18. Escape
Mog memindahkan data yang bisa dipindahkan dari komputer ke hard disk. Sisanya ia enkripsi di internet.
Kort mengemasi barang-barang yang bisa dimuat tas ranselnya, menaruh taser dan stun gun di kantong celana untuk berjaga-jaga dari serangan musuh.
Setelah selesai dengan komputer, Mog mengemasi pakaian di lemari hingga tasnya penuh.
“Bawa yang penting saja. Ada banyak pakaian di tempat John Arthur.” Kort melempar sebagian pakaian Mog dari tas, mengisinya dengan sekotak tabung reaksi, lalu memberi Mog taser gun-nya. “Tembak saja seperti menggunakan pistol.”
Meskipun bingung, Mog menyelipkan benda itu di pinggang, lalu melamuni Kort yang sibuk mondar-mandir mengemasi barang.
“Kau sudah selesai?”
“Tentu. Kau masih lama?” Mog balik bertanya.
Kort menutup risleting tas. “Sudah selesai. Ayo.”
Mereka berjalan ke pojok ruangan, tapi Kort berbalik lagi menuju komputer. Ia membuka website dan membiarkannya menjadi tampilan layar komputer itu.
Mog bingung dengan apa yang dilakukan temannya itu. Ia hanya diam melihat Kort kembali dan mengusap-usap lantai. Mencari sesuatu yang ia tak mengerti.
Sebuah layar biru muncul di salah satu ubin setelah Kort mengusap telapak tangannya. Ia mengetik password lalu enam ubin di sebelahnya bergeser ke samping, membuka sebuah ruang. Ubin yang dipijaki Mog ikut bergeser, membuat lelaki gempal itu melompat ke sebelah Kort.
“Kau turun duluan, Mog.”
Mog melihat ke bawah. Hanya gelap dan suara aliran air yang dapat ditangkap indranya. Ia mengambil senter di tas dan mengarahkannya ke bawah. Kemudian kaget mendapati ini tembus ke saluran pembuangan, bukan terowongan rahasia yang bersih seperti film-film. Ia menelan ludah membayangkan seekor buaya menunggunya.
“Cepatlah. Waktu kita tak banyak.” Kort menjatuhkan tas Mog.
“Itu baju bersihku!”
Ketukan keras terdengar di pintu, mengagetkan mereka.
“Buka pintunya, aku datang baik-baik!” Terdengar suara Komandan Boni di luar.
“Mog, turun!” Entakan Kort membuat lelaki gempal itu mau tak mau menuruni tangga berlumut. Berpegang erat pada pijakannya sambil menggigit senter. Kort menyusul setelahnya.
“Kuhitung sampai tiga. Buka pintunya atau kuledakkan!” Komandan Boni menggedor lagi pintu besi itu hingga tangannya mati rasa. “Sial.” Ia mengangguk ke seorang agen yang masih dalam penyamarannya menjadi tunawisma.
Agen itu menghampiri Boni. Menempelkan peledak berdaya rendah ke pintu. Semuanya menjauh.
“Satu ....” Boni mulai menghitung. “Dua ....” Ia diam sejenak, menunggu jawaban.
Mog sudah sampai di bawah. Ia memikul tas ranselnya dan senter bersiaga di tangan sambil menunggu Kort yang masih berkutat dengan kotak besi yang menempel di dinding atas.
Di luar, Boni tampak kehabisan kesabarannya. “Baiklah. Kau tak memberiku pilihan, Teroris!” Ia memperingatkan.
Kort menekan-nekan tombol pada layar besi yang mencuat hingga ubin kembali menutup, bergeser ke tempatnya masing-masing. Setelahnya, ia memukul konsol besi itu sampai listrik memercik biru.
“Tiga!”
Dar! Agen menekan tombol, meledakkan pintu hingga membuatnya memelanting. Tanah bergetar hingga membuat Kort berpegangan pada tangga besi itu.
Asap tipis menggumpal sesaat setelah ledakan. Boni menerobos sambil mengibaskan tangan. Ia masuk ke ruangan, mempelajari sekitar. Lelaki itu kaget melihat ruangan ini berlapiskan besi, komputer menyala dengan tampilan artikel ‘Penjelajah Waktu’ pada website ‘Herakles Merah’. Dua agen bersiaga di dekatnya dengan pistol. Matanya lalu melirik monitor di atas, terlihat pemandangan malam gang di Kota Denpasar.
Di bawah monitor, ada meja dengan banyak tombol. Boni menekan tombol yang membuat tampilan layar itu berganti. Kini terlihat Oasis dan sekitarnya. Ia menekan tombol lagi, terlihat pos polisi dan sekitarnya. Boni berdecak. Ia menekan tombol lagi dan terlihat agennya bersiaga di luar ruangan ini. “Sial. Mereka tau kita datang. Kepung tempat ini!”
Kort masih diam di atas tangga. Menempelkan telunjuk pada bibir untuk menyuruh Mog tak berisik atau membuat gerakan. Entakan kaki terdengar jelas di atasnya. Ia menahan napas ketika suara Boni terdengar dekat.
“Apa sebenarnya yang dilakukan orang itu!” Boni berdiri tepat di atas Kort. Ia hanya mondar-mandir di tempat. Mondar-mandir di pojok ruangan selalu membantunya berpikir. Ia masih tak menyangka seorang tunawisma bisa melakukan ini. Mereka lebih pintar darinya. Boni mulai khawatir kalau-kalau Kort merencanakan sesuatu yang buruk.
Seorang agen mendekatinya. “Ndan, kami menemukan ini.” Ia menyerahkan selembar daun berjari.
Boni mengambilnya perlahan, sedikit kaget tapi lega karena timnya menemukan petunjuk atas apa yang dilakukan Kort. “Ganja? Sudah kuduga.”
Di bawahnya, Kort mengulum bibir, menahan diri untuk tak mengumpat. Baru sadar kalau ia meninggalkan sehelai daun berjari itu di atas brankar.
Lalu terdengar suara langkah kaki menjauh. Kort baru bisa menghela napas setelah memastikan suara langkah itu menuju keluar. Ia lalu bergegas turun menghampiri Mog. “Ayo.” Kort berjalan di depan, meraih senter di saku, dan menatap lurus.
Mog sibuk menutup hidung karena tak tahan dengan bau got. Ia berlari kecil ke samping Kort. “Di sini bau.” Ia melirik aliran deras pembuangan di sampingnya, berwaspada kalau-kalau buaya muncul.
“Kau akan terbiasa.”
“Kenapa kau terbiasa?”
“Mog, kau tidak sikat gigi selama dua tahun terakhir.”
Mog memukul lengan Kort sekeras yang ia bisa. Namun, Kort bergeming seakan tak merasakan sakit. Ia tetap berjalan sambil melirik dinding sebelah kanannya.
“Jadi maksudmu, napasku sebau got ini?” Mog mendekatkan telapak tangannya di depan mulut lalu menghela napas dalam dari mulut, berusaha mencium napasnya sendiri. “Yeiks.” Ia mengernyit. “Got ini telah mempengaruhi bau napasku.”
Kort memutar bola matanya, lelah melihat tingkah temannya itu.
“Jadi, John Arthur bersembunyi di saluran pembuangan? Dia masih hidup?” Suara Mog terdengar cempreng karena hidungnya dijepit jari.
Kort tidak menjawab.
“Jadi benar, tubuh yang terbakar waktu itu bukan tubuhnya? Pantas hasil autopsinya tak konsisten.” Ia mendongak ke arah Kort. “Bagaimana dia kabur dari penjara?”
“Banyak hal yang tak perlu kau ketahui.”
Mog mendesah frustrasi. “Ya, tentu. Bahkan kurasa, aku tak tau nama aslimu, Keyko.”
“Berhenti memanggilku begitu. Aku Kort sekarang.”
“Keyko, William, Kurt, Kris, Kort.” Mog menghela napas. “Kenapa kau harus mengganti namamu? Apa kau teroris? Apa kau mata-mata John Arthur?”
“Pelankan suaramu, tempat ini membuatnya bergema.”
“Aku sudah bersamamu sejak tiga tahun lalu, tapi aku sama sekali tak tau apa-apa tentangmu. Ayolah, kau harus lebih terbuka agar Stella mau melirikmu.”
Kort menggeleng pelan. Ia mempercepat langkah agar tak perlu mendengar ocehan Mog.
“Hei, tunggu aku!” Mog menyusul. “Kau harus tetap di dekatku. Buaya bisa muncul kapan saja dan kau pasti membutuhkan bantuanku.” Ia mengerling. Namun, Kort tak menghiraukan. Buaya bukan perkara besar baginya.
Kort melirik celah besar di dinding. Cukup besar hingga membuatnya terlihat seperti gang kecil yang ujungnya buntu. Ia melompat naik untuk masuk ke sana. Berjalan ke ujung dan menempelkan telapak tangan terbalik, tapi tidak ada apa-apa. Mog mengintipnya dari bawah.
“Kita sudah sampai?”
Kort melompat turun. “Belum.”
Mereka melanjutkan perjalanan ditemani ocehan Mog tentang seberapa aman data yang dienkripsinya di internet, cita-citanya menjadi seorang hacker, juga bagaimana ia dicampakkan wanita karena lupa menutup risleting celana saat kencan pertama. Kort sampai bosan mendengarkan.
Beberapa kali Kort mencoba celah di dinding yang ditemui. Berharap itu adalah pintu masuk ke tempat John Arthur, tapi nihil. Entah sudah berapa lama mereka menyusuri tempat pembuangan ini dan tak menemukan apa-apa. Mog ingin beristirahat, tapi enggan. Lebih cepat sampai, lebih baik. Hidungnya sampai detik ini belum bisa beradaptasi dengan bau got. Sayangnya, lelah tak membuat Mog berhenti mengoceh. Justru ia semakin banyak bicara dalam perjalanan agar lelahnya terabaikan, katanya.
Tiba-tiba arus air terdengar lebih keras di belakang. Debitnya makin bertambah, gulungan air terlihat mendekat seperti ombak yang hendak menerjang mereka. Tanpa aba-aba, keduanya sprint. Mog lari lebih dulu, tapi tertinggal di belakang Kort.
Mata biru Kort melirik celah di depan. Ia berlari lebih kencang, lalu melompat masuk ke celah. Ia duduk dan menghela napas sejenak sebelum akhirnya bangkit saat mendengar teriakan Mog. Kort menaruh tasnya, lalu melompat keluar dari celah.
Perut Mog memantul seiring derap langkahnya. Kort kesal karena lelaki itu tak berhenti teriak.
“Mog, cepat! Ombak besar tepat di belakangmu!”
Himbauan Kort membuat lelaki gempal itu menoleh ke belakang. Mendapati ombak hampir menjangkaunya, ia berteriak makin kencang. Langkahnya juga semakin cepat.
Kort membungkuk sedikit dan menumpuk kedua telapak tangan, menjadikannya tumpuan untuk Mog melompat ke atas celah ketika lelaki itu sudah dekat.
Hap! Mog melompat, tapi tak cukup tinggi. Setengah badannya mencapai celah, setengahnya lagi masih menggelantung. Kakinya mengais tembok, berusaha mendorong badan ke atas.
Ombak semakin dekat. Kort mendorong tubuh Mog dengan bahu belakang. “Cepatlah ...,” rintihnya.
Hap! Mog sudah masuk ke celah, ia mengulurkan tangan ke bawah. Kort menerima uluran tangannya dan langsung melompat.
Ombak menyapu bayangannya ketika ia berhasil masuk ke celah. Bajunya kotor sedikit, terkena percikan air. Ia menengok ke bawah, melihat air kotor bergelombang. Sedangkan Mog beringsut di ujung sambil memeluk tas. Jantungnya masih deg-degan.
Kort menyugar rambut lalu mengelus punggung Mog untuk menenangkannya. Kemudian, melangkah ke tembok di ujung. Merabakan telapak tangan ke tembok itu.
Mog menunggu, tapi tak terjadi apa-apa. “Kita belum sampai?”
Lelaki berambut cokelat itu menggeleng pasrah. Badannya merosot, duduk bersandar di tembok itu. “Kita bermalam di sini.”
“Kau gila! Aku tidak bisa tidur dengan bau ini.” Mog tak terima.
“Masih lama sampai airnya surut. Kau mau berenang?”
Mog kesal, tapi Kort ada benarnya. Ia membenarkan rambut jabriknya, lalu menelungkupkan wajah cemberutnya ke lutut yang ditekuk.
Kort ikut menekuk lutut, ia meluruskan tangan ke bawah, lalu menggeser badannya sedikit ke belakang.
Cklik! Dinding di belakang tiba-tiba naik ke atas, membuatnya terjungkal. Kepala belakangnya membentur lantai keramik. Kort menatap langit ruangan yang remang. Manik birunya menjelajah sekitar, masih dengan posisi berbaring di lantai. Ia mendesah. “Ah, tentu saja, kuncinya ada di bawah.”
***
Terima kasih kamu yang sudah vote dan komen.
Terima kasih apresiasinya.
Terima kasih sudah mendukung author 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro