Chip Watcher kalau Mark bukanlah orang yang tepat untuk dimintai pertolongan dan mereka harus segera pergi dari rumah Nenek Bel. Entah apa yang sedang atau akan dilakukan oleh Mark pada mereka. Namun, pernyataan Mark tentang tidak ada orang yang bisa di percaya di Oasis membuat tubuhnya tak berhenti memproduksi hormon adrenalin. Ada perasaan bahaya yang menyelimuti diri Tretan dan ketidaktenangannya semakin menjadi ketika tak ia dapatkan jawaban dari Chip Watcher.

Semilir angin menemani langkah kakinya yang kian melambat. Tretan hendak berhenti untuk kesekian kalinya. Hendak menghirup udara segar untuk ia gunakan sebagai bahan bakar. Namun, matanya menangkap sebuah bis yang hendak berhenti di halte seberang. Dengan melawan rasa lelahnya, sepasang kaki yang dilapisi sepatu boots itu berusaha mencapai halte sebelum bis meninggalkannya. Bis berhenti berhenti tepat waktu ketika dirinya sampai, seolah bis tersebut berhenti untuk dirinya.

Ia naik dengan buru-buru dan memohon pada sopir untuk melajukan bis dengan cepat.

“Jam kedatangan kita sudah terjadwalkan. Tidak akan terlambat dari itu.”

“Butuh berapa lama tiba di halte berikutnya, Pak?”

“Sepuluh menit ke halte berikutnya, sepuluh menit lagi ke halte berikutnya,” ujar sang sopir.

Tretan geram karena tidak tahu ia harus turun di halte mana yang dekat dengan rumah Nenek Bel. Bisa jadi ia harus turun di halte kedua setelah ini, atau halte ketiga. Itu akan memakan waktu dua puluh hingga tiga puluh menit. Memang lama, tapi akan lebih lama lagi jika ia berlari.

Tretan duduk di dekat pintu bis, kakinya tak berhenti bergetar oleh rasa takut. Penumpang bis terlihat tidak begitu banyak, mungkin sebab sekarang adalah hari kemerdekaan hingga penduduk tak banyak yang pergi bekerja. 

Ketika tiba di halte berikutnya, manik birunya tak sengaja menangkap sosok pria jangkung yang duduk behadapan dengan seorang wanita di sebuah restoran. Tretan mengenali sosok lelaki yang memakai kemeja rapi tersebut.

Terakhir kali bertemu dengannya, lelaki itu sangat berantakan dengan ripped jeans. Namun, kali ini ia terlihat sangat rapi dan berpendidikan.

Bahkan ketika bis menginggalkan halte, mata Tretan masih berusaha menangkap sosok tersebut. Hampir tak percaya ia kalau lelaki yang—kalau ia tak salah ingat—bernama Pablo itu, sang preman yang menjual mariyuana pada Kort, kini ia temui lagi.

Tentu saja, kehadiran lelaki itu berhasil mengingatkannya pada Kort dang teman gemuknya yang jorok. Kilasan petemuan mereka lantas berputar kembali dalam ingatan Tretan. Ia usap hasta kanannya yang telah Kort perbaiki. Setiap jahitan lukanya dipandang dengan teliti.

Hampir ia tengelam lebih dalam dalam memori ingatan perihal Kort kalau saja Chip Watcher-nya tak berkedip merah. Itu pesan balasan dari Ken. Lelaki itu bilang kalau ia dan Luna akan bergegas pergi dari rumah Nenek Bel dan Tretan tidak perlu khawatir karena mereka baik-baik saja.

Segera setelah ia menerima pesan tersebut, hati Tretan merasa lega. Niatnya untuk sampai dengan cepat di rumah Nenek Bel tidak lagi kuat. Tidak akan ada gunanya lagi jika ia kembali ke rumah itu. Sekarang, ia sibuk memikirkan tempat yang aman bagi mereka untuk mengungsi. Lantas, pikirannya terkunci pada Kort.

Tiba-tiba, tanpa diperintah, kaki Tretan melangkah mendekati supir. Lelaki itu memohon agar sang supir mau berhenti sejenak untuk menurunkannya, meski halte berikutnya masih jauh.

Tak perlu banyak pertimbangan, permintaan Tretan terkabul. Bis gratis itu lantas menepi dan mengizinkan Tretan turun melalu pintu depan.

Setelah itu, segera saja kakinya berlari menuju gang tempat markas Kort, yang keberadaannya tidak cukup jauh dari tempatnya turun.

Tiba ia di gang yang dituju. Seorang tunawisma tampak terlelap di sisi gang. Tretan baru turun ke tangga di sisi gang yang menuntunnya pada markas Kort setelah ia memastikan tunawisma itu memang tertidur.

Matanya awas mamastikan tidak ada yang melihatnya. Setelah itu, dengan sigap ia berbalik dan menuju pintu masuk markas yang sudah terlepas dari engselnya. Ada bekas hitam di bingkai pintu yang merupakan bekas ledakan. Langkahnya mulai pelan sebab rasa curiga menghampiri, Tretan mengintip sedikit apa yang sedang terjadi di dalam.

Perlahan ia melewati pintu sambil berbisik memanggil Kort. Sedetik kemudian, Chip Watcher-nya berkedip bersamaan dengan bunyi bip putus-putus. Tretan melirik sebentar gelangnya itu sebelum layar komputer yang menampilkan website Herakles Merah merenggut perhatiannya.

Headline artikelnya seolah sedang berbicara pada dirinya.

‘Kedatangan Penjelajah Waktu’.

Dengan cepat, matanya memindai layar dan bergerak mencari nama akun pengguna. Pada bagian kiri bawah, terlihat lambang sliuet manusia dengan nama pengguna: Admin.

Tretan arahkan kursor ke akun tersebut, ia berusaha mengeklik akun, tapi tak terjadi apa-apa. Dalam sekejap, ia sadar. Itu adalah tangkapan layar.

Belum selesai ia mengatur keterkejutannya, tiba-tiba ekor matanya menangkap sosok lelaki yang sedang berdiri di pintu. Ia menoleh cepat dan mendapati tunawisma yang tertidur tadi bediri kokoh, seakan menghalangi Tretan untuk keluar dari pintu.

“Apa yang kau lakukan?”

Tunawisma itu tak menjawab.

“Maafkan aku, aku tidak punya apa-apa untukmu. Tapi ....” Tretan melihat sekitar. “Akan kucoba carikan sesuatu untukmu di sekitar sini.” Ia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan. “Barangkali kita bisa menemukan makanan untuk—”

Kalimatnya tak dilanjutkan. Tretan terkejut saat mendapati tunawisma itu menggambil borgol dari saku celananya. Segera ia meraih benda apa saja yang bisa digapai tangannya untuk digunakan sebagai senjata.

Tunawisma itu mendekat, Tretan mendorong brankar ke arahnya. Dengan sigap, tunawisma itu menghindar ke sisi yang lain. Merasa mendapat celah, Tretan berlari ke luar dan menghambur ke jalanan. Kakinya yang sudah sejak tadi lemas berkat berlari tak lagi dipedulikannya. Ia paksa kedua tungkainya mengayun lebih cepat sebab lelaki yang mengejarnya lebih perkasa. Langkah kakinya lebih lebar dan lebih cepat. Hampir beberapa kali Tretan berhasil digapainya kalau ia tidak melakukan manuver di sela pengejaran itu. Ia berbelok, melompat, dan menunduk untuk menghindari cengkeraman maut pengejarnya.

“Hentikan!” Tretan menoleh ke belakang, mendapati badan kokoh yang masih kuat berlari. “Sial! Berhenti ...,” Ia menarik napas dalam, “mengejarku!” Kemudian ia berteriak lantang untuk menyalurkan rasa takutnya, meski napas ngos-ngosan.

Tak lama berselang, kakinya berhasil membawanya ke restoran di mana Pablo sedang menikmati kencan. Sambil berlari, dari seberang restoran, Tretan berteriak memanggil preman itu.

Teriakannya itu tak hanya menarik perhatian Pablo, tetapi juga masyarakat lain di sekitarnya.

Pablo yang menyadari keberadaan Tretan hanya melirik sesaat sebelum kembali berfokus pada teman kencannya.

“Pablo!”

Tepat setelah panggilan itu, sirine polisi terdengar di kejauhan. Tretan menyeberang menuju restoran, menerobos jalanan hingga banyak pengendara berhenti mendadak. Saat hampir mencapai ujung jalan, sebuah truk melaju kencang ke arahnya. Sang supir terkejut melihat kehadiran Tretan. Segera saja ia mengerem dengan mendadak hingga truk oleng dan sedikit berputar. Suara bannya yang nyaring berhasil merenggut perhatian orang-orang. Setelah truk berhenti total tepat satu meter di depannya, Tretan mengedip, berusaha membalikkan kesadaran setelah sebelumnya syok.

Setelah semua kesadarannya kembali, tanpa menunggu lama lagi, Tretan langsung berlari menuju Pablo. Sedetik kemudian, tabrakan beruntun terjadi di belakang truk tersebut.

Massa berkerumun dan menyebabkan kemacetan.

“Sial!” Pablo bangkit dan meraih tangan teman kencannya dengan lembut. “Kita bertemu lagi lain kali, Sayang.” Ia kecup punggung tangan wanita itu sebelum berlari diikuti Tretan.

Berkat kecelakaan yang baru saja terjadi, mobil polisi dan agen yang menyamar menjadi tunawisma itu berhasil ditahan keadaan. Sedangkan Tretan sudah hilang dari pandangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro