Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Up in The Air

Hai, haii. Sejak aku yang jarang update, aku yakin hanya sedikit dari kalian yang mengingat elemen-elemen cerita ini. Hahaha, gapapa-gapapa :D

Untuk itu, pada akhir chapter aku akan ngasi tau kalian chapter ini terhubung dengan chapter yang mana. Tidak hanya chapter ini, tapi juga chapter setelahnya.

Jadi, pastikan kalian membaca sampai kata dalam setiap chapter habis ya! :D

Enjoy!

Semua orang di rumah ini masih sedikit kaget dengan apa yang mereka alami. Penantian Nenek Bel dan Clarissa yang akhirnya menemui ujung dan fakta bahwa identitas ketiga penjelajah dimensi itu diketahui kedua pemilik rumah, masih sulit dipercaya.

Berkat kebaikan hati Nenek Bel, ketiga penjelajah itu bisa berdiskusi di kamar khusus yang tidak terlalu besar ini, sedangkan kedua pemilik rumah, menunggu di ruang tamu, memberikan ruang bagi ketiganya untuk saling meluapkan perasaan.

Tepat ketika pintu ruangan tertutup di belakang Ken, tamparan keras mendarat di pipi Tretan. “Kau sangat keterlaluan! Bagaimana bisa kau rahasiakan ini semua dari kami?” Dengan wajah merahnya, Luna berkata sengit.

Tangan kanannya masih memegangi pipi, Tretan masih terkejut dengan tamparan itu. “Apa maksudmu?”

“Lucy memberi tahu kami tentang perhitungan keberhasilanmu menjelajahi waktu. Kau sudah tau kalau kau tidak akan berhasil ke masa lalu. Kau sudah tau akan terdampar di sini, tapi tidak memberi tahu kami tentang itu?!” Amarahnya ia luapkan begitu saja. Tidak peduli dengan Ken yang memperhatikan. “Kau bisa saja mati, bodoh!” Air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk. Dengan susah payah Luna menahannya agar tak menumpuk dan tumpah.

Melihat reaksi spontan itu, Tretan tidak menjawab untuk sesaat. Ada perasaan sedih karena telah membuat wanita itu khawatir atas dirinya. Tanpa diperintahkan, tangannya bergerak, menenggelamkan Luna dalam dekapan. “Maafkan aku.” Perasaan kecewa yang dirasakan Luna kini perlahan mengalir ke dalam dirinya. Rasa bersalah dengan berani lantas mengisi relung hatinya.

Luna masih berusaha tegar. Sebelum mengalir melewati pipi, air matanya ia usap. Meski pikirannya sempat kalut, tapi kini hatinya mulai tenang menyadari lelaki bermata biru itu masih bernapas.

Tretan melepaskan pelukan. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.” Ia elus rambut pirang Luna, menyalurkan kasih sayang di setiap sentuhan. Rasa hangat menjalar di bawah pipi Luna. Sebelum hatinya bergetar semakin hebat, ia segera menepis tangan lelaki itu setelah dua kali belaian menuruni kepala. Bagaimanapun, gengsinya harus tetap dipertahankan.

Setelah pertemuan haru keduanya itu selesai, Ken membuka suara, ”Jadi, apa yang kau temukan?”

Seketika Tretan kembali berantusias. Ia ceritakan tentang Mark dan bagaimana ia membantu Mark bekerja di laboratorium kota. Tentang orang aneh yang ia temui di gang, juga tentang Inspektur Boni yang sangat mirip dengan temannya, Soni. Matanya berbinar menceritakan setiap kejadian. Dua pasang mata di ruangan itu hanya menatapnya dengan intens.

“Semesta ini seperti cerminan dari semesta kita, Kak. Hanya dengan versi yang sedikit berbeda. Tidak hanya yang mirip dengan Soni, aku juga menemukan seseorang yang mirip dengan Profesor Rizal!” Nadanya terdengar sangat bersemangat. “Kita mungkin bisa bertemu dengan orang yang mirip orang tua kita dan menyaksikkan kelahiranmu di sini!” Tretan terdiam sesaat. “Bagaimana? Ide yang bagus, bukan?”

Ken sedikit terkejut dengan ide aneh itu. “Ide yang buruk. Tidak ada yang boleh bertemu orang tua kita ataupun menyaksikan kelahiran. Berhentilah hidup di masa lalu,” ucapnya, sinis.

Sejak dulu, lelaki 27 tahun itu memang tidak suka obrolan mengenai orang tua mereka. Bahkan Tretan tidak tau banyak soal kedua orang yang telah membawanya ke dunia. Hanya Ken yang tau wajah mereka. Katanya, sang ibu meninggal saat melahirkan Tretan dan tak lama kemudian disusul sang ayah. Meninggal karena tak mampu menahan kesedihan akibat kehilangan orang yang paling ia cintai itu.

Begitulah yang diceritakan Ken padanya. Sesudahnya, tak ada lagi obrolan soal kedua orang tua mereka. Ken sangat membenci keduanya karena meninggalkan mereka.

Setidaknya, itulah yang dipercaya Tretan.

Raut kecewa lantas mucul di wajah Tretan ketika mendapat jawaban yang seharusnya dapat ia tebak.

Setelah satu kali helaan napas panjang, Ken melanjutkan, “Kita harus pulang sekarang. Sisanya, bahas nanti.” Tidak ada emosi yang terselip dalam ucapannya. Ken terdengar dingin dan datar seperti biasa.

“Tunggu. Kau melakukan banyak hal di sini,” ucap Luna pada Tretan sebelum beralih pada Ken. “Apa tidak apa-apa, Profesor?” tanyanya.

Wajah tenang itu tampak berpikir sesaat. “Kurasa begitu. Kita tidak sedang berada di semesta kita berasal. Ini dimensi yang berbeda. Kurasa tidak akan berpengaruh apa pun. Tidak akan ada paradoks waktu, kalau itu yang kau khawatirkan. Tapi tetap, kita harus berhati-hati.”

Luna mengangguk.

“Ayo, kita mulai perbaiki Soni R278!” titah Ken kemudian.

Tretan tersentak kaget. “Soni R278?”

“Mobil waktumu. Dia harus diberi nama, ‘kan?”

Entah kenapa, kalimat terakhir yang diucapkan Ken mengingatkannya pada Mark. Kata-kata dan ekspresi itu membuat mereka terlihat mirip. Ini sedikit menyebalkan karena Tretan mulai khawatir kalau sang kakak akan seaneh Mark. Namun, cepat-cepat ia tepis pikiran itu. Itu tidak mungkin terjadi.

“Kenapa harus menamakannya Soni? Dia menyebalkan!” ucapnya, tak terima.

“Dia yang memperbaikinya.” Ken lalu melemparkan buku bersampul biru. “Kubawakan kau buku catatanmu yang terbaru. Yang kau ambil waktu itu, buku yang lama.”

Tretan lalu teringat, bukunya yang berisi catatan penemuan dan rumus-rumus itu juga hilang bersama mobil waktunya. “Eh, Kak. Buku yang kubawa ... hilang.”

“Apa yang—”

“Maafkan aku. Kita perbaiki Soni R278 lalu pergi mencari Luna R277 dan buku itu sebelum orang lain menemukannya,” ucap Tretan cepat, lalu menghilang di balik pintu sebelum sang kakak mencecarnya.

***

Soni R278 dibawa ke garasi belakang Nenek Bel. Ken mencurigai mereka, tapi tak punya pilihan. Tidak boleh ada orang lain yang mengetahui ini. Meski kenyataannya kedua pemilik rumah itu mengenali mereka, ketiga penjelajah dimensi itu tak mau berpikir berlebihan. Setelah mobil ini diperbaiki, mereka akan pulang dan semuanya akan kembali seperti semula.

Setidaknya, itulah yang ingin mereka pikirkan.

Namun sayangnya, banyak asumsi yang terus mengalir dalam pikiran. Ucapan Nenek Bel tentang penantiannya selama sepuluh tahun terus menghantui pikiran Ken. Tretan tidak kalah penasaran. Kini ada empat orang yang mengetahui identitas aslinya---Kort, Mog, Clarissa, dan Nenek Bel.

Sudah hampir satu jam Ken dan Tretan mengerjakan mobil waktu itu. Meski sudah memiliki buku pedoman, namun tetap saja perbaikan tidak akan selesai cepat karena tidak ada alat yang memadai.

“Kita butuh lebih dari ini.” Mata biru Tretan menyelidik setiap alat di depannya. Hanya ada tang, obeng, palu, juga gergaji. Tidak begitu berguna.

Setelah selesai membongkar mesin, Ken menghampiri sang adik. “Apa kau punya ide?”

Sejak tadi, Tretan sudah memikirkan alternatif lain tanpa diperintahkan. Sejak tadi pula bayangan Mark dan Kort muncul bersamaan. Ia bertanya-tanya siapa dari mereka yang layak untuk dimintai pertolongan.

Setelah mempertimbangkan dalam diam yang cukup panjang, ia pun memutuskan. “Mark.” Ia berpaling ke arah sang kakak. “Dia tidak akan bisa memperbaiki mobil waktu itu, tapi kita bisa memanfaatkan kewenangannya sebagai salah satu anggota ilmuwan di Oasis.”

“Apa rencanamu? Mengatakan padanya kalau kita dari dimensi lain?” Terdengar ketidaksetujuan dari nada bicara Ken.

“Lalu, apa idemu, Kak?” balas Tretan.

Setelah itu, tercipta keheningan di antara mereka. Kedua lelaki itu larut dalam pikiran masing-masing. Menerawang kemungkinan solusi dengan resiko rendah.

“Sebenarnya, aku tau seseorang.” Tretan membuka suara. “Dia tau identitasku tanpa kuberitahu.” Ia diam sejenak, bersiap-siap mengatakan hal yang mungkin membuat sang kakak terkejut. “Terakhir kali kuingat, dia menawarkanku bergabung untuk mencari Luna R277.”

Seperti dugaan, mata hazel Ken membelalak di bawah alis tebalnya. Ada sedikit ketakutan yang menyeruak dalam dada. “Bagaimana mungkin ...,” ucapnya, masih dalam tenang. Lelaki itu seperti sudah terlatih untuk bersikap tenang dan menampilkan sedikit ekspresi meski perasaannya tak demikian.

“Entahlah. Dan kudengar, ia bertemu seorang penjelajah waktu sepuluh tahun lalu. Mungkin penjelajah waktu itu memberitahunya tentang kedatanganku.”

“Kedatangan kita,” koreksi Ken, cepat. “Waktu pertama kali aku dan Luna tiba, Nenek Bel bilang kalau dia telah menunggu kami selama sepuluh tahun.”

Untuk sejenak, mereka kembali tertarik dalam pikiran masing-masing. Berusaha merangkai potongan peristiwa sebelum dan sesudah berada di sini, memastikan tidak ada kejadian yang terlewat sedikit pun. Hingga keduanya sampai pada suatu kesimpulan yang sama.

Luna R277.

“Seseorang telah menggunakannya.” Meski ucapannya terdengar datar, namun sesungguhnya ada kekhawatiran tersirat di dalamnya. Ken tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mobil waktu itu jatuh ke tangan yang salah. Pergeseran waktu dan peristiwa, perubahan sejarah, hingga paradoks. Mereka bisa terjebak dalam lingkaran kejadian yang terus berulang tanpa ujung.

“Tapi mobil itu tidak terlacak dalam radar Chip Watcher-ku. Jika memang mobil waktu itu digunakan seseorang, maka radarnya akan muncul. Lagi pula, buat apa dia datang ke masa lalu dan memberi tahu orang-orang ini tentang kedatangan kita?”

Keduanya berpandang, saling menunggu jawaban terbit dalam pikiran masing-masing.

“Kita harus tanya Nenek Bel dan Clarissa tentang apa yang mereka tau. Juga temanmu itu.”

“Aku takut itu tidak terlalu membantu, Kak. Kedatangan kita bukan sesuatu yang disengaja. Kau pikir apa yang penjelajah waktu itu katakan tentang kita pada mereka?”

Ken lantas terdiam sebab Tretan ada benarnya. Kedatangan mereka kemari tidak direncanakan. Jika pun penjelajah waktu misterius itu menginformasikan tentang kedatangan mereka, maka tidak akan ada informasi berguna yang disampaikan kecuali ‘kedatangan seorang penjelajah waktu di tahun 2043’.

“Lalu, kau pikir kenapa mereka bisa mempercayai penjelajah waktu itu dan rela menunggu kita kalau tidak ada sesuatu?”

Kali ini giliran Tretan yang terdiam berkat ucapan sang kakak yang juga masuk akal. Tidak mungkin akan ada orang yang rela menunggu tanpa tujuan.

“Kurasa sekarang bukan waktu yang tepat, Kak. Kita belum tahu niat mereka pada kita,” komentarnya, kemudian.

Ken mengangguk. “Kau benar.”

Memikirkan kemungkinan-kemungkinan terasa tanpa ujung bagi mereka. Tidak ada yang tau apa yang telah terjadi di masa depan.

Penciptaan mesin waktu telah menjadi suatu kesalahan besar bagi Tretan. Pikirannya seperti diselimuti kabut hitam tebal yang membawa kekalutan. Jika semua ini telah berakhir, maka akan ia musnahkan semua mobil waktu itu bersamaan dengan rancangannya. Tidak boleh ada yang memilikinya. Tidak ada yang boleh mencoba mengubah takdir.

Tiba-tiba sebuah ingatan terbesit dalam pikiran. Ingatan yang bisa menjadi suatu petunjuk jalan.

“Herakles Merah!”


"Sepertinya Herakles Merah pernah disebutin sebelumnya, di mana ya?"

Wkwk ada yang masih berusaha mengingat-ngingat? :D

Yup, Herakles Merah pernah muncul pada Chapter 15. The History dan 18. Escape.

Kuy, kalau kalian lupa, bisa mampir ke masa lalu sebentar. Ayy! :D

Jangan lupa tekan bintang 🌟
Terima kasih! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro