Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. The History

Dikemudikan oleh rasa penasaran, jari-jari itu menari cepat di atas keyboard, merangkai kalimat pada mesin pencari. Manik birunya berpendar akibat cahaya dari layar pipih di depan.

Ribuan artikel mengenai virus zombi berbaris di layar ketika lelaki itu menekan enter. Ia mengeklik satu artikel teratas. Memindai setiap kata, memproses setiap kalimat pada artikel yang tak henti membuatnya tercengang.

Setelah selesai dengan yang satu, ia menutup jendela browser, mengeklik lagi yang lain. Memindai dan memproses lagi setiap data yang didapatkan. Matanya bergerak cepat hingga ke akhir kalimat.

Kegiatan menutup dan membuka jendela browser itu dilakukannya berkali-kali untuk memastikan cerita Mark tidak ada benarnya sama sekali.

Sesekali, pemuda itu mengernyit, menggaruk kepala yang tak gatal, dan mengusap tengkuk untuk menenangkan bulu roma yang berdiri, sebelum menopang pipi dengan sebelah tangan yang terbuka.

“Ini benar-benar nyata,” lirihnya sebelum mengusap wajah dengan kedua tangan. Ia mengeklik sebuah gambar, memperbesar hingga membuatnya bergidik. Seketika perutnya terasa melilit, teraduk saat memperhatikan gambar di depan. Ia menutup mulut dengan tangan, menahan mual. “Menjijikkan.”

Tretan menghela napas, mengumpulkan keberanian.

Ia melirik lagi gambar seorang lelaki dan perempuan yang tergeletak di atas tanah dengan baju compang-camping yang hampir tak menutupi seluruh tubuh. Lidah keduanya menjulur, matanya yang melotot seolah menatap kamera, dengan usus terurai keluar melalui lubang di perut. Kedua mayat tersebut telah membusuk, terlihat dari warna kulit yang tak merata--beberapa bagian menghitam. Tampak seekor anjing berdiri di samping, menatap kamera. Kumpulan lalat terlihat jelas menghinggapi mayat.

Tretan memegangi perut dan mulutnya dengan sebelah tangan. Alisnya bertaut menahan sensasi mual yang diakibatkan oleh gambar di depannya. Dalam sekali klik, gambar itu cepat-cepat dihilangkan dari pandangan.

Pemuda itu memegangi kepala. Kini, saraf kepalanya berkedut, membuatnya susah payah mengembalikan pandangan yang sesekali mengabur. Pemuda itu pasti akan pingsan kalau saja Mark tidak datang dengan segelas air jahe disertai kekehan.

“Hampir pingsan melihat gambar? Lemah!” Mark menampilkan lagi gambar yang tadi, membuat Tretan cepat-cepat menutup mata. “Kalau kau melihat langsung, kutebak, kau akan koma setahun di rumah sakit.” Mark terkekeh.

“Apa benar-benar separah itu?” Tretan membuka matanya ketika layar pipih itu tak lagi menampilkan gambar dari korban virus zombi.

Mark terdiam, berpikir. “Sebenarnya, lebih parah.” Ia melirik Tretan. “Tidak banyak foto yang bisa kau temukan di internet. Mereka men-take down beberapa yang sangat mengerikan. Beberapa kehilangan organ tubuh, bahkan ada yang berkepala buntung.”

“Mark, aku serius.”

Mark nyengir. “Sayangnya, aku juga.”

“Apa virus zombi separah itu?”

“Mungkin.”

“Apa maksudmu?”

Mark melangkah ke ranjang, duduk di tepiannya. “Kematian mengenaskan waktu itu tidak hanya disebabkan oleh virus zombi. Tapi juga serangan robot secara brutal.”

“Tapi, kau bilang ceritamu tadi bohong!” protes Tretan membuat Mark tertawa kecil.

“Tentu, hanya di bagian ‘para zombi akan memakan otakmu’ dan beberapa bagian lainnya.” Mark merebahkan badannya ke ranjang. “Kau tahu, keadaan waktu itu sangat mengerikan. Kau melihat orang yang kau sayang ditembak secara brutal oleh robot-robot sialan itu. Dan kau tak bisa berbuat banyak.” Ia melirik Tretan. “Kau beruntung mengalami trauma kepala.” Lelaki itu menarik selimut, menyembunyikan wajahnya.

“Aku tidak mengerti. Bukannya robot-robot itu diciptakan untuk membantu? Mengapa mereka balik menyerang?”

“Mereka yang terjangkit virus zombi akan mengalami kelumpuhan otot sementara. Kau sudah baca itu?” ucap Mark dari balik selimut.

Tretan mengangguk. “Ya. Setelah itu, penderitanya akan mengalami kerusakan sistem saraf motorik. Menyebabkan mereka kehilangan kemampuan mengendalikan diri hingga bergerak di luar kendali akibat virus yang bersifat parasit. Lalu, setelah tiga minggu terinfeksi, penderita akan mengalami kejang hingga benar-benar ....” Tretan menghentikan penjelasannya.

“Mati,” sambung Mark. Ia mengembuskan napas. “Sayangnya, mereka tidak benar-benar kehilangan akal.”

“Apa maksudmu?”

“Robot itu diciptakan untuk melindungi manusia. Mereka yang terjangkit virus itu, bergerak tak terkendali. Kadang-kadang, tak sengaja menyakiti orang lain. Sayangnya, mereka sadar, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Seolah terperangkap dalam badan yang dikendalikan orang  lain.” Lelaki bersurai hitam itu meremas selimut, menahan kepedihan yang muncul dalam benaknya. “Anak-anak dan orang tua yang terjangkit, menangis ketika badannya bergerak menyakiti orang lain. Beberapa bahkan memaksakan diri untuk mencongkel matanya sendiri, tak kuasa melihat dirinya mencekik orang sekitar. Saat itulah, robot-robot itu menembak brutal mereka yang terjangkit. Tepat di depan matamu.”

Tretan terdiam. Pikirannya berkecamuk, bingung harus berkata apa. Di sisi lain, robot-robot itu hanya berusaha melindungi manusia dengan menembak mereka yang berusaha membunuh--hal yang mungkin sama, yang akan dilakukan oleh manusia jika berada di posisi si robot--saksi.

“Bagaimanapun, itu tak pantas dibenarkan,” ketus Mark seolah membaca pikiran Tretan.

“Mark, apa kau serius?” Tretan balik menatap layar, menggulirkan artikel-artikel. “Tapi, kenapa aku tidak menemukan berita tentang penyerangan robot itu?”

“Sir. Revano. Dia melarang pemberitaan itu. Meminta Keminfo men-take down berita tentang penyerangan robot untuk menghormati sahabatnya, John Arthur. Anak-anak zaman sekarang tidak akan tahu kejadian itu jika bukan dari orang tua mereka. Itu pun kalau para orang tua bernyali menceritakannya.”

Tretan menatap sayu lantai kayu di bawahnya. “Mark,” ucapnya pelan, “Apa kau yakin masih ingin melanjutkan Tesla?”

Mark diam, raut kekhawatiran tersembunyi di balik selimut putih. “Tentu. Setidaknya, aku tau tentangnya.”

Tretan mengangguk kecil sebelum mengalihkan lagi pandangannya ke layar pipih di depan. Pikirannya berkecamuk diliputi kesedihan dan kebingungan. “Bagaimana jika Tesla--”

“Tenanglah, aku tidak menciptakan robot pembunuh. Tesla tidak kubekali kemampuan nyetrum, apalagi peluru.”

Manik biru Tretan menatap temannya yang terbalut selimut. Ia menghela napas sebelum menarikan lagi jarinya di atas keyboard. Kali ini, ia mencari tahu tentang pencipta robot itu--John Arthur.

Profesor penemu robot yang diberi nama Prop371 itu resmi menjadi WNI ketika dirinya mampir ke perkampungan kumuh dan menemukan banyak warga yang hidup dalam ketidak-layakan. Ia sempat tinggal di salah satu rumah seorang janda tua sakit-sakitan yang mengasuh seorang anak lelaki di perkampungan itu.

Tretan memperbesar gambar yang menampilkan sosok ketiga orang itu--John Arthur, sang janda, juga seorang lelaki jangkung bertubuh kurus sekali, hampir-hampir seperti tulang yang terbungkus kulit.

“Diambil tahun 2027.” Ia bergumam, “Tapi terlihat seperti diambil seratus tahun lalu akibat efek hitam-putih ini.” Ia mengernyit, lalu membaca kalimat selanjutnya. Matanya membelalak ketika membaca nama wanita dalam foto. “Made Sawitri!” bisiknya kaget, “Orang pertama yang terjangkit virus zombi!” Pemuda itu meremas rambut keemasannya, termangu menatap layar, lalu kembali menekan huruf-huruf di atas keyboard setelah mencetak gambar hitam-putih itu.

Ia membuka setiap artikel tentang wanita itu. Namun, tak banyak dijelaskan, selain ia adalah korban pertama.

“Sial! Bagaimana dengan anaknya?” Jari-jarinya bergerak lincah, berselancar di internet. Namun, tak satu pun artikel yang memuat tentang keberadaan anak Made Sawitri—lelaki jangkung dalam foto bersama John Arthur.

Tretan mengusap dagu. “Baiklah.” Jarinya menghapus huruf-huruf pada tab pencarian sebelum mengetik kata baru.

Sir. Revano.

Ribuan artikel tentang pemilik Oasis itu bermunculan. Bahkan, ratusan videonya yang menerima penghargaan turut menghiasi layar. Tretan memicingkan mata, sosok lelaki dalam layar itu tampak familier, seperti seseorang yang telah dikenalnya. Ia mengernyit, memandang sosok lelaki dengan bulu menghiasi tepi wajahnya itu.

“Profesor Rizal?”

Ia memperbesar tampilan layar video, memperhatikan tiap gerak-gerik sosok Sir. Revano. Mimik wajah, lirikan mata, dan senyumnya tampak sangat mirip dengan profesor yang menjadi korban ledakan lima tahun lalu di White Building. Hanya saja, wajah Profesor Rizal waktu itu tak ditumbuhi bulu.

“Mark!” Tretan berbalik. “Mark, ini penting!” Ia tertegun, menutup mulutnya cepat-cepat. Baru menyadari bahwa tidak mungkin baginya menceritakan tentang Profesor Rizal pada lelaki bersurai hitam itu, identitasnya akan terbongkar. Beruntung saja, yang dipanggil tidak menyahut atau menunjukkan pergerakan. “Mark?” panggilnya halus, memastikan lelaki itu terlelap.

Tretan menghela napas lega ketika tak mendapat jawaban. Ia kembali beralih ke layar, membaca artikel tentang pemilik Oasis yang merupakan teman baik John Arthur itu.

“Jadi, Sir. Revano adalah anak Made Sawitri (?)” simpulnya, ragu.

Kini lelaki itu teringat dengan konspirasi yang diceritakan Mark waktu itu. Ia menggulir layar, mencari artikel konspirasi hingga ke bawah. Namun, hanya satu yang ditemukan. Keberadaannya tak sebanyak artikel tentang virus zombi ataupun artikel penghargaan Sir. Revano.

Sebuah artikel diklik, tampilan webnya cukup seram dengan nuansa hitam-merah. Tretan mengernyit, penasaran. Ia mendekatkan wajah ke layar, menggulir pelan layar sembari membaca kalimat penuh teliti. Ia tak mau melewatkan informasi sekecil apa pun. Meski, konspirasi ini belum tentu benar.

Dijelaskan, John Arthur menciptakan robot Prop371 untuk diberikan pada Made Sawitri. Janda paruh baya itulah yang menjadi pemilik pertama Prop371--robot yang berwujud layaknya wanita sungguhan. Melihat keuntungan yang ditawarkan robot pembantu itu, banyak orang kalangan atas yang memesan, bahkan menaruh saham pada perusahaan robot John Arthur yang waktu itu bertempat di garasi rumahnya, di tengah kota. Dalam menyelesaikan pesanannya, ilmuwan itu tidak sendiri, ia dibantu anak Made Sawitri, merakit dan memasang kerangka robot.

Manik biru Tretan membulat. Matanya menangkap sebuah nama. Nama lelaki jangkung dalam fotonya bersama John Arthur dan Made Sawitri. “Tristan Adikara!” Ia bergumam, “Sir. Revano, Tristan Adikara. Menarik. Ia mengganti nama dengan nama yang jauh berbeda.”

Sejak maraknya pesanan Prop371, pundi-pundi uang mengalir deras. Garasi kecil itu menjelma menjadi gedung megah bernuansa merah-putih dalam waktu lima tahun. Gedung yang menampung ilmuwan-ilmuwan cerdas di kota itu--Oasis.

Sayangnya, tak lama setelah itu, virus zombi menjangkiti Made Sawitri. Wanita malang itu merenggut nyawa sehari sebelum kembalinya Tristan Adikara ke rumah kumuh itu. Prop371 didapatinya duduk mematung di samping jasad ibunya—yang tangan dan kakinya terikat ke ranjang.

Schizophrenia.

Itulah dugaannya waktu itu.

Tretan menggaruk kepala. “Artikel ini terlalu detail, seolah ditulis oleh orangnya langsung.” Ia melirik nama website. “Herakles Merah?”

Setelah melakukan autopsi, diketahui wanita itu terjangkit virus baru yang menyebabkannya bertindak di luar kendali. Virus yang menular melalui droplet ini sampai sekarang tak diketahui asal-usulnya. Seminggu setelahnya, John Arthur mengembangkan Prop371 yang kemudian disebut Patron233. Robot keluaran terbaru ini diklaim mampu melindungi majikannya, dilengkapi dengan kemampuan mendeteksi kesehatan.

Tak butuh waktu lama, ilmuwan itu berhasil merampungkan karyanya, menjualnya ke pasaran dengan harga murah ketika virus zombi itu mulai menyebar, menjangkiti hampir seluruh masyarakat Pulau Bali.

Hal yang tak disangka, robot pelindung itu berhasil menjalankan fungsinya--mendeteksi kesehatan majikan dengan tepat. Mereka mampu memberikan diagnosis dini, sehingga manusia yang terjangkit dapat mengambil tindakan lebih cepat--mendapat perawatan intensif meski tak dapat selamat dari jemputan maut.

Banyaknya korban yang berjatuhan membuat pemerintah--tak hanya masyarakat--resah, hingga banyak cara ditempuh untuk menghentikan penyebarannya di Pulau Bali.

“Virus ini menular lewat droplet dan hanya menjangkiti masyarakat satu pulau?” Tretan mengusap dagu. “Semakin menarik.”

Dua bulan setelahnya, Mei 2033, vaksin virus itu ditemukan.

“Dua bulan?” Ia melirik Mark. “Di masa depan, vaksin bisa diselesaikan dalam waktu dua minggu,” bisiknya.

Hal yang seharusnya menjadi kabar gembira itu justru berubah menjadi bencana. Tanggal 05 Mei 2033, pertumpahan darah besar-besaran terjadi.

Patron233 menembak brutal hampir setengah masyarakat yang melintas di depannya. Peristiwa itu dikenang dengan sebutan ‘Peristiwa 5/5’ atau ‘Tragedi Angka Kembar’ karena terjadi di tanggal lima, bulan kelima, di tahun 2033.

Patron233 dimusnahkan bersamaan dengan dijatuhinya hukuman mati pada John Arthur atas tuduhan melakukan kejahatan genosida. Terlebih, lelaki itu merahasiakan bahwa Patron233 memiliki peluru, meski ia menyangkal hal itu. Namun, kenyataan menunjukkan hal yang berbeda.

Posisinya di Oasis pun digantikan oleh Sir. Revano, lelaki yang telah berjasa menemukan vaksin.

Tretan mengerang, meremas rambut. “Mana yang benar? Robot-robot itu membunuh mereka yang terjangkit atau membunuh mereka yang sehat?” Kepalanya berdenyut mendapati perbedaan antara cerita Mark dengan artikel ini.

Ia memandangi layar. Mengeklik tanda silang merah di pojok kanan atas—menutup artikel. “Konspirasi hanya hiburan.”

Ketika pemuda itu hendak meraih gelas yang berisi air jahe di sebelah, tangan kanannya terasa berat untuk digerakkan. Tretan berkonsentrasi, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggerakkan jari pada tangan kanan.

Setelah banyaknya peluh yang berkumpul di pelipis, beberapa jari berhasil merangkak pelan di atas meja, menyentuh sisi gelas. Pemuda itu menjatuhkan tangan kanannya ketika nyeri menjalar dari hasta.

“Sial,” lirihnya.

Tretan melirik Mark yang masih bersembunyi di balik selimut sebelum mengusap gelang hitamnya, menekan tombol-tombol hologram yang terpancar dari Chip Watcher di tangan kanannya.

Menghubungkan Lucy ....” Tampak lingkaran biru berputar-putar pada layar hologram setelah suara kerobotan itu terdengar halus dari gelang.

“Ayolah! Ayolah!”

Akses gagal!”

Tretan mencebik bibirnya, ia melangkah menuju nakas dekat tempat tidur, membuka laci, mengambil obat merah sebelum duduk di tepi ranjang—sebelah Mark berbaring—lalu membuka perban luka.

Jaringan biru abstrak di bawah kulit  terpampang jelas akibat mulut luka yang makin menganga.

“Sial. Obat ini tak'kan membantu banyak. Aku harus menemukan mobil waktu itu,” gumam Tretan sebelum bangkit dan bergegas mengenakan jaketnya.

Ia berhenti, memandangi Mark yang tak berkutik di balik selimut. “Aku akan pulang sebentar dan kembali lima menit dari sekarang untuk membantumu menyelesaikan Tesla, Mark,” bisiknya. “Doakan malam ini aku menemukan Luna.”

Tretan bergegas menuruni tangga, membuka pintu  putih itu, pelan. Meninggalkan Mark dan Keyko di dalam rumah.

Tepat ketika suara pintu tertutup terdengar dari bawah, Mark mengedipkan matanya yang sejak tadi terbelalak dari bawah selimut.

***

Schizoprenia/Skizofreniaadalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Gejala tersebut merupakan gejala dari psikosis, yaitu kondisi di mana penderitanya kesulitan membedakan kenyataan dengan pikirannya sendiri.

Droplet : adalah cairan atau cipratan liur yang dikeluarkan seseorang dari hidung atau mulut saat bersin, batuk, bahkan berbicara. 

Genosida : adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan atau (membuat punah) bangsa tersebut. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro